Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

20 Desember 2014



HADIMULYO
Islam Yes! Partai Islam Yes!
(Media Dakwah Nomor 216, Dzulhijjah 1412/Juni 1992, halaman 63-66)


“TEMAN-TEMAN yang mau ikut Golput (Golongan Putih), saya tetap hargai. Hak untuk tidak menggunakan haknya itu, saya hargai. Saya sendiri mantan Golput,” tutur Drs. Hadimulyo, M.Sc, menyikapi kaum muda Islam yang mengelompokkan diri ke dalam “Partai Putih” atau Golongan Putih.
Menurut aktifis lembaga swadaya masyarakat (LSM) kelahiran Pati, Jawa Tengah, 1 Juni 1951, ada dua alasan orang memilih Golput. Pertama, karena menganggap di Indonesia tidak ada partai Islam. Bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan partai Islam, dipercaya oleh sebagian kaum muda dari kalangan remaja masjid, misalnya. Kedua, karena mereka tidak berdaya mengubah sistem yang ada, yang hanya akan memunculkan orang yang itu-itu juga, dalam atmosfir politik Orde Baru.
Argumentasi yang memandang di Indonesia tidak ada partai Islam, bagi Ketua Presidium Nasional Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) ini, sangat lemah. Karena akar sejarah PPP adalah gabungan dari partai-partai Islam: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI.
“PPP akan dihujat dan dihajar jika di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memperjuangkan aspirasi Islam. Ini berbeda dengan Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI),” tegas Hadimulyo. “Jika Golkar dan PDI tidak memperjuangkan aspirasi umat Islam, itu wajar, karena kita tahu sejarahnya,” tambah Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta itu.
Sebagai orang yang ingin memfokuskan perjuangannya pada dataran teoritik-konsepsional, Hadimulyo bersama Dr. Ir. Sri-Bintang Pamunkgas, dan Dr. Ir. A.M. Saefuddin, duduk dalam sub-Tim Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dipersiapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP-PPP) periode 1989-1994 untuk dimajukan sebagai Rancangan GBHN ke Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) 1993. Sub-Tim ini dipimpin oleh Ketua DPP PPP, Hj. Aisyah Aminy, S.H.
Kilas balik perjalanan hidupnya memperlihatkan secara jelas bahwa Hadimulyo sejak dini telah masuk dan berproses di dalam arus gerakan Islam (Islamic movement).
Alumni Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri, UIN –ed) Syarif Hidayatullah Jakarta (1979) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum (1973-1974) dan Ketua Umum (1974-1975) Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Kudus; Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1978-1979).
Dalam dunia LSM, Hadimulyo tercatat sebagai salah seorang pendiri Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M,1979), Koordinator Jaringan Action Research Indonesia (JARI, 1984-1986), staf peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan. Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES, 1981-1983), dan pimpinan Program Pengembangan Masyarakat melalui Pesantren LP3ES (1983-1986).
Selain sebagai Koordinator Tim Manajemen Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (sejak 1989), laki-laki yang oleh kalangan dekatnya akrab dipanggil Mas Hadi, juga aktif menulis di berbagai media massa.
Lelaki peramah dan murah senyum, yang rambutnya mulai disisipi oleh warna putih itu meraih gelar Master of Science (M.Sc) pada program Social Development Studies, Departement Sociology-Antrophology, Ateneo de Manila, di Quezon, Filipina pada 1988.  
Perihal dirinya yang kini terlibat dalam dinamika perjuangan PPP, Hadimulyo kerap mengidentifikasikan dirinya kepada pemikir-aktivis politik Indonesia masa lalu. “Para pemikir-aktifis politik yang langsung berjuang melalui partai politik,” ujarnya, “akan melahirkan gugusan pemikiran politik yang benar-benar telah teruji secara riil, karena telah melalui pergulatan ide yang keras dan tajam.”
Mudah diduga dan wajar belaka jika Hadimulyo kemudian mengagumi para pemikir-aktifis politik seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Sutan Sjahrir, dan bahkan Tan Malaka.
Kepada Yudi Pramuko SPI dari Media Dakwah, calon anggota legislatif PPP dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta (pada Pemilihan Umum 1992 –ed) yang aktif menyumbangkan pemikirannya melalui berbagai seminar di dalam dan luar negeri itu di kediamannya, bilangan Tangerang, memaparkan obsesi, kritik, dan renungannya terhadap perkembangan dunia politik Orde Baru.
Apa tanggapan Anda terhadap kehidupan politik Indonesia dewasa ini?
Saya melihat periode sekarang adalah periode transisi. Periode transisi ke arah demokratisasi yang menurut saya merupakan suatu keniscayaan. Karena apa yang terjadi di Indonesia bisa dilihat juga persamaannya dengan negara-negara lain seperti Filipina, Korea, Thailand, Myanmar, bahkan di Afrika dan Amerika Latin.
Jadi, kecenderungan perubahan dari otoritarianisme ke arah kehidupan demokratis, terutama di Amerika Latin yang berubah dari otoritarianisme-militer ke demokratisasi-sipil, merupakan gejala umum.
Masalahnya, ada masyarakat yang responsif, ada yang tidak. Di sini yang menentukan adalah kondisi kultural, dan kondisi budaya politik masing-masing negara. Misalnya, mengapa demokrasi yang bersifat liberal hidup di Filipina, namun tidak terjadi di Indonesia.
Nah, di Indonesia proses yang paling mungkin adalah proses melalui pemilihan umum (pemilu). Itu dilakukan untuk menjaga agar proses demokratisasi jangan berlangsung secara amuk. Jangan dengan revolusi. Kita sudah trauma dengan hal-hal seperti itu. Inilah yang menyebabkan saya percaya kepada pemilu, karena hanya lewat pemilu yang dilaksanakan secara fair –yang sering disebut luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil)—itulah proses demokrasi termanifestasikan. Dan justru pemilu adalah awal dari proses itu. Yang menjadi masalah kini adalah demokratisasi ke arah mana yang kita kehendaki.
Kita adalah negara yang mempunyai warisan budaya, yang di daerah tertentu, tidak demokratis. Akan tetapi, banyak daerah yang punya akar atau warisan budaya yang demokratis. Katakanlah Sumatera Barat. Di sana prinsip musyawarah menjadi bagian dari adat, dan adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah. Ini sebenarnya akar demokrasi dan ruhnya Islam.
Saya meragukan ilmuwan politik (political scientist) yang mengatakan bahwa demokrasi tidak punya akar di Indonesia. Memang ada dua pandangan mengenai hal ini. Pertama, pandangan bahwa demokrasi punya akar budaya di Indonesia. Pandangan ini dianut antara lain oleh Deliar Noer. Kedua, pandangan bahwa demokrasi tidak punya akar di budaya di Indonesia. Pandangan ini antara lain dianut oleh Amir Santoso. Saya sependapat dengan pandangan Deliar Noer
Ada dua isu: demokratisasi dan hak-hak asasi manusia. Apakah Indonesia mengarah ke sana?
Saya kira, mau tidak mau, harus mengarah ke sana. Bukankah Indonesia ingin berdiri sejajar dengan negara-negara lain secara terhormat. Nah, saya kira jika Indonesia mau diperhitungkan sebagai bangsa besar dan terhormat, ukuran-ukuran internasional yang dalam konteks ini adalah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga harus dipertimbangkan. Ukurannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi nasional dan militer, tetapi sejauh mana hak-hak politik dan kultural rakyat, hak-hak mengekspresikan diri, berorganisasi, dan berpendapat, betul-betul dijalankan.
Sebetulnya kita tidak perlu memakai ukuran internasional. Memakai ukuran Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saja pun masih banyak yang belum dijabarkan ke dalam peraturan perundang-undangan sebagai mestinya.
Untuk mengarah ke sana, agenda utama kita bagaimana menjabarkan UUD 1945. Jika kini ada istilah meningkatkan harkat dan martabat manusia, itulah sebenarnya hak-hak asasi manusia menurut pandangan Indonesia.
Konon memudarnya citra partai politik Islam, sebut saja PPP, merupakan akumulasi rekayasa Orde Baru, dan makin menguatnya ide-ide Nurcholish Madjid yang bermuara pada anti-Negara Islam?
Sekarang ini saya tidak tahu politik Islam Orde Baru yang sebenarnya. Akan tetapi kalau kita lihat, memang ada kecenderungan untuk mengembangkan Islam bukan dari sisi politiknya. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari Snouck Hurgronje atau bukan.
Menurut saya, tentang perlu atau tidaknya negara Islam, itu bagian dari perdebatan di masa lalu. Di sini saya agak berbeda dengan kawan-kawan yang melihat Islam sebagai ideologi. Kalau ada ideologi yang merupakan derivasi, atau bersumber dari nilai-nilai Islam, ya, saya setuju.
Memandang Isam sebagai ideologi, menurut saya, menurunkan derajat ajaran Islam itu sendiri. Padahal Islam itu wahyu. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menolak adanya ideologi yang merupakan turunan dari nilai-nilai Islam yang disistemtisasikan.
Anda percaya sekali kepada demokrasi
Kenapa saya percaya kepada demokrasi, karena kalau demokrasi berjalan betul tentu produk politiknya tidak akan menyimpang dari nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat banyak. Karena Islam di negeri ini mayoritas, jika betul-betul demokratis, saya tidak bisa membayangkan ada produk perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dewasa ini setiap kali ada usaha untuk mencoba melenyapkan aspirasi Islam, selalu mendapat perlawanan. Lihat misalnya kasus Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama, dan Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun demikian, dalam pengamatan saya,sekarang ada yang mulai mengutak-atik UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
 Saya melihat usaha-usaha seperti itu merupakan usaha untuk memisahkan keindonesian dari nilai keislaman yang merupakan akar budayanya.
Bagaimana dengan kemajemukan masyarakat kita?
Memang, masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk. Ada agama lain selain agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia. Tetapi, yang kita perjuangkan adalah representasi. Sekarang ini umat Islam secara politis under represented. Inilah yang perlu kita perjuangkan, dengan atau tanpa partai politik yang berlabel Islam, dan bisa dimulai dengan bermacam-macam cara.
Inilah yang saya sebut politik gaya baru  (The New Politics), yakni kombinasi antara electoral politics, politik seperti yang ada sekarang ini, dengan politik masyarakat yang ada di luar gedung parlemen. Kombinasi ini sebenarnya sudah pernah dilakukan saat pembahasan RUU Perkawinan pada tahun 1973. Karena RUU Perkawinan saat itu terasa tidak cocok dengan nilai-nilai mayoritas bangsa, maka selain dibahas di parlemen, muncul juga tekanan (pressure) dari parlemen jalanan.
Persoalannya ternyata tidak sederhana. Kalau demokratis, perundang-undangan yang beraspirasi Islam pasti muncul. Faktanya....
Sekarang belum seperti itu. Diskusi kita tadi kan soal demokrasi. Ya, sekarang sudah ada demokrasi, tapi masih formal, belum substansial.
Anda melihatnya begitu?
Ya. Pranata-pranata demokrasi sudah diletakkan, kelembagaan, dan lainnya. Tetapi, ini harus diisi. Prosesnya, orangnya, dan masih banyak lagi yang harus disempurnakan, harus diperbarui.
Ketika MPR sudah terbentuk, dan orang-orang sudah berkuasa; rakyat atau umat Islam tidak lagi dijadikan basis argumentasi. Ini berbeda dengan saat kampanye yang selalu mengatasnamakan rakyat. Bagaimana?
Sampai saat ini saya belum pernah menjadi anggota DPR atau MPR. Jadi, saya belum melihat bagaimana argumentasi masing-masing untuk mengusulkan atau mengegolkan ide-idenya menjadi Ketetapan MPR atau menjadi produk perundang-undangan.
Saya mengusulkan agar diskusi atau perdebatan di DPR dan MPR dilakukan secara transparan, terbuka. Artinya bisa diikuti oleh media massa, sehingga akan jelas apakah wakil-wakil rakyat itu benar-benar memenuhi kepentingan rakyat atau tidak. Jadi, pers kita langsung melihat apa-apa yang diperjuangkan oleh masing-masing fraksi.
Dengan cara itu kita akan melihat juga apakah obral janji dalam masa kampanye, betul-betul diperjuangkan di gedung parlemen atau tidak.
Selalu ada jarak antara janji kampanye dengan realitas politik pasca pemilu.
Di sini agak susah. Itu hanya mungkin dicek, terlepas berhasil atau tidak, bahwa partai akan memperjuangkan aspirasi atau tidak, jika diekspose oleh pers. Akan tampak nanti, janji partai semata janji atau tidak.
Jadi, agenda pertama yang harus dimainkan oleh anggota DPR/MPR adalah meninjau produk perundang-undangan yang anti-Islam, dan yang menghambat proses demokratisasi.
Logikanya, makin banyak anggota MPR yang prodemokratisasi, makin mungkin terjadi perubahan. Makin banyak yang prostatus quo, ya kita kehilangan harapan (hopeless). Nah, pemilu inilah peluang untuk mewujudkan harapan itu.
Saya lebih percaya pemilu daripada kudeta. Ha... ha... ha....
Anda percaya pemilu. Bagaimana dengan Golput yang tidak percaya kepada mekanisme pemilu.
Golput adalah cerminan powerlessness, perasaan ketidakberdayaan, karena semuanya dianggap bersifat struktural dan sistemik, sehingga dianggap pula tidak mungkin bisa berubah. Padahal, apa sih yang tidak bisa berubah di dunia ini.
Beberapa waktu yang lalu saya memang Golput. Saya lihat masih terlalu kuat. Kini ada proses pencairan. Kekuatan di Golkar tidak monolitik. Di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga tidak lagi monolitik.
Di dalam golongan dan partai ada garis keras, ada yang moderat, ada juga yang konservatif. Ada yang radikal properubahan, ada yang properubahan tetapi moderat, dan ada yang konservatif prostatus quo. Kita harapkan elemen-elemen progresif yang properubahan menjadi mayoritas.
Makanya saya lebih cenderung atau berharap anggota-anggota DPR menggunakan haknya sebagai individu. Suara fraksi itu hanya untuk memudahkan saja. Haknya sebagai individu harus eksis. Kalau tidak, ya susah. Apa artinya jadi anggota DPR jika tidak punya hak individu.
Anda melihat ada proses pencairan?
Ada pencairan. Adanya “doa politik” (sejumlah tokoh mendoakan agar H.M. Soeharto terpilih kembali pada SU MPR 1993 –ed), itu karena Pak Alamsjah Ratuperwiranegara tidak sabar melihat perkembangan.
Jadi, saya melihat kemungkinan perubahan itu ada, walaupun secara gradual. Hambatan demokratisasi sebenarnya harus dilihat pada beberapa dataran. Pertama, hambatan pada dataran konseptual-teoretik. Kedua, hambatan legal-struktural berupa produk peraturan perundang-undangan. Ketiga, hambatan dari budaya politik.
Kalau kita mau demokratisasi, kita harus menggarap ketiga bidang itu. Aspek teoretik, perundang-undangan, dan budaya politik. Saya lihat, perjuangan partai pada dataran itu selama ini kurang.
Anda mau memprioritaskan perjuangan pada dataran mana?
Saya akan prioritaskan perjuangan pada tingkat konseptual, pemikiran-pemikiran politik.
Bagaimana Anda melihat prospek PPP?
O ya. Kalau PPP tidak prospektif, saya nggak akan masuk PPP. Pertama, PPP adalah partai rakyat. Selama ini saya bergerak di LSM, yang sebenarnya juga disebabkan oleh proses depolitisasi Orde Baru. Saat itu, tahun 1980-an, saya melihat tidak kondusif untuk langsung masuk partai. Sekarang momentumnya tepat. Telah tiba saatnya. Jadi, dalam politik momentum itu penting. Banyak teman kadang-kadang tidak melihat momentum. Pemilihan umum sekarang dan yang akan datang, adalah momentum strategis. Dua pemilu ini strategis untuk reorientasi pembangunan.
Kedua, secara potensial PPP bisa menjadi kendaraan untuk sebuah proses perubahan, apakah dia menjadi bagiannya atau menjadi intinya. Apalagi kini aspirasi Islam mendapat iklim yang cukup kondusif. Tanpa harus menggunakan bendera Islam, tanahnya sudah ada. Kalau meminjam bahasa penyair Emha Ainun Nadjib, Islam itu kan tanahnya, tergantung apakah ditanami ide-ide yang subur atau tidak.
Sekarang ini tesis tentang single majority cukup kuat, dan itu harus dibongkar. Kalau kita memang mau dalam berpolitik ada kebersamaan dan tidak ada oposisi, dalam praktiknya jangan diskriminatif dong. Kini dalam praktik, PPP dan PDI dipandang dan diperlakukan sebagai oposisi, walaupun dalam retorika dimunculkan isu kebersamaan, demokrasi Pancasila, dan musyawarah untuk mufakat.
Nah, kalau memilih Golput dalam pengertian tidak mau tahu dan acuh tak acuh, saya menyayangkan. Akan tetapi jika sebagai pilihan politik, dan ini akan menjadi gerakan yang mampu menekan pemerintah untuk memperbaiki dan memperbarui aturan main, oooh... saya salut![]
 
        

Tidak ada komentar: