Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

05 Desember 2014



H. BUSTHANUL ARIFIN
Hukum Islam sebagai Alternatif
(Media Dakwah Nomor 237 Ramadhan 1414/Maret 1994, halaman 52-54)

“ISLAM terdiri dari akidah, syari’ah, dan akhlak. Karena itu, Islam juga adalah hukum dalam pengertian ‘law’, dan kaum Muslimin berkewajiban untuk bertahkim kepada hukum Islam.”
Kalimat di atas bukan disampaikan oleh seorang Kiai, Ustadz, atau Ajengan di sebuah pondok pesantren, majelis taklim, atau tabligh akbar; melainkan meluncur dari bibir seorang alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH-UGM) Yogyakarta, dan disampaikannya di depan Presiden Soeharto dan para pejabat tinggi Republik Indonesia di Istana Negara.
Tidak syak lagi, tokoh yang berani menyampaikan hal demikian pada sebuah forum resmi di Istana tentulah seorang yang memiliki kepribadian tinggi dan komitmen mendalam terhadap perjuangan menegakkan hukum Islam dalam sistem hukum nasional.
Tokoh tersebut, tokoh kita kali ini ialah Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada 22 Desember 1993 memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri --ed) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1929, Busthanul Arifin hidup dan dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan yang bertradisi keagamaan kuat. Dalam usia 13 tahun, dia telah akrab dengan pengajian di surau. Dia pun menekuni pelajaran al-Qur’an dari pamandanya, Ibnu Abbas; dan menggali pelajaran Ilmu Tauhid dari Datuk Tuanku Keramat.
Kedua orang tuanya amat mendukung pendidikan agama bagi Busthanul. “Agama dan ilmu agama, di mana pun akan tetap jalan,” ujar Amdaran gelar Maharajo Sultan, ayahanda Busthanul.
Setelah menamatkan Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah (1943), Busthanul melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Bukittinggi, kemudian di Sekolah Menengah Atas (SMA) Peralihan di Jakarta (1948). Pada 1955, Busthanul menyelesaikan kuliahnya di FH-UGM Yogyakarta.
Semasa menjadi mahasiswa, Busthanul aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Mula-mula sebagai Sekretaris Umum (1953-1954), kemudian sebagai Ketua Umum (1954-1955) HMI Cabang Yogyakarta. Sebagai aktivis organisasi mahasiswa Islam yang didirikan di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan kawan-kawan pada 5 Februari 1947, Busthanul dan teman-temannya juga memiliki saham di dalam membuat lambang HMI yang konsep awalnya merupakan karya aktivis HMI Cabang Bandung, Ahmad Sadali.
Untuk menggali dan mempertajam potensi intelektual para aktivis HMI Cabang Yogyakarta, Busthanul dan kawan-kawan menerbitkan majalah Media yang kemudian oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI, Deliar Noer, ditingkatkan statusnya menjadi majalah terbitan PB-HMI.
Setamat kuliah, Busthanul meniti karier sebagai hakim pada Pengadilan Negeri Demak, Jawa Tengah (1956), hingga mencapai posisinya sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung.
Di bidang akademis, Busthanul turut merintis pembentukan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar yang mengampu mata kuliah agama dan hukum Islam. Busthanul pun tercatat sebagai salah seorang pendiri Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan menjadi rektornya yang pertama.
Meskipun menempuh karier sebagai praktisi hukum, Busthanul tidak pernah menyia-nyiakan potensi intelektualnya. Sebagai salah seorang pelaksana konsep Pimpinan Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) tentang kekuasaan kehakiman dalam konstitusi yang akan dibuat oleh Majelis Konstituante, Busthanul melangkah guna merealisasikan gagasannya menjadikan Pengadilan Agama sebagai yang “seharusnya”, yakni sebagai aparat kekuasaan kehakiman.
Kendatipun Konstituante akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, gagasan Busthanul tidak ikut terkubur. Hal itu terbukti dengan munculnya Kamar Islam di Mahkamah Agung dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965.
Pada 1967, selaku Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan, dalam rapat kerja Departemen Agama wilayah Kalimantan Selatan, Busthanul menyodorkan tiga gagasan pokok mengenai Peradilan Agama: (a). Perlunya peningkatan fungsi dan wewenang Pengadilan Agama, (b). Mengefektifkan Kamar Islam di Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan (c). Membentuk Panitia Negara untuk mengadakan riset tentang berlakunya hukum Islam di kalangan rakyat untuk kemudian dituangkan menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Agaknya lantaran pikiran-pikirannya di atas, yang dia perjuangkan dengan gigih selama bertahun-tahun, Pemerintah melibatkannya dalam penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Peradilan Agama. Tidak tanggung-tanggung, Busthanul ditunjuk sebagai Ketua Tim Penyusunan RUU Peradilan Agama sampai akhirnya lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Keterlibatannya di bidang akademis dan gagasan-gagasannya tentang Peradilan Agama, rupanya diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh kalangan perguruan tinggi. Oleh karena itulah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, memberi kepercayaan kepada Busthanul Arifin untuk menjadi Guru Besar (Professor) Luar Biasa dalam Ilmu Hukum. Kepercayaan itu dijaga dengan baik oleh Busthanul yang hingga hari ini masih aktif memberi kuliah di IAIN tersebut.
Dengan Doctor Honoris Causa yang belum lama ini dianugerahkan oleh IAIN Jakarta kepadanya, lengkaplah sudah pengakuan dan penghargaan akademis kepada Si Anak Surau, Busthanul Arifin.
Promotor, Prof. Dr. Harun Nasution, menganggap layak memberikan anugerah gelar Doktor Kehormatan kepada Busthanul Arifin mengingat telah banyak sumbangan pemikiran Promovendus bagi pembangunan hukum Islam, terutama dalam upaya meningkatkan wewenang Peradilan Agama di Indonesia.
Lukman Hakiem dari Media Dakwah menggali pemikiran Busthanul Arififn dan menyajikan pokok-pokok pikiran utamanya.
Pandangan mengenai al-Din dan Syari’ah.
Sebagaimana tersebut dalam Qur’an Surat (Q.S) al-A’la ayat 1-3, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan segala sesuatu dengan proses takhliq, taswiyah, taqdir, dan hidayah. Meskipun Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, baik dalam bentuk, kemampuan, maupun peranan masing-masing dalam hidup; Dia memberikan pula bimbingan (hidayah) untuk hidup mandiri.
Hidayah terdiri dari empat: naluri, indra, akal, dan wahyu. Naluri dan indra, sama keadaannya pada manusia dan hewan. Akal adalah jenis hidayah Allah subhanahu wa ta’ala khusus untuk manusia. Ketiganya mempunyai batas. Jika naluri telah sampai pada batasnya, indra bekerja. Jika indra telah sampai pula pada batasnya, akal bekerja. Tetapi akal pun ada batasnya. Di sinilah kemudian wahyu berperan.
Wahyu adalah anugerah terkhusus kepada manusia. Wahyu sebagai hidayah Ilahi bersifat mutlak, dan tidak mungkin salah.
Hidayah wahyu itulah al-huda yang disebut juga al-Din, dan al-Islam. Al-Din itu sama bagi semua manusia. Karena Allah subhanahu wa ta’ala adalah Esa, al-Din yang diturunkan-Nya juga satu. (Q.S. asy-Syuura ayat 13, Q.S.al-Anbiya ayat 24, dan Q.S. Ali ‘Imran ayat 2).
Samakah al-Din dengan syari’ah?
Al-Din berbeda dengan syari’ah. Jika al-Din adalah iman dan mengabdi kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka syari’ah adalah program pelaksanaannya (manhaj).Karena al-Din meliputi seluruh kehidupan, maka syari’ah sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan. Akan tetapi, jika al-Din hanya satu dan seragam, maka syari’ah sebagai program pelaksanaannya berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan.
Tiap-tiap Rasul membawa syari’ahnya masing-masing. Dan syari’ah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengukuhkan dan meluruskan kembali syari’ah terdahulu, serta merupakan syari’ah terakhir yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala (Q.S. al-Maaidah ayat 48).
Selain syari’ah, dikenal juga fiqh, dan hukum Islam. Bisa dijelaskan?
Berdasarkan uraian di atas, aspek hukum merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Tidak ada satu pun perubahan atau satu peristiwa hukum dalam masyarakat yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam al-Quran. Dan satu-satunya jaminan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat adalah dengan mengikuti tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah diberikan dalam al-Quran.
Dalam membahas hukum Islam, lebih dulu perlu dijernihkan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “hukum Islam” itu.
Di dalam Islam ada dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi “hukum Islam”, yaitu syari’ah (syara’) dan fiqh. Keduanya sering dikacaukan pemakaiannya. Kadang-kadang dianggap sebagai dua hal yang berbeda, kadang-kadang dianggap sebagai sinonim. Apalagi kalau yang dipakai satu kata terjemahan seperti “hukum Islam”.
Kekacauan pemahaman antara syari’ah dengan fiqh menimbulkan konflik hukum di dalam masyarakat. Hal ini dapat dicontohkan dalam pemakaian kata syari’ah sebagai sinonim al-Din dan millah, atau ada pula yang membedakan syari’ah dengan fiqh.
Bisa lebih diperjelas?
Syari’ah adalah hukum-hukum yang sudah jelas nashnya (qath’i), dan fiqh adalah hukum-hukum yang dzanni yang dapat dimasuki pemahaman manusia (ijtihad). Demi kepentingan pembangunan hukum Islam, istilah-istilah syari’ah dan fiqh perlu diperjelas, karena banyak hal yang semula dianggap sebagai konflik antara hukum Sipil dengan hukum Islam ternyata masalahnya terletak pada kekacauan pengertian istilah yang dipakai.         
Singkatnya, kita harus menyamakan “bahasa” hukum Islam dengan ‘bahasa” hukum Sipil. Bahasa hukum Sipil telah berkembang jauh sekali, sedangkan bahasa hukum Islam pada hakikatnya telah berhenti sesudah abad keempat Hijriah seiring dengan berhentinya kegiatan ilmiah hukum Islam. Yang kita warisi sekarang adalah hukum Islam sebagai hasil ijtihad dari pemikiran para sarjana hukum (imam mujtahid) abad keempat Hijriah itu.
Syari’ah Islam telah sempurna berlaku untuk semua tempat dan segala zaman, karena sumbernya ialah Quran dan Sunnah Rasul. Sedangkan fiqh dapat berbeda di berbagai masyarakat dan zaman, karena  di dalamnya sudah terdapat hasil pikiran manusia.
Mungkinkah hukum Islam menjadi alternatif dari sistem hukum lain?
Sumber pokok syari’ah adalah Quran dan Sunnah Rasul. Ijma’ dan qiyas adalah cara atau metode pengambilan hukum. Di kalangan ulama ushul fiqh lebih banyak lagi cara-cara pengambilan hukum, walaupun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf). Hal ini banyak dilupakan oleh para sarjana hukum Islam (ulama) sekarang, sehingga pengambilan hukum yang diberlakukan tidak memuaskan masyarakat.
Ada beberapa dalil syar’i yang menarik dan yang seakan-akan tidak pernah disentuh oleh para sarjana hukum Islam, antara lain ‘adat, ‘urf, taamul, tahkiimulhal, dan syahadatul qalbi.
Maka, jika hendak menyodorkan hukum Islam sebagai alternatif dari sistem-sistem hukum lainnya, tidak ada jalan lain kecuali berusaha sungguh-sungguh menemukan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, sehingga fiqh yang dihasilkan akan benar-benar dapat menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bagaimana dengan pelembagaan hukum Islam?
Pelembagaan hukum Islam pada hakikatnya merupakan aktualisasi hukum Islam supaya berlaku efektif dalam kehidupan bermasyarakat. Masalahnya, untuk melembagakan hukum Islam banyak kendala yang dihadapi oleh para pakar hukum Islam, baik yang dirasakan oleh para cendekiawan hukum Islam, para ulama fiqh, maupun umat Islam pada umumnya.
Oleh karena kebanyakan masyarakat Muslim di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia, dalam waktu yang cukup lama mengalami penjajahan dari kaum kolonial, maka perlakuan hukum para penjajah terhadap umat Islam dilatarbelakangi oleh politik kekuasaan yang diberlakukan untuk bangsa terjajah.
Karena hasrat penjajah menguasai Indonesia secara total, di bidang hukum dimunculkan oleh pemerintah kolonial Belanda konflik tiga sistem hukum: hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Barat yang berlanjut sampai sekarang. 
Bisa dijelaskan bagaimana awal konflik itu?
Awal dari konflik tersebut ialah rencana pemerintah kolonial Belanda untuk menerapkan bulat-bulat hukum Sipil Belanda kepada penduduk asli Indonesia. Beberapa sarjana hukum Belanda menolak rencana tersebut. Akan tetapi, jika diselidiki lebih lanjut, perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum Belanda itu sejatinya hanya pada cara yang tepat untuk menguasai bangsa Indonesia.
Kelompok hukum Adat berpendapat, jika hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku bagi kaum pribumi Indonesia, yang akan mengambil keuntungan adalah hukum Islam. Hal itu karena hukum Sipil Belanda tumbuh dan berkembang dari asas-asas moral dan etika agama Kristen.
Dalam konflik itu, penjajah Belanda menyokong hukum Adat. Hal tersebut terlihat dari politik hukum Belanda yang diskriminatif terhadap hukum Islam, dan usaha-usaha penjajah Belanda mengecilkan peranan dan fungsi Pengadilan Agama.
Bukankah sesudah Indonesia merdeka konflik hukum seharusnya berakhir?
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian konflik tiga sistem hukum tadi tentulah harus didasarkan kepada kepentingan nasional, dan disesuaikan dengan kesadaran hukum masyarakat. Karena itu maka yang disebut hukum nasional adalah hukum yang unsur-unsurnya diambil dari hukum Sipil, hukum Adat, dan hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum masyarakat.
Dalam membangun dan membina hukum nasional itu, kita perlu memahami benar-benar sifat dan hakikat ketiga sistem hukum tersebut dan memberi penilaian  sebagaimana adanya supaya dapat ditentukan bagian-bagian mana yang telah diserap oleh kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Di tengah konflik tiga sistem hukum, bagaimana nasib Pengadilan Agama?
Bagi suatu negara hukum, mutlak perlu ada badan peradilan yang bebas dan mandiri (independen judicary). Adanya hukum, menghajatkan peradilan. Hal itu telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Bab Kekuasaan Kehakiman.
Berangkat dari prinsip pemikiran bahwa umat Islam ”wajib bertahkim” kepada hukum Islam, maka Pengadilan Agama di Indonesia adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi masyarakat Muslim.
Dengan memahami ajaran Islam, dapatlah dimengerti kenyataan bahwa peradilan agama di Indonesia telah ada sejak Islam diterima oleh bangsa Indonesia.
Telah diterima sejak awal?
Ya. Hanya saja, karena Islam dan nasionalisme adalah musuh dan penghalang utama bagi perwujudan ambisi kaum penjajah, maka direkayasalah citra negatif tentang peradilan agama. Akibatnya, Pengadilan Agama dibiarkan hidup segan mati tak mau. Pengadilan Agama dijadikan peradilan yang merupakan pengadilan semu, tanpa kekuasaan, dan karenanya tanpa wibawa.     
Image atau citra yang ditanamkan kaum penjajah itu demikian tertanam di benak sebagian kita sehingga untuk beberapa waktu lamanya peradilan agama berada di luar kekuasaan kehakiman, di luar judicary.
Inilah yang menyebabkan lahirnya trauma di kalangan kaum Muslim melihat jauh berbedanya pelayanan hukum bagi pencari keadilan yang beragama Nasrani dan yang beragama Islam. Pemerintah kolonial Belanda menganakemaskan Kaum Nasrani dan menganaktirikan kaum Muslim.
Sampai sedemikian jauh dampaknya?
Ya. Peradilan agama telah dijadikan alat oleh pemerintah koloniali Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia.
Alhamdulillah, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama telah ditempatkan sebagai aparat kehakiman sesuai dengan amanat UUD 1945.
Bisa dijelaskan kembali mengapa umat Islam memerlukan Peradilan Agama?
Orang-orang non-Muslim dan kaum Muslim yang tidak merasa terlalu terlibat dengan persoalan-persoalan keislaman, tidak atau kurang mengerti bahwa Islam itu ‘aqidah wa syari’ah, kepercayaan dan hukum. Ada peraturan-peraturan hukum yang abadi, yang harus diterapkan atau diamalkan sama dengan penerapan soal-soal murni keagamaan (‘ubudiyah). Termasuk di dalam golongan peraturan hukum ini adalah hukum keluarga, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, wakaf, dan sedekah.
Agama-agama selain Islam hanya mempunyai peraturan hidup yang murni agama (semacam ‘ubudiyah dalam Islam), yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Agama-agama selain Islam hanya mempunyai etika, bukan hukum. Etika tersebut dikembangkan oleh masing-masing gereja atau oleh kumpulan gereja.
Apa makna lahirnya Undang-undang tentang Peradilan Agama?
Tampaknya dewasa ini masih ada kekuatan-kekuatan yang hendak meneruskan politik kolonial yang menutup-nutupi hakikat Islam. Mereka melontarkan berbagai macam isu. Padahal seluruh tuduhan itu, ditilik dari sudut ilmiah hukum, nonsense! Apalagi ditinjau dari segi hukum Islam, Pancasila, dan UUD 1945.
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menyembuhkan trauma ratusan tahun yang diidap olehumat Islam, sekaligus berangsur-angsur menyembuhkan penyakit superiority complex sebagian warga negara kita.
Lahirnya Unndang-undang Nomor 7 Tahun 1989 mudah-mudahan menyadarkan mereka bahwa di Republik Indonesia ini mereka adalah warga negara yang sama dan sederajat dengan umat beragama lain.
Mudah-mudahan saudara-saudara kita itu dapat melupakan kedudukan dan status eksklusif yang pernah mereka nikmati di masa penjajahan.[]   

Tidak ada komentar: