H. BUSTHANUL ARIFIN
Hukum Islam sebagai Alternatif
(Media Dakwah Nomor 237 Ramadhan
1414/Maret 1994, halaman 52-54)
“ISLAM terdiri dari
akidah, syari’ah, dan akhlak. Karena itu, Islam juga adalah hukum dalam
pengertian ‘law’, dan kaum Muslimin
berkewajiban untuk bertahkim kepada hukum Islam.”
Kalimat di atas
bukan disampaikan oleh seorang Kiai, Ustadz, atau Ajengan di sebuah pondok
pesantren, majelis taklim, atau tabligh akbar; melainkan meluncur dari bibir
seorang alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH-UGM) Yogyakarta, dan
disampaikannya di depan Presiden Soeharto dan para pejabat tinggi Republik
Indonesia di Istana Negara.
Tidak syak lagi,
tokoh yang berani menyampaikan hal demikian pada sebuah forum resmi di Istana
tentulah seorang yang memiliki kepribadian tinggi dan komitmen mendalam
terhadap perjuangan menegakkan hukum Islam dalam sistem hukum nasional.
Tokoh tersebut,
tokoh kita kali ini ialah Prof. Dr. H.
Busthanul Arifin, S.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
pada 22 Desember 1993 memperoleh gelar Doctor
Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas
Islam Negeri --ed) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Dilahirkan di
Payakumbuh, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1929, Busthanul Arifin hidup dan
dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan yang bertradisi keagamaan kuat.
Dalam usia 13 tahun, dia telah akrab dengan pengajian di surau. Dia pun
menekuni pelajaran al-Qur’an dari pamandanya, Ibnu Abbas; dan menggali
pelajaran Ilmu Tauhid dari Datuk Tuanku Keramat.
Kedua orang tuanya
amat mendukung pendidikan agama bagi Busthanul. “Agama dan ilmu agama, di mana
pun akan tetap jalan,” ujar Amdaran gelar Maharajo Sultan, ayahanda Busthanul.
Setelah
menamatkan Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah (1943), Busthanul melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Bukittinggi, kemudian di
Sekolah Menengah Atas (SMA) Peralihan di Jakarta (1948). Pada 1955, Busthanul
menyelesaikan kuliahnya di FH-UGM Yogyakarta.
Semasa menjadi
mahasiswa, Busthanul aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta.
Mula-mula sebagai Sekretaris Umum (1953-1954), kemudian sebagai Ketua Umum
(1954-1955) HMI Cabang Yogyakarta. Sebagai aktivis organisasi mahasiswa Islam
yang didirikan di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan kawan-kawan pada 5 Februari
1947, Busthanul dan teman-temannya juga memiliki saham di dalam membuat lambang
HMI yang konsep awalnya merupakan karya aktivis HMI Cabang Bandung, Ahmad
Sadali.
Untuk menggali
dan mempertajam potensi intelektual para aktivis HMI Cabang Yogyakarta,
Busthanul dan kawan-kawan menerbitkan majalah Media yang kemudian oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI, Deliar
Noer, ditingkatkan statusnya menjadi majalah terbitan PB-HMI.
Setamat kuliah,
Busthanul meniti karier sebagai hakim pada Pengadilan Negeri Demak, Jawa Tengah
(1956), hingga mencapai posisinya sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung.
Di bidang
akademis, Busthanul turut merintis pembentukan Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang, dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar yang mengampu mata
kuliah agama dan hukum Islam. Busthanul pun tercatat sebagai salah seorang
pendiri Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan menjadi
rektornya yang pertama.
Meskipun menempuh
karier sebagai praktisi hukum, Busthanul tidak pernah menyia-nyiakan potensi
intelektualnya. Sebagai salah seorang pelaksana konsep Pimpinan Pusat Ikatan
Hakim Indonesia (PP IKAHI) tentang kekuasaan kehakiman dalam konstitusi yang
akan dibuat oleh Majelis Konstituante, Busthanul melangkah guna merealisasikan
gagasannya menjadikan Pengadilan Agama sebagai yang “seharusnya”, yakni sebagai
aparat kekuasaan kehakiman.
Kendatipun
Konstituante akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1959, gagasan Busthanul tidak ikut terkubur. Hal itu terbukti dengan
munculnya Kamar Islam di Mahkamah Agung dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965.
Pada 1967, selaku
Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan, dalam rapat kerja Departemen Agama
wilayah Kalimantan Selatan, Busthanul menyodorkan tiga gagasan pokok mengenai
Peradilan Agama: (a). Perlunya peningkatan fungsi dan wewenang Pengadilan
Agama, (b). Mengefektifkan Kamar Islam di Mahkamah Agung Republik Indonesia,
dan (c). Membentuk Panitia Negara untuk mengadakan riset tentang berlakunya
hukum Islam di kalangan rakyat untuk kemudian dituangkan menjadi wewenang
Pengadilan Agama.
Agaknya lantaran
pikiran-pikirannya di atas, yang dia perjuangkan dengan gigih selama
bertahun-tahun, Pemerintah melibatkannya dalam penyusunan Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang Peradilan Agama. Tidak tanggung-tanggung, Busthanul
ditunjuk sebagai Ketua Tim Penyusunan RUU Peradilan Agama sampai akhirnya lahir
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Keterlibatannya
di bidang akademis dan gagasan-gagasannya tentang Peradilan Agama, rupanya
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh kalangan perguruan tinggi. Oleh karena
itulah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, memberi kepercayaan kepada Busthanul
Arifin untuk menjadi Guru Besar (Professor) Luar Biasa dalam Ilmu Hukum.
Kepercayaan itu dijaga dengan baik oleh Busthanul yang hingga hari ini masih
aktif memberi kuliah di IAIN tersebut.
Dengan Doctor Honoris Causa yang belum lama ini
dianugerahkan oleh IAIN Jakarta kepadanya, lengkaplah sudah pengakuan dan
penghargaan akademis kepada Si Anak Surau, Busthanul Arifin.
Promotor, Prof.
Dr. Harun Nasution, menganggap layak memberikan anugerah gelar Doktor
Kehormatan kepada Busthanul Arifin mengingat telah banyak sumbangan pemikiran Promovendus bagi pembangunan hukum Islam,
terutama dalam upaya meningkatkan wewenang Peradilan Agama di Indonesia.
Lukman Hakiem dari Media Dakwah
menggali pemikiran Busthanul Arififn dan menyajikan pokok-pokok pikiran
utamanya.
Pandangan mengenai al-Din dan Syari’ah.
Sebagaimana
tersebut dalam Qur’an Surat (Q.S) al-A’la ayat 1-3, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan segala sesuatu dengan proses takhliq, taswiyah, taqdir, dan hidayah. Meskipun Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan
segala sesuatu dengan sempurna, baik dalam bentuk, kemampuan, maupun peranan
masing-masing dalam hidup; Dia memberikan pula bimbingan (hidayah) untuk hidup mandiri.
Hidayah terdiri
dari empat: naluri, indra, akal, dan wahyu. Naluri dan indra, sama keadaannya
pada manusia dan hewan. Akal adalah jenis hidayah Allah subhanahu wa ta’ala khusus untuk manusia. Ketiganya mempunyai
batas. Jika naluri telah sampai pada batasnya, indra bekerja. Jika indra telah
sampai pula pada batasnya, akal bekerja. Tetapi akal pun ada batasnya. Di
sinilah kemudian wahyu berperan.
Wahyu adalah
anugerah terkhusus kepada manusia. Wahyu sebagai hidayah Ilahi bersifat mutlak,
dan tidak mungkin salah.
Hidayah wahyu
itulah al-huda yang disebut juga al-Din, dan al-Islam. Al-Din itu sama
bagi semua manusia. Karena Allah subhanahu
wa ta’ala adalah Esa, al-Din yang
diturunkan-Nya juga satu. (Q.S. asy-Syuura ayat 13, Q.S.al-Anbiya ayat 24, dan
Q.S. Ali ‘Imran ayat 2).
Samakah al-Din dengan syari’ah?
Al-Din berbeda dengan syari’ah.
Jika al-Din adalah iman dan mengabdi
kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
maka syari’ah adalah program
pelaksanaannya (manhaj).Karena al-Din meliputi seluruh kehidupan, maka syari’ah sebagai program pelaksanaannya
juga meliputi seluruh kehidupan. Akan tetapi, jika al-Din hanya satu dan seragam, maka syari’ah sebagai program pelaksanaannya berbeda-beda sepanjang
sejarah kemanusiaan.
Tiap-tiap Rasul
membawa syari’ahnya masing-masing.
Dan syari’ah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengukuhkan dan meluruskan kembali syari’ah
terdahulu, serta merupakan syari’ah
terakhir yang diturunkan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala (Q.S. al-Maaidah ayat 48).
Selain syari’ah, dikenal juga fiqh, dan hukum Islam. Bisa
dijelaskan?
Berdasarkan
uraian di atas, aspek hukum merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Tidak
ada satu pun perubahan atau satu peristiwa hukum dalam masyarakat yang tidak
ada ketentuan hukumnya di dalam al-Quran. Dan satu-satunya jaminan untuk
mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat adalah dengan mengikuti
tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala
yang telah diberikan dalam al-Quran.
Dalam membahas
hukum Islam, lebih dulu perlu dijernihkan mengenai apa yang dimaksud dengan
istilah “hukum Islam” itu.
Di dalam Islam
ada dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi “hukum Islam”, yaitu syari’ah (syara’) dan fiqh.
Keduanya sering dikacaukan pemakaiannya. Kadang-kadang dianggap sebagai dua hal
yang berbeda, kadang-kadang dianggap sebagai sinonim. Apalagi kalau yang
dipakai satu kata terjemahan seperti “hukum Islam”.
Kekacauan
pemahaman antara syari’ah dengan fiqh menimbulkan konflik hukum di dalam
masyarakat. Hal ini dapat dicontohkan dalam pemakaian kata syari’ah sebagai sinonim al-Din
dan millah, atau ada pula yang
membedakan syari’ah dengan fiqh.
Bisa lebih diperjelas?
Syari’ah adalah
hukum-hukum yang sudah jelas nashnya
(qath’i), dan fiqh adalah hukum-hukum yang dzanni
yang dapat dimasuki pemahaman manusia (ijtihad).
Demi kepentingan pembangunan hukum Islam, istilah-istilah syari’ah dan fiqh perlu
diperjelas, karena banyak hal yang semula dianggap sebagai konflik antara hukum
Sipil dengan hukum Islam ternyata masalahnya terletak pada kekacauan pengertian
istilah yang dipakai.
Singkatnya, kita
harus menyamakan “bahasa” hukum Islam dengan ‘bahasa” hukum Sipil. Bahasa hukum
Sipil telah berkembang jauh sekali, sedangkan bahasa hukum Islam pada
hakikatnya telah berhenti sesudah abad keempat Hijriah seiring dengan
berhentinya kegiatan ilmiah hukum Islam. Yang kita warisi sekarang adalah hukum
Islam sebagai hasil ijtihad dari pemikiran para sarjana hukum (imam mujtahid) abad keempat Hijriah itu.
Syari’ah Islam telah sempurna berlaku untuk semua tempat dan
segala zaman, karena sumbernya ialah Quran dan Sunnah Rasul. Sedangkan fiqh dapat berbeda di berbagai
masyarakat dan zaman, karena di dalamnya
sudah terdapat hasil pikiran manusia.
Mungkinkah hukum Islam menjadi alternatif dari sistem
hukum lain?
Sumber pokok syari’ah adalah Quran dan Sunnah Rasul. Ijma’ dan qiyas adalah cara atau metode pengambilan hukum. Di kalangan ulama ushul fiqh lebih banyak lagi cara-cara
pengambilan hukum, walaupun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Hal ini banyak dilupakan oleh
para sarjana hukum Islam (ulama) sekarang, sehingga pengambilan hukum yang
diberlakukan tidak memuaskan masyarakat.
Ada beberapa
dalil syar’i yang menarik dan yang
seakan-akan tidak pernah disentuh oleh para sarjana hukum Islam, antara lain ‘adat, ‘urf, taamul, tahkiimulhal, dan syahadatul qalbi.
Maka, jika hendak
menyodorkan hukum Islam sebagai alternatif dari sistem-sistem hukum lainnya,
tidak ada jalan lain kecuali berusaha sungguh-sungguh menemukan
ketentuan-ketentuan syari’ah Islam,
sehingga fiqh yang dihasilkan akan
benar-benar dapat menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bagaimana dengan pelembagaan hukum Islam?
Pelembagaan hukum
Islam pada hakikatnya merupakan aktualisasi hukum Islam supaya berlaku efektif
dalam kehidupan bermasyarakat. Masalahnya, untuk melembagakan hukum Islam
banyak kendala yang dihadapi oleh para pakar hukum Islam, baik yang dirasakan
oleh para cendekiawan hukum Islam, para ulama fiqh, maupun umat Islam pada
umumnya.
Oleh karena
kebanyakan masyarakat Muslim di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia,
dalam waktu yang cukup lama mengalami penjajahan dari kaum kolonial, maka
perlakuan hukum para penjajah terhadap umat Islam dilatarbelakangi oleh politik
kekuasaan yang diberlakukan untuk bangsa terjajah.
Karena hasrat
penjajah menguasai Indonesia secara total, di bidang hukum dimunculkan oleh
pemerintah kolonial Belanda konflik tiga sistem hukum: hukum Islam, hukum Adat,
dan hukum Barat yang berlanjut sampai sekarang.
Bisa dijelaskan bagaimana awal konflik itu?
Awal dari konflik
tersebut ialah rencana pemerintah kolonial Belanda untuk menerapkan bulat-bulat
hukum Sipil Belanda kepada penduduk asli Indonesia. Beberapa sarjana hukum
Belanda menolak rencana tersebut. Akan tetapi, jika diselidiki lebih lanjut,
perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum Belanda itu sejatinya hanya pada
cara yang tepat untuk menguasai bangsa Indonesia.
Kelompok hukum
Adat berpendapat, jika hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku bagi kaum
pribumi Indonesia, yang akan mengambil keuntungan adalah hukum Islam. Hal itu
karena hukum Sipil Belanda tumbuh dan berkembang dari asas-asas moral dan etika
agama Kristen.
Dalam konflik
itu, penjajah Belanda menyokong hukum Adat. Hal tersebut terlihat dari politik
hukum Belanda yang diskriminatif terhadap hukum Islam, dan usaha-usaha penjajah
Belanda mengecilkan peranan dan fungsi Pengadilan Agama.
Bukankah sesudah Indonesia merdeka konflik hukum seharusnya
berakhir?
Setelah Indonesia
merdeka, penyelesaian konflik tiga sistem hukum tadi tentulah harus didasarkan
kepada kepentingan nasional, dan disesuaikan dengan kesadaran hukum masyarakat.
Karena itu maka yang disebut hukum nasional adalah hukum yang unsur-unsurnya
diambil dari hukum Sipil, hukum Adat, dan hukum Islam yang menjadi kesadaran
hukum masyarakat.
Dalam membangun
dan membina hukum nasional itu, kita perlu memahami benar-benar sifat dan
hakikat ketiga sistem hukum tersebut dan memberi penilaian sebagaimana adanya supaya dapat ditentukan
bagian-bagian mana yang telah diserap oleh kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Di tengah konflik tiga sistem hukum, bagaimana nasib
Pengadilan Agama?
Bagi suatu negara
hukum, mutlak perlu ada badan peradilan yang bebas dan mandiri (independen judicary). Adanya hukum,
menghajatkan peradilan. Hal itu telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 pada Bab Kekuasaan Kehakiman.
Berangkat dari
prinsip pemikiran bahwa umat Islam ”wajib bertahkim” kepada hukum Islam, maka
Pengadilan Agama di Indonesia adalah fardhu
kifayah (kewajiban kolektif) bagi masyarakat Muslim.
Dengan memahami
ajaran Islam, dapatlah dimengerti kenyataan bahwa peradilan agama di Indonesia
telah ada sejak Islam diterima oleh bangsa Indonesia.
Telah diterima sejak awal?
Ya. Hanya saja,
karena Islam dan nasionalisme adalah musuh dan penghalang utama bagi perwujudan
ambisi kaum penjajah, maka direkayasalah citra negatif tentang peradilan agama.
Akibatnya, Pengadilan Agama dibiarkan hidup segan mati tak mau. Pengadilan
Agama dijadikan peradilan yang merupakan pengadilan semu, tanpa kekuasaan, dan
karenanya tanpa wibawa.
Image atau citra yang ditanamkan kaum penjajah itu demikian
tertanam di benak sebagian kita sehingga untuk beberapa waktu lamanya peradilan
agama berada di luar kekuasaan kehakiman, di luar judicary.
Inilah yang
menyebabkan lahirnya trauma di kalangan kaum Muslim melihat jauh berbedanya
pelayanan hukum bagi pencari keadilan yang beragama Nasrani dan yang beragama
Islam. Pemerintah kolonial Belanda menganakemaskan Kaum Nasrani dan
menganaktirikan kaum Muslim.
Sampai sedemikian jauh dampaknya?
Ya. Peradilan
agama telah dijadikan alat oleh pemerintah koloniali Belanda untuk
memecah-belah bangsa Indonesia.
Alhamdulillah,
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Pengadilan Agama telah ditempatkan sebagai aparat kehakiman sesuai dengan
amanat UUD 1945.
Bisa dijelaskan kembali mengapa umat Islam memerlukan
Peradilan Agama?
Orang-orang
non-Muslim dan kaum Muslim yang tidak merasa terlalu terlibat dengan
persoalan-persoalan keislaman, tidak atau kurang mengerti bahwa Islam itu ‘aqidah wa syari’ah, kepercayaan dan
hukum. Ada peraturan-peraturan hukum yang abadi, yang harus diterapkan atau
diamalkan sama dengan penerapan soal-soal murni keagamaan (‘ubudiyah). Termasuk di dalam golongan peraturan hukum ini adalah
hukum keluarga, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, dan sedekah.
Agama-agama
selain Islam hanya mempunyai peraturan hidup yang murni agama (semacam ‘ubudiyah dalam Islam), yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Agama-agama selain Islam hanya mempunyai
etika, bukan hukum. Etika tersebut dikembangkan oleh masing-masing gereja atau
oleh kumpulan gereja.
Apa makna lahirnya Undang-undang tentang Peradilan Agama?
Tampaknya dewasa
ini masih ada kekuatan-kekuatan yang hendak meneruskan politik kolonial yang
menutup-nutupi hakikat Islam. Mereka melontarkan berbagai macam isu. Padahal
seluruh tuduhan itu, ditilik dari sudut ilmiah hukum, nonsense! Apalagi ditinjau dari segi hukum Islam, Pancasila, dan
UUD 1945.
Lahirnya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menyembuhkan
trauma ratusan tahun yang diidap olehumat Islam, sekaligus berangsur-angsur
menyembuhkan penyakit superiority complex
sebagian warga negara kita.
Lahirnya
Unndang-undang Nomor 7 Tahun 1989 mudah-mudahan menyadarkan mereka bahwa di
Republik Indonesia ini mereka adalah warga negara yang sama dan sederajat
dengan umat beragama lain.
Mudah-mudahan
saudara-saudara kita itu dapat melupakan kedudukan dan status eksklusif yang
pernah mereka nikmati di masa penjajahan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar