Peranan Pondok Pesantren dalam Perang Kemerdekaan
Oleh: Sholeh Iskandar
(Media Dakwah Nomor 215,
Syawal-Dzulqa’idah 1412/Mei 1992, halaman 53-56)
PENGANTAR: Pemerintah Kabupaten Bogor akan mengusulkan
ulama-pejuang asal Bogor, (Almarhum) Mayor
TNI-AD K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992), untuk diakui sebagai Pahlawan
Nasional. Jasanya melawan penjajah dinilai Wakil Bupati Bogor, Nurhayanti,
menjadi alasan kuat bagi pengusulan itu (Republika
dan Jurnal Bogor, Senin, 17 November
2014).[1]
Sehubungan dengan niat Pemerintah Kabupaten Bogor itu, berikut ini disajikan
tulisan K.H. Sholeh Iskandar mengenai “Peranan Pondok Pesantren dalam Perang
Kemerdekaan” yang untuk pemuatan di lukmanhakiem.blogspot.com ini diberikan
beberapa catatan kaki. Semoga tulisan
K.H. Sholeh Iskandar ini bermanfaat untuk memperkuat argumen Pemerintah
Kabupaten Bogor dalam mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk K.H. Sholeh
iskandar. Semoga juga berfaidah untuk para peminat sejarah. (elha)
***
Tulisan
ini adalah makalah K.H. Sholeh Iskandar yang sedianya akan disampaikan dalam
seminar “Pesantren di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949” yang diselenggarakan
oleh Yayasan Histori Vitae Magistra, Jakarta, pada bulan Syawal 1412. Manusia
merencanakan, Allah subhanahu wa ta’ala
menentukan. Sebelum seminar dilaksanakan, pada hari Rabu, 18 Syawal 1412/22
April 1992, K.H. Sholeh Iskandar wafat. Media Dakwah mendapat kehormatan memperoleh izin dari keluarga Almarhum dan dari
Panitia Penyelenggara untuk mempublikasikan data sejarah yang sangat berharga
ini.
***
PERAN DAN
KONTRIBUSI pondok pesantren dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya
di dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia belum mendapat tempat yang layak
dalam penulisan sejarah.
Sikap
budaya pesantren yang tidak mau menonjolkan diri (tawadhu’), di samping penulisan sejarah yang belum objektif,
barangkali merupakan faktor yang menyebabkan kurang dikenalnya kontribusi
mereka di dalam perang kemerdekaan. Sudah waktunya para sejarawan memberikan
tempat yang layak bagi peran dan kontribusi pesantren di dalam penulisan
sejarah kita. Forum seperti sekarang ini diharapkan mengarah kepada suatu
penulisan sejarah yang lebih lengkap dan objektif.
Berbicara
mengenai fungsi dan peranan pondok pesantren dalam perang kemerdekaan berarti
kita berbicara mengenai salah satu babakan (episode) perjuangan umat Islam
dalam mengusir kaum penjajah. Perang kemerdekaan hanyalah merupakan salah satu
mata rantai dari rangkaian perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Alinea kedua
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
Makna dari alinea
kedua Pembukaan UUD 1945 ini adalah bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 merupakan puncak perjuangan yang dicapai melalui rangkaian perjuangan yang
dilakukan oleh para ulama/kiai pejuang bangsa seperti Sultan Agung
Hanyokrokusumo, Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro, Sultan Hasanuddin,
dan Sultan Babullah. Mereka inilah cikal bakal nasionalisme Indonesia.
Berbagai
pemberontakan/perlawanan fisik sosial terhadap penguasa kolonial, senantiasa melibatkan
kiai dan ulama. Pemberontakan massal yang terjadi di Cilegon, Banten, pada 1888
dipimpin oleh K.H. Wasid. Demikian pula pemberontakan yang meletus di Labuan
pada tahun 1926, juga dipelopori ulama, yaitu K.H. Asnawi, K.H. Mukri, dan K.H.
Tubagus Ahmad Khatib.
Perlawanan “kaum
sarungan” terhadap kolonial tidak pernah berhenti. Perlawanan itu dapat
berbentuk fisik, politik, sosial, ataupun kultural. Pada awal abad XX,
organisasi sosial Indonesia pertama yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan
pada tahun 1905 oleh kaum santriyin
di kota Solo.
Organisasi
politik Indonesia pertama yaitu Sarekat Islam didirikan pada tahun 1912 yang
kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930.
Kemudian disusul oleh partai-partai Islam lainnya seperti Persatuan Muslimin
Indonesia (Permi) tahun 1932 di Sumatera, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada
tahun 1938 di Jawa. Demikian pula cukup besar peranannya dalam melahirkan
kader-kader pejuang kemerdekaan, organisasi Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, Nahdhatul Wathan, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis),
Jami’iyatul Washliyah, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Mathla’ul Anwar, dan lain-lain.
Pemerintah
pendudukan militer Jepang dimanfaatkan kaum santriyyin untuk menghidupkan kembali
tradisi keprajuritan bangsa Indonesia, antara lain dengan dibentuknya Pembela
Tanah Air (PETA) yang pada tingkatan pertamanya hampir seluruh pimpinan/Daidan PETA terdiri dari kiai/ulama,
antara lain K.H. Abdullah bin Nuh, K.H. Syam’un, K.H. Basuni, dan K.H. Ahmad
Khatib. Di masa ini pula berdiri Barisan Hizbullah yang berpusat di Cibarusah,
Bekasi.
Sekalipun Jepang
melaksanakan politik merangkul umat Islam, perlawanan kaum santriyin terhadap
penguasa militer Jepang tidak pernah berhenti, seperti pemberontakan K.H.
Zaenal Mustofa dan para santrinya pada tahun 1944 di Singaparna, Tasikmalaya.
Pesantren dan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia
Pesantren adalah
lembaga tafaqquh fiddin (Q.S.
At-Taubah ayat 122) yang menyelenggarakan pendidikannya dengan sistem Iqra
terpadu (Q.S. Al-‘Alaq ayat 1-5), dan dilaksanakan dalam kesatuan tempat
pemukiman, sehingga antara kiai dan santrinya menjadi kesatuan komando yang
mudah dimobilisir.
Pondok pesantren
didirikan dan dibina dengan kepemimpinan tunggal oleh para kiai atau ulama,
sehingga antara pesantren dengan ulama tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Perang
kemerdekaan adalah sikap, laku, perbuatan, pekerjaan, dan perjuangan untuk
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dan melawan sisa-sisa kekuasaan Jepang,
tentara Sekutu dan Belanda yang akan mengembalikan penjajahan. Perang
kemerdekaan ini berlangsung mulai tanggal 17 Agustus 1945 sampai 29 Desember
1949.
Selama periode
perang kemerdekaan, kiai-kiai dan ulama-ulama pondok pesantren mengambil
peranan aktif seperti yang terjadi di Jawa Barat sebelah barat, khususnya
daerah Banten dan Bogor yang termasuk pada bagian pengalaman pemakalah sebagai
mantan Pimpinan Markas Perjuangan Rakyat, Pimpinan Hizbullah, Komandan Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) Batalyon IV dan VI dan Sektor
Komandan IV Pengawal Garis Demarkasi Persetujuan Linggajati dan Renville yang
memisahkan daerah Republik Indnesia di Bogor dan Banten.
Allahu Akbar! Allah Maha Besar yang telah berkenan membangunkan dan
mempersatukan hati bangsa Indonesia untuk merdeka sampai ke titik kebulatan
tekad: “Merdeka!” atau “Mati”.
Dan ini
dibuktikan oleh gerakan-gerakan pondok pesantren, khususnya di daerah Banten,
yang telah berhasil mempergunakan momentum Proklamasi Kemerdekaan untuk
mencetuskan revolusi rakyat yang sangat dikhawatirkan semua pihak akan mengarah
kepada revolusi sosial yang akan membawa malapetaka dan korban yang sia-sia.
Alhamdulillah
kekhawatiran itu tidak terjadi. Sebab ternyata ulama-ulama pondok pesantren
berjuang dengan motivasi semata-mata karena Allah (lillah) untuk tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga
setelah perjuangan menegakkan kemerdekaan selesai, jabatan-jabatan pemerintahan
baik sipil maupun militer buat sebagian besar diserahkan kepada putera-putera
Indonesia yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia yang dianggap bisa
memikul amanah di bidangnya masing-masing. Dengan tulus ikhlas –sesudah perang
kemerdekaan selesai—para kiai/ulama turun panggung.
Apabila ada
gejala-gejala revolusi sosial seperti terjadi pembunuhan terhadap Bupati
Rangkasbitung, pertempuran dengan orang-orang Cina di daerah Tangerang, dan
kudeta terhadap pemerintah Keresidenan Banten tahun 1946, itu didalangi oleh
dewan-dewan revolusioner yang sengaja dibentuk oleh anasir-anasir komunisme
yang memang sebagian menggunakan kharisme kiai/ulama.
Dalam hubungan
ini perlu dicatat berlangsungnya pertemuan para ulama dan kiai pada tanggal 17
Agustus 1945 malam di Leuwiliang yang turut dihadiri oleh H. Dasuki Bakri, Codanco PETA yang berasal dari daerah
tersebut. Dalam pertemuan itu berhasil dibentuk Markas Perjuangan Rakyat.
Selanjutnya untuk
memudahkan studi kita mengenai peran ulama pondok pesantren dalam perjuangan,
maka kita bagi sejarah tersebut pada beberapa tingkatan dan gelombang sebagai berikut:
1.
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan sampai Persetujuan
Linggajati,
2.
Persetujuan Linggajati sampai dengan Persetujuan
Renville, dan
3.
Persetujuan Renville sampai dengan Penyerahan Kedaulatan.
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan
Persetujuan Linggajati
Proklamasi
Kemerdekaan disambut secara massal dengan melakukan berbagai kegiatan yang
bermuara kepada:
a.
Penyusuan potensi, antara lain berdirinya pasukan inti
Hizbullah di bawah pimpinan E. Effendi, dan E.Muhammad Kurdi dari pasukan bekas
PETA di bawah pimpinan H. Dasuki Bakri, dan R. Tarmad Atmawijaya,
b.
Melucuti tentara Jepang yang lemah untuk mengambil alat
perlengkapan senjatanya, seperti terjadi di Nanggung dan Kracak, dan
c.
Membangun pemerintah Republik Indonesia sehingga di
daerah Banten jabatan-jabatan kepala daerah sampai ke tingkat kecamatan dan
kelurahan diduduki dan dijabat oleh para ulama, antara lain:
c.1. Residen
Banten dijabat oleh K.H. Ahmad Khatib dari Pondok Pesantren Caringin.
c.2. Bupati
Kabupaten Serang dijabat oleh K.H. Syam’un dari Pondok Pesantren Citangkil,
c.3. Bupati
Kabupaten Lebak/Rangkasbitung dijabat oleh K.H. Tubagus Hasan dari Pondok
Pesantren Kebagusan Maja, dan
c.4. Bupati
Kabupaten Pandeglang dijabat oleh K.H. Abdul Hadi dari Pondok Pesantren
Cimanuk.
Di daerah Bogor
disusun pula pemerintahan tingkat Keresidenan, Kotamadya, dan Kabupaten yang
dikoordinir oleh R. Husen Sastranegara dan M. Yunus, Kepala Polisi Keresidenan
dan Kotamadya Bogor. Akan tetapi pada waktu itu pemerintah pusat memerintahkan
agar Kotamadya Bogor diserahkan kepada tentara sekutu. Selanjutnya di daerah
Bogor Barat dilakukan pembubaran pemerintahan partikulir (swasta) dan diganti dengan pemerintah Republik
Indonesia sampai ke tingkat kecamatan dan desa-desa, juga dipimpin oleh para
kiai seperti K.H. Abdul Hamid, Camat Leuwiliang yang kemudian gugur.
Bersamaan dengan
itu dibangun pula markas-makas perjuangan pedesaan yang bertugas menghimpun dan
memelihara potensi yang ada di desanya, mengatur pengumpulan perbekalan
sehingga lumbung-lumbung padi tempat menyimpan hasil cukai tanah partikulir tetap selalu berisi, berkat
kesadaran dan dukungan umat. Koodinasi di bidang perbekalan ini dipimpin oleh
E. Sanusi Leuwiliang.
Di samping itu
juga dikembangkan dan diarahkan unit usaha/ekonomi yang dapat membantu dana
perjuangan, antara lain dengan mengusahakan pabrik teh, perkebunan teh
Cileuksa, Pasir Madang, Kecamatan Cigudeg, yang produksi tehnya kemudian
sebagian diselundupkan ke daerah pendudukan Belanda ditukar dengan pakaian,
obat-obatan, bahan bakar, dan spare part yang keseluruhannya bisa menopang perjuangan
bersenjata sampai dengan masa penyerahan kedaulatan.
Markas-markas
perjuangan desa dikoordinir oleh para kiai/ulama terkenal di desanya, seperti:
1.
Wilayah Kecamatan
Cibungbulang: K.H. Abdul Hamid, K.H. Mad Soleh, H.M. Parta, K.H.
Soleh Fajar, KK.H. Abdul Mu’thi, K.H. Sayuti, Ibu Siti Aisyah, dan Moh. Sa’un;
2.
Wilayah Kecamatan
Ciampea: K.H. Otoy Syafe’i, K.H. Marga, Muallim Miftah, K.H. Anwar Arif, Muhammad
Sanusi, H. Abdul Hamid, H. Abdul Rahim, K.H. Fahrurroji, Muallim Abdul Fatah
(gugur), K.H. Nali, K.H. Abdul Syukur, dan K.H. Abdul Hamidi;
3.
Wiilayah
Kecamatan Ciomas: K.H. Abdul Karim, Hasan Sanasib, Adun, K.H. Aceng Falak,
Muhammad Hidayat, Abdul Karim , dan Asmin Saleh;
4.
Wilayah Kecamatan
Leuwiliang: K.H. Moh.Noch Nur, Muallim Masduki, K.H. Baihaqi, H. Moh. Khatib, Ojeh
Kurnaen, A. Syukri, E. Mohammad Sanusi, E. Moh. Kurdi, K.H. Bakri, K.H. Iyung,
dan K.H. Ace Tabroni;
5.
Wilayah Kecamatan
Cigudeg: K.H. Sarta, H. Sukari, H. Ukar, H. Ismet, dan H. Usman; serta
6.
Wilayah Kecamatan
Jasinga: Moh. Tohir, E. Moh. Kahfi, K.H. Mardana, Kiai Mujitaba, Kiai Ahyar, Amir
Husein, K.H. Jamsari, dan K.H. Hasbullah
Di samping itu
digerakkan pula kegiatan nonfisik, menumbuhkan kepercayaan diri, baik yang
benar maupun yang salah di antara lain dengan melakukan doa massal, shalat
tahajjud, shalat hajat, dan qunut nazilah. Malah Almarhum K.H. Hasbullah,
pimpinan Pondok Pesantren Garisul, Jasinga, pada periode itu menjadi tumpuan
harapan orang banyak yang datang berduyun-duyun dari segala pelosok datang
meminta azimat kulit macan, air doa supaya kebal terhadap senjata api dan
senjata tajam. Hal ini tentu saja merupakan hal yang irrasional dan memang
tidak dibenarkan oleh agama Islam. Akan tetapi pada waktu itu justru dianggap
cukup rasional karena rakyat ingin berjuang melawan penjajah namun tidak punya
senjata apa pun, sedangkan K.H. Hasbullah sanggup memberikan senjata perangkat
lunak sehingga orang berani pergi ke medan perang.
Dalam rangka
pengumpulan persenjataan, didapatkan tiga buah senjata perang Australia/Jepang
di Gunung Jakinum dan sejumlah senjata yang dibuang oleh tentara Jepang ke
dalam Danau Lido di Cigombong, Bogor, berupa senjata ringan seperti karaben,
pistol, granat, ranjau-ranjau darat, dan mesiu. Senjata-senjata itu terus
menerus diselami oleh rakyat dan belakangan dijualbelikan sehingga tidak
sedikit rakyat yang membeli senjata dan diserahkan baik kepada pasukan
Hizbullah maupun kepada Batalyon Tentara Keamanan Rakyat (TKR), H. Dasuki
Bakri.
Pertempuran-pertempuran
Dengan ruhul
jihad yang tinggi disertai harapan menjadi syuhada, maka pertempuran pun
terjadi di mana-mana, dengan berpedoman kepada strategi al-Quran: “Berangkatlah ke medan laga, kelompok demi
kelompok, atau gempur secara total.” (Q.S. An-Nisa ayat 71).
Oleh karena itu pertempuran
dilakukan dengan kelompok-kelompok kecil secara bergerilya dan hanya satu atau
dua kali saja dilakukan serangan secara besar-besaran dan bersama-sama.
Dapat kita catat
dari sekian banyak pertempuran yang meminta korban, antara lain sebagai
berikut:
1.
Penyerangan terhadap pos Sekutu/Belanda di Serpong yang
dilakukan oleh barisan masyarakat Banten, dan membawa korban cukup banyak
dengan bukti sejarah di sana terdapat Taman Makam Pahlawan Seribu;
2.
Pertempuran di bawah pimpinan K.H. Jamsari dengan tentara
Sekutu di Sndangbarang (sekitar 3 kilometer dari kota Bogor), menyebabkan
gugurnya 26 orang syuhada;
3.
Pertempuran antara tentara Sekutu/Belanda dengan pasukan
Hizbullah di Babakan, Kampung Parung/Ciseeng, Kecamatan Parung, yang menyebabkan
Ustadz M. Muchtar, Kompi Komandan dari Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan
Effendi, gugur sebagai syuhada. Pertempuran terjadi pada tanggal 13 Juni 1946,
mulai pukul 07.00 sampai pukul 18.00;
4.
Penyerbuan terhadap Istana Bogor dan markas Sekutu/Belanda
di Kota Paris bersama-sama dengan TKR. Dalam penyerbuan ini antara lain gugur
K.H. Jamhari, Pimpinan Pondok Pesantren Ciledug, Barengkok, Leuwiliang; K.H.
Emoj Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren Karehkel, Leuwiliang; H. Encep Karta,
dan lain-lain;
5.
Pertempuran di Leuweungkolot, Kecamatan Cibungbulang,
yang dilakukan oleh pasukan Hizbullah di bawah pimpinan Sholeh Fajar, dan Abdul
Rohim. Dalam pertempuran ini, Sekutu kehilangan sejumlah senjata dan sebuah
tank baja;
6.
Pertempuran dengan pasukan Sekutu/Belanda di Cihideung
(sekarang kampus Institut Pertanian Bogor, IPB) yang menyebabkan Mayor Jenderal
Tamad Atmawijaya terluka; dan
7.
Pertempuran selama tiga hari tiga malam di Gunung Menyan
di bawah pimpinan K.H. Abdul Hamid dengan mengerahkan semua pasukan yang ada.
Pertempuran ini berakhir dengan serangan udara besar-besaran oleh Sekutu, dan
dibumihanguskannya Kampung Pasarean.
Persetujuan Linggajati sampai dengan Persetujuan Renville
Menjelang
Persetujuan Linggajati, posisi kita di Bogor Barat adalah Markas TKR di
Ciampea, Polisi Tentara di Cibatok, dan Batalyon Hizbullah di Leuwiliang.
Berdasarkan Persetujuan Linggajati, terjadi perubahan yang cukup merugikan
sehingga Batalyon TKR harus memindahkan markasnya ke perkebunan Cianten,
Batalyon Hizbullah ke perkebunan Nanggung[2],
dan Polisi Tentara ke perkebunan Cikasungka, Cigudeg.
Dalam
periode Persetujuan Linggajati yang kita garap pertama adalah penempatan para
pengungsi dalam jumlah besar yang meninggalkan kampung dan desanya. Di antara
para pengungsi itu terdapat tokoh-tokoh nasional seperti R. Ipik Gandamanah,
R.E. Abdullah,Jusi Jusuf (Jenderal eks Kalimantan), dan lain-lain.
Didirikan
pasar-pasar darurat dan diatur waktu penyelundupan rakyat ke daerah pendudukan
Belanda untuk mengurus dan memelihara harta kekayaan mereka di sana,
melanjutkan konsolidasi teritorial di daerah pendudukan, menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan militer, dan melakukan pertempuran-pertempuran seperti telah
diuraikan di atas.
Khusus
untuk daerah pendudukan, kita bentuk Batalyon Perjuangan di bawah pimpinan
Letnan Satu Mohammad Kurdi.
Batalyon IX
Hizbullah bersama Batalyon IX/Brigade I TKR mengawal garis demarkasi secara
terkoordinir dan tidak pernah terjadi insiden, baik dengan lawan maupun
antarkawan. Semua tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala: “Laksanakan
segala janji.” (Q.S. Al-Maidah ayat 1)
Persetujuan Renville sampai dengan Penyerahan Kedaulatan
Persetujuan
Renville dilihat dari segi militer sangat merugikan, karena TNI sebagai tentara
rakyat dipisahkan dari rakyatnya,
sekalipun tidak mengurangi kesempatan juang rakyat dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
Dengan Aksi
Militer II Belanda, terjadilah mobilisasi dan koordinasi antara pasukan
perjuangan yang bernafaskan Islam di daerah-daerah kantong, antara lain pasukan
Hizbullah S.M. Palar yang berlokasi di daerah Cicurug, Sukabumi; pasukan Hizbullah/Sabilillah
Sukabumi yang sudah berganti nama menjadi Pasukan Rakyat (PR) kemudian menjadi
Pembela Rakyat (PM) di bawah pimpinan K.H. Damanhuri, K.H. Dadun Abdul Qohhar,
Dadi Abdullah, dan Husein Bakhtiar; pasukan Hizbullah/Sabilillah di bawah
pimpinan Ayip Zuchri, Ayip Samin, dan K.H. Mansyur di Banten; pasukan
Hizbullah/Sabilillah Bekasi di bawah pimpinan K.H. Noer Aly; dan pasukan
Hizbullah di bawah pimpinan Nafsirin Hadi dari Labuan, Banten.
Sisa-sisa TNI
Batalyon X, dan Polisi Tentara yang tidak bersedia hijrah ke Yogyakarta juga
dikonsilidir dan mereka dimasukkan dalam formasi Batalyon Hizbullah dan atau
Batalyon Perjuangan.
Dengan perkiraan
bahwa perjuangan kemerdekaan akan mengambil waktu yang lama, disepakati
kerjasama dan saling bantu membantu dalam konsolidasi dan gerakan-gerakan
militer yang teratur.
Dalam hubungan
ini perlu dicatat berlangsungnya pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan
di Peuteuy, Nanggung, Bogor, membahas sikap terhadap gerakan Darul Islam (DI).
Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan dengan penuh tanggung jawab,
diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi Darul Islam, dan melanjutkan
perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Perlu diteliti,
dalam rangka melengkapi penulisan sejarah kemerdekaan, proklamasi Negara Rakyat
dengan tentara rakyatnya di daerah Karawang yang kemudian setelah penyerahan
kedaulatan, kekuatannya dipusatkan di Banten Selatan.
Hizbullah dan Tentara Nasional Indonesia
Dalam makalah Al-Mukarram Letnan Jenderal TNI (Purn)
Sayyidiman Surjohadiprodjo pada seminar Sejarah Militer yang diselenggarakan
oleh Yayasan Historia Vitae Magistra, antara lain tertulis: “Gerakan hijrah itu amat menguntungkan
Belanda, baik dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun
masih ada pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun
kekuatan mereka terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang
berarti. Malahan nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan
Republik ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang
Kemerdekaan II. Sebagai pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak
menyerang TNI daripada Belanda.”
Demikian analisa
dan pendapat Al-Mukarram Jenderal
Sayyidiman yang isinya berbeda atau bertentangan dengan pendapat E. Kawilarang
yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah.
Dalam pada itu
perlu diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi,
dan seorang hamba Allah yang lain (Sholeh Iskandar –ed), sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam waktu perang dan
damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi TNI-AD sebagai
Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.
Formasi Batalyon
Hizbullah itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan
Selamat (terakhir menjabat sebagai Gubernur Maluku).
Lebih jauh
kiranya Al-Mukarram Jenderal
Sayyidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi militer
Belanda, Resiment Jaggers Batalyon 3,
mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan.[3]
Batalyon
Hizbullah ini sesudah penyerahan kedaulatan, menjadi Batalyon 0/ Hizbullah
dalam Kesatuan Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi yang selanjutnya Komandan Batalyon
diserahterimakan (dari Mayor TNI-AD Sholeh Iskandar –ed) kepada Soekendro (Mayor Jenderal).[4]
Sejumlah 1000
lebih anggota memilih secara sukarela tidak melanjutkan karir militer dan
kembali ke masyarakat, menghadapi hidup yang penuh kesulitan sehingga ada di
antara perwira/prajurit belum terganti rumahnya yang hancur dibumihanguskan.
Penutup
Penulisan sejarah
ini di satu pihak sebagai penghargaan kepada para ulama, kiai, dan para pejuang
yang telah berjuang, dan di lain pihak sekadar untuk menentukan strategi
pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Hankamrata) di mana pernah terjadi
daerah kecil seperti Kewedanaan Jasinga dan sekaligus Kewedanaan Leuwiliang
selama masa perang kemerdekaan 1945-1949 tidak pernah ditinggalkan dan bisa
dipertahankan.
Sebagai contoh
paling sederhana, garis demarkasi Linggajati dan Renville, masih tetap di
daerah Kewedanaan Leuwiliang.
Semuanya terjadi,
pertama karena dukungan dan
perlindungan dari rakyat dan terjalinnya hubungan kejiwaan/solidaritas yang
intim. Kedua, rasa percaya diri yang
tumbuh akibat penyerahan diri (taslim dan tawakkal) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Pencipta dirinya.
Demikianlah.
Semoga bermanfaat adanya. Amin.[]
[1] Ini untuk kedua kalinya K.H. Sholeh
Iskandar diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Pada tahun 1995, sehubungan
dengan ulang tahun kemerdekaan ke-50 Republik Indonesia, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengusulkan agar pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional
kepada Mohammad Natsir (1908-1993), Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982), Mr.
Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), K.H. Noer Ali (1914-1992)), dan K.H.
Sholeh Iskandar (1922-1992). Usul yang diungkapkan oleh Ketua Umm MUI, K.H.
Hasan Basri itu mendapat dukungan dari
Wakil Ketua (sekarang Rais ‘Aam Syuriah --ed)
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Mustofa Bisri, dan Wakil Ketua (Ketua Umum
1998-2005 --ed) Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Dr. Ahmad Syafii Maarif. Lihat, Anwar Harjono, “Gelar Pahlawan
Nasional untuk Lima Tokoh Pejuang (Bapak M. Natsir dan Kawan-kawan)” dalam Media Dakwah Nomor 251, Dzulhijjah
1415/Mei 1995, halaman 6-8.
[2] Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Sholeh Iskandar itu
hijrah dari Leuwiliang ke markasnya yang baru di kampung Jangkar Wetan, dan Sidamulya,
Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung. Sebagai ucapan terima kasih atas jasa
masyarakat di kedua kampung itu, pada 23 Sya’ban 1412 bertepatan dengan 26
Februari 1992, K.H. Sholeh Iskandar selaku Ketua Badan Kerjasama Pondok
Pesantren (BKSPP) Jawa Barat meresmikan selesainya pembangunan Pusat Listrik
Tenaga Mikrohidro (PLTM). Peresmian itu menandai berakhirnya masa gelap gulita
tanpa listrik di kedua kampung tersebut. Untuk proyek ini, BKSPP menyumbangkan
turbin dan pipa. Siapa sangka, itulah kunjungan terakhir Sholeh Iskandar ke
markas perjuangannya di masa perang kemerdekaan. Sekitar dua bulan sesudah
kunjungan itu, 18 Syawal 1412/18 April 1992, Sholeh Iskandar wafat, padahal
dalam kunjungan itu Sholeh Iskandar yang harus berjalan kaki pulang pergi
sejauh 4 kilometer di bebatuan yang licin dan mendaki, tampak sangat
bergembira. Kepada masyarakat Jangkar Wetan dan Sidamulya, “saya tidak memberikan apa-apa. BKSPP cuma
memberikan fasilitas ketika prakarsa masyarakat sudah berjalan,” ujar Sholeh
Iskandar merendah. Tentang peresmian
PLTM di Nanggung itu, lihat “Kekecewaan Melahirkan Kreativitas dan PLTM” dalam Media Dakwah Nomor 214, Ramadhan-Syawal
1412/April 1992.
[3] Monumen perjuangan sederhana yang dibangun para veteran pejuang di daerah
Leuweung Kolot, Bogor, merupakan saksi bisu atas kehebatan dan keheroikan
perjuangan pasukan Sholeh Iskandar di masa Perang Kemerdekaan.
[4] Pada 1950, Sholeh Iskandar melepaskan karir militernya
dengan pangkat terakhir Mayor TNI-AD. Meskipun demikian, perhatiannya terhadap
nasib para bekas pejuang kemerdekaan tidak pudar. Dia turut membidani lahirnya
Markas Besar Legium Veteran Republik Indonesia (LVRI). Dalam kepengurusan
pertama LVRI, bersama Chairul Saleh (Wakil Perdana Menteri III era pemerintahan
Presiden Sukarno), Sholeh Iskandar tercatat sebagai Wakil Ketua dengan Kolonel
Pringadi sebagai Ketua Umum. Sholeh Iskandar juga menjadi Ketua Umum Persatuan
Pejuang Islam Bekas Bersenjata. Bersama-sama mantan Perdana Menteri Mohammad
Natsir, mantan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia Djanamar Adjam, kakak
kandungnya H. Anwar Arif, dan sejumlah tokoh masyarakat Bogor Barat, Sholeh
Iskandar mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Darul Falah di Ciampea. Anggota
Pimpinan Pusat Partai Masyumi ini tercatat pula sebagai salah seorang pendiri
Universitas Ibn Khaldun Bogor. Bersama dengan K.H. Noer Ali, K.H. Abdullah
Sjafi’i, K.H. Abdullah bin Nuh, K.H. E.Z. Muttaqin, dan lain-lain, Sholeh
Iskandar membentuk dan diberi amanah untuk memimpin Badan Kerjasama Pondok
Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Atas berbagai jasanya kepada bangsa dan negara,
pada pertengahan tahun 1990-an, Presiden Soeharto menganugerahi Bintang
Mahaputera kepada Sholeh Iskandar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar