Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

20 November 2008

FPPP Usul Kewenangan BK Diperjelas


Sumber : republika.co.id

JAKARTA-- Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan kewenangan Badan Kehormatan (BK) DPR dirumuskan lagi. Wakil Ketua FPPP, Lukman Hakiem, mengatakan, harus ada pemisahan yang tegas antara tindak lanjut pelanggaran etika dan pelanggaran pidana yang diusut oleh BK.''FPPP ingin kewenangan BK dalam suatu kasus harus jelas mana bagian mana pelanggaran etika mana yang pidana.


Jangan BK mencampuradukkan dua hal ini,'' kata Lukman kepada Republika, Selasa (18/11).Usulan perbaikan kewenangan BK masuk dalam pembahasan RUU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPD/DPRD yang saat ini tengah dibahas. Pekan depan, RUU Susduk masuk tahap panitia kerja (panja).
Usulan FPPP mengacu pada langkah BK mengatasi sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus. Pada beberapa kasus seperti Al Amin Nasution, Lukman memberi contoh, BK tak perlu datang ke tahanan KPK dan menyelidiki Al Amin. ''Itu sudah ranah hukum biarkan aparat yang bekerja,'' katanya.
Perdebatannya ada pada pelanggaran hukum yang sudah menjadi pelanggaran etika. Menurut Lukman, di titik ini BK harus bisa ambil posisi yang tegas.
Kedudukan DPRD
Di tempat terpisah, DPR 'memanas-manasi' DPRD agar mau lepas dari bayang-bayang pemerintah pusat. Dalam RUU Susduk yang tengah dibahas, masalah DPRD dibawa ke panja karena pemerintah dan DPR belum satu suara soal posisi DPRD.
Pemerintah bersikeras DPRD tetap bagian dari pemerintahan daerah, yang tidak memiliki kekuatan legislasi. Sementara DPR ingin memperkuat peran DPRD. Ketua Pansus RUU Susduk, Ganjar Pranowo, mengatakan, posisi DPRD memang tidak jelas. Itu terbukti dari produk hukum DPRD (peraturan daerah) yang kerap dibatalkan Depdagri. Menurutnya, peraturan legislatif tak bisa dibatalkan oleh eksekutif, apalagi pembatalannya hanya secarik surat edaran Mendagri. Karena masalah ini, kinerja DPRD terus dipermasalahkan. Mereka dianggap tidak mumpuni menjadi legislator. ''Dalam kasus DPRD, pemerintah masih ingin jadi pembina politik dalam negeri,'' kata Ganjar.
Anggota DPRD Kepulauan Riau, Actrice Sharon Manambe, menambahkan, pemerintah pusat selalu menyepelekan peran daerah. DPRD kerap tak dilibatkan dalam pembahasan aturan. ''Orang pusat selalu menyatakan orang daerah tahu apa?'' katanya mengeluh. Ia mengajukan enam usulan di RUU Susduk, di antaranya, DPRD tidak lagi jadi kepanjangan tangan Depdagri, tapi benar-benar menjadi lembaga legislatif, kejelasan status dan kedudukan anggota DPRD apakah masuk pejabat negara atau daerah, meningkatkan kinerja alat kelengkapan DPRD, dan penambahan fungsi perwakilan/representasi DPRD terhadap konstituennya. evy

14 November 2008

FPPP Minta Tangguhkan Renovasi Ruang Kerja di DPR

Sumber :mediaindonesia.com
Penulis : Akhmad Mustain
JAKARTA--MI: Renovasi ruangan kerja Anggota DPR RI dan penggantian lantai toilet serta pembangunan sepuluh ruang kerja baru yang menghabiskan dana Rp 33.469.101.000, sebaiknya ditunda. Karena belum semua anggota Dewan menyetujui, termasuk FPPP. "Kami meminta penundaan hngga akhir November, untuk mengadakan rapat pleno fraksi yang khusus membahas tentang renovasi tersebut," kata Wakil FPPP Lukman Hakiem di Jakarta, Rabu (12/11).
Menurut Lukman, dana renovasi ruang kerja lama dan penggantian lantai toilet memakan biaya Rp. 26.263.848.000 sedangkan sisanya Rp. 7.205.253.000,- untuk membuat ruang kerja baru yang akan digunakan oleh sepuluh tambahan anggota DPR mendatang. Lebih lanjut ia menambahkan, harusnya dengan pencitraan DPR yang semakin menurun perlu dibicarakan urgensi renovasi ruang kerja tersebut. Serta, penangguhan itu dirasa perlu karena pemberitahuan pelaksanaan renovasi tersebut dilakukan pada saat anggota Dewan melakukan kunjungan kerja/kembali ke daerah pemilihannya. "Kalaupun dilanjutkan, saya meminta kepada Sekjen agar ruangan yang ditempati FPPP, lantai 15-16 ditunda hingga awal persidangan II tahun Sidang 2008-2009," tandas Lukman.
Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Indria Muaja membenarkan adanya renovasi ruang kerja Anggota Dewan. "Pada Senin (11/11) kita, BURT dan Sekjen sudah keliling dan melakukan pengecekan terhadap ruangan yang perlu diperbaiki," ujarnya. Katanya, renovasi itu untuk membuat ruangan/sekat bagi para staf ahli Sekjen maupun staf ahli dari 550 anggota dewan. Mengenai angka yang cukup besar, sudah sesuai dengan grand desain supaya awet sehingga tidak perlu melakukan renovasi berulang kali. "Untuk detail lebih jelasnya anda silahkan tanya Sekjen aja," kilahnya.
Saat dihubungi terpisah, Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengungkapkan bahwa angka tersebut sudah final dan mendapat persetujuan BURT. "Kita akan segera melakukan sosialisasi kapada fraksi-fraksi, terutama FPPP," kata Nining.
Sementara itu, Sekretaris Jendral Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widyoko menyatakan bahwa itu adalah semangat untuk menghabiskan anggaran. "Kalau dana itu tidak digunakan akan dikembalikan kepada kas negara, mereka tidak akan mendapat apa-apa," sahutnya. Ia mengharapkan bahwa yang direnovasi memang benar-benar rusak. "Ya bisa saja itu untuk membuat para anggota kerasan berada di kantornya, dimana selama ini mereka jarang sekali datang," kelakarnya. (*/OL-03)

30 Oktober 2008

Semua Fraksi Sepakat, Ketua DPR Hanya Juru Bicara


Sumber : mediaindonesia.com
Penulis : Akhmad Mustain


JAKARTA--MI: Fungsi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang saat ini dinilai terlalalu besar. Dalam pembahasan RUU Susduk mayoritas meminta agar Ketua DPR hanya diberi kewengan sebagai pubic speaker. "Rata-rata fraksi memberikan pandangan sama, Ketua DPR hanya sebagai speaker of the house," kata Ketua Rancangan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (RUU Susduk) Ganjar Pranowo di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (20/10).


Menurut Ganjar, Ketua DPR memang tidak bisa serta-merta mengemukakan pendapat sebelum memperoleh laporan dan konfirmasi dari alat kelengkapan DPR. "Sehingga tidak ada lagi ketua dewan berkomentar sekenanya sebelum bertemu dengan pimpinan komisi," tegas Ganjar.


Semetara itu, Anggota Pansus Susduk dari Fraksi PPP, Lukman Hakiem, menyatakan kalau cuma sebagai public speaker langsung diberikan haknya kepada partai pemenang pemilu, kecuali jika wewenang politik yang diberikan kepada Ketua DPR lebih besar. "Biarlah Ketua DPR mencerminkan pemenang Pemilu," Kata Hakiem. Oleh karena itu, kata Hakiem, sebagai speaker dia tetap harus mempunyai dukungan politik dari mayoritas anggota. "Jadi sebaiknya tidak dipilih secara langsung, tapi melalui mufakat didasarkan pada perimbangan jumlah perolehan kursi di DPR," tutur Hakiem.


Menteri Dalam Negeri Mardiyanto yang juga hadir dalam rapat tersebut mengemukakan penentuan Ketua DPR berdasarkan pada urutan perolehan kursi untuk memberikan penghargaan kepada parpol yang memperoleh kursi. "Hal ini positif bagi terwujudnya persaingan yang positif," ujar Mardiyanto. Makanya, kata Mardiyanto, tidak perlu melakukan pemilihan langsung terhadap kandidat untuk ketua DPR, tapi sebaiknya mekanisme pemilihannya dilakukan dengan musywarah mufakat.


Nada berbeda dilontarkan oleh anggota Pansus lainnya dari FPKS, Fachri Hamzah, meskipun hanya public speaker, tetap harus punya kemampuan manajerial. "Jangan dewan dibiarkan liar tanpa kendali, harus tetap ada mekanisme pemilihan untuk mendapatkan individu terbaik, karena DPR bukan hanya fungsi speaker tapi juga manajerial," tandas Fachri. "Figur pemimpin sangat penting, sangat memengaruhi kinerja kita, gagasan yang baik, karena saat ini sistem demokrasi murni dimana individu yang lebih dinilai dan inilah yang harus diunggulkan," tuturnya.


Dalam kesimpulan akhirnya, Ganjar akan membawa kalusul yang berkaitan dengan pimpinan DPR dipilih menurut perolehan suara, juga hal teknis seperti adanya nominasi atau tidak akan dibahas ke Panja. Selain itu, Ganjar berujar, akan menyerahkan tentang fungsi pimpinan sebagai speaker saja atau diberi kewenangan lebih luas, juga akan dibahas di panja dengan catatan adanya kesepakatan dalam pertemuan di 'Kopo', bahwa fungsi pimpinan hanya sebagai speaker, peran ini ada pada anggota DPR. (*/OL-03)

24 Oktober 2008


PENDAPAT AKHIR
FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DPR RI
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
Disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa, 21 Oktober 2008
Oleh Juru Bicara Fraksi PPP DPR RI : Lukman Hakiem
No Anggota : A-31



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang Kami Hormati Pimpinan Sidang,
Yang Kami Hormati Menteri Sekretaris Negara RI,
Yang Kami Hormati Menteri Hukum dan HAM RI,
Yang Kami Hormati Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI,
Yang Kami Hormati Rekan-rekan Anggota Dewan,
Dan Hadirin yang berbahagia,

Marilah kita mengucapkan syukur alhamdulillah karena atas izin Allah subhanahu wata’ala kita semua dapat menghadiri dan mengikuti Pembicaraan Tingkat II mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara dalam keadaan sehat wal afiat. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para keluarga dan sahabatnya. Semoga kita semua termasuk ke dalam orang-orang yang mendapat ridha Allah dan syafa’at rasul-Nya di akhirat nanti.

Sidang yang terhormat,

Setelah lebih dari tiga tahun dibahas, pada hari ini kita akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara ini. Lamanya pembahasan menunjukkan tingginya tingkat kepentingan sekaligus tingkat kegentingan RUU ini.

Tingginya tingkat kepentingan bisa difahami dari kenyataan bahwa setelah 63 tahun Indonesia merdeka, baru hari ini kita akan memiliki Undang-undang tentang Kementerian Negara. Tingginya tingkat kegentingan, sangat terasa di awal proses pembahasan. Ketika itu, ada beberapa anggota kabinet yang kuatir RUU ini akan melikuidasi kementerian yang mereka pimpin. Padahal RUU tentang Kementerian Negara, sebagai RUU usul DPR, disusun semata-mata karena kepatuhan kita kepada Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa ”pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.”

Akibat situasi itu, jika hari ini kita bersepakat mengesahkan RUU ini, maka inilah RUU yang amat sangat kompromistis!

Dengan RUU ini, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia akan lebih tertata rapi. Sebab, semua lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, yakni MPR, DPR, DPD, KPU, Bank Indonesia, BPK, MA, KY, dan MK telah diatur dalam dan dengan undang-undang tersendiri. Bahkan, pemerintahan desa dan pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa, telah dan akan diatur dalam suatu undang-undang tertentu.

Adanya UU yang khusus mengatur lembaga-lembaga negara tersebut membuktikan negara ini adalah negara hukum, negara yang berbasis pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Fraksi PPP mencatat, meskipun RUU lahir dari banyak sekali kompormi politik, nilai limpah RUU ini terletak pada paling sedikit dua hal. Pertama, pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh presiden. Pasal 15 RUU menyatakan jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 menteri. Kedua, penegasan pada Pasal 19 mengenai perlunya pertimbangan DPR dalam pengubahan kementerian sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian.

Fraksi PPP menyambut baik lahirnya dua pasal itu mengingat setiap pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian (sesungguhnya juga dalam hal pembentukan) pada dirinya menyangkut langsung anggaran pendapatan dan belanja negara.

Sidang yang terhormat,

Fraksi PPP menekankan pentingnya sikap dan jiwa kenegarawanan bagi seorang menteri, selain syarat-syarat bertakwa, memiliki integritas dan kepribadian yang baik, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan mampu bekerja sama sebagai pembantu presiden.

Setiap menteri harus loyal kepada negara. Loyalitas kepada negara harus utuh dan menyeluruh, serta tidak dapat dipecah kepada kepentingan pribadi, partai atau golongan. Sudah selayaknya setiap menteri mencurahkan sepenuhnya waktu, tenaga, dan pikirannya kepada kepentingan negara dan rakyat. Semangat ini akan akan meminimalisir kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, partai, dan atau golongan.

Dalam kaitanya dengan hal ini, Fraksi PPP mengingatkan agar dalam mengangkat para menterinya, Presiden menghindari sikap yang mempertentangkan orang partai dengan orang bukan partai. Cara-cara mempertentangkan orang partai dengan orang bukan partai, disertai pembentukan opini publik untuk bersikap antipati terhadap partai politik adalah cara-cara yang secara sistematis telah dikembangkan oleh rezim Orde Baru dan telah mengakibatkan terpasungnya kedaulatan rakyat selama lebih dari tiga puluh tahun.

Para menteri dapat direkrut dari berbagai sumber yang tersedia: partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, pengusaha, birokrat, dan sebagainya. Akan tetapi, ketika seseorang telah menjadi menteri, dari mana pun dia bersumber, dia harus menomorsatukan kepentingan negara dan bangsa. Karena itulah, yang sangat penting dalam rekrutmen para menteri adalah integritas dan kepribadian yang baik.

Mengakhiri pendapat ini, marilah kira simak dan renungkan kembali kalimat-kalimat dalam Penjelasan UUD 1945 yang meskipun sudah dihapus tetapi tetap terasa kedalaman maknanya. “Menteri-menteri negara bukan pegawai biasa. Meskipun kedudukan menteri negara tergantung dari pada presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvor executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah, para menteri itu pemimpin-pemimpin negara.”

Dapat ditambahkan, para menteri itu bukan sekadar pemimpin-pemimpin organisasi kemasyarakatan, organisasi politik dan lain-lain. Mereka, utamanya adalah pemimpin-pemimpin negara. Begitulah para pendahulu kita meninggikan derajat para menteri.

Dengan mempertimbangkan semua hal yang dikemukakan di atas sambil bertawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala dan dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Kementerian Negara disyahkan menjadi Undang-undang tentang Kementerian Negara. Semoga Allah subhanahu wata’ala. memberikan rahmat dan ridla-Nya sehingga undang-undang ini bermanfaat bagi rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas perhatian pa subhanahu wata’ala para Menteri, Pimpinan dan Anggota Dewan, para wartawan serta hadirin yang terhormat, saya ucapkan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

18 Oktober 2008

Natsir : Beberapa Kenangan

Belasan tahun berpulang, Natsir masih dikenang secara khusus dalam ingatan banyak orang. Berikut ini beberapa petikan pengalaman sejumlah tokoh yang mengenal Natsir secara pribadi.

Lukman Hakiem, 51 tahun
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/bekas redaktur Media Dakwah)
Saya mengenal Natsir ketika saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta pada 1983. Saya sering berkunjung ke kantornya di Dewan Dakwah di Jakarta. Ada beberapa kejadian yang selalu muncul dalam kenangan saya manakala saya mendengar namanya.
Pernah dia memarahi saya habis-habisan. Ini terkait dengan tulisan saya di majalah Kiblat. Untuk menarik pembaca, kami membuat laporan mengenai Al-Quran. Di sampul majalah, kami menulis judul: ”Al-Quran Ditinjau Kembali”. Ketika itu Pak Natsir berusia 79 tahun.
Ditinjau di sini maksudnya dibaca kembali. Saya berusaha menelepon untuk menjelaskan secara langsung, tapi telepon diangkat orang lain. Lalu Pak Natsir menelepon saya dan mengatakan, ”Tidak ada bincang-bincang!” Telepon ditutup. Saya berpikir, ”Habis nih, saya.” Ternyata kemarahannya tak berlanjut.
Selanjutnya adalah perdebatan panas yang berakhir obrolan santai. Ini terjadi ketika saya bekerja di majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah. Suatu ketika, dia mengirimkan memo kepada pemimpin redaksi. Pak Natsir meminta majalah ini tidak memuat tulisan seseorang karena isinya dinilai bermasalah. Ini terjadi sekitar 1992.
Saya protes dan mendatangi rumahnya. ”Apa bedanya Anda dengan Soeharto yang melarang penulisan?” Pak Natsir balas mendebat hingga menunjuk-nunjuk saya. Ini berlangsung sekitar setengah jam. Terkadang dia memukul meja di ruang tamu.
Meski alot, saya sebagai bawahannya tidak diusir, apalagi dipecat. Kami sepakat tak ada titik temu. Lalu kami alihkan pembicaraan ke topik lain. Dan dia bisa mengobrol dengan relaks bahkan tertawa. Pak Natsir mengantar saya sampai ke teras ketika saya pamit.
Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008

Chris Siner Key Timu, 68 tahun
(Penanda tangan Petisi 50)
Saya kenal Mohammad Natsir sebagai pelaku sejarah, sebagai mantan perdana ­men­teri, pengusul Mosi Integral yang menyelamatkan terpecah­nya Indonesia. Kemudian ia menentang komunisme sehingga bentrok dengan Soekarno.
Sikap kritis terhadap pemerintah tetap ia perlihatkan di masa Orde Baru.
Kami bersama menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980, yang isinya mempertanyakan pernyataan Presiden tentang asas tunggal. Pak Natsir selalu hadir dalam diskusi di rumah Ali Sadikin. Saya melihat dia gigih, tidak berjuang untuk kebanggaan dan kebesaran dirinya.
Hidupnya sederhana sekali. Hal itu ditularkan kepada kami yang muda-muda. Kalau berdebat amatlah santun. Tidak membalas kata-kata kasar. Saya tak pernah mendengar dia memaksakan pandangan, misalnya soal Islam. Dia mengirim bunga ke rumah saya kalau Natal, saya ke rumahnya setiap Lebaran di Jalan Cokroaminoto di Menteng, Jakarta Pusat.
Mohammad Chudori, 83 tahun
(Bekas wartawan Antara dan Jakarta Post)
Saya mulai berkunjung ke rumah Pak Natsir di Jalan Jawa 28, Jakarta Pusat, pada 1945. Waktu itu saya tinggal di Bogor dan menjadi salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam di sana. Rumahnya kecil, tapi penghuninya banyak sekali. Selain keluarga, ada sejumlah kerabat yang tinggal di sana. Saya menganggap rumah itu seperti rumah saya sendiri. Saya sering makan dan tidur di sana.
Sekitar 1948, saya menjadi letnan dua Tentara Keamanan ­Rak­yat dan melatih Laskar Hizbullah di Bogor. Setelah Sili­wangi­ hijrah ke Yogyakarta, Laskar masih menyimpan senjata. Waktu itu saya dihubungi utus­an Kartosoewirjo. Dia mengajak saya menjadi anggota Negara Islam Indonesia. Mereka ingin menguasai Laskar. Saya menjawab bahwa saya sudah dibaiat. Tapi utusan itu memaksa. Saya khawatir karena mendengar kabar ada kawan di Bandung ditembak karena menolak bergabung.
Saya pun menemui Pak Natsir. Dia dengan tenang menjawab, ”Hanya kamu yang bisa memutuskan mau bergabung dengan mereka atau tidak.” Saya akhirnya memutuskan tetap bersama Hizbullah dan Masyumi.

Herman Nicolas Ventje Sumual, 85 tahun
(Proklamator Permesta)
Saya pertama kali bertemu dan berkenal­an dengan Mohammad Natsir pada 1957 di Padang, Sumatera Barat. Ketika itu kami membicarakan rencana Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Selain kami, yang hadir ketika itu antara lain Sjafroeddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pertemuan ini berlangsung karena tidak ada kelanjutan dialog di Jakarta untuk menyatukan kembali dwitunggal Soekar­no-Hatta.
Dari persinggungan saya dengan Natsir, saya harus jujur mengatakan dia adalah sosok pemimpin bangsa.
Setelah itu, saya tidak banyak berhubungan dengan dia hingga kemudian kami bertemu kembali dengan status tahanan setelah Jakarta memberangus pergolakan. Kami ditempatkan di Rumah Tahanan Militer Jakarta. Saya ­ingat pada setiap akhir tahun masing-masing tahanan berpidato.
Ketika gilirannya tiba, Natsir selalu mengucapkan: ”Mudah-mudahan ini pidato kita yang terakhir.”
Setelah peristiwa 30 September 1965, orang-orang Partai Komunis Indonesia bergabung bersama kami di tahanan. Setahun kemudian, 26 Juli, datanglah Adnan Buyung Nasution—yang ketika itu sebagai jaksa. Dia membawa surat dan mengumumkan kepada kami: ”Bapak-bapak mulai hari ini bebas.”

Amien Rais, 64 tahun
(Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Pertama kali mengenal Natsir secara pribadi setelah 1980-an. Saya sering ke rumahnya di Menteng, ke Masjid Munawwarah di Kebon Kacang, kemudian Dewan Dakwah di Gang Kramat, Jakarta Pusat. Di rumahnya terpampang potongan ayat terakhir surat Al-Ankabut, yang menyerukan manusia berjuang ikhlas di jalan Allah. Saya kira ini yang men­jadi dorongan se­mangat dia ­berjuang.
Jauh sebelum kenal dekat, saya sudah akrab dengan namanya. Kebetulan ibu sa­ya pengagum Natsir. Suatu ke­tika Natsir datang ke Solo ada ra­pat Masyumi. Saya bangga sekali karena saya membacakan Al-Quran dalam acara tersebut. Ketika itu saya kelas VI sekolah rakyat. Toh, ibu saya sempat kecewa melihat Natsir memegang gelas dengan tangan kiri. Rupanya di mata Ibu, Natsir harus sem­purna.
Pada 1957, ketika saya kelas I sekolah menengah pertama, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Ibu mengatakan, kalau Natsir menang, kita pindah ke Padang. Terpengaruh Ibu, saya mulai kagum kepada Natsir. Saya makin kagum ketika membaca buku karangannya, Ca­pita Selecta. Ia me­nguasai ilmu aga­ma dan pengetahuan umum yang luas.
Sumber : Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008

10 Oktober 2008




PENDAPAT AKHIR
FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN DPR-RI
TERHADAP
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 2008 BESERTA NOTA KEUANGANNYA
Disampaikan pada Rapat Paripurna Terbuka DPR-RI, 9 Oktober 2007
Oleh Juru bicara FPPP DPR-RI : H. Lukman Hakiem
Anggota DPR-RI Nomor : A-31



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang terhormat Saudara Pimpinan Rapat,
Yang terhormat Saudara Presiden Republik Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan dan jajarannya,
Yang terhormat rekan-rekan Anggota Dewan,
Hadirin yang berbahagia.

Cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara adalah suatu ukuran bagi sifat pemerintahan negara. Dalam negara yang berdasar fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan undang-undang. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan dewan perwakilannya.
Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya.
Tiga alinea di atas adalah kutipan langsung dari apa yang dulu disebut sebagai Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Meskipun sejak reformasi, Penjelasan Undang-Undang Dasar itu telah ditiadakan, akan tetapi kalimat-kalimat di atas yang menegaskan kepada kita akan makna hakiki dibahasnya APBN oleh DPR, tidak serta merta dapat ditiadakan. “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri.”
Pertanyaannya, apakah Rancangan Undang-undang APBN 2008 yang nasibnya akan kita putuskan hari ini, sudah mencerminkan makna hakiki proses dan keberadaan APBN seperti dimaksud oleh para pendiri Republik?
Jika demokrasi dimaknai semata-mata sebagai prosedur dan mekanisme, tiada keraguan sedikit pun untuk menyatakan bahwa RUU RAPBN 2008 telah memenuhi seluruh syarat, prosedur, dan mekanisme demokrasi.

Pimpinan Rapat dan Hadirin yang terhormat,
Sejak 62 tahun silam, konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Oleh empat kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bunyi Pasal 34 itu sama sekali tidak diutak-atik. Pertanyaannya, dengan bertahannya rumusan tersebut, apakah ada perubahan pada nasib kaum fakir miskin, kaum mustadh’afin, dan kaum marhaen?
Kehidupan rakyat sampai sekarang belum membaik. Bahkan kini beban ekonomi rakyat bertambah berat karena meningkatnya harga kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng dan gas elpiji, sementara akses rakyat terhadap fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan, pangan dan papan juga semakin tidak terjangkau.
Kemajuan dalam pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan, sementara ledakan kemiskinan dan pengangguran dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial baru seperti ancaman kekerasan dan kriminalitas hingga tindakan bunuh diri karena tekanan ekonomi yang semakin berat.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (Fraksi PPP) menyadari, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran diperlukan pergerakan ekonomi yang tinggi, jauh melampui sasaran dan target yang dicapai pemerintah selama ini. Seharusnya pemerintah mampu memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari angka konservatif sekitar 6,5 persen.
Fraksi PPP meminta pemerintah mencari terobosan guna mendorong pertumbuhan dan kesempatan kerja sambil menjaga stabilitas. Bukan sebaliknya, menjaga stabilitas ekonomi sambil mendorong pertumbuhan dan kesempatan kerja.
Fraksi PPP juga meminta pemerintah untuk memperhatikan sektor riil yang masih mengalami kelesuan yang ditandai oleh perkembangan industri manufaktur yang kini sudah berada diambang kehancuran. Sektor manufaktur yang dulu menjadi andalan ekspor nonmigas justru semakin terpuruk. Janji pemerintah memperbaiki iklim investasi tidak kunjung membaik, bahkan pengurusan perizinan investasi bukan tambah membaik tetapi justru tambah memburuk.

Rapat Paripurna Dewan yang terhormat,
Fraksi PPP sangat memprihatinkan masih rendahnya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN 2008 yang hanya sekitar 12% --jauh dari amanat konstitusi seperti termaktub dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari angaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah sangat terang benderang itu dikuatkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 46 ayat (2) UU Sisdiknas menegaskan: ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menegaskan: ”Dana pendidikan selain gaji pendidik dan pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
Sementara itu, hasil judicial review Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN bisa dipenuhi secara bertahap sesuai kemampuan keuangan negara bertentangan dengan pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Anggaran pendidikan minimal 20% tidak boleh dikurangi oleh peraturan perundang-undangan yang secara hirerkhis berada di bawahnya. Keputusan MK bersifat final, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melaksanakannya.
Perintah konstitusi yang sangat terang benderang itu ternyata masih juga mau disiasati. Alih-alih melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, pemerintah malah membelokkan pembicaraan pada wacana amandemen UU Sisdiknas dan formula anggaran pendidikan. Fraksi PPP mencatat munculnya dua wacana tersebut sebagai pertanda kuat memudarnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara murni dan konsekuen.
Fraksi PPP amat menyadari pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20% tidak akan serta merta menyelesaikan carut marutnya dunia pendidikan kita, tanpa pembenahan integral infra dan suprastruktur pendidikan. Oleh karena itu, jajaran Depdiknas dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan harus benar-benar mempersiapkan diri agar pada saatnya, anggaran pendidikan benar-benar tepat sasaran serta tidak lagi rawan korupsi dan manipulasi.
Fraksi PPP juga sangat memprihatinkan rendahnya kepedulian Pemerintah terhadap bidang kesehatan. Pemerintah tidak serius dalam memperhatikan rendahnya akses rakyat miskin terhadap biaya kesehatan dan buruknya pelayanan kesehatan. Kita amat prihatin, tatkala sektor-sektor seperti pendidikan dan kesehatan, tidak mendapat alokasi anggaran yang memadai sesuai amanat konstitusi, pada sisi lain pengeluaran negara didominasi oleh pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga utang luar negeri yang jumlahnya hampir mencapai Rp 200 triliun.
Jika angka Rp 200 triliun dibandingkan dengan anggaran pendidikan yang berkisar pada angka Rp 60 triliunan, kelihatan sekali pemerintah tidak memiliki visi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam membangun masa depan bangsa. Pemerintah tidak memiliki formula yang bermartabat dan tidak menunjukkan itikad baik dalam mengalokasikan anggaran bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Ini jelas bertentangan dengan amanat Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: ”Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.“

Pimpinan Rapat, Saudara Menteri, Hadirin yang terhormat,
Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dijaga keutuhannya tidak saja melalui cara-cara pertahanan dan keamanan serta diplomasi, tetapi juga melalui pendekatan administrasi dan politik anggaran. Dalam hubungan ini, Fraksi PPP meminta pemerintah untuk melihat kembali eksistensi pegawai negeri dan kaitannya dengan komponen gaji pegawai negeri di dalam Dana Alokasi Umum (DAU).
Sejak dulu, pegawai negeri adalah asset nasional yang secara administratif mampu merekatkan keragaman kita. Oleh karena itu, mengkotak-kotakkan pegawai negeri menjadi pegawai pusat dan pegawai daerah selain ahistoris juga menyalahi jatidirinya sebagai pegawai negeri NKRI. Fraksi PPP berpendapat, pegawai negeri seharusnya dikelola secara nasional. Dengan pengelolaan secara nasional maka mobilitas dan wawasan pegawai negeri tidak lagi seperti katak dalam tempurung, terbatas hanya di daerahnya saja, melainkan utuh menjadii bagian dari dan bebas bergerak di seluruh wilayah NKRI.
Dari sisi anggaran, Fraksi PPP mendesak pemisahan komponen gaji pegawai dikeluarkan dari DAU. Hal ini dimaksudkan juga agar anggaran belanja murni tidak lagi dikontaminasi oleh gaji pegawai, sehingga evaluasi kita terhadap DAU menjadi lebih jelas.

Pimpinan Rapat, Saudara Menteri, Hadirin yang terhormat,
Dengan berbagai catatan di atas, dan dengan kesadaran penuh bahwa rancangan APBN 2008 yang diajukan pemerintah belum sesuai dengan tuntutan konstitusi, bahkan ada yang terang-terangan mengabaikan konstitusi, sembari memohon ampun kepada Allah subhanahu wata’ala dan mengucap Bismilahirrahmanirrahiim, Fraksi PPP menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2008 beserta Nota Keuangannya untuk ditetapkan menjadi Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008.
Sikap ini terpaksa diambil, karena jika tidak, APBN kita akan kembali ke APBN tahun sebelumnya dengan segenap konsekuensi logisnya. Inilah pilihan dilemmatis buah simalakama!

Billahittaufiq wal hidayah,
Wassalamu`laikum warhamatullahi wabarakatuh.

Pendapat Akhir FPPP DPR-RI Terhadap Terhadap Rancangan UU Tentang Partai Politik


PENDAPAT AKHIR
FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
T E R H A D A P
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PARTAI POLITIK
===============================================================================
Disampaikan pada Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa, 04 Desember 2007
Oleh Juru Bicara Fraksi PPP DPR-RI : Lukman Hakiem
Anggota DPR-RI Nomor: A-31 ===============================================================================

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang terhormat Pimpinan Sidang,
Yang terhormat Menteri Dalam Negeri RI,
Yang terhormat Menteri Sekretaris Negara RI,
Yang terhormat Menteri Hukum dan HAM RI,
Rekan-rekan Anggota Dewan yang terhormat,
Hadirin yang berbahagia.

Setelah era reformasi 1998, untuk ketiga kalinya kita melakukan revisi terhadap UU Partai Politik. Di awal pembahasan muncul gagasan dan harapan agar ketika RUU ini disahkan, masa pemberlakuannya menjangkau waktu yang lebih lama, katakanlah hingga 20 (dua puluh) tahun. Jangan setiap kali akan menghadapi pemilu kita disibukkan lagi dengan keharusan merevisi UU tentang Partai Politik.

Revisi ini juga dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan, peran, dan fungsi partai politik dalam sistem politik nasional. Di masa lalu, partai politik distigmakan sebagai sumber instabilitas dan in-efisiensi. Hampir lebih setengah abad sejak Republik ini berdiri, baru pada era reformasi partai politik hidup dalam iklim yang kondusif dalam mendukung konsolidasi demokrasi di negeri ini. Insya Allah revisi yang ketiga ini diharapkan akan menjangkau waktu yang lebih lama, dan mendorong terbangunnya sistem kepartaian yang sehat, kuat, modern dan akuntabel serta terbangunnya citra positif tentang partai politik.

Sidang Dewan yang berbahagia,

Problematika awal dalam pembahasan RUU ini adalah bagaimana melakukan penataan secara komprehensif dan terukur tentang pembentukan partai politik dalam sistem multipartai. Apakah kita akan memperketat atau melonggarkan syarat pendirian partai politik. Sementara itu dengan intens publik terus memantau pembahasan atas RUU ini. Wacana yang terbangun di publik adalah persinggungan antara partai lama dan partai baru.

Alhamdulillah pembahasan RUU ini telah berhasil menghindari terjadinya diktator mayoritas dan tirani minoritas, dengan mempertemukan dua alur aspirasi yang berkembang. Untuk syarat pendirian partai politik seluruh fraksi menyetujui dengan jumlah 50 (lima puluh) orang sudah dapat membentuk partai politik.

Sebagai partai yang menurut fitrahnya sangat menghormati kaum perempuan, Fraksi PPP mendukung optimalisasi peran politik perempuan melalui keterwakilan 30% (tiga puluh perseratus) perempuan sebagai pendiri partai politik dan dalam kepengurusan di tingkat pusat, juga dengan kewajiban memperhatikan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Regulasi ini secara nyata menerapkan affirmatif action pemberdayaan perempuan dalam kehidupan politik.

Fraksi PPP berpandangan, partai politik merupakan organisasi bersifat nasional, karena itu kepengurusannya harus tersebar dan terwakili di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ini sangat penting untuk mencerminkan bahwa kepengurusan partai politik bersifat nasional. Hal ini juga memberikan kewajiban pada partai politik untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Indonesia secara merata di seluruh Tanah Air. Karena itulah Fraksi PPP mendukung persebaran kepengurusan minimal 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi. Sedangkan untuk persebaran kepengurusan tingkat kabupaten/kota 50% (lima puluh perseratus) pada provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) kepengurusan di tingkat kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan sudah cukup memadai.

Sidang Dewan yang terhormat,

Salah satu fungsi partai politik yang belum optimal dijalankan adalah pendidikan politik. Di tengah era keterbukaan dan meningkatnya partisipasi politik masyarakat dalam merespon kebijakan maupun menghadapi pemilu legislatif dan eksekutif serta pilkada, terbangun dinamika politik yang tinggi. Di sisi lain kita menghadapi ancaman pragmatisme dan anarkisme politik.

Dengan adanya ketentuan mengenai pendidikan politik secara detail ini diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi pendidikan partai politik yang dilakukan partai politik dalam rangka meningkatkan partisipasi politik, meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat, mewujudkan kemandirian, menumbuhkan kedewasaan dan membentuk karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan.

Berkaitan dengan pengaturan keuangan partai politik, Fraksi PPP sependapat bahwa sumber keuangan partai politik terdiri atas; iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Dalam rangka memperkuat peran dan fungsi partai politik, maka selayaknya partai politik fokus dan profesional menjalankan peran dan fungsinya. Karena itu, manakala partai politik diberikan hak mendirikan Badan Usaha Milik Partai (BUMP) atau memiliki saham sebuah badan usaha akan mendistorsi sedemikian rupa peran dan fungsi partai politik. Munculnya BUMP akan menimbulkannya sejumlah persoalan dalam pengelolaan bisnis manakala perusahaan tersebut pailit dan berhutang, siapa yang bertanggung jawab. Dari sisi partai politik, akan menimbulkan konflik internal pengelolaan BUMP.

Lebih jauh lagi, kehadiran BUMP akan membuka kesempatan luas terjadinya KKN. Partai politik adalah lembaga politik dan BUMP adalah lembaga ekonomi, ketika keduanya disatukan yang akan terjadi abuse of power. Dalam demokrasi, kekuasaan harus dibatasi. Lord Acton mengingatkan “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely “ (Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan absolut sudah pasti disalahgunakan). Karenanya menjadi kewajiban kita untuk membatasi peran dan fungsi partai politik hanya untuk memperkuat demokrasi (politik), bukan untuk membangun bisnis (ekonomi) sebagai sumber keuangan bagi partai politik.

Dalam hal pengelolaan keuangan partai, sumber-sumber keuangan dan penggunaannya harus mengikuti prinsip-prinsip organisasi modern yaitu dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Karena itu, pengurus partai politik sesuai dengan tingkatannya memiliki kewajiban untuk menyusun laporan pertangggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berakhir dan terbuka untuk diketahui oleh masyarakat. Pengaturan ini merupakan salah satu pilar yang akan mendorong terciptanya good governance and clear government, dengan menjadikan partai politik sebagai lokomotif tidak hanya sebagai pilar demokrasi tetapi juga sebagai pilar untuk mewujudkan terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.

Sidang Dewan yang berbahagia,

Dalam proses pembahasan RUU ini, Fraksi PPP berpegang teguh kepada empat komitmen bangsa yang harus tetap tegak, terjaga, serta dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Pertama, nilai-nilai Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar negara. Kedua, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. Ketiga, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kelahirannya kembali pada tahun 1950 tidak dapat dilepaskan dari Mosi Integral Mohammad Natsir dkk. Melalui Mosi Integral Natsir itulah riwayat Republik Indonesia Serikat (RIS) diakhiri tanpa setetes darah pun yang tertumpah, tanpa seorang pun yang kehilangan muka. Dengan Mosi Integral Natsir, Republik Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan. Keempat, kemajemukan masyarakat seperti tersurat dan tersirat pada nilai-nilai Pancasila dan terukir dalam semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika: beragam tapi bersatu.

Pancasila sesungguhnya mengandung keselarasan antara keragaman dan persatuan. Yang satu tidak dapat tanpa yang lain. Mengutamakan keragaman dapat merusak persatuan. Sebaliknya, mengutamakan persatuan dengan menghilangkan keragaman akan mengantarkan kita kepada resimentasi kehidupan bermasayrakat, berbangsa, dan bernegara yang akan mempersempit ruang inisiatif, kreativitas, dan dinamika.

Pancasila adalah wadah dari berbagai ideologi dan pandangan hidup yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Itu berarti, di dalam Pancasila, tiap-tiap ideologi, asas, dan pandangan hidup –sepanjang tidak berlawanan dengan Pancasila-- dapat hidup secara harmonis dan damai. Itulah prinsip dasar Bhinneka Tunggal Ika kita. Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk membunuh atau melenyapkan ideologi dan asas keyakinan yang berkembang di tengah masyarakat.

Sepanjang keragaman motivasi dan aspirasi tidak bertujuan mengubah asas dan sifat NKRI, seharusnya kepada mereka diberi kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengutarakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Menjadi kewajiban seluruh anak bangsa untuk menjaga kemurnian makna dan fungsi dasar negara Pancasila sebagai titik pertemuan dan pemersatu bangsa Indonesia.

Sidang Dewan yang terhormat,

Dalam hubungan ini, penting kita segarkan kembali ingatan kita kepada pidato Presiden Soekarno di depan Gerakan Pembela Pancasila (GPPS) pada tanggal 17 Juni 1954 di Istana Negara. Di bawah judul ”Anjuran kepada Segenap Bangsa,” Bung Karno antara lain berkata: ”Jangan Pancasila diakui oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Pancasila adalah asasku.

”PNI tetaplah kepada asas marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berasas marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah satu ideologi partai, lalu partai-partai lain tidak mau.

”Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara, dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.”

Akankah Bung Karno yang sejak semula kita akui sebagai penggali Pancasila, kita cap anti-Pancasila, hanya karena Pemimpin Besar Revolusi itu melarang Pancasila dijadikan asas sesuatu partai? Di mana letak logikanya?

Sidang Dewan yang terhormat,

Syukurlah, sesudah melalui perdebatan alot, panjang, dan melelahkan kita menemukan jalan keluar dari pembicaraan krusial mengenai asas/ciri partai politik dengan bersama-sama kembali kepada rumusan pemerintah dengan tambahan ayat (3) baru.

Terhadap rumusan Pasal 9 ayat (3) itu, Fraksi PPP mengingatkan bahwa Pancasila tidak datang dari awang-awang atau dari ruang hampa udara. Pancasila adalah sejumlah nilai yang digali dari khazanah budaya dan kehidupan bangsa Indonesia. Bung Karno sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan Pancasila dalam Pidato 1 Juni 1945, tidak pernah menyebut dirinya penemu atau pencipta Pancasila. Bung Karno selalu menyebut dirinya sekadar sebagai penggali Pancasila.

Oleh karena itu, rumusan Pasal 9 ayat (3) haruslah dimaknai bahwa asas/ciri partai politik merupakan penjabaran nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat sebagaimana termaktub secara singkat dan padat dalam alinea terakhir Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan pemahaman seperti ini, terhindarlah kita dari kemungkinan mendikotomikan atau mengalternatifkan Pancasila dengan ideologi dan asas keyakinan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

Berdasarkan uraian dan pertimbangan di atas, dengan berserah diri pada Allah, Fraksi PPP dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrohim menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik ditetapkan menjadi undang-undang. Kami berharap RUU ini dapat menjadi dasar yang kukuh untuk tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik di negeri ini, memperkuat bangunan demokrasi bangsa ini, dan menjadi pendorong untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Undang-undang ini kelak harus makin meneguhkan komitmen kita terhadap dasar negara Pancasila, konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan NKRI, dan kemajemukan masyarakat kita.

Terima kasih kami kepada Pimpinan Sidang, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, rekan-rekan Anggota Dewan, rekan pers, dan hadirin yang dengan sabar mendengarkan pidato kami.

Wabillahittaufiq wal hidayah,
Wassalamu`laikum warahmatullahi wabarakatuh.

09 Oktober 2008

Peran DPD Akan Diperkuat


Thursday, 09 October 2008
JAKARTA(SINDO) – Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan sedikit diperkuat, terutama dalam keikutsertaan membahas undang-undang di DPR.

Perkuatan peran DPD ini akan dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,DPD, dan DPRD (RUU Susduk). Anggota Pansus RUU Susduk Lukman Hakiem mengatakan, peran DPD nantinya tidak hanya menyampaikan pandangan di awal proses pembahasan UU seperti saat ini. ”Kalau sekarang, DPD ibarat mengantar UU sampai pintu kamar,tidak ikut ke dalam kamar,” tandas Lukman di Gedung DPR Jakarta kemarin. Menurut dia, dengan peran seperti itu, DPD tidak dapat mengetahui pembahasan yang terjadi di dalam DPR. Karena itu, ada wacana atau usulan agar DPD dilibatkan sampai ke dalam pembahasan UU di DPR.


Meski demikian, DPD tidak bisa memberikan suara atau mengesahkan UU. ”DPD bisa masuk dalam kamar,katakanlah satu orang jadi peninjau. Dia punya hak bicara tapi tidak punya hak suara. Voting dia tidak dihitung,” paparnya.Lukman mengatakan, peran DPD dalam pembahasan UU memang tetap terbatas, yakni terbatas sesuai dengan koridor konstitusi. Karena itu, mustahil mengabulkan usulan agar DPD menjadi satu fraksi dalam pembahasan UU. ”Kita menyatukan pendapat satu fraksi saja susah, apalagi ditambah fraksi DPD,” ucapnya. Lukman juga menambahkan, pembahasan RUU Susduk tidak akan dilakukan pasal demi pasal.Namun, akan dibahas per kluster.Dengan demikian pembahasannya diharapkan cepat tuntas.


Menanggapi hal ini,Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita mengingatkan DPR dan pemerintah agar merumuskan fungsi, tugas, dan wewenang DPD di RUU Susduk sesuai konstitusi. ”Jangan merumuskan undang-undang berdasarkan pertimbangan kepentingan jangka pendek atau sesaat,”tandasnya. Dalam menyusun RUU Susduk, Ginandjar menyatakan harus sesuai dengan konstitusi agar berdasarkan pertimbangan kepentingan bangsa dan negara dapat diakomodasi secara keseluruhan.
Jika peran DPD di UU Susduk sesuai konstitusi, DPD tidak akan mengajukan uji materi (judicial review) RUU Susduk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ginandjar melanjutkan, UU Susduk yang kini berlaku (UU 22/2003) cenderung mengatur DPR dan DPD secara terpisah. Padahal, keduanya merupakan satu kesatuan lembaga parlemen yang saling bekerja sama satu sama lain. Akibatnya, tidak diatur mekanisme bagi DPD untuk terlibat dalam pembahasan RUU bersama pemerintah dan DPR. ”Atau mekanisme jika suatu RUU yang disetujui pemerintah dan DPR, tetapi ditolak DPD,” ujarnya. Selain itu, dalam UU itu juga tidak diatur keberadaan semacam panitia atau komisi bersama antara DPR dan DPD yang memungkinkan kedua lembaga ini bekerja optimal dalam peran keparlemenan. (dian widiyanarko

04 Oktober 2008

Menjadi Indonesia



MENJADI INDONESIA
(Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934)
Oleh Lukman Hakiem
Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pemabangunan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

SEJAK berabad-abad, umat Islam bukan saja telah menyatu dengan sejarah bangsa bahkan dalam keadaan apa pun selalu tampil menjadi pelopor dan pembela bangsa. Peranan ulama dan zu’ama (pemimpin) dalam sejarah perjuangan bangsa kita, tidak mungkin diabaikan. Beberapa nama yang sudah sangat populer, dapat kita sebut: Teuku Umar, Cut Nyak Din, Imam Bonjol, Fatahillah, Diponegoro, Antasari, dan Hasanuddin.


Pada masa perjuangan politik sebelum proklamasi kemerdekaan yang dimulai dengan bangkitnya kesadaran sebagai umat yang bermartabat, ditandai dengan lahirnya Serikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905, peran ulama dan zu’ama juga cukup signifikan. Sekadar menyebut beberapa nama: K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur, K.H.M. Hasjim Asj’ari, K.H. Ahmad Sanusi, K.H. Abdul Halim, H. Samanhudi, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Samanhudi dan kawan-kawan telah membangkitkan kesadaran umat sebagai pribumi yang ladang ekonominya dikuasai orang-orang asing. Tjokroaminoto dan Agus Salim membangkitkan kesadaran umat di bidang politik. Di bidang agama, pendidikan, dan sosial, kesadaran umat dibangkitkan oleh Ahmad Dahlan, Hasjim Asj’ari, Ajengan Sanusi, dan lain-lain.

Ketika kesadaran politik umat sudah makin meluas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa, pada 1925 para mahasiswa kita di Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Peristiwa ini jelas bukan sekadar pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih tegas dari perjuangan organisasi itu, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah yang saya ketahui, inilah untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi dilekatkan pada nama suatu organisasi

Sesudah peristiwa heroik pada 1925 itu, pada 1926 dalam kongresnya yang pertama nama Indonesia dilekatkan pada nama organisasi Indonesia Moeda. Nama Indonesia dikuatkan lagi dua tahun kemudian pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kebetulan atau tidak, ketika Indische Vereeniging berubah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia, ketua organisasi tersebut adalah Soekiman Wirjosandjojo yang sekembalinya di tanah air dikenal sebagai salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ketua Partai Islam Indonesia (PII), dan Ketua Umum pertama partai politik Islam legendaris Masjumi. Sampai Masjumi membubarkan diri pada 1960, Soekiman adalah Wakil Ketua Umum Masjumi.

Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan yang dengan tegas diberi nama Nationale Indonesisch Padvindery (Natipy). Bukan Nationale Islamitisch Padvindery seperti ditulis di beberapa buku sejarah.

SPIKA dan PAI
Dalam kaitan dengan peran ulama dan zu’ama ini, ada peristiwa yang cenderung dilupakan sejarah yakni Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di Semarang, 4 Oktober 1934, berbunyi sebagai berikut:
1. Tanah air peranakan arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana);
2. Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi);
3. Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Dari prespektif hari ini, barangkali terasa aneh ada sumpah pemuda tetapi memakai embel-embel keturunan Arab. Akan tetapi, dari prespektif dekade-dekade awal abad XX, ketika di antara orang-orang Arab yang lahir di Hadramaut (wullaiti) dan orang-orang Arab keturunan Hadramaut yang lahir dan beribu Indonesia (muwallad), atau antara kaum sayyid dan bukan sayyid, antara kelompok al-Rabithah dan al-Irsyad, tidak pernah bisa bertemu, hidup ekslusif, dan tidak merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lahirnya SPIKA bukan saja terasa relevan, tetapi bahkan merupakan keniscayaan dalam proses pergerakan kebangsaan. Berdasarkan SPIKA itulah didirikan Partai Arab Indonesia (PAI).

Kedua peristiwa ini segera menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap waspada. Bagaimanapun, menurut strata hukum yang berlaku pada masa itu, orang Arab dikategorikan sebagai orang Timur Asing, dan karena itu derajatnya setingkat di bawah orang Belanda dan Eropa serta setingkat di atas orang pribumi yang secara merendahkan disebut inlander. SPIKA dan PAI telah memilih tempatnya di antara rakyat Indonesia asli. Pilihan SPIKA dan PAI untuk menjadi Indonesia menunjukkan aktivisnya adalah kelompok radikal, progresif revolusioner, dan siap menghadapi segala resiko. Jika sikap itu menular kepada yang lain, bisa diduga apa yang akan terjadi di ranah pergerakan kebangsaan.
Kaum pergerakan nasional yang merasa mendapat kawan, bersukacita dengan dicetuskannya SPIKA dan lahirnya PAI. Di tengah sikap keras pemerintah kolonial Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan para aktivis politik serta membubarkan partai politik berhaluan radikal, SPIKA dan PAI dianggap sebagai darah segar bagi pergerakan nasional.

Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan nasional di seluruh tanah air, memberitakan dan mempropagandakan kelahiran SPIKA dan PAI sebagai gerakan yang sangat progresif. Tidak heran jika para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI, sehingga dalam waktu singkat PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) karena PAI yang berasas Islam pada pasal II Anggaran Dasarnya, mengakui:
a. bahwa Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah tanah airnya, yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban;
b. bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya wajib diutamakan.
Pada pasal III, PAI merumuskan tujuan dan usahanya sebagai berikut:
1. Mendidik peranakan Arab supaya menjadi puttra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya.
2. Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial, yang menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia.

Menolak politik golongan
PAI juga diterima menjadi anggota Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI yang nasionalistis itu berasaskan Islam. Tidak banyak partai yang diterima sekaligus sebagai anggota GAPPI dan MIAI. Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Inilah pengakuan bahwa warga keturunan Arab di Indonesia diterima dan diakui sebagai putera Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang, seluruh partai politik, termasuk PAI dibubarkan. Dan ketika Indonesia merdeka, PAI tidak didirikan lagi. Jika di masa penjajahan, warga keturunan Arab merasa perlu menegaskan jati diri keindonesiaannya, di alam kemerdekaan pimpinan dan para anggota PAI menolak politik “kegolongan yang berdasarkan minoritas.”

Konsisten pada sikap tersebut, sejak awal kemerdekaan bekas pimpinan dan anggota PAI masuk ke dalam berbagai badan perjuangan dan partai politik menurut alirannya masing-masing. Mr. Hamid Algadri menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), dan AR. Baswedan menjadi Menteri Muda Penerangan.

Pada pemilihan umum 1955, banyak warga keturunan Arab yang terpilih menjadi anggota parlemen dan Konstituante. Ini berbeda sekali dengan kelompok warga keturunan dan minoritas lainnya yang menjadi anggota parlemen dan konstituante karena diangkat oleh pemerintah.

Alhasil, banyak kader PAI yang bukan saja menjadi anggota, bahkan menjadi ketua parlemen di daerah, seperti Ali Gathmier di Palembang, Saleh Sungkar di Lombok, dan Abdullah Salim Basalama di Jakarta. Di masa ketika warga keturunan Cina dipinggirkan dari panggung politik, warga keturunan Arab tetap eksis di posisi-posisi penting pemerintahan. Ali Alatas, Quraish dan Alwi Shihab, adalah beberapa nama yang masih tetap eksis hingga kini, di samping banyak nama yang lain.

Tulisan ini sekadar ingin mengingatkan, betapa tidak mudahnya menjadi Indonesia. Para pendahulu kita dengan caranya masing-masing telah meretas jalan ke arah Indonesia. Sebagai generasi yang datang kemudian, kita harus mencatat semua peristiwa di masa lalu yang telah mempermudah kita menjadi Indonesia, bukan malah melupakan atau bahkan mencoretnya dari buku sejarah.

Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab dan pembentukan Partai Arab Indonesia hanyalah contoh dari proses menjadi Indonesia yang tampak sederhana tetapi sesungguhnya tidak mudah itu. Peristiwa ini pun cenderung makin dilupakan oleh sejarah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Jakarta, 04 Syawal 1429
04 Oktober 2008

Pendidikan SMK Akan Diutamakan

Laporan Wartawan Kompas Ichwan Susanto

MANOKWARI, KOMPAS - Pendidikan keterampilan dinilai lebih cocok dikembangkan di Indonesia. Pasalnya, pendidikan menengah kejuruan langsung menghasilkan tenaga yang dapat langsung diserap perusahaan.

Namun di Indonesia, masyarakat awam masih memandang SMK memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan pendidikan SMA. Stigma ini, ditunjukkan dengan sejumlah 70 persen siswa pendidikan menengah bersekolah di SMA dan 30 persen saja di SMK.

Lukman Hakiem, anggota Komisi X DPR, Rabu (4/4), mengatakan stigma ini harus diubah. “Pendidikan SMK lebih cocok bagi siswa Indonesia untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja,” ujar dia saat bersama tim Komisi X mengunjungi SMK 2 Manokwari.

Ia mengatakan pemerintah bersama DPR telah bersepakat mengubah porsi jumlah siswa di SMA dan SMK. Pada tahun 2009, ditargetkan 70 persen siswa menempuh pendidikan SMK dan 30 persen SMA.

Penerbangan Rute Bali-Singapura Ditambah



JAKARTA (SINDO) – Guna menyukseskan program Visit Indonesia 2008, pemerintah berencana menambah jadwal penerbangan langsung Singapura ke Bali dari empat menjadi tujuh kali sehari.


Selama ini penerbangan rute tersebut dilayani maskapai Singapore Airlines tiga kali dan Garuda Indonesia satu kali.


Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengungkapkan, tiga jadwal penerbangan baru akan diberikan kepada Singapore Airlines.


"Pak Wapres (Jusuf Kalla) mengarahkan kepada saya dan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal memberi keleluasaan tambahan sementara," kata Menbudpar seusai mengikuti rapat terbatas mengenai pariwisata di Kantor Wapres kemarin.


Menurut Jero,ada peluang tambahan sekitar 350.000 kursi per tahun ke Bali berasal dari penumpukan penumpang yang selama ini terjadi di Bandara Changi, Singapura. Mereka rata-rata adalah wisatawan mancanegara (wisman) yang ingin berkunjung ke Bali, tapi terpaksa harus mengganti penerbangan.



Melihat pangsa pasar yang cukup tinggi, akhirnya Singapore Airlines (SQ) mengajukan tambahan jadwal penerbangan kepada Indonesia.
Anggota Komisi X DPR Lukman Hakiem mendukung rencana penambahan jadwal penerbangan langsung dari Singapura ke Bali. Menurut dia, Bali merupakan daerah tujuan wisata yang diminati warga Eropa. "Menurut saya rencana pemerintah itu bagus. Tapi agak ironis juga jadwal penerbangan tersebut diberikan ke maskapai asing. Padahal, kita memiliki Garuda Indonesia," ujar Lukman dihubungi SINDO kemarin. (maya sofia)

02 Oktober 2008

Suryadharma Ali : Tidak Penting Soal Usia Capres/Wapres


(ANTARA News) - Ketua Umum PPP Suryadharma Ali melihat tidak terlalu penting adanya pembatasan usia bagi calon presiden/wapres karena masih ada faktor lain yang lebih signifikan untuk disoroti seperti akseptabilitas dan kredibilitas kandidat."Untuk pencalonan presiden dan wapres ini jangan dibatasi usianya. Semua harus punya kesempatan, baik yang muda maupun yang tua," katanya menjawab pers di sela-sela membuka Rakernas PPP Bidang Ekonomi di Jakarta, Jumat.


Suryadharma memandang pembatasan usia bagi kandidat semacam itu telah salah kaprah dalam berdemokrasi.Menurut dia, jika ada tokoh muda yang memang mampu untuk memimpin bangsa, maka hal itu sangat bagus karena artinya ada kader muda yang menjamin regenerasi kepemimpinan nasional."Tapi kalau tidak ada, juga jangan dipaksakan karena masalah pemimpin itu bukan sekedar tua atau muda tetapi ada aspek lain yang harus dipertimbangkan," katanya.Suryadharma yang juga Menkop dan UKM itu mencontohkan aspek akseptabilitas calon di tengah-tengah masyarakat dan juga kredibilitas merupakan faktor yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan.Sementara mengenai wacana syarat seorang capres harus sehat jasmaninya dan pendidikan minimal sarjana, Suryadharma mengatakan bahwa ada banyak kepentingan terkait dengan penetapan syarat-syarat demikian."Kalau saya melihat secara umum saja bahwa setiap profesi itu membutuhkan kualifikasi tersendiri semisal untuk masuk tentara tidak boleh matanya minus," ujarnya.


Dia berpedapat bahwa dalam berdemokrasi, bukan berarti segala-galanya diperbolehkan dan semua pihak seharusnya menyadari hal itu. Namun demikian, ia menambahkan, apa pun syarat yang nantinya diputuskan dalam UU, pada akhirnya rakyatlah yang akan memutuskannya.


Sementara itu saat membuka Rakernas bidang ekonomi PPP yang berlangsung 11-13 Januari, Suryadharma mengingatkan kader-kader PPP untuk mengubah paradigma partai politik dari "menguasai" menjadi "melayani" dan dari "menduduki" menjadi "mengabdi".


"Politik harus diartikan lebih luas sebagai seni melayani rakyat. Oleh karena itu, menjadi anggota PPP berarti menjadi pelayan umat," ujarnya. Dikatakannya pula bahwa konstituen PPP yang mayoritas adalah golongan ekonomi lemah dan pengusaha kecil, tidak membutuhkan manuver politik partai. Mereka, ujar Suryadharma, membutuhkan makan, lapangan kerja, modal untuk berusaha, kemudahan memasarkan barang dan jasa produksi serta ketrampilan berusaha. "Saya berharap rakornas ini menjadi titik tolak menghasilkan entrepreneur-entrepreneur baru PPP yang mampu mengkontekstualisasi doktrin Islam mulai dari aqidah, syariah dan akhlak sampai dengan pembangunan etos dan praktek kewirausahaan yang baik," demikian Suryadharma Ali. (*)

Suryadharma Ali : Sekarang Koperasi Makin Bergengsi


Sumber : IndonesiaOntime
(Jakarta)- Menteri Negara Koperasi dan UKM yang juga Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali mengatakan saat ini usaha berbasis koperasi mulai mendapat tempat yang lebih baik di masyarakat, karena makin banyak unit usaha koperasi yang didirikan di tengah-tengah sentra kalangan intelektual baik di BUMN maupun perusahaan swasta yang mapan."Ini seperti mendapatkan semangat baru, karena sekarang koperasi makin bergengsi. Koperasi tidak lagi hanya didirikan di daerah-daerah terpencil, tetapi sudah mulai ada wilayah-wailayah masyarakat intelektual seperti MK," kata Menteri usai membuka Unit Koperasi milik Mahkamah Konstitusi, kemarin (29/7) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Ia mengatakan dengan tumbuhnya usaha koperasi di tengah-tengah masyarakat intelektual dan juga dikelola oleh orang-orang yang profesional, maka ini akan meningkatkan kredibilitas usaha koperasi di mata perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya."Kalau misalnya koperasi di MK ini saja diresmikan oleh Menneg Koperasi dan Ketua MK, tentunya ini akan menjadi sinyal bagi kalangan perbankan termasuk BRI bahwa koperasi ini akan dikelola dengan profesioanal. Tidak ada alasan BRI tidak akan memberikan dana untuk koperasi ini, " kata Menteri berkelakar. Peresmian Koperasi di MK ini juga dihadiri oleh Ketu MK Jimly Ashiddiqie dan Dirut BRI Sofyan Basyir.Menurut Menteri, era usaha koperasi yang dulu dianggap sebagai usah sambilan harus segera dilupakan, dan saat ini koperasi harus dikelola dengan lebih profesional untuk menjangkau pasar yang lebih luas, "Potensi pasar koperasi itu bisa lebih luas, tidak sekedar pasar yang ada di instasi tempat koperasi itu beroperasi saja," ujarnya.Menteri menambahkan, jika dikelola dengan lebih baik, koperasi akan bisa menciptakan jaringan usaha yang lebih luas dan tidak eksklusif. Seperti idealnya sebuah usaha yang baik, sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat."Apalagi sekarang peluang koperasi bisa lebih besar karena didukung oleh kebijakan pemeriintah seperti program lingkage perbankan dan koperasi untuk menyalurkan KUR," tandasnya.(Adi/IOT-03)

24 September 2008

M. Natsir, PRRI dan Masjumi


Oleh Lukman Hakiem
Sekretaris Umum Panitia Seabad M. Natsir

Perkembangan politik di tanah air sejak Presiden Soekarno mencanangkan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin, berubah pesat. Kalangan politisi dan militer di daerah yang tidak menyetujui konsepsi tersebut lantaran mengikutsertakan kaum komunis anti-Tuhan, bersekutu dalam sebuah gerakan yang kemudian melahirkan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Partai Masjumi sendiri menyatakan, baik pembentukan Kabinet Karya di mana Presiden Soekarno menunjuk Ir. Soekarno sebagai warga Negara menjadi formatur kabinet, maupun PRRI sama-sama tidak konstitusional.
Sikap Masjumi yang sangat tegas itu rupanya tidak cukup memuaskan selera politik rezim Soekarno yang mendesak supaya Masjumi mengutuk anggota-anggotanya yang terlibat di dalam PRRI. Desakan tersebut tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Masjumi yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang konstitusi. “Tidak menjadi kebiasaan Masjumi untuk kutuk mengutuk”, ujar Anwar Harjono sambil menambahkan, “Sejak itu Masjumi ditempatkan dalam posisi yang sangat sulit.”
Sejak saat-saat genting menjelang proklamasi PRRI, pimpinan partai Masjumi telah menjalankan berbagai usaha, baik sendiri maupun bersama partai-partai lainnya, dengan sepengetahuan pemerintah, guna mencegah proklamasi PRRI.
Pada tanggal 15 Februari 1958, pukul 15.00 dikirimlah kawat kepada Ketua Dewan Perjuangan, Letkol Ahmad Husein di Padang sebagai berikut:
“Sebagai hasil pertemuan partai-partai PNI, Masjumi, NU, Katolik, PSSI, dan PRI pada hari Sabtu tanggal 15 Februari 1958 jam 14.00 maka kami mengharap supaya Saudara jangan bertindak apa-apa lebih dulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian.”

Kawat yang dikirim melalui radiogram itu ditandatangani bersama oleh Suwirjo dan Manuaba (PNI), Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar Harjono (Masjumi), Imron Rosjadi, K.H.M. Dachlan, K.H. Masjkur, dan A. A. Tanamas (NU), Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto (PSSI), serta Sutomo alias Bung Tomo (PRI).
Sebelumnya, melalui statemen No.1102/Sek-PP/1/M.VIII/58 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua I (Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo), dan Sekretaris Umum (M. Yunan Nasution), Pimpinan Partai Masjumi menyatakan sikapnya sebagai berikut:
1. Masjumi merasa berterima kasih dapat kesempatan yang baik untuk bertukar pikiran dengan instansi-instansi di pusat yang bertanggung jawab baik sipil maupun militer dan mengkonstatir bahwa ada terdapat pengertian di dalam menilai keadaan dewasa ini.

2. Masjumi bersyukur mendapatkan kesan-kesan yang kuat, bahwa politik yang dijalankannya selama ini dapat dimengerti oleh daerah-daerah yang sedang bergolak.

3. Dengan menegaskan sekali lagi dasar-dasar politiknya selama ini, yaitu:
a. Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar
b. Mengembalikan ketertiban hukum demokrasi.
c. Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari Ikatan Keutuhan Negara Republik Indonesia.
d. Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.

Maka Pimpinan Partai Masjumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara, dan dalam taraf sekarang ini, mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi.

Sebagai tindak lanjut dari statemen tertanggal 23 Januari 1958 itu, Masjumi melakukan kontak-kontak intensif dengan Pejabat Presiden, Mr. Sartono; Perdana Menteri, Ir.H. Djuanda; Wakil Perdana Menteri, Mr. Wardi dan K.H. Idham Chalid; KASAD, Jenderal A.H. Nasution; bekas Wakil Presiden, Mohammad Hatta; dan tokoh-tokoh politik seperti Suwirjo (PNI), K.H.M. Dachlan (NU), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Mr. A.M. Tambunan (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain. Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mr. Mohammad Roem, Z. A. Ahmad, dan lain-lain.
Dalam pada itu, kontak ke Sumatera pun dilakukan. Pada tanggal 25 Januari 1958 kontak itu dilakukan oleh Roem. Pada tanggal 1 Februari 1958, Masjumi mengutus Prawoto, Faqih Usman, dan Roem, untuk berbicara dengan tokoh-tokoh pergolakan daerah di Sumatera.
Usaha-usaha Masjumi itu dihargai baik oleh PM Djuanda melalui pidatonya di DPR, maupun oleh Presiden Soekarno yang diucapkannya pada serah terima jabatan dari Pejabat Presiden Mr. Sartono kepada Presiden Soekarno sekembalinya Bung Karno dari Perlawatan ke luar negeri.

Sesudah Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum pada tanggal 10 Februari 1958, Masjumi mengeluarkan statemen No. 1125/Sek.PP/1/M.VIII/1958 tertanggal 13 Februari 1958, ditandatangani Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Dalam statemen tersebut, Masjumi menegaskan sikapnya antara lain:
4. Dengan menginsyafi sesungguhnya bahaya besar yang sedang mengancam Negara, maka dengan sekuat tenaga diusahakan untuk mempertemukan pendirian-pendirian yang ada di pusat dan daerah.

5. Dengan tidak mengecilkan sedikitpun gentingnya keadaan sesudah keluarnya ultimatum Achmad Husein dan dikeluarkannya keputusan Kabinet tentang pemecatan perwira-perwira yang bersangkutan, Pimpinan Partai Masjumi tidak berpendapat ‘telah terjadi sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi’.

6. Jalan yang harus ditempuh ialah bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat maupun oleh daerah.

7. Pimpinan Partai Masjumi berpendapat bahwa di dalam usaha tersebut di atas, Bung Hatta dapat mengambil peranan yang sangat penting.

8. Untuk mengatasi kegentingan Negara dewasa ini, Masjumi mengharap dengan sebesar-besarnya pengharapan, supaya Presiden menghadapinya dengan pertimbangan menyelamatkan Negara dan bangsa semata-mata.

9. Pimpinan Partai Masjumi mengajak kepada seluruh rakyat supaya mendoakan semoga Presiden mendapatkan PIMPINAN dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala untuk dapat mengambil keputusan yang benar dan dengan demikian menghindarkan Negara dan Bangsa dari malapetaka.


Ketika pada akhirnya PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958, Masjumi kembali mengeluarkan statemen No.1130/Sek.PP/I/M.VIII/1958 tertanggal 17 Februari 1958, ditandatangani oleh Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Bagi Masjumi, “…pembentukan ‘Pemerintah Revolusioner’ itu adalah inkonstitusioneel.” Dalam pada itu, Masjumi pun menegaskan kembali pendiriannya yang sudah dikemukakan di forum DPR, “bahwa pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusioneel.” Selanjutnya, Masjumi menegaskan:
5. Adalah keyakinan Pimpinan Partai Masjumi, bahwa dengan sekuat tenaga harus dirintis setindak demi setindak jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar Sementara, landasan kita hidup bernegara, sebelum Konstituante selesai dengan Undang-Undang Dasar yang tetap.

6. Betapapun sulitnya keadaan, harus menjadi keinsyafan kita bersama, bahwa persoalan sekarang ini adalah persoalan bangsa Indonesia sendiri, dan tiap-tiap campur tangan dari pihak luar harus ditolak.

7. Dalam mencari penyelesaian tanpa kekerasan ini, pulihnya kerja sama Soekarno-Hatta dalam Pemerintahan merupakan syarat mutlak.

8. Pada tempatnya dinyatakan penghargaan atas pidato yang diucapkan Presiden pada upacara penyambutan kedatangan kembali beliau di tanah air, yang memberi harapan baik tentang penyelesaian kesulitan yang dihadapi oleh Negara secara bijaksana.

9. Akhirnya sekali lagi kami mengajak kepada seluruh rakyat untuk berdoa mudah-mudahan Alah subhanahu wa ta’ala memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada Presiden dan Bung Hatta untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang tepat guna keselamatan Negara dan bangsa.

Di tengah keprihatinan bersama menghadapi pergolakan daerah, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1959. Sehubungan dengan keluarnya Penpres tersebut, pemerintah mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Masjumi:
“Apakah Masjumi terkena atau tidak dengan ketentuan-ketentuan Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959, terutama pasal 9 yang berbunyi:
“Presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan Partai yang:
1. Bertentangan dengan asas dan tujuan Negara.
2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan Negara
3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan jelas menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini”.

Pada tanggal 28 Juli 1960, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Masjumi, Prawoto mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, memenuhi undangan Presiden Soekarno di Istana Merdeka untuk memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menjawab pertanyaan: “Apakah asas dan tujuan Masjumi bertentangan dengan asas dan tujuan Negara?” Prawoto dan Yunan dengan tegas menjawab: “Tidak!” Mereka kemudian membandingkan asas dan tujuan Negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) dengan asas tujuan Masjumi seperti termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 Anggaran dasar Masjumi. “Dengan tidak mengajukan keterangan yang panjang lebar, kami dapat mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa asas ISLAM dan tujuan partai tersebut di atas, tidak bertentangan dengan asas dan tujuan Negara, karena apa yang disebut sebagai asas dan tujuan di dalam Pembukaan, adalah termasuk dalam pelajaran Islam dan menjadi pelajaran yang fundamentil,” jawab kedua tokoh Masjumi itu.

Pertanyaan: “Apakah program Masjumi, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara?”, dijawab tegas: “Tidak!” Bagi Masjumi, tidak mungkin program Masjumi baik berjangka panjang maupun yang berjangka pendek, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara. Sebab, dalam pandangan Masjumi, sesuatu program yang bermaksud merombak asas dan tujuan Negara akan bertentangan dengan asas dan tujuan partai sendiri.
Pertanyaan ketiga: “Apakah Masjumi satu partai yang sedang melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan-perbuatan anggotanya?”, juga dijawab tegas: “Tidak!”.
Penpres No.7 Tahun 1959 ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1959, sedangkan Pimpinan Pusat Partai Masjumi yang ditetapkan oleh Muktamar IX, 23-27 April 1959 di Yogyakarta adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo
Wakil Ketua II : K. H. Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Muhammad Roem
Sekretaris Umum : M. Yunan Nasution
Anggota : Mr. Kasman Singodimedjo
Anggota : Anwar Harjono
Anggota : K. H. Taufiqurrahman
Anggota : A. R. Baswedan
Anggota : Ardiwinangun
Anggota : H. Hasan Basri
Anggota : Osman Raliby
Anggota : Sindian Djajadiningrat, SH
Anggota : Sholeh Iskandar
Anggota : K.H. Achmad Azhary
Anggota : Ny. Sunarjo Mangunpuspito
Anggota : Ny. Sjamsuridjal

“Tidak ada pemimpin yang tersebut dalam daftar itu yang turut dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan,” ujar kedua tokoh Masjumi itu sambil menambahkan bahwa mulai September 1958 Masjumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pemberontakan, yaitu di Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam Muktamar IX tidak ada lagi utusan dari daerah-daerah tersebut di atas, juga dalam kepengurusan sesudah Muktamar IX tidak diadakan perwakilan di daerah-daerah yang bergolak itu. “Dengan demikian, maka pada tanggal 31 Desember 1959 tidak ada pemimpin-pemimpin Masjumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan. Statemen pimpinan Partai Masjumi tertanggal 17 Februari 1958 No. 1130/Sek.PP/I/M.VIII/58 telah mencakup menyalahkan pemberotakan itu itu pada keseluruhannya.”
Sedang pertanyaan keempat: “Apakah Masjumi tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959?” tidak dapat dijawab. “Karena syarat-syarat lain yang dimaksud di dalam Penpres No.7 Tahun 1959 (pasal 9 ayat 1 angka 4) tidak ada, sudah tentu belum bisa mendahului memberikan jawabannya”, ujar Prawoto dan Nasution menjawab pertanyaan tertulis dari pemerintah.
Akan tetapi, meskipun telah begitu gamblang sikap Masjumi terhadap pergolakan daerah, Presiden Soekarno tetap pada pendirian bahwa Masjumi mau merobohkan Negara!
Dalam pidato 17 Agustus 1960, Soekarno antara lain berkata:
“Mengenai retooling kepartaian, Saudara-saudara mengetahui bahwa Penetapan Presiden No. 7/1959 dan Peraturan Presiden No. 13/1960 sudah berjalan. Penetapan Presiden No. 7 dan Peraturan Presiden itu pada pokoknya tegas-tegas memberi hak hidup (dengan tentunya syarat-syarat mengenai organisasi dan sebagainya) kepada partai-partai yang ber-USDEK, dan melarang partai-partai yang kontra-revolusioner. Ini bukan diktatur, ini bukan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang! Ini adalah pelaksanaan daripada satu universal principle, satu prinsip umum di negeri manapun juga, bahwa dari Penguasa yang memegang kekuasaan Negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada kekuatan-kekuatan yang mau merobohkan Negara. Ketambahan lagi, berdasarkan moral revolusioner dan moralnya Revolusi, maka Penguasa wajib membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing ataupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya Revolusi.
“Berdasarkan hal-hak ini, saya beritahukan sekarang kepada rakyat, bahwa saya sebagai Presiden Republik Indonesia, sesudah mendengar pendapat Mahkamah Agung, beberapa hari yang lalu telah memerintahkan bubarnya Masjumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia)! Jikalau satu bulan sesudah perintah ini diberikan, Masjumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masjumi dan PSI adalah partai-partai yang terlarang!”
Palu godam pun jatuh. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 tahun 1960, partai Politik Masjumi diperintahkan membubarkan diri atau kalau tidak, Masjumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Ketika Kepres No. 200/1960 itu keluar, pimpinan Partai Masjumi segera merundingkan bagaimana baiknya. “Almarhum Pak Prawoto Mangkusasmito bukan saja memusyawarahkannya dengan kita yang di pucuk pimpinan partai, tetapi juga memanggil teman-teman dari berbagai daerah untuk dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya mengatasi keadaan,” kenang Harjono mengenai saat-saat paling suram dalam kehidupan partai Masjumi.
Menurut Harjono kalau Kepres No.200/1960 itu didiamkan begitu saja, resikonya sangat besar. Masjumi akan menjadi partai terlarang. Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat, mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan partai tidak mustahil akan dirampas. “Jangan lupa, “kata Harjono, “Perintah pembubaran Mayumi itu sesungguhnya merupakan antiklimaks dari klimaks dipriklamasikannya PRRI di Sumatera. Jadi, proses perintah pembubaran Masjumi itu berlangsung lama dan sistematis.”
Masjumi akhirnya memang memenuhi perintah Kepres No. 200/1960. Akan tetapi, seraya memenuhi permintaan tersebut, Masjumi pun mengadukan perbuatan pemerintah itu ke pengadilan. “Secara politis kita memang dikalahkan, tetapi hati nurani hukum kita tetap tidak bisa membenarkan,” ujar Harjono. Maka ditunjuklah Mr. Mohamad Roem sebagai kuasa hukum Masjumi untuk menggugat pemerintah di pengadilan.
Pengadilan ternyata tidak mampu memutuskan benar atau tidaknya tindakan pemerintah mengeluarkan Kepres No.200/1960 itu. Pengadilan mengganggap pihaknya tidak berwenang mengadili perkara Masjumi melawan pemerintah, karena perintah pembubaran Masjumi merupakan kebijaksanaan politik. Perkara itupun terkatung-katung nasibnya, sampai hari ini.

Catatan Editor Berdamai Dengan Sejarah

Tahun 2008 ini, meminjam Prof. Taufik Abdullah, adalah tahun seratusan. Ada seratus tahun Kebangkitan Nasional, ada seratus tahun Sutan Takdir Alisyahbana, ada seratus tahun Sutan Sjahrir, ada seratus tahun Mohamad Roem, ada seratus tahun Buya HAMKA, ada seratus tahun M. Natsir. Mungkin masih ada seratus tahun yang lain.
Bukan latah jika setahun lalu sejumlah eksponen yang merasa memiliki keterikatan ideologis dengan Pak Natsir, bersepakat untuk membentuk Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya.
Pemilihan nama resmi kepanitiaan didiskusikan dengan hati-hati, terutama karena para eksponen tidak ingin terjebak dalam bid’ah mengultuskan Pak Natsir. Dari nama kepanitiaan, tersurat dan tersirat, para eksponen ingin menjadikan momentum seabad M. Natsir untuk melakukan refleksi terhadap pemikiran dan perjuangan Almarhum.
Dalam kaitan dengan refleksi itulah, Panitia telah melakukan serangkaian diskusi tentang pemikiran dan perjuangan M. Natsir yang dilaksanakan terutama di kampus-kampus perguruan tinggi yang pembentukannya turut diprakarsai oleh Pak Natsir.
Rangkaian seminar dimulai dengan “Deklarasi Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir” pada 15 November 2007 di gedung Mahkamah Konstitusi. “Membedah Pemikiran Pendidikan M. Natsir” di Universitas Islam Bandung dengan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo sebagai Pembicara Kunci. Seminar berikutnya “Mengkaji Politik Dakwah M. Nasir” di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Drs. A.M. Fatwa sebagai Pembicara Kunci. Seminar selanjutnya “Membedah Pemikiran Politik M. Natsir” diselenggarakan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Pembicara Kunci. Seminar keempat dengan tema “Mengungkap Fakta di Balik Peristiwa PRRI” diselenggarakan di Universitas Islam Riau di Pekanbaru. Seminar Keempat “Mengkaji Pemikiran dan Gerakan Dakwah M. Natsir” diselenggarakan di Universitas Muslim Indonesia Makasar dengan Menteri Agama Maftuh Basuni sebagai Pembicara Kunci. Seminar kelima “Refleksi 58 Tahun Mosi Integral: Merawat NKRI Menghempang Potensi Disintegrasi Bangsa” diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Rangkaian semminar tersebut berlangsung sejak Februari sampai Juli 2008.
Puncak rangkaian seminar, diselenggarakan pada 15 Juli 2008 di gedung Mahkamah Konstitusi RI berupa Diskusi Ahli bertajuk “Kedudukan M. Natsir dalam Sejarah NKRI” menghadirkan para panelis Prof. Dr. Anhar Gonggong, Prof. Dr. Burhan D. Magenda, Sabam Sirait, Prof. A. Malik Fajar, M.Sc, dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dengan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah. Makalah dan proses Diskusi Ahli ini insya Allah akan diterbitkan dalam buku tersendiri.
Sebagian besar makalah dari rangkaian seminar Februari-Juli 2008 itu kini terkumpul dalam buku ini. Sebagian lain berasal dari seminar bertajuk “M. Natsir Penyelamat NKRI” di Padang, 11 Agustus 2007. Sebagian lain lagi berasal dari tulisan yang khusus dipersiapkan untuk buku ini atas permintaan Panitia, juga dari wawancara yang kemudian diturunkan dalam bentuk tulisan.
Dalam hubungan ini, saya ingin mengenang dan memberi penghormatan ikhlas kepada Almarhum H. Ali Sadikin dan Almarhum Prof. Dr. Deliar Noer. Kedua tokoh ini, ketika diminta partisipasinya untuk penerbitan buku ini, menyahut dengan sangat antusias. Mereka menolak diwawancarai, karena akan menyiapkan sendiri tulisannya. Manusia punya rencana, Allah juga yang menentukan. Keduanya berpulang ke haribaan-Nya sebelum sempat menulis kenangannya terhadap Pak Natsir. Allahummaghfirlahuma warhamhuma....
Sebagai Sekretaris Panitia yang dibebani tanggungjawab atas penerbitan kumpulan tulisan ini dan karena itu pula sekaligus menyuntingnya, saya tidak melakukan penyuntingan yang “signifikan”. Saya sekadar melakukan penataan terhadap puluhan naskah para pakar yang telah terkumpul dalam bentuk sistematika agar kumpulan tulisan lebih tampak sebagai buku dan nyaman dibaca.
Terima kasih kepada semua yang telah berpartisipasi dalam kegiatan Refleksi Seabad M. Natsir, menulis makalah, menyumbang tulisan, dan kesediaan diwawancara. Terima kasih dan penghargaan khusus, saya sampaikan kepada Sdr. Agus Lenon dan Sdr. Yosep yang telah bekerja keras menghubungi untuk meminta tulisan, mewawancarai dan mentranskrip hasil wawancara dengan sejumlah tokoh untuk buku ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Usman Ali, Sdr. Aep Syaepullah, dan Sdri. Nurjannah yang telah turut sibuk mengetik ulang beberapa naskah.
Terima kasih dan penghargaan harus disampaikan kepada harian Republika yang telah membangun suasana Seabad M. Natsir dengan memuat serial tulisan M. Natsir. Last but no least, terima kasih kepada seluruh jajaran penerbit Republika yang telah memungkinkan buku ini terbit.
Banyak hal yang dapat dipetik dari Pak Natsir. Pemikirannya yang tajam dan melintasi zaman, sikapnya yang istiqamah dalam perjuangan, gaya hidupnya yang sederhana, cara berpolitiknya yang santun, dan berbagai hal yang kini makin langka. Di tengah menguatnya arus pragmatisme politik yang serbaboleh, warisan keteladanan itu penting untuk terus direaktualisasi.
Jika sampai hari ini, negara masih terlihat enggan memberi penghargaan yang layak kepada Pak Natsir, pertanyaan harus kita hunjamkan: belum tibakah saatnya untuk berdamai dengan sejarah?

Jakarta, Agustus 2008
Lukman Hakiem

22 September 2008

Bachtiar Imbau PPP Tetapkan Prioritas Caleg


Written by Bachtiar Chamsyah
Thursday, 18 September 2008

JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus menentukan kriteria dan skala prioritas mengenai siapa yang berhak duduk di DPR.Menurut Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Bachtiar Hamsyah, penentuan kriteria dan skala prioritas tersebut menanggapi adanya pihak yang tidak puas dan merasakan ketidak adilan di PPP."Skala prioritasnya yakni pengurus DPP yang pertama, lalu orang-orang terkenal, dan seterusnya. Nah, saya lihat, DPP tidak melakukan itu," kata Bachtiar.


Bachtiar juga mengatakan pihaknya telah mengimbau Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tentang hal tersebut, namun tampaknya imbauan tersebut kurang digubris."Saya sudah ingatkan kepada Suryadarma, agar kita harus hati-hati karena DPP kurang berhati-hati dalam beberapa hal. Dalam parpol manapun, soal pencalonan itu kritis," katanya.


Lebih lanjut dia mengatakan, jika kriteria orang yang masuk tersebut diumumkan dan dijelaskan, maka tidak akan terjadi keributan, dan praktek jual beli pun dapat terhindarkan.Namun jika tetap terjadi praktek jual beli kursi legislatif partai, siapapun yang melakukan, tak terbatas ketua, sanksi yang tepat adalah pemecatan."Karena seorang ketua harus jadi contoh, dan menyampaikan yang bukan kepentingan pribadi," ungkapnya. (rgi)