Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

13 Januari 2017

Dr. Johannes Leimena Patriot dan Diplomat

Dr. Johannes Leimena
Patriot dan Diplomat
Oleh: M. Natsir

Pengantar: Dari Ibu Asma Faridah Natsir, salah seorang putri mantan Ketua Umum Partai Islam Masyumi, mantan Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir (1908-1993), saya memperoleh foto copy tulisan M. Natsir yang dimuat pada buku biografi Dr. Johannes Leimena. Copy tulisan itu dikirim oleh A. Djauhar Leimena, atas nama Keluarga Besar Dr. Johannes Leimena kepada Keluarga Besar M. Natsir melalui Asma Faridah Natsir. Dalam surat pengantar tertanggal 23 Januari 2011, A. Djauhar Leimena antara lain menulis: “Suatu phenomena di zaman itu, terlepas dari aliran politik dan perbedaan agama, orang tua kita sangat menghormati keberadaan satu sama lain, serta tetap menjaga persahabatan dan tali silaturrahmi. Hal ini sudah jarang didapati di era sekarang ini.” Semoga bermanfaat.
*****

            DI KALANGAN rekan-rekan dan anggota-anggota staf, ia biasa disebut dengan “Oom Yo.” Ia senang dengan nama gelaran yang mengandung rasa keakraban itu.
            Memang sudah merupakan salah satu sifat dari Saudara Leimena, bahwa, bila mula-mula berjumpa, orang merasakan seolah sudah lama berkenalan dengannya.
            Dia lihat kita dengan mata terbuka membundar, wajahnya yang tersenyum, dan dengan kerenyut bibirnya yang membayangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan kata ringkas: Leimena mempunyai kepribadian yang menarik.
            Kami pertama kali bertemu di Pegangsaan Timur 56, Gedung Proklamasi, di waktu itu sibuk mengurus perawatan pejuang-pejuang kemerdekaan kita yang luka-luka dalam pertempuran di sekitar Tangerang, di mana Dr. Leimena menjadi Direktur Rumah Sakit Tangerang.
            Hubungan kami yang lebih erat ialah di waktu sama-sama duduk dalam Kabinet Sjahrir, silih berganti, Kabinet Hatta, dan Kabinet Kesatuan yang pertama.
Resminya, Dr. Leimena menjabat Kementerian Kesehatan. Tetapi sebagian besar pemikiran dan tenaganya tertumpah kepada partisipasi dalam mengatasi persoalan-persoalan politik dan diplomasi yang timbul silih berganti dalam masa revolusi fisik dan sesudahnya.
Orang tadinya tidak menyangka bahwa seorang abiturient dari sekolah dokter Stovia, antara lain memimpin rumah sakit tingkat kabupaten, mempunyai bakat sebagai seorang diplomat yang diakui kemahirannya.
Baru saja Dr. Leimena masuk kabinet, bakat berundingnya sudah terlihat dalam perundingan-perundingan mengenai penyerahan tawanan perang kepada Komandan Tentara Sekutu.
Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang militer kedua belah pihak di mana ia dapat mendalami cara-cara berfikir mereka dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam perundingan-perundingan seterusnya dengan pihak Belanda, dari perundingan Linggajati (1946-1947) sampai ke Konferensi Meja Bundar (1949), Dr. Leimena memberikan tenaganya dengan aktif juga di bidang yang mengenai ketentaraan.
Ia bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan perundingan dengan tenang dan konsentrasi. Tapi satu kali ia bicara, orang merasakan bahwa ia benar-benar menguasai persoalan yang dibicarakan, dan bahwa ia benar-benar sudah “mengerjakan PR-nya”.
Ia rajin membaca, dengan kemampuannya untuk mencernakan apa yang dibacanya yang besar sekali. Bila orang masuk ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, orang segera tertarik oleh lemari bukunya yang besar penuh dengan buku-buku. Bukan saja buku-buku medis, tapi buku-buku di bidang sejarah, filsafat, politik, bermacam-macam. Ada Goethe, ada Max Weber, ada Arnold Toynbee, ada yang lain-lain.
Pihak Belanda pernah memberinya julukan Meneer de Dominee, lantaran cara-caranya yang lemah lembut. Sekalipun demikian, bila datang saatnya kelemahlembutannya itu tidak menghalanginya untuk menyatakan kepada lawan perundingan, pendirian delegasi Indonesia yang tegas-tegas.
Saya masih ingat sewaktu, semasa Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat di Jenewa, Dr. Leimena duduk dalam delegasi di bawah pimpinan Anak Agung Gde Agung.
Setelah beberapa waktu perundingan bertele-tele, anggota Leimena berkata dengan caranya yang khas itu, lebih kurang:
“.... Tuan-tuan. Pemerintah Indonesia yang sekarang itu dan kami-kami ini termasuk orang-orang yang boleh dinamakan moderat. Tapi, kalau Tuan-tuan biarkan kami pulang dengan tangan kosong, maka Tuan-tuan pasti berhadapan dengan orang Indonesia yang lebih ekstrim!”
Dan kalau Meneer de Dominer sudah berkata secara tough itu, lawan perundingan tahu: “Sudah pukul berapa hari sekarang.”
Dan memang apa yang diperingatkannya itu terjadi. Semenjak delegasi pulang dengan tangan kosong, Belanda berhadapan dengan Presiden Sukarno yang sudah dikelilingi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ada juga satu peristiwa yang agak lucu di waktu itu.
Sebagai salah satu konsekwensi dari gagalnya perundingan mengenai soal Irian itu, Pemerintah dan DPR mempersiapkan undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda, sesuai dengan idam-idaman Bung Karno semenjak zaman Kabinet Natsir di tahun 1950, waktu perundingan mengenai soal Irian itu gagal untuk pertama kalinya. Malah waktu itu beliau ingin membatalkannya melalui pidato beliau sendiri dari Istana Merdeka. Ini tidak pernah terjadi.
Tapi di waktu Kabinet Burhanuddin Harahap mempersiapkan undang-undang pembatalan Unie itu, Presiden Sukarno tidak bersedia menandatanganinya.
Kemudian sesudah pemilihan umum pertama, Kabinet Ali Sastroamidjojo mempersiapkan lagi undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda yang baru, dengan teks yang serupa, barulah Presiden bersedia menandatanganinya.
Umum menafsirkan bahwa beliau tidak ingin memberi “Kehormatan” pembatalan Unie itu kepada kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, yang biasa dinamakan Kabinet Masyumi itu, sesuai dengan nama partai Perdana Menterinya.
Sementara itu krisis antara Indonesia dengan Belanda meningkat dari bulan ke bulan. Semua kekayaan Belanda disita.
Rusia membantu Indonesia dengan kapal-kapal perangnya yang sudah tua. Terjadilah konfrontasi fisik (kalau belum dinamakan perang total), di daerah Irian dan sekitarnya di mana Yos Sudarso tewas.
Krisis ini telah dapat diakhiri dengan jalan diplomasi, setelahnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) campur tangan. Duta Besar Indonesia di Rusia, Adam Malik, dan Wakil Tetap Indonesia di PBB, Sudjarwo,S.H., banyak berjasa dalam usaha penyelesaian soal Irian ini.
Semasa Kabinet Hatta (Kabinet Negara Republik Indonesia Serikat), terjadi pemberontakan di Ambon dengan diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumukil cs. Untuk mencari penyelesaian secara damai, Pemerintah Hatta membentuk satu missi di bawah pimpinan Dr. Leimena, dan terkenal dengan nama Missi Leimena.
Soumokil cs tidak bersedia menerima Missi Leimena.
Setelah segala usaha untuk mencari penyelesaian secara damai, gagal, sedangkan laporan-laporan yang sampai ke Pemerintah Pusat meyakinkan bahwa gerakan RMS itu sama sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk Ambon, malah rakyat Ambon menderita penteroran dari serdadu-serdadu RMS, maka Kabinet Negara Kesatuan yang baru saja dibentuk terpaksa mengambil tindakan militer berupa pengiriman pasukan TNI ke pulau Ambon untuk memulihkan keamanan dan kesatuan negara, pada tanggal 28 September 1950.
Beberapa hari sesudah operasi militer yang cukup singkat, berhasil, pergilah kami berdua ke Ambon dengan kapal terbang tua merk Douglas yang berbangku panjang itu melalui Makassar dan Namlea di pulau Buru.
Sekalipun kehidupan sehari-hari belum dapat dikatakan normal, tapi seluruh pulau Ambon sudah dapat dikuasai. Kami ucapkan selamat kepada komandan-komandan pertempuran dan prajurit-prajurit atas berhasilnya operasi. Kami berziarah ke kuburan Kolonel Slamet Riyadi yang tewas dalam pertempuran di Tahitu, dan adakan pertemuan dengan pemuka-pemuka rakyat Ambon.
Dr. Leimena adalah pemimpin yang tumbuh dari masyarakat dan berurat di dalamnya. Dia juga seorang dokter yang tahu apa artinya diagnose dan apa therapie. Ia dapat cepat merasakan dengan peka, bahwa sesuatu peristiwa berupa tantangan kepada orde yang sedang berlaku, baik yang sudah berupa tantangan fisik seperti yang terjadi di Ambon itu, ataupun yang masih merupakan protes-protes, dan pernyataan yang seringkali menjengkelkan fihak yang sedang berkuasa, semua itu bersumber dari suatu proses psychologis yang sekarang ini –dengan bahasa lunak—sering dinamakan “keresahan” batin, apapun yang menyebabkan keresahan itu.
Jadi, tidak selesai dengan menindak mereka yang “menyeleweng” atau yang resah itu secara fisik dan juridis semata-mata. Kita tidak boleh semata-mata melayani gejala-gejala, dengan symptomatic approach, kata orang sekarang. Tapi kita harus langsung melayani apa-apa yang menjadi sebab –dengan causal approach.
Oleh karena itu, Dr. Leimena setelah ia mengkaji persoalannya, memerlukan membuat suatu analisa dari peristiwa RMS itu disertai dengan satu Seruan dari hati ke hati, diterbitkan berbentuk brosur berjudul: Soal Ambon – Satu Seruan.
Brosur tersebut ditulisnya sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dari Dewan Gereja Sedunia kepadanya pribadi yang tadinya kuatir, bahwa tindakan militer terhadap RMS di pulau Ambon menyebabkan antara lain gereja Kristen tidak dapat menjalankan pekerjaannya.
Ia berbicara sebagai patriot dan pemimpin umat Kristen.
Dalam kata-kata pengantarnya diterangkan antara lain:
“.... Oleh karena,  menurut hemat saya, Maluku dan kaum Kristen Maluku pada waktu sekarang ini ada dalam ‘krisis rohani’ (geestelijke crisis) saya merasa wajib sebagai seorang Indonesia yang berasal dari Maluku dan sebagai anggota Gereja Kristen Indonesia, menunjukkan jalan yang kiranya harus ditempuh oleh kaum Kristen maluku, dan di kemudian hari.”
Dengan nada khas Leimene de Dominee, ia katakan:
“Mudah-mudahan suara ini tidaklah laksana suara seorang penyeru di padang pasir. Barangsiapa yang mempunya mata, hendaklah ia melihat. Barangsiapa yang mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar. Supaya ia mengerti akan tanda-tanda sejarah yang baru di Indonesia ini....”
Disampaikannya seruannya dengan kata-kata yang terang dan clear cut: “Soal yang terpenting bagi orang Kristen yang berasal dari Maluku (Ambon) ialah memeluk agama Kristen dan juga menjadi seorang warga negara Indonesia. Soal ini harus dipecahkan juga oleh Gereja di Maluku. Sampai pada waktu sekarang Gereja ini bersikap agak ragu-ragu. Sebagian dari kaum Kristen Ambon di Maluku dan di luar Maluku paham dan sadar akan jalannya sejarah Indonesia. Mereka sebenarnya belum dapat melihat ke muka, tapi masih menengok kepada masa yang lampau, seakan-akan mereka masih hankerring after the fleshpots of Egypt.
“Pada hemat saya adalah satu kesalahan besar jika kaum Kristen di Indonesia memisahkan dirinya daripada masyarakat Indonesia, seperti sekarang terjadi di Ambon. Menurut paham saya, justru oleh karena orang Krsiten Maluku harus hidup dan bekerja sebagai orang Kristen, haruslah ia juga seorang warga negara Indonesia sejati. Pada saat ini, ketika sejarah memberikan kesempatan kepada kaum Kristen turut serta menyempurnakan penyelenggaraan ‘one nation building’ dan ‘one state building’, kaum Kristen tidak boleh mungkir dalam pekerjaan yang penting ini. Hal ini penting juga bagi kehidupan Gereja pada waktu sekarang dan di hari kemudian.”
Cukup tajam kalimat-kalimat itu. Tapi bila keluar dari mulut Leimena, orang bisa menerimanya dan merenungkannya.
Demikian sekadar kutipan dari therapie yang diberikan Dokter Leimena untuk menyembuhkan apa yang dinamakan “krisis rohani” segera sesudah pulihnya keterlibatan fisik di Ambon bulan Oktober 1950, yang besar sekali manfaatnya dalam pemulihan ketertiban lahir dan batin di daerah yang baru kena bencana itu.
Dalam tahun 1950-an, Dr. Leimena memperlihatkan segi pribadinya sebagai pemimpin umatnya, dengan tulisannya yang terkenal berjudul: “Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab”. Sifatnya educatif dan mudah difahamkan. Sampai sekarang tulisannya tersebut menjadi pegangan bagi para pengikut yang mencintainya.
Ditekankannya dalam kata-kata penutupnya agar umat Kristen, sekalipun jumlahnya minoritas, jangan merasa bahwa mereka warga negara kelas 2 atau kelas 3. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, sebagai warga negara yang bertanggungjawab.
Ringkasannya, Dr. Leimena ingin membanteras inferiority complex (merasa rendah diri) sekalipun umatnya minoritas dalam arti jumlah.
Memang, inferiority complex atau yang sebaliknya yang disebut over compensation, merasakan diri serba-ulung, penutup-nutup kelemahan diri yang sebenarnya, bukanlah adviseur yang baik bagi pribadi atau golongan warga negara yang manapun, yang minoritas ataupun yang mayoritas dari segi jumlah.
Dapat dikatakan bahwa di zaman itu dua partai Kristen, baik Partai Protestan (Partai Kristen Indonesia) ataupun Partai Katolik, sekalipun ke luar dari pemilihan umum sebagai partai-partai kecil, tetap memainkan peranan yang penting.
Dalam praktiknya, siapapun yang memimpin kabinet, kedua partai itu ikut serta, sebagai tradisi yang baik. Partai-partai yang besar ataupun kecil duduk bersama dalam kabinet untuk menjalankan suatu program yang sama-sama sudah disetujui. Masing-masing memandang Indonesia sebagai tanah airnya, dan sama-sama mempunyai kesempatan untuk berkhidmat kepada tanah air. Cinta tanah air tidak dimonopoli oleh pemimpin-pemimpin partai besar atau kecil.
Begitu cara-cara di waktu itu.....
Dan Leimena adalah seorang pemimpin yang memberi contoh sebagai seorang patriot Indonesia terlepas dari perbedaan agama. Ia menghormati pendapat orang lain, di samping kesetiaannya kepada pendapatnya sendiri, dan dalam segala keadaan dapat memelihara kejujuran.

Begitu pribadi Leimena sebagai Pemimpin dan Patriot.[]       

12 Januari 2017

Presiden Darurat Sjafruddin Prawiranegara
(19 Desember 1948-13 Juli 1949)
Oleh: Lukman Hakiem

PADA 18 Desember 1948, pukul 23.30, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Keesokan harinya, 19 Desember 1948, pukul 06.00 ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diserang dan diduduki oleh tentara Belanda. Tiga hari kemudian, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Prapat di Sumatera Utara, dan ke Muntok di Pulau Bangka.
Dalam sidang kabinet beberapa saat sesudah Yogyakarta diduduki, Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk “Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, diperintahkan agar jika usaha Sjafruddin membentuk pemerintahan darurat tidak berhasil; ketiganya diberi kuasa untuk membentuk “Pemerintah Republik Indonesia dalam Pengasingan.”     
Presiden Darurat
Mendengar ibukota Yogya diduduki, Sjafruddin yang sedang berada di Bukittinggi, segera mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan pada hari itu juga memproklamirkan berdirinya Pemerintah Darurrat Republik Indonesia (PDRI). “Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi, pada tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 sore, telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia,” ujar Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera, M. Teuku Mohammad Hasan.
Pada 22 Desember 1948. Di Halaban, Payakumbuh, Sjafruddin mengumumkan susunan kabinet PDRI yang terdiri dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua), Mr. T.M. Hasan (Wakil Ketua), Mr. Sutan Moh. Rasjid (Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda), Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan/Kehakiman), Ir. M. Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan), Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran), dan R.M. Danusubroto sebagai Sekretaris.  
Di Pulau Jawa dibentuk Komisaris PDRI di bawah pimpinan dr. Soekiman Wirjosandjojo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, I.J. Kasimo, K.H. Masjkur, Supeno, dan Pandji Suroso.
PDRI juga menata ulang kepemimpinan militer. Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Kolonel A.H. Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara Teritorium Jawa. Kolonel M. Hidajat ditetapkan menjadi Panglima Tentara Teritorium Sumatera. Kolonel (Laut) M. Nazir diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kolonel (Udara) M. Sudjono diangkat menjadi Panglima Angkatan Udara.
Sjafruddin sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Dia menggunakan sebutan Ketua Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan kerendahan hati.”
Dalam memoar/otobiografi yang terbit pertama kali di akhir 1970-an dan diterbitkan kembali pada 2010, Proklamator Kemerdekaan, Mohammad Hatta, menyebut Sjafruddin Prawiranegara sebagai “Presiden Darurat”.
Setelah berpuluh tahun eksistensi PDRI bagai hilang dari catatan sejarah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal pembentukan PDRI, 19 Desember, sebagai Hari Bela Negara. Sayang, baru Bung Hatta yang secara terbuka  mengakui eksistensi Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Republik Indonesia, walaupun diberi tambahan “Darurat”..
Pernyataan Roem-van Roijen
Dalam perjuangan melawan Belanda, PDRI antara lain menggunakan siaran radio. Pesan-pesan radio PDRI ternyata dapat diterima dengan baik di New Delhi, dan mengilhami pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Konferensi Inter-Asia mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983). Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Pernyataan itu telah menempatkan Roem --tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah--  dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti       
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh Belanda. PDRI merasa ditinggalkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sungguh sangat penting. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Sesudah usaha Hatta mencari Sjafruddin di Kutaraja, Aceh, gagal; Presiden Sukarno mengutus delegasi terdiri dari Mohammad Natsir, dr. J. Leimena, dr. Abdul Halim, dan Agus Yaman untuk membujuk PDRI dan Sjafruddin agar mengakui Roem-van Roijen dan kembali ke Yogya.
Dalam pertemuan di Padang Jopang, Lima Puluh Kota, sikap PDRI keras: “Mengapa PDRI tidak diajak dalam perundingan dengan Belanda, padahal yang berkuasa sesungguhnya PDRI.” Leimeina dan Halim, mulai kehilangan kesabaran. Mereka berkata: “Dulu, sewaktu Sukarno dan Hatta ditawan, kami tidak tahu bagaimana nasib Republik apabila tidak ada PDRI. Sekarangpun kami tidak tahu bagaimana nasib Republik kalau Bung Sjafruddin tidak bersedia kembali ke Yogya.”
Di tengah pembicaraan yang emosional itu, menjelang subuh, tiba-tiba Natsir membacakan sebuah syair berbahasa Arab: “Tidaklah keinginan semua manusia akan tercapai, karena angin berhembus di lautpun tidak selamanya mengikuti keinginan perahu yang sedang berlayar.”
Entah terpengaruh oleh syair klasik itu, Sjafruddin menyahut: “Dalam perjuangan, kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan, karena kita berundingpun duduk di atas lantai. Yang penting adalah kejujuran. Siapa yang jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat.” Sjafruddin memutuskan kembali ke Yogya untuk mengembalikan mandat --yang tidak pernah dia terima—kepada Presiden Sukarno. Di lapangan terbang Yogya, Presiden Darurat itu dijemput oleh Mohammad Hatta.   
Sesudah mendengar Sjafruddin kembali ke Yogya, Soedirman bersedia turun gunung, kembali ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Mengutip pakar sejarah, Prof. Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Peran Signifikan Politisi Muslim
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan yang dramatis, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat signifikan.         
Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa sesungguhnya sejak dulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat sembari dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka, mereka yang tiba-tiba amat bersemangat bicara soal NKRI, dan kebhinekaan seraya memperhadapkannya dengan Islam; bacalah sejarah dengan jujur dan benar.[]
Tulisan ini dimuat koran Republika, Rabu, 17 Desember 2016.
Lukman Hakiem, pemerhati sejarah. Menulis dan menyunting beberapa buku. Pernah menjadi anggota DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-20014).