HADIMULYO
Islam Yes! Partai Islam Yes!
(Media Dakwah Nomor 216,
Dzulhijjah 1412/Juni 1992, halaman 63-66)
“TEMAN-TEMAN yang
mau ikut Golput (Golongan Putih), saya tetap hargai. Hak untuk tidak
menggunakan haknya itu, saya hargai. Saya sendiri mantan Golput,” tutur Drs. Hadimulyo, M.Sc, menyikapi kaum
muda Islam yang mengelompokkan diri ke dalam “Partai Putih” atau Golongan
Putih.
Menurut aktifis
lembaga swadaya masyarakat (LSM) kelahiran Pati, Jawa Tengah, 1 Juni 1951, ada dua
alasan orang memilih Golput. Pertama,
karena menganggap di Indonesia tidak ada partai Islam. Bahwa Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) bukan partai Islam, dipercaya oleh sebagian kaum muda dari
kalangan remaja masjid, misalnya. Kedua,
karena mereka tidak berdaya mengubah sistem yang ada, yang hanya akan
memunculkan orang yang itu-itu juga, dalam atmosfir politik Orde Baru.
Argumentasi yang
memandang di Indonesia tidak ada partai Islam, bagi Ketua Presidium Nasional
Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) ini, sangat lemah. Karena akar sejarah PPP
adalah gabungan dari partai-partai Islam: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan
Partai Islam PERTI.
“PPP akan dihujat
dan dihajar jika di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memperjuangkan aspirasi
Islam. Ini berbeda dengan Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI),” tegas Hadimulyo. “Jika Golkar dan PDI tidak memperjuangkan
aspirasi umat Islam, itu wajar, karena kita tahu sejarahnya,” tambah Direktur
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta itu.
Sebagai orang
yang ingin memfokuskan perjuangannya pada dataran teoritik-konsepsional,
Hadimulyo bersama Dr. Ir. Sri-Bintang Pamunkgas, dan Dr. Ir. A.M. Saefuddin,
duduk dalam sub-Tim Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dipersiapkan
oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP-PPP) periode
1989-1994 untuk dimajukan sebagai Rancangan GBHN ke Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) 1993. Sub-Tim ini dipimpin oleh Ketua DPP PPP,
Hj. Aisyah Aminy, S.H.
Kilas balik
perjalanan hidupnya memperlihatkan secara jelas bahwa Hadimulyo sejak dini
telah masuk dan berproses di dalam arus gerakan Islam (Islamic movement).
Alumni Fakultas
Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini
Universitas Islam Negeri, UIN –ed)
Syarif Hidayatullah Jakarta (1979) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum
(1973-1974) dan Ketua Umum (1974-1975) Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, Kudus; Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat
(1978-1979).
Dalam dunia LSM,
Hadimulyo tercatat sebagai salah seorang pendiri Himpunan untuk Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat (HP2M,1979), Koordinator Jaringan Action Research Indonesia (JARI, 1984-1986), staf peneliti Lembaga
Penelitian, Pendidikan. Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES, 1981-1983), dan
pimpinan Program Pengembangan Masyarakat melalui Pesantren LP3ES (1983-1986).
Selain sebagai
Koordinator Tim Manajemen Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (sejak 1989),
laki-laki yang oleh kalangan dekatnya akrab dipanggil Mas Hadi, juga aktif
menulis di berbagai media massa.
Lelaki peramah
dan murah senyum, yang rambutnya mulai disisipi oleh warna putih itu meraih
gelar Master of Science (M.Sc) pada
program Social Development Studies,
Departement Sociology-Antrophology, Ateneo
de Manila, di Quezon, Filipina pada 1988.
Perihal dirinya
yang kini terlibat dalam dinamika perjuangan PPP, Hadimulyo kerap
mengidentifikasikan dirinya kepada pemikir-aktivis politik Indonesia masa lalu.
“Para pemikir-aktifis politik yang langsung berjuang melalui partai politik,”
ujarnya, “akan melahirkan gugusan pemikiran politik yang benar-benar telah
teruji secara riil, karena telah melalui pergulatan ide yang keras dan tajam.”
Mudah diduga dan
wajar belaka jika Hadimulyo kemudian mengagumi para pemikir-aktifis politik
seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Sjafruddin
Prawiranegara, Sutan Sjahrir, dan bahkan Tan Malaka.
Kepada Yudi Pramuko SPI dari Media Dakwah, calon anggota legislatif
PPP dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta (pada Pemilihan Umum 1992 –ed) yang aktif menyumbangkan
pemikirannya melalui berbagai seminar di dalam dan luar negeri itu di
kediamannya, bilangan Tangerang, memaparkan obsesi, kritik, dan renungannya
terhadap perkembangan dunia politik Orde Baru.
Apa tanggapan Anda terhadap kehidupan politik Indonesia
dewasa ini?
Saya melihat
periode sekarang adalah periode transisi. Periode transisi ke arah
demokratisasi yang menurut saya merupakan suatu keniscayaan. Karena apa yang
terjadi di Indonesia bisa dilihat juga persamaannya dengan negara-negara lain
seperti Filipina, Korea, Thailand, Myanmar, bahkan di Afrika dan Amerika Latin.
Jadi,
kecenderungan perubahan dari otoritarianisme ke arah kehidupan demokratis,
terutama di Amerika Latin yang berubah dari otoritarianisme-militer ke
demokratisasi-sipil, merupakan gejala umum.
Masalahnya, ada
masyarakat yang responsif, ada yang tidak. Di sini yang menentukan adalah
kondisi kultural, dan kondisi budaya politik masing-masing negara. Misalnya,
mengapa demokrasi yang bersifat liberal hidup di Filipina, namun tidak terjadi
di Indonesia.
Nah, di Indonesia
proses yang paling mungkin adalah proses melalui pemilihan umum (pemilu). Itu
dilakukan untuk menjaga agar proses demokratisasi jangan berlangsung secara
amuk. Jangan dengan revolusi. Kita sudah trauma dengan hal-hal seperti itu.
Inilah yang menyebabkan saya percaya kepada pemilu, karena hanya lewat pemilu
yang dilaksanakan secara fair –yang
sering disebut luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan
adil)—itulah proses demokrasi termanifestasikan. Dan justru pemilu adalah awal
dari proses itu. Yang menjadi masalah kini adalah demokratisasi ke arah mana
yang kita kehendaki.
Kita adalah
negara yang mempunyai warisan budaya, yang di daerah tertentu, tidak demokratis.
Akan tetapi, banyak daerah yang punya akar atau warisan budaya yang demokratis.
Katakanlah Sumatera Barat. Di sana prinsip musyawarah menjadi bagian dari adat,
dan adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah. Ini sebenarnya akar
demokrasi dan ruhnya Islam.
Saya meragukan
ilmuwan politik (political scientist)
yang mengatakan bahwa demokrasi tidak punya akar di Indonesia. Memang ada dua
pandangan mengenai hal ini. Pertama,
pandangan bahwa demokrasi punya akar budaya di Indonesia. Pandangan ini dianut
antara lain oleh Deliar Noer. Kedua,
pandangan bahwa demokrasi tidak punya akar di budaya di Indonesia. Pandangan
ini antara lain dianut oleh Amir Santoso. Saya sependapat dengan pandangan
Deliar Noer
Ada dua isu: demokratisasi dan hak-hak asasi manusia.
Apakah Indonesia mengarah ke sana?
Saya kira, mau
tidak mau, harus mengarah ke sana. Bukankah Indonesia ingin berdiri sejajar
dengan negara-negara lain secara terhormat. Nah, saya kira jika Indonesia mau
diperhitungkan sebagai bangsa besar dan terhormat, ukuran-ukuran internasional
yang dalam konteks ini adalah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga harus
dipertimbangkan. Ukurannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi nasional dan
militer, tetapi sejauh mana hak-hak politik dan kultural rakyat, hak-hak
mengekspresikan diri, berorganisasi, dan berpendapat, betul-betul dijalankan.
Sebetulnya kita
tidak perlu memakai ukuran internasional. Memakai ukuran Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 saja pun masih banyak yang belum dijabarkan ke dalam peraturan
perundang-undangan sebagai mestinya.
Untuk mengarah ke
sana, agenda utama kita bagaimana menjabarkan UUD 1945. Jika kini ada istilah meningkatkan
harkat dan martabat manusia, itulah sebenarnya hak-hak asasi manusia menurut
pandangan Indonesia.
Konon memudarnya citra partai politik Islam, sebut saja
PPP, merupakan akumulasi rekayasa Orde Baru, dan makin menguatnya ide-ide
Nurcholish Madjid yang bermuara pada anti-Negara Islam?
Sekarang ini saya
tidak tahu politik Islam Orde Baru yang sebenarnya. Akan tetapi kalau kita
lihat, memang ada kecenderungan untuk mengembangkan Islam bukan dari sisi
politiknya. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari Snouck Hurgronje atau
bukan.
Menurut saya,
tentang perlu atau tidaknya negara Islam, itu bagian dari perdebatan di masa
lalu. Di sini saya agak berbeda dengan kawan-kawan yang melihat Islam sebagai
ideologi. Kalau ada ideologi yang merupakan derivasi,
atau bersumber dari nilai-nilai Islam, ya, saya setuju.
Memandang Isam sebagai
ideologi, menurut saya, menurunkan derajat ajaran Islam itu sendiri. Padahal
Islam itu wahyu. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menolak adanya ideologi yang
merupakan turunan dari nilai-nilai Islam yang disistemtisasikan.
Anda percaya sekali kepada demokrasi
Kenapa saya
percaya kepada demokrasi, karena kalau demokrasi berjalan betul tentu produk
politiknya tidak akan menyimpang dari nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat
banyak. Karena Islam di negeri ini mayoritas, jika betul-betul demokratis, saya
tidak bisa membayangkan ada produk perundang-undangan yang bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Dewasa ini setiap
kali ada usaha untuk mencoba melenyapkan aspirasi Islam, selalu mendapat
perlawanan. Lihat misalnya kasus Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama,
dan Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian, dalam pengamatan
saya,sekarang ada yang mulai mengutak-atik UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
Saya melihat usaha-usaha seperti itu merupakan
usaha untuk memisahkan keindonesian dari nilai keislaman yang merupakan akar
budayanya.
Bagaimana dengan kemajemukan masyarakat kita?
Memang,
masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk. Ada agama lain selain agama
Islam yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia. Tetapi, yang kita
perjuangkan adalah representasi. Sekarang ini umat Islam secara politis under represented. Inilah yang perlu
kita perjuangkan, dengan atau tanpa partai politik yang berlabel Islam, dan
bisa dimulai dengan bermacam-macam cara.
Inilah yang saya
sebut politik gaya baru (The New Politics), yakni kombinasi
antara electoral politics, politik
seperti yang ada sekarang ini, dengan politik masyarakat yang ada di luar
gedung parlemen. Kombinasi ini sebenarnya sudah pernah dilakukan saat
pembahasan RUU Perkawinan pada tahun 1973. Karena RUU Perkawinan saat itu
terasa tidak cocok dengan nilai-nilai mayoritas bangsa, maka selain dibahas di
parlemen, muncul juga tekanan (pressure)
dari parlemen jalanan.
Persoalannya ternyata tidak sederhana. Kalau demokratis,
perundang-undangan yang beraspirasi Islam pasti muncul. Faktanya....
Sekarang belum
seperti itu. Diskusi kita tadi kan soal demokrasi. Ya, sekarang sudah ada
demokrasi, tapi masih formal, belum substansial.
Anda melihatnya begitu?
Ya.
Pranata-pranata demokrasi sudah diletakkan, kelembagaan, dan lainnya. Tetapi,
ini harus diisi. Prosesnya, orangnya, dan masih banyak lagi yang harus
disempurnakan, harus diperbarui.
Ketika MPR sudah terbentuk, dan orang-orang sudah
berkuasa; rakyat atau umat Islam tidak lagi dijadikan basis argumentasi. Ini
berbeda dengan saat kampanye yang selalu mengatasnamakan rakyat. Bagaimana?
Sampai saat ini
saya belum pernah menjadi anggota DPR atau MPR. Jadi, saya belum melihat
bagaimana argumentasi masing-masing untuk mengusulkan atau mengegolkan ide-idenya
menjadi Ketetapan MPR atau menjadi produk perundang-undangan.
Saya mengusulkan
agar diskusi atau perdebatan di DPR dan MPR dilakukan secara transparan,
terbuka. Artinya bisa diikuti oleh media massa, sehingga akan jelas apakah
wakil-wakil rakyat itu benar-benar memenuhi kepentingan rakyat atau tidak.
Jadi, pers kita langsung melihat apa-apa yang diperjuangkan oleh masing-masing
fraksi.
Dengan cara itu
kita akan melihat juga apakah obral janji dalam masa kampanye, betul-betul
diperjuangkan di gedung parlemen atau tidak.
Selalu ada jarak antara janji kampanye dengan realitas politik
pasca pemilu.
Di sini agak
susah. Itu hanya mungkin dicek, terlepas berhasil atau tidak, bahwa partai akan
memperjuangkan aspirasi atau tidak, jika diekspose oleh pers. Akan tampak
nanti, janji partai semata janji atau tidak.
Jadi, agenda
pertama yang harus dimainkan oleh anggota DPR/MPR adalah meninjau produk
perundang-undangan yang anti-Islam, dan yang menghambat proses demokratisasi.
Logikanya, makin
banyak anggota MPR yang prodemokratisasi, makin mungkin terjadi perubahan.
Makin banyak yang prostatus quo, ya kita kehilangan harapan (hopeless). Nah, pemilu inilah peluang
untuk mewujudkan harapan itu.
Saya lebih
percaya pemilu daripada kudeta. Ha... ha... ha....
Anda percaya pemilu. Bagaimana dengan Golput yang tidak
percaya kepada mekanisme pemilu.
Golput adalah
cerminan powerlessness, perasaan
ketidakberdayaan, karena semuanya dianggap bersifat struktural dan sistemik,
sehingga dianggap pula tidak mungkin bisa berubah. Padahal, apa sih yang tidak
bisa berubah di dunia ini.
Beberapa waktu
yang lalu saya memang Golput. Saya lihat masih terlalu kuat. Kini ada proses
pencairan. Kekuatan di Golkar tidak monolitik. Di Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) juga tidak lagi monolitik.
Di dalam golongan
dan partai ada garis keras, ada yang moderat, ada juga yang konservatif. Ada
yang radikal properubahan, ada yang properubahan tetapi moderat, dan ada yang
konservatif prostatus quo. Kita harapkan elemen-elemen progresif yang properubahan
menjadi mayoritas.
Makanya saya
lebih cenderung atau berharap anggota-anggota DPR menggunakan haknya sebagai
individu. Suara fraksi itu hanya untuk memudahkan saja. Haknya sebagai individu
harus eksis. Kalau tidak, ya susah. Apa artinya jadi anggota DPR jika tidak
punya hak individu.
Anda melihat ada proses pencairan?
Ada pencairan.
Adanya “doa politik” (sejumlah tokoh mendoakan agar H.M. Soeharto terpilih
kembali pada SU MPR 1993 –ed), itu
karena Pak Alamsjah Ratuperwiranegara tidak sabar melihat perkembangan.
Jadi, saya
melihat kemungkinan perubahan itu ada, walaupun secara gradual. Hambatan demokratisasi sebenarnya harus dilihat pada
beberapa dataran. Pertama, hambatan pada dataran konseptual-teoretik. Kedua, hambatan legal-struktural berupa
produk peraturan perundang-undangan. Ketiga,
hambatan dari budaya politik.
Kalau kita mau
demokratisasi, kita harus menggarap ketiga bidang itu. Aspek teoretik,
perundang-undangan, dan budaya politik. Saya lihat, perjuangan partai pada
dataran itu selama ini kurang.
Anda mau memprioritaskan perjuangan pada dataran mana?
Saya akan
prioritaskan perjuangan pada tingkat konseptual, pemikiran-pemikiran politik.
Bagaimana Anda melihat prospek PPP?
O ya. Kalau PPP
tidak prospektif, saya nggak akan masuk PPP. Pertama, PPP adalah partai rakyat. Selama ini saya bergerak di LSM,
yang sebenarnya juga disebabkan oleh proses depolitisasi Orde Baru. Saat itu,
tahun 1980-an, saya melihat tidak kondusif untuk langsung masuk partai.
Sekarang momentumnya tepat. Telah tiba saatnya. Jadi, dalam politik momentum
itu penting. Banyak teman kadang-kadang tidak melihat momentum. Pemilihan umum
sekarang dan yang akan datang, adalah momentum strategis. Dua pemilu ini
strategis untuk reorientasi pembangunan.
Kedua, secara potensial PPP bisa menjadi kendaraan untuk
sebuah proses perubahan, apakah dia menjadi bagiannya atau menjadi intinya.
Apalagi kini aspirasi Islam mendapat iklim yang cukup kondusif. Tanpa harus
menggunakan bendera Islam, tanahnya sudah ada. Kalau meminjam bahasa penyair
Emha Ainun Nadjib, Islam itu kan tanahnya, tergantung apakah ditanami ide-ide
yang subur atau tidak.
Sekarang ini
tesis tentang single majority cukup
kuat, dan itu harus dibongkar. Kalau kita memang mau dalam berpolitik ada
kebersamaan dan tidak ada oposisi, dalam praktiknya jangan diskriminatif dong.
Kini dalam praktik, PPP dan PDI dipandang dan diperlakukan sebagai oposisi,
walaupun dalam retorika dimunculkan isu kebersamaan, demokrasi Pancasila, dan
musyawarah untuk mufakat.
Nah, kalau
memilih Golput dalam pengertian tidak mau tahu dan acuh tak acuh, saya
menyayangkan. Akan tetapi jika sebagai pilihan politik, dan ini akan menjadi
gerakan yang mampu menekan pemerintah untuk memperbaiki dan memperbarui aturan
main, oooh... saya salut![]