Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

20 Desember 2014



HADIMULYO
Islam Yes! Partai Islam Yes!
(Media Dakwah Nomor 216, Dzulhijjah 1412/Juni 1992, halaman 63-66)


“TEMAN-TEMAN yang mau ikut Golput (Golongan Putih), saya tetap hargai. Hak untuk tidak menggunakan haknya itu, saya hargai. Saya sendiri mantan Golput,” tutur Drs. Hadimulyo, M.Sc, menyikapi kaum muda Islam yang mengelompokkan diri ke dalam “Partai Putih” atau Golongan Putih.
Menurut aktifis lembaga swadaya masyarakat (LSM) kelahiran Pati, Jawa Tengah, 1 Juni 1951, ada dua alasan orang memilih Golput. Pertama, karena menganggap di Indonesia tidak ada partai Islam. Bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan partai Islam, dipercaya oleh sebagian kaum muda dari kalangan remaja masjid, misalnya. Kedua, karena mereka tidak berdaya mengubah sistem yang ada, yang hanya akan memunculkan orang yang itu-itu juga, dalam atmosfir politik Orde Baru.
Argumentasi yang memandang di Indonesia tidak ada partai Islam, bagi Ketua Presidium Nasional Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) ini, sangat lemah. Karena akar sejarah PPP adalah gabungan dari partai-partai Islam: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI.
“PPP akan dihujat dan dihajar jika di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memperjuangkan aspirasi Islam. Ini berbeda dengan Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI),” tegas Hadimulyo. “Jika Golkar dan PDI tidak memperjuangkan aspirasi umat Islam, itu wajar, karena kita tahu sejarahnya,” tambah Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta itu.
Sebagai orang yang ingin memfokuskan perjuangannya pada dataran teoritik-konsepsional, Hadimulyo bersama Dr. Ir. Sri-Bintang Pamunkgas, dan Dr. Ir. A.M. Saefuddin, duduk dalam sub-Tim Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dipersiapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP-PPP) periode 1989-1994 untuk dimajukan sebagai Rancangan GBHN ke Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) 1993. Sub-Tim ini dipimpin oleh Ketua DPP PPP, Hj. Aisyah Aminy, S.H.
Kilas balik perjalanan hidupnya memperlihatkan secara jelas bahwa Hadimulyo sejak dini telah masuk dan berproses di dalam arus gerakan Islam (Islamic movement).
Alumni Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri, UIN –ed) Syarif Hidayatullah Jakarta (1979) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum (1973-1974) dan Ketua Umum (1974-1975) Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Kudus; Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1978-1979).
Dalam dunia LSM, Hadimulyo tercatat sebagai salah seorang pendiri Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M,1979), Koordinator Jaringan Action Research Indonesia (JARI, 1984-1986), staf peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan. Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES, 1981-1983), dan pimpinan Program Pengembangan Masyarakat melalui Pesantren LP3ES (1983-1986).
Selain sebagai Koordinator Tim Manajemen Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (sejak 1989), laki-laki yang oleh kalangan dekatnya akrab dipanggil Mas Hadi, juga aktif menulis di berbagai media massa.
Lelaki peramah dan murah senyum, yang rambutnya mulai disisipi oleh warna putih itu meraih gelar Master of Science (M.Sc) pada program Social Development Studies, Departement Sociology-Antrophology, Ateneo de Manila, di Quezon, Filipina pada 1988.  
Perihal dirinya yang kini terlibat dalam dinamika perjuangan PPP, Hadimulyo kerap mengidentifikasikan dirinya kepada pemikir-aktivis politik Indonesia masa lalu. “Para pemikir-aktifis politik yang langsung berjuang melalui partai politik,” ujarnya, “akan melahirkan gugusan pemikiran politik yang benar-benar telah teruji secara riil, karena telah melalui pergulatan ide yang keras dan tajam.”
Mudah diduga dan wajar belaka jika Hadimulyo kemudian mengagumi para pemikir-aktifis politik seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Sutan Sjahrir, dan bahkan Tan Malaka.
Kepada Yudi Pramuko SPI dari Media Dakwah, calon anggota legislatif PPP dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta (pada Pemilihan Umum 1992 –ed) yang aktif menyumbangkan pemikirannya melalui berbagai seminar di dalam dan luar negeri itu di kediamannya, bilangan Tangerang, memaparkan obsesi, kritik, dan renungannya terhadap perkembangan dunia politik Orde Baru.
Apa tanggapan Anda terhadap kehidupan politik Indonesia dewasa ini?
Saya melihat periode sekarang adalah periode transisi. Periode transisi ke arah demokratisasi yang menurut saya merupakan suatu keniscayaan. Karena apa yang terjadi di Indonesia bisa dilihat juga persamaannya dengan negara-negara lain seperti Filipina, Korea, Thailand, Myanmar, bahkan di Afrika dan Amerika Latin.
Jadi, kecenderungan perubahan dari otoritarianisme ke arah kehidupan demokratis, terutama di Amerika Latin yang berubah dari otoritarianisme-militer ke demokratisasi-sipil, merupakan gejala umum.
Masalahnya, ada masyarakat yang responsif, ada yang tidak. Di sini yang menentukan adalah kondisi kultural, dan kondisi budaya politik masing-masing negara. Misalnya, mengapa demokrasi yang bersifat liberal hidup di Filipina, namun tidak terjadi di Indonesia.
Nah, di Indonesia proses yang paling mungkin adalah proses melalui pemilihan umum (pemilu). Itu dilakukan untuk menjaga agar proses demokratisasi jangan berlangsung secara amuk. Jangan dengan revolusi. Kita sudah trauma dengan hal-hal seperti itu. Inilah yang menyebabkan saya percaya kepada pemilu, karena hanya lewat pemilu yang dilaksanakan secara fair –yang sering disebut luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil)—itulah proses demokrasi termanifestasikan. Dan justru pemilu adalah awal dari proses itu. Yang menjadi masalah kini adalah demokratisasi ke arah mana yang kita kehendaki.
Kita adalah negara yang mempunyai warisan budaya, yang di daerah tertentu, tidak demokratis. Akan tetapi, banyak daerah yang punya akar atau warisan budaya yang demokratis. Katakanlah Sumatera Barat. Di sana prinsip musyawarah menjadi bagian dari adat, dan adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah. Ini sebenarnya akar demokrasi dan ruhnya Islam.
Saya meragukan ilmuwan politik (political scientist) yang mengatakan bahwa demokrasi tidak punya akar di Indonesia. Memang ada dua pandangan mengenai hal ini. Pertama, pandangan bahwa demokrasi punya akar budaya di Indonesia. Pandangan ini dianut antara lain oleh Deliar Noer. Kedua, pandangan bahwa demokrasi tidak punya akar di budaya di Indonesia. Pandangan ini antara lain dianut oleh Amir Santoso. Saya sependapat dengan pandangan Deliar Noer
Ada dua isu: demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Apakah Indonesia mengarah ke sana?
Saya kira, mau tidak mau, harus mengarah ke sana. Bukankah Indonesia ingin berdiri sejajar dengan negara-negara lain secara terhormat. Nah, saya kira jika Indonesia mau diperhitungkan sebagai bangsa besar dan terhormat, ukuran-ukuran internasional yang dalam konteks ini adalah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga harus dipertimbangkan. Ukurannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi nasional dan militer, tetapi sejauh mana hak-hak politik dan kultural rakyat, hak-hak mengekspresikan diri, berorganisasi, dan berpendapat, betul-betul dijalankan.
Sebetulnya kita tidak perlu memakai ukuran internasional. Memakai ukuran Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saja pun masih banyak yang belum dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan sebagai mestinya.
Untuk mengarah ke sana, agenda utama kita bagaimana menjabarkan UUD 1945. Jika kini ada istilah meningkatkan harkat dan martabat manusia, itulah sebenarnya hak-hak asasi manusia menurut pandangan Indonesia.
Konon memudarnya citra partai politik Islam, sebut saja PPP, merupakan akumulasi rekayasa Orde Baru, dan makin menguatnya ide-ide Nurcholish Madjid yang bermuara pada anti-Negara Islam?
Sekarang ini saya tidak tahu politik Islam Orde Baru yang sebenarnya. Akan tetapi kalau kita lihat, memang ada kecenderungan untuk mengembangkan Islam bukan dari sisi politiknya. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari Snouck Hurgronje atau bukan.
Menurut saya, tentang perlu atau tidaknya negara Islam, itu bagian dari perdebatan di masa lalu. Di sini saya agak berbeda dengan kawan-kawan yang melihat Islam sebagai ideologi. Kalau ada ideologi yang merupakan derivasi, atau bersumber dari nilai-nilai Islam, ya, saya setuju.
Memandang Isam sebagai ideologi, menurut saya, menurunkan derajat ajaran Islam itu sendiri. Padahal Islam itu wahyu. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menolak adanya ideologi yang merupakan turunan dari nilai-nilai Islam yang disistemtisasikan.
Anda percaya sekali kepada demokrasi
Kenapa saya percaya kepada demokrasi, karena kalau demokrasi berjalan betul tentu produk politiknya tidak akan menyimpang dari nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat banyak. Karena Islam di negeri ini mayoritas, jika betul-betul demokratis, saya tidak bisa membayangkan ada produk perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dewasa ini setiap kali ada usaha untuk mencoba melenyapkan aspirasi Islam, selalu mendapat perlawanan. Lihat misalnya kasus Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama, dan Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian, dalam pengamatan saya,sekarang ada yang mulai mengutak-atik UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
 Saya melihat usaha-usaha seperti itu merupakan usaha untuk memisahkan keindonesian dari nilai keislaman yang merupakan akar budayanya.
Bagaimana dengan kemajemukan masyarakat kita?
Memang, masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk. Ada agama lain selain agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia. Tetapi, yang kita perjuangkan adalah representasi. Sekarang ini umat Islam secara politis under represented. Inilah yang perlu kita perjuangkan, dengan atau tanpa partai politik yang berlabel Islam, dan bisa dimulai dengan bermacam-macam cara.
Inilah yang saya sebut politik gaya baru  (The New Politics), yakni kombinasi antara electoral politics, politik seperti yang ada sekarang ini, dengan politik masyarakat yang ada di luar gedung parlemen. Kombinasi ini sebenarnya sudah pernah dilakukan saat pembahasan RUU Perkawinan pada tahun 1973. Karena RUU Perkawinan saat itu terasa tidak cocok dengan nilai-nilai mayoritas bangsa, maka selain dibahas di parlemen, muncul juga tekanan (pressure) dari parlemen jalanan.
Persoalannya ternyata tidak sederhana. Kalau demokratis, perundang-undangan yang beraspirasi Islam pasti muncul. Faktanya....
Sekarang belum seperti itu. Diskusi kita tadi kan soal demokrasi. Ya, sekarang sudah ada demokrasi, tapi masih formal, belum substansial.
Anda melihatnya begitu?
Ya. Pranata-pranata demokrasi sudah diletakkan, kelembagaan, dan lainnya. Tetapi, ini harus diisi. Prosesnya, orangnya, dan masih banyak lagi yang harus disempurnakan, harus diperbarui.
Ketika MPR sudah terbentuk, dan orang-orang sudah berkuasa; rakyat atau umat Islam tidak lagi dijadikan basis argumentasi. Ini berbeda dengan saat kampanye yang selalu mengatasnamakan rakyat. Bagaimana?
Sampai saat ini saya belum pernah menjadi anggota DPR atau MPR. Jadi, saya belum melihat bagaimana argumentasi masing-masing untuk mengusulkan atau mengegolkan ide-idenya menjadi Ketetapan MPR atau menjadi produk perundang-undangan.
Saya mengusulkan agar diskusi atau perdebatan di DPR dan MPR dilakukan secara transparan, terbuka. Artinya bisa diikuti oleh media massa, sehingga akan jelas apakah wakil-wakil rakyat itu benar-benar memenuhi kepentingan rakyat atau tidak. Jadi, pers kita langsung melihat apa-apa yang diperjuangkan oleh masing-masing fraksi.
Dengan cara itu kita akan melihat juga apakah obral janji dalam masa kampanye, betul-betul diperjuangkan di gedung parlemen atau tidak.
Selalu ada jarak antara janji kampanye dengan realitas politik pasca pemilu.
Di sini agak susah. Itu hanya mungkin dicek, terlepas berhasil atau tidak, bahwa partai akan memperjuangkan aspirasi atau tidak, jika diekspose oleh pers. Akan tampak nanti, janji partai semata janji atau tidak.
Jadi, agenda pertama yang harus dimainkan oleh anggota DPR/MPR adalah meninjau produk perundang-undangan yang anti-Islam, dan yang menghambat proses demokratisasi.
Logikanya, makin banyak anggota MPR yang prodemokratisasi, makin mungkin terjadi perubahan. Makin banyak yang prostatus quo, ya kita kehilangan harapan (hopeless). Nah, pemilu inilah peluang untuk mewujudkan harapan itu.
Saya lebih percaya pemilu daripada kudeta. Ha... ha... ha....
Anda percaya pemilu. Bagaimana dengan Golput yang tidak percaya kepada mekanisme pemilu.
Golput adalah cerminan powerlessness, perasaan ketidakberdayaan, karena semuanya dianggap bersifat struktural dan sistemik, sehingga dianggap pula tidak mungkin bisa berubah. Padahal, apa sih yang tidak bisa berubah di dunia ini.
Beberapa waktu yang lalu saya memang Golput. Saya lihat masih terlalu kuat. Kini ada proses pencairan. Kekuatan di Golkar tidak monolitik. Di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga tidak lagi monolitik.
Di dalam golongan dan partai ada garis keras, ada yang moderat, ada juga yang konservatif. Ada yang radikal properubahan, ada yang properubahan tetapi moderat, dan ada yang konservatif prostatus quo. Kita harapkan elemen-elemen progresif yang properubahan menjadi mayoritas.
Makanya saya lebih cenderung atau berharap anggota-anggota DPR menggunakan haknya sebagai individu. Suara fraksi itu hanya untuk memudahkan saja. Haknya sebagai individu harus eksis. Kalau tidak, ya susah. Apa artinya jadi anggota DPR jika tidak punya hak individu.
Anda melihat ada proses pencairan?
Ada pencairan. Adanya “doa politik” (sejumlah tokoh mendoakan agar H.M. Soeharto terpilih kembali pada SU MPR 1993 –ed), itu karena Pak Alamsjah Ratuperwiranegara tidak sabar melihat perkembangan.
Jadi, saya melihat kemungkinan perubahan itu ada, walaupun secara gradual. Hambatan demokratisasi sebenarnya harus dilihat pada beberapa dataran. Pertama, hambatan pada dataran konseptual-teoretik. Kedua, hambatan legal-struktural berupa produk peraturan perundang-undangan. Ketiga, hambatan dari budaya politik.
Kalau kita mau demokratisasi, kita harus menggarap ketiga bidang itu. Aspek teoretik, perundang-undangan, dan budaya politik. Saya lihat, perjuangan partai pada dataran itu selama ini kurang.
Anda mau memprioritaskan perjuangan pada dataran mana?
Saya akan prioritaskan perjuangan pada tingkat konseptual, pemikiran-pemikiran politik.
Bagaimana Anda melihat prospek PPP?
O ya. Kalau PPP tidak prospektif, saya nggak akan masuk PPP. Pertama, PPP adalah partai rakyat. Selama ini saya bergerak di LSM, yang sebenarnya juga disebabkan oleh proses depolitisasi Orde Baru. Saat itu, tahun 1980-an, saya melihat tidak kondusif untuk langsung masuk partai. Sekarang momentumnya tepat. Telah tiba saatnya. Jadi, dalam politik momentum itu penting. Banyak teman kadang-kadang tidak melihat momentum. Pemilihan umum sekarang dan yang akan datang, adalah momentum strategis. Dua pemilu ini strategis untuk reorientasi pembangunan.
Kedua, secara potensial PPP bisa menjadi kendaraan untuk sebuah proses perubahan, apakah dia menjadi bagiannya atau menjadi intinya. Apalagi kini aspirasi Islam mendapat iklim yang cukup kondusif. Tanpa harus menggunakan bendera Islam, tanahnya sudah ada. Kalau meminjam bahasa penyair Emha Ainun Nadjib, Islam itu kan tanahnya, tergantung apakah ditanami ide-ide yang subur atau tidak.
Sekarang ini tesis tentang single majority cukup kuat, dan itu harus dibongkar. Kalau kita memang mau dalam berpolitik ada kebersamaan dan tidak ada oposisi, dalam praktiknya jangan diskriminatif dong. Kini dalam praktik, PPP dan PDI dipandang dan diperlakukan sebagai oposisi, walaupun dalam retorika dimunculkan isu kebersamaan, demokrasi Pancasila, dan musyawarah untuk mufakat.
Nah, kalau memilih Golput dalam pengertian tidak mau tahu dan acuh tak acuh, saya menyayangkan. Akan tetapi jika sebagai pilihan politik, dan ini akan menjadi gerakan yang mampu menekan pemerintah untuk memperbaiki dan memperbarui aturan main, oooh... saya salut![]
 
        

10 Desember 2014



Peranan Pondok Pesantren dalam Perang Kemerdekaan
Oleh: Sholeh Iskandar
(Media Dakwah Nomor 215, Syawal-Dzulqa’idah 1412/Mei 1992, halaman 53-56)

PENGANTAR: Pemerintah Kabupaten Bogor akan mengusulkan ulama-pejuang asal Bogor, (Almarhum) Mayor TNI-AD K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992), untuk diakui sebagai Pahlawan Nasional. Jasanya melawan penjajah dinilai Wakil Bupati Bogor, Nurhayanti, menjadi alasan kuat bagi pengusulan itu (Republika dan Jurnal Bogor, Senin, 17 November 2014).[1] Sehubungan dengan niat Pemerintah Kabupaten Bogor itu, berikut ini disajikan tulisan K.H. Sholeh Iskandar mengenai “Peranan Pondok Pesantren dalam Perang Kemerdekaan” yang untuk pemuatan di lukmanhakiem.blogspot.com ini diberikan beberapa catatan kaki.  Semoga tulisan K.H. Sholeh Iskandar ini bermanfaat untuk memperkuat argumen Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk K.H. Sholeh iskandar. Semoga juga berfaidah untuk para peminat sejarah. (elha)
***
            Tulisan ini adalah makalah K.H. Sholeh Iskandar yang sedianya akan disampaikan dalam seminar “Pesantren di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949” yang diselenggarakan oleh Yayasan Histori Vitae Magistra, Jakarta, pada bulan Syawal 1412. Manusia merencanakan, Allah subhanahu wa ta’ala menentukan. Sebelum seminar dilaksanakan, pada hari Rabu, 18 Syawal 1412/22 April 1992, K.H. Sholeh Iskandar wafat. Media Dakwah mendapat kehormatan memperoleh izin dari keluarga Almarhum dan dari Panitia Penyelenggara untuk mempublikasikan data sejarah yang sangat berharga ini.
***
PERAN DAN KONTRIBUSI pondok pesantren dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia belum mendapat tempat yang layak dalam penulisan sejarah.
            Sikap budaya pesantren yang tidak mau menonjolkan diri (tawadhu’), di samping penulisan sejarah yang belum objektif, barangkali merupakan faktor yang menyebabkan kurang dikenalnya kontribusi mereka di dalam perang kemerdekaan. Sudah waktunya para sejarawan memberikan tempat yang layak bagi peran dan kontribusi pesantren di dalam penulisan sejarah kita. Forum seperti sekarang ini diharapkan mengarah kepada suatu penulisan sejarah yang lebih lengkap dan objektif.
Berbicara mengenai fungsi dan peranan pondok pesantren dalam perang kemerdekaan berarti kita berbicara mengenai salah satu babakan (episode) perjuangan umat Islam dalam mengusir kaum penjajah. Perang kemerdekaan hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari rangkaian perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Makna dari alinea kedua Pembukaan UUD 1945 ini adalah bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan yang dicapai melalui rangkaian perjuangan yang dilakukan oleh para ulama/kiai pejuang bangsa seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo, Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro, Sultan Hasanuddin, dan Sultan Babullah. Mereka inilah cikal bakal nasionalisme Indonesia.
Berbagai pemberontakan/perlawanan fisik sosial terhadap penguasa kolonial, senantiasa melibatkan kiai dan ulama. Pemberontakan massal yang terjadi di Cilegon, Banten, pada 1888 dipimpin oleh K.H. Wasid. Demikian pula pemberontakan yang meletus di Labuan pada tahun 1926, juga dipelopori ulama, yaitu K.H. Asnawi, K.H. Mukri, dan K.H. Tubagus Ahmad Khatib.
Perlawanan “kaum sarungan” terhadap kolonial tidak pernah berhenti. Perlawanan itu dapat berbentuk fisik, politik, sosial, ataupun kultural. Pada awal abad XX, organisasi sosial Indonesia pertama yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan pada tahun 1905 oleh kaum santriyin di kota Solo.
Organisasi politik Indonesia pertama yaitu Sarekat Islam didirikan pada tahun 1912 yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930. Kemudian disusul oleh partai-partai Islam lainnya seperti Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) tahun 1932 di Sumatera, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 di Jawa. Demikian pula cukup besar peranannya dalam melahirkan kader-kader pejuang kemerdekaan, organisasi Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdhatul Wathan, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis), Jami’iyatul Washliyah, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Mathla’ul Anwar, dan lain-lain.
Pemerintah pendudukan militer Jepang dimanfaatkan kaum santriyyin untuk menghidupkan kembali tradisi keprajuritan bangsa Indonesia, antara lain dengan dibentuknya Pembela Tanah Air (PETA) yang pada tingkatan pertamanya hampir seluruh pimpinan/Daidan PETA terdiri dari kiai/ulama, antara lain K.H. Abdullah bin Nuh, K.H. Syam’un, K.H. Basuni, dan K.H. Ahmad Khatib. Di masa ini pula berdiri Barisan Hizbullah yang berpusat di Cibarusah, Bekasi.
Sekalipun Jepang melaksanakan politik merangkul umat Islam, perlawanan kaum santriyin terhadap penguasa militer Jepang tidak pernah berhenti, seperti pemberontakan K.H. Zaenal Mustofa dan para santrinya pada tahun 1944 di Singaparna, Tasikmalaya.
Pesantren dan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia
Pesantren adalah lembaga tafaqquh fiddin (Q.S. At-Taubah ayat 122) yang menyelenggarakan pendidikannya dengan sistem Iqra terpadu (Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5), dan dilaksanakan dalam kesatuan tempat pemukiman, sehingga antara kiai dan santrinya menjadi kesatuan komando yang mudah dimobilisir.
Pondok pesantren didirikan dan dibina dengan kepemimpinan tunggal oleh para kiai atau ulama, sehingga antara pesantren dengan ulama tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Perang kemerdekaan adalah sikap, laku, perbuatan, pekerjaan, dan perjuangan untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dan melawan sisa-sisa kekuasaan Jepang, tentara Sekutu dan Belanda yang akan mengembalikan penjajahan. Perang kemerdekaan ini berlangsung mulai tanggal 17 Agustus 1945 sampai 29 Desember 1949.
Selama periode perang kemerdekaan, kiai-kiai dan ulama-ulama pondok pesantren mengambil peranan aktif seperti yang terjadi di Jawa Barat sebelah barat, khususnya daerah Banten dan Bogor yang termasuk pada bagian pengalaman pemakalah sebagai mantan Pimpinan Markas Perjuangan Rakyat, Pimpinan Hizbullah, Komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) Batalyon IV dan VI dan Sektor Komandan IV Pengawal Garis Demarkasi Persetujuan Linggajati dan Renville yang memisahkan daerah Republik Indnesia di Bogor dan Banten.
Allahu Akbar! Allah Maha Besar yang telah berkenan membangunkan dan mempersatukan hati bangsa Indonesia untuk merdeka sampai ke titik kebulatan tekad: “Merdeka!” atau “Mati”.
Dan ini dibuktikan oleh gerakan-gerakan pondok pesantren, khususnya di daerah Banten, yang telah berhasil mempergunakan momentum Proklamasi Kemerdekaan untuk mencetuskan revolusi rakyat yang sangat dikhawatirkan semua pihak akan mengarah kepada revolusi sosial yang akan membawa malapetaka dan korban yang sia-sia.
Alhamdulillah kekhawatiran itu tidak terjadi. Sebab ternyata ulama-ulama pondok pesantren berjuang dengan motivasi semata-mata karena Allah (lillah) untuk tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga setelah perjuangan menegakkan kemerdekaan selesai, jabatan-jabatan pemerintahan baik sipil maupun militer buat sebagian besar diserahkan kepada putera-putera Indonesia yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia yang dianggap bisa memikul amanah di bidangnya masing-masing. Dengan tulus ikhlas –sesudah perang kemerdekaan selesai—para kiai/ulama turun panggung.
Apabila ada gejala-gejala revolusi sosial seperti terjadi pembunuhan terhadap Bupati Rangkasbitung, pertempuran dengan orang-orang Cina di daerah Tangerang, dan kudeta terhadap pemerintah Keresidenan Banten tahun 1946, itu didalangi oleh dewan-dewan revolusioner yang sengaja dibentuk oleh anasir-anasir komunisme yang memang sebagian menggunakan kharisme kiai/ulama.
Dalam hubungan ini perlu dicatat berlangsungnya pertemuan para ulama dan kiai pada tanggal 17 Agustus 1945 malam di Leuwiliang yang turut dihadiri oleh H. Dasuki Bakri, Codanco PETA yang berasal dari daerah tersebut. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk Markas Perjuangan Rakyat.
Selanjutnya untuk memudahkan studi kita mengenai peran ulama pondok pesantren dalam perjuangan, maka kita bagi sejarah tersebut pada beberapa tingkatan dan gelombang sebagai berikut:
1.    Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan sampai Persetujuan Linggajati,
2.    Persetujuan Linggajati sampai dengan Persetujuan Renville, dan
3.    Persetujuan Renville sampai dengan Penyerahan Kedaulatan.
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan Persetujuan Linggajati
Proklamasi Kemerdekaan disambut secara massal dengan melakukan berbagai kegiatan yang bermuara kepada:
a.    Penyusuan potensi, antara lain berdirinya pasukan inti Hizbullah di bawah pimpinan E. Effendi, dan E.Muhammad Kurdi dari pasukan bekas PETA di bawah pimpinan H. Dasuki Bakri, dan R. Tarmad Atmawijaya,
b.    Melucuti tentara Jepang yang lemah untuk mengambil alat perlengkapan senjatanya, seperti terjadi di Nanggung dan Kracak, dan
c.    Membangun pemerintah Republik Indonesia sehingga di daerah Banten jabatan-jabatan kepala daerah sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan diduduki dan dijabat oleh para ulama, antara lain:
c.1. Residen Banten dijabat oleh K.H. Ahmad Khatib dari Pondok Pesantren Caringin.
c.2. Bupati Kabupaten Serang dijabat oleh K.H. Syam’un dari Pondok Pesantren Citangkil,
c.3. Bupati Kabupaten Lebak/Rangkasbitung dijabat oleh K.H. Tubagus Hasan dari Pondok Pesantren Kebagusan Maja, dan
c.4. Bupati Kabupaten Pandeglang dijabat oleh K.H. Abdul Hadi dari Pondok Pesantren Cimanuk.
Di daerah Bogor disusun pula pemerintahan tingkat Keresidenan, Kotamadya, dan Kabupaten yang dikoordinir oleh R. Husen Sastranegara dan M. Yunus, Kepala Polisi Keresidenan dan Kotamadya Bogor. Akan tetapi pada waktu itu pemerintah pusat memerintahkan agar Kotamadya Bogor diserahkan kepada tentara sekutu. Selanjutnya di daerah Bogor Barat dilakukan pembubaran pemerintahan partikulir (swasta) dan diganti dengan pemerintah Republik Indonesia sampai ke tingkat kecamatan dan desa-desa, juga dipimpin oleh para kiai seperti K.H. Abdul Hamid, Camat Leuwiliang yang kemudian gugur.
Bersamaan dengan itu dibangun pula markas-makas perjuangan pedesaan yang bertugas menghimpun dan memelihara potensi yang ada di desanya, mengatur pengumpulan perbekalan sehingga lumbung-lumbung padi tempat menyimpan hasil cukai tanah partikulir tetap selalu berisi, berkat kesadaran dan dukungan umat. Koodinasi di bidang perbekalan ini dipimpin oleh E. Sanusi Leuwiliang.
Di samping itu juga dikembangkan dan diarahkan unit usaha/ekonomi yang dapat membantu dana perjuangan, antara lain dengan mengusahakan pabrik teh, perkebunan teh Cileuksa, Pasir Madang, Kecamatan Cigudeg, yang produksi tehnya kemudian sebagian diselundupkan ke daerah pendudukan Belanda ditukar dengan pakaian, obat-obatan, bahan bakar, dan spare part  yang keseluruhannya bisa menopang perjuangan bersenjata sampai dengan masa penyerahan kedaulatan.
Markas-markas perjuangan desa dikoordinir oleh para kiai/ulama terkenal di desanya, seperti:
1.    Wilayah Kecamatan Cibungbulang: K.H. Abdul Hamid, K.H. Mad Soleh, H.M. Parta, K.H. Soleh Fajar, KK.H. Abdul Mu’thi, K.H. Sayuti, Ibu Siti Aisyah, dan Moh. Sa’un;
2.    Wilayah Kecamatan Ciampea: K.H. Otoy Syafe’i, K.H. Marga, Muallim Miftah, K.H. Anwar Arif, Muhammad Sanusi, H. Abdul Hamid, H. Abdul Rahim, K.H. Fahrurroji, Muallim Abdul Fatah (gugur), K.H. Nali, K.H. Abdul Syukur, dan K.H. Abdul Hamidi;
3.    Wiilayah Kecamatan Ciomas: K.H. Abdul Karim, Hasan Sanasib, Adun, K.H. Aceng Falak, Muhammad Hidayat, Abdul Karim , dan Asmin Saleh;
4.    Wilayah Kecamatan Leuwiliang: K.H. Moh.Noch Nur, Muallim Masduki, K.H. Baihaqi, H. Moh. Khatib, Ojeh Kurnaen, A. Syukri, E. Mohammad Sanusi, E. Moh. Kurdi, K.H. Bakri, K.H. Iyung, dan K.H. Ace Tabroni;
5.    Wilayah Kecamatan Cigudeg: K.H. Sarta, H. Sukari, H. Ukar, H. Ismet, dan H. Usman; serta
6.    Wilayah Kecamatan Jasinga: Moh. Tohir, E. Moh. Kahfi, K.H. Mardana, Kiai Mujitaba, Kiai Ahyar, Amir Husein, K.H. Jamsari, dan K.H. Hasbullah
Di samping itu digerakkan pula kegiatan nonfisik, menumbuhkan kepercayaan diri, baik yang benar maupun yang salah di antara lain dengan melakukan doa massal, shalat tahajjud, shalat hajat, dan qunut nazilah. Malah Almarhum K.H. Hasbullah, pimpinan Pondok Pesantren Garisul, Jasinga, pada periode itu menjadi tumpuan harapan orang banyak yang datang berduyun-duyun dari segala pelosok datang meminta azimat kulit macan, air doa supaya kebal terhadap senjata api dan senjata tajam. Hal ini tentu saja merupakan hal yang irrasional dan memang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Akan tetapi pada waktu itu justru dianggap cukup rasional karena rakyat ingin berjuang melawan penjajah namun tidak punya senjata apa pun, sedangkan K.H. Hasbullah sanggup memberikan senjata perangkat lunak sehingga orang berani pergi ke medan perang.
Dalam rangka pengumpulan persenjataan, didapatkan tiga buah senjata perang Australia/Jepang di Gunung Jakinum dan sejumlah senjata yang dibuang oleh tentara Jepang ke dalam Danau Lido di Cigombong, Bogor, berupa senjata ringan seperti karaben, pistol, granat, ranjau-ranjau darat, dan mesiu. Senjata-senjata itu terus menerus diselami oleh rakyat dan belakangan dijualbelikan sehingga tidak sedikit rakyat yang membeli senjata dan diserahkan baik kepada pasukan Hizbullah maupun kepada Batalyon Tentara Keamanan Rakyat (TKR), H. Dasuki Bakri.
Pertempuran-pertempuran
Dengan ruhul jihad yang tinggi disertai harapan menjadi syuhada, maka pertempuran pun terjadi di mana-mana, dengan berpedoman kepada strategi al-Quran: “Berangkatlah ke medan laga, kelompok demi kelompok, atau gempur secara total.” (Q.S. An-Nisa ayat 71).
Oleh karena itu pertempuran dilakukan dengan kelompok-kelompok kecil secara bergerilya dan hanya satu atau dua kali saja dilakukan serangan secara besar-besaran dan bersama-sama.
Dapat kita catat dari sekian banyak pertempuran yang meminta korban, antara lain sebagai berikut:
1.    Penyerangan terhadap pos Sekutu/Belanda di Serpong yang dilakukan oleh barisan masyarakat Banten, dan membawa korban cukup banyak dengan bukti sejarah di sana terdapat Taman Makam Pahlawan Seribu;
2.    Pertempuran di bawah pimpinan K.H. Jamsari dengan tentara Sekutu di Sndangbarang (sekitar 3 kilometer dari kota Bogor), menyebabkan gugurnya 26 orang syuhada;
3.    Pertempuran antara tentara Sekutu/Belanda dengan pasukan Hizbullah di Babakan, Kampung Parung/Ciseeng, Kecamatan Parung, yang menyebabkan Ustadz M. Muchtar, Kompi Komandan dari Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, gugur sebagai syuhada. Pertempuran terjadi pada tanggal 13 Juni 1946, mulai pukul 07.00 sampai pukul 18.00;
4.    Penyerbuan terhadap Istana Bogor dan markas Sekutu/Belanda di Kota Paris bersama-sama dengan TKR. Dalam penyerbuan ini antara lain gugur K.H. Jamhari, Pimpinan Pondok Pesantren Ciledug, Barengkok, Leuwiliang; K.H. Emoj Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren Karehkel, Leuwiliang; H. Encep Karta, dan lain-lain;
5.    Pertempuran di Leuweungkolot, Kecamatan Cibungbulang, yang dilakukan oleh pasukan Hizbullah di bawah pimpinan Sholeh Fajar, dan Abdul Rohim. Dalam pertempuran ini, Sekutu kehilangan sejumlah senjata dan sebuah tank baja;
6.    Pertempuran dengan pasukan Sekutu/Belanda di Cihideung (sekarang kampus Institut Pertanian Bogor, IPB) yang menyebabkan Mayor Jenderal Tamad Atmawijaya terluka; dan
7.    Pertempuran selama tiga hari tiga malam di Gunung Menyan di bawah pimpinan K.H. Abdul Hamid dengan mengerahkan semua pasukan yang ada. Pertempuran ini berakhir dengan serangan udara besar-besaran oleh Sekutu, dan dibumihanguskannya Kampung Pasarean.
Persetujuan Linggajati sampai dengan Persetujuan Renville
            Menjelang Persetujuan Linggajati, posisi kita di Bogor Barat adalah Markas TKR di Ciampea, Polisi Tentara di Cibatok, dan Batalyon Hizbullah di Leuwiliang. Berdasarkan Persetujuan Linggajati, terjadi perubahan yang cukup merugikan sehingga Batalyon TKR harus memindahkan markasnya ke perkebunan Cianten, Batalyon Hizbullah ke perkebunan Nanggung[2], dan Polisi Tentara ke perkebunan Cikasungka, Cigudeg.
            Dalam periode Persetujuan Linggajati yang kita garap pertama adalah penempatan para pengungsi dalam jumlah besar yang meninggalkan kampung dan desanya. Di antara para pengungsi itu terdapat tokoh-tokoh nasional seperti R. Ipik Gandamanah, R.E. Abdullah,Jusi Jusuf (Jenderal eks Kalimantan), dan lain-lain.
            Didirikan pasar-pasar darurat dan diatur waktu penyelundupan rakyat ke daerah pendudukan Belanda untuk mengurus dan memelihara harta kekayaan mereka di sana, melanjutkan konsolidasi teritorial di daerah pendudukan, menyelenggarakan pelatihan-pelatihan militer, dan melakukan pertempuran-pertempuran seperti telah diuraikan di atas.
            Khusus untuk daerah pendudukan, kita bentuk Batalyon Perjuangan di bawah pimpinan Letnan Satu Mohammad Kurdi.
Batalyon IX Hizbullah bersama Batalyon IX/Brigade I TKR mengawal garis demarkasi secara terkoordinir dan tidak pernah terjadi insiden, baik dengan lawan maupun antarkawan. Semua tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala: “Laksanakan segala janji.” (Q.S. Al-Maidah ayat 1)                     
Persetujuan Renville sampai dengan Penyerahan Kedaulatan
Persetujuan Renville dilihat dari segi militer sangat merugikan, karena TNI sebagai tentara rakyat dipisahkan dari   rakyatnya, sekalipun tidak mengurangi kesempatan juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Dengan Aksi Militer II Belanda, terjadilah mobilisasi dan koordinasi antara pasukan perjuangan yang bernafaskan Islam di daerah-daerah kantong, antara lain pasukan Hizbullah S.M. Palar yang berlokasi di daerah Cicurug, Sukabumi; pasukan Hizbullah/Sabilillah Sukabumi yang sudah berganti nama menjadi Pasukan Rakyat (PR) kemudian menjadi Pembela Rakyat (PM) di bawah pimpinan K.H. Damanhuri, K.H. Dadun Abdul Qohhar, Dadi Abdullah, dan Husein Bakhtiar; pasukan Hizbullah/Sabilillah di bawah pimpinan Ayip Zuchri, Ayip Samin, dan K.H. Mansyur di Banten; pasukan Hizbullah/Sabilillah Bekasi di bawah pimpinan K.H. Noer Aly; dan pasukan Hizbullah di bawah pimpinan Nafsirin Hadi dari Labuan, Banten.
Sisa-sisa TNI Batalyon X, dan Polisi Tentara yang tidak bersedia hijrah ke Yogyakarta juga dikonsilidir dan mereka dimasukkan dalam formasi Batalyon Hizbullah dan atau Batalyon Perjuangan.
Dengan perkiraan bahwa perjuangan kemerdekaan akan mengambil waktu yang lama, disepakati kerjasama dan saling bantu membantu dalam konsolidasi dan gerakan-gerakan militer yang teratur.
Dalam hubungan ini perlu dicatat berlangsungnya pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan di Peuteuy, Nanggung, Bogor, membahas sikap terhadap gerakan Darul Islam (DI). Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan dengan penuh tanggung jawab, diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi Darul Islam, dan melanjutkan perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Perlu diteliti, dalam rangka melengkapi penulisan sejarah kemerdekaan, proklamasi Negara Rakyat dengan tentara rakyatnya di daerah Karawang yang kemudian setelah penyerahan kedaulatan, kekuatannya dipusatkan di Banten Selatan.
Hizbullah dan Tentara Nasional Indonesia
Dalam makalah Al-Mukarram Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayyidiman Surjohadiprodjo pada seminar Sejarah Militer yang diselenggarakan oleh Yayasan Historia Vitae Magistra, antara lain tertulis: “Gerakan hijrah itu amat menguntungkan Belanda, baik dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun masih ada pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun kekuatan mereka terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang berarti. Malahan nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan Republik ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang Kemerdekaan II. Sebagai pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak menyerang TNI daripada Belanda.”
Demikian analisa dan pendapat Al-Mukarram Jenderal Sayyidiman yang isinya berbeda atau bertentangan dengan pendapat E. Kawilarang yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah.
Dalam pada itu perlu diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi, dan seorang hamba Allah yang lain (Sholeh Iskandar –ed), sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam waktu perang dan damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi TNI-AD sebagai Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.
Formasi Batalyon Hizbullah itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan Selamat (terakhir menjabat sebagai Gubernur Maluku).
Lebih jauh kiranya Al-Mukarram Jenderal Sayyidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi militer Belanda, Resiment Jaggers Batalyon 3, mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan.[3]   
Batalyon Hizbullah ini sesudah penyerahan kedaulatan, menjadi Batalyon 0/ Hizbullah dalam Kesatuan Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi yang selanjutnya Komandan Batalyon diserahterimakan (dari Mayor TNI-AD Sholeh Iskandar –ed) kepada Soekendro (Mayor Jenderal).[4]
Sejumlah 1000 lebih anggota memilih secara sukarela tidak melanjutkan karir militer dan kembali ke masyarakat, menghadapi hidup yang penuh kesulitan sehingga ada di antara perwira/prajurit belum terganti rumahnya yang hancur dibumihanguskan.
Penutup
Penulisan sejarah ini di satu pihak sebagai penghargaan kepada para ulama, kiai, dan para pejuang yang telah berjuang, dan di lain pihak sekadar untuk menentukan strategi pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) di mana pernah terjadi daerah kecil seperti Kewedanaan Jasinga dan sekaligus Kewedanaan Leuwiliang selama masa perang kemerdekaan 1945-1949 tidak pernah ditinggalkan dan bisa dipertahankan.
Sebagai contoh paling sederhana, garis demarkasi Linggajati dan Renville, masih tetap di daerah Kewedanaan Leuwiliang.
Semuanya terjadi, pertama karena dukungan dan perlindungan dari rakyat dan terjalinnya hubungan kejiwaan/solidaritas yang intim. Kedua, rasa percaya diri yang tumbuh akibat penyerahan diri (taslim dan tawakkal) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Pencipta dirinya.  
Demikianlah. Semoga bermanfaat adanya. Amin.[]























[1]  Ini untuk kedua kalinya K.H. Sholeh Iskandar diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Pada tahun 1995, sehubungan dengan ulang tahun kemerdekaan ke-50 Republik Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Mohammad Natsir (1908-1993), Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982), Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), K.H. Noer Ali (1914-1992)), dan K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992). Usul yang diungkapkan oleh Ketua Umm MUI, K.H. Hasan Basri  itu mendapat dukungan dari Wakil Ketua (sekarang Rais ‘Aam Syuriah --ed) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Mustofa Bisri, dan Wakil Ketua (Ketua Umum 1998-2005 --ed) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Ahmad Syafii Maarif. Lihat, Anwar Harjono, “Gelar Pahlawan Nasional untuk Lima Tokoh Pejuang (Bapak M. Natsir dan Kawan-kawan)” dalam Media Dakwah Nomor 251, Dzulhijjah 1415/Mei 1995, halaman 6-8.
[2]  Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Sholeh Iskandar itu hijrah dari Leuwiliang ke markasnya yang baru di kampung Jangkar Wetan, dan Sidamulya, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung. Sebagai ucapan terima kasih atas jasa masyarakat di kedua kampung itu, pada 23 Sya’ban 1412 bertepatan dengan 26 Februari 1992, K.H. Sholeh Iskandar selaku Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat meresmikan selesainya pembangunan Pusat Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Peresmian itu menandai berakhirnya masa gelap gulita tanpa listrik di kedua kampung tersebut. Untuk proyek ini, BKSPP menyumbangkan turbin dan pipa. Siapa sangka, itulah kunjungan terakhir Sholeh Iskandar ke markas perjuangannya di masa perang kemerdekaan. Sekitar dua bulan sesudah kunjungan itu, 18 Syawal 1412/18 April 1992, Sholeh Iskandar wafat, padahal dalam kunjungan itu Sholeh Iskandar yang harus berjalan kaki pulang pergi sejauh 4 kilometer di bebatuan yang licin dan mendaki, tampak sangat bergembira. Kepada masyarakat Jangkar Wetan dan Sidamulya,  “saya tidak memberikan apa-apa. BKSPP cuma memberikan fasilitas ketika prakarsa masyarakat sudah berjalan,” ujar Sholeh Iskandar merendah.  Tentang peresmian PLTM di Nanggung itu, lihat “Kekecewaan Melahirkan Kreativitas dan PLTM” dalam Media Dakwah Nomor 214, Ramadhan-Syawal 1412/April 1992.
[3] Monumen perjuangan sederhana yang dibangun para veteran pejuang di daerah Leuweung Kolot, Bogor, merupakan saksi bisu atas kehebatan dan keheroikan perjuangan pasukan Sholeh Iskandar di masa Perang Kemerdekaan.
[4]  Pada 1950, Sholeh Iskandar melepaskan karir militernya dengan pangkat terakhir Mayor TNI-AD. Meskipun demikian, perhatiannya terhadap nasib para bekas pejuang kemerdekaan tidak pudar. Dia turut membidani lahirnya Markas Besar Legium Veteran Republik Indonesia (LVRI). Dalam kepengurusan pertama LVRI, bersama Chairul Saleh (Wakil Perdana Menteri III era pemerintahan Presiden Sukarno), Sholeh Iskandar tercatat sebagai Wakil Ketua dengan Kolonel Pringadi sebagai Ketua Umum. Sholeh Iskandar juga menjadi Ketua Umum Persatuan Pejuang Islam Bekas Bersenjata. Bersama-sama mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, mantan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia Djanamar Adjam, kakak kandungnya H. Anwar Arif, dan sejumlah tokoh masyarakat Bogor Barat, Sholeh Iskandar mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Darul Falah di Ciampea. Anggota Pimpinan Pusat Partai Masyumi ini tercatat pula sebagai salah seorang pendiri Universitas Ibn Khaldun Bogor. Bersama dengan K.H. Noer Ali, K.H. Abdullah Sjafi’i, K.H. Abdullah bin Nuh, K.H. E.Z. Muttaqin, dan lain-lain, Sholeh Iskandar membentuk dan diberi amanah untuk memimpin Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Atas berbagai jasanya kepada bangsa dan negara, pada pertengahan tahun 1990-an, Presiden Soeharto menganugerahi Bintang Mahaputera kepada Sholeh Iskandar.