Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

28 Februari 2011

Melihat Pos Sehat Ad-Dakwah, Desa Benda Kecamatan Cicurug

Biaya Kesehatan Mahal, Buka Pos Sehat Gratis
GRATIS: Warga Desa Benda ketika mendapatkan pengobatan gratis di pos sehat Ad-Dakwah, Cicurug. foto:andri/radarsukabumi
Berangkat dari pemikiran tentang pentingnya kesehatan yang berbanding terbalik dengan ketersediaan fasilitas layanan kesehatan yang ada. Maka Yayasan Ad-Dakwah Benda memfasilitasi masyarakat untuk sehat dengan cara memberikan pelayanan kesehatan tanpa terbebenani biaya pengobatan, melalui Pos Sehat Ad-Dakwah.

Yayasan Ad-Dakwah Desa Benda Kecamatan Cicurug bekerjasama dengan Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) dari Dompet Dhu'afa Jakarta dan Rumah sakit Bhakti Medicare Cicurug dengan resmi membuka pos sehat Ad-Dakwah, Sabtu(26/2). Pos sehat yang didirikan di Desa Benda Kecamtan Cicurug ini akan digunakan untuk pelayanan kesehatan bagi warga Desa Benda secara gratis.
Prakarsa pos sehat tersebut berawal dari pemikiaran mantan anggota DPR RI, Lukman Hakim. Terhadap pelayanana kesehatan yang belum rata dinikmati masyarakat yang kurang mampu, sebab biaya berobat sangat mahal. Oleh alasan tersebut maka Ad Dakwah merangkul LKC sebagai lembaga yang bergerak di bidang sosial, salah satunya pelayanan kesehatan, serta RS Medicare secara sukarela memberikan bantuan medis.
Pos sehat akan digunakan masyarakat pelayanan kesehatan, secara gratis. LKC yang membantu merealisasikan program ini dan RS Medicare. Sebelumya dua pihak tersebut turun tangan ketika memberikan penyuluhan kader mengenai ilmu medis. "Pos sehat dapat melayani semua kalangan masyarakat. Jadwalnya dua kali seminggu," kata ketua Yayasan Ad-Dakwah ini.
Menurutnya, program pos sehat secara tidak langsung membantu pemerintah mengentaskan persoalan kesehatan di Kabupaten Sukabumi. Sebab masyarakat Kabupaten Sukabumi yang rata-rata enggan melakukan pengobatan karena keterbatasan ekonomi. "Dengan pos sehat ini masyarakat dapat memanfaatkanya dan menerima manfaat," ulasnya.
Direktur LKC, Dr. Yahmin Setiawan mengatakan, LKC akan membantu pos sehat dalam melayani kebutuhan medis untuk masyarakat. Pos sehat untuk Desa Benda merupakan yang ke-23, saat ini di Parung LKC membangun rumah sehat terpadu. "Pos sehat akan dikelola masyarakat sekitar, yang sudah diberikan pengetahuan mengenai ilmu medis, serta tenaga ahli kesehatan yang berasal dari LKC," katanya.
Sementara itu, persemian pos sehat dilanjut dengan pengobatan secara gratis kepada warga Desa Benda. Warga antusias dengan adanya pos sehat, berbagai penyakit dasar ditangani, adapun penyakit yang kronis maka warga sebagai calon pasien tersebut akan dirujuk ke RS yang sudah disediakan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan insetif.(dri)

27 Februari 2011

Sang Penyelamat Republik

Lukman Hakiem
Sekretaris Panitia Satu Abad
Mr Sjafruddin Prawiranegara
(1911-2011)

Mr Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-15 Februari1989) adalah Presiden yakni Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kedua Republik Indonesia (RI) setelah Ir Soekarno-yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus1945- menyerah dan ditawan oleh tentara kolonial Belanda yang melakukan agresi II pada 19 Desember 1948.

Sehari sebelum penyerangan ibu kota RI di Yogyakarta 1949, Bung Karno dan Hatta, mengeluarkan mandat untuk Sjafruddin Prawiranegara yang isinya perintah untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra bila mereka ditawan Belanda. Mandat ini ditandatangani langsung oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Mandat yang lain diberikan adalah kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi (India), untuk membentuk pemerintahan darurat, jika usaha Sjafruddin di Sumatra tidak berhasil. Mandat ini ditandatangani M Hatta selaku Wapres, dan Agus Salim sebagai Menlu.

Tidak tahu
Sjafruddin tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat. Ia hanya mendengarnya dari siaran radio bahwa ibu kota Yogyakarta telah diduduki Belanda, pada 19 Desember 1949 sore. Ia menemui Teuku Muhammad Hassan dan menyampaikan kemungkinan kevakuman pemerintahan. Ia pun mengusulkan supaya dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam bahaya.

Setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk soal hukum karena tidak ada mandat, maka dibentuklah pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat itu dipimpin Sjafruddin dan TM Hasan sebagai wakilnya. Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban. Walaupun usia Sjafruddin lebih muda dari TM Hasan, tetapi Sjafruddin berani mengambil tanggung jawab perjuangan untuk menyelamatkan RI dengan segala risikonya.

Mengenai hal ini Amrin Imran dkk dalam buku PDRI dalam Perang dan Damai (2003:52-53), mencatat: "Yogyakarta jatuh. Akan tetapi nadi Republik tetap berdenyut. Pusat nadi itu pindah ke pedalaman Sumatera Barat dalam wujud PDRI dipimpin Sjafruddin Prawiranegara. Dari sana denyut itu menjalar ke seluruh wilayah RI bahkan ke perwakilan RI di luar negeri, termasuk perwakilan RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), LN Palar. Denyut itu juga menggetarkan tubuh Angkatan Perang di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang melalui radiogram menyatakan mendukung dan berdiri di belakang PDRI pimpinan Sjafruddin Prawiranegara."

Dilupakan bangsanya
Keberanian Sjafruddin membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), telah membuktikan bahwa RI tidak pernah bubar hanya karena Soekarno-Hatta dan para pemimpin lain ditangkap. Sikap tegas dan gigih PDRI, telah memperkuat semangat Mr Mohamad Roem ketika harus berunding dengan van Roijen.

Ironisnya, peristiwa historis yang amat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan eksistensi RI ini, selama puluhan tahun telah banyak terlupakan. Sjafruddin Prawiranegara sebagai sutradara dan aktor utama PDRI, selama berpuluh tahun bagai telah diharamkan untuk ditampilkan dalam bingkai sejarah bangsa. Bahkan, sekadar sketsanya sekalipun!

Masalah politik, rupanya menjadi penghalang utama untuk melahirkan kesadaran berbangsa dan mengingat sejarah bangsa yang otentik ini. Sehingga, terhadap PDRI, bukan saja bangsa ini terlambat memberi pengakuan, tetapi juga sampai sekarang pemerintah belum mau memeringati dan secara terbuka bersama seluruh bangsa, mengingat serta mencatat PDRI dengan tinta emas sebagai satu tahap yang sangat menentukan dalam perjuangan bangsa kita.

Dapat diduga, di masa Orde Lama nama Sjafruddin Prawiranegara tidak boleh dimunculkan, karena keikutsertaannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di masa Orde Baru, nama Sjafruddin dicoret dari buku sejarah karena suaranya yang lantang mengkritik kebijakan pemerintah, terutama keikutsertaannya dalam Kelompok Petisi 50, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto yang ditandatangani oleh 50 orang politisi sipil dan senior militer.

Peran PRRI
Bicara tentang Sjafruddin Prawiranegara, kita tidak bisa tidak bicara tentang dua hal: PDRI dan PRRI. Demikian kata pakar ilmu politik Dr Salim Said. Pada yang pertama, jelas jasa Sjafruddin menyelamatkan Republik Indonesia yang pemimpinnya sesudah ditahan oleh Belanda. Sedang PRRI, haruslah dilihat sebagai usaha menyelamatkan RI yang terancam oleh komunisme.

PRRI bukanlah gerakan separatis, melainkan gerakan alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh komunisme dan "petualangan" politik Presiden Soekarno. PRRI kalah, dan selanjutnya diperlukan waktu beberapa tahun sebelum akhirnya ancaman Partai Komunis Indonesia (PKI) serta "petualangan" politik Presiden Soekarno hancur lewat Gerakan 30 September/PKI pada 1965.

PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia, sedangkan PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme.

Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.

Seabad Sjafruddin
Sudah terlalu lama bangsa ini tidak objektif di dalam membaca sejarah. Agar bangsa ini kembali siuman terhadap sejarahnya sendiri, sejumlah pribadi membentuk Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara dengan sejumlah agenda kegiatan yang bertujuan mengingatkan bangsa Indonesia terhadap:

Pertama, satu fase penting di dalam sejarah perjuangan fisik Republik Indonesia, yaitu terbentuknya PDRI di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 dengan tokoh utamanya Mr Sjafruddin Prawiranegara.

Kedua, agar di dalam melihat peristiwa-peristiwa yang dianggap krusial dalam perjalanan bangsa, seperti masalah PRRI, Petisi 50, dan lain-lain tidak terpaku pada pandangan kacamata kuda, melainkan haruslah selalu bergerak ke tiga arah: mengungkap fakta-fakta objektifnya, melihat secara jeli dan rinci akar masalahnya, dan menarik relevansinya ke masa kini, jika mungkin malah ke masa depan yang jauh.

Dengan dua tujuan di atas, kita ingin melakukan "perdamaian dengan sejarah" yang telah dimulai oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada 1998 dengan memberikan Bintang Mahaputera kepada sejumlah tokoh yang sejak masa Presiden Soekarno sampai masa Presiden Soeharto dianggap sebagai pembangkang, antara lain, kepada Sjafruddin Prawiranegara dan M Natsir.

Ikhtiar mulia tersebut telah dilanjutkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2006, Presiden SBY mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan hari kelahiran PDRI, 19 Desember, sebagai Hari Bela Negara.

Pada 2008, mantan perdana menteri RI yang menjadi arsitek utama Negara Kesatuan Republikl Indonesia, Mohammad Natsir, oleh Presiden SBY ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Dengan mengenang dan menghargai Sjafruddin Prawiranegara, sesuai dengan jasanya menyelamatkan republik, arah menuju perdamaian dengan sejarah, insya Alah maju selangkah lagi. Wallahu a'lam.

(-)

Siapa Sih Syafruddin Prawiranegara? 'Sosok Presiden RI Kedua'

Ahad, 27 Februari 2011, 07:17 WIB
Smaller Reset Larger
Siapa Sih Syafruddin Prawiranegara? Sosok 'Presiden RI Kedua'
Ketua/Presiden PDRI, Syafruddin Prawiranegara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Puncak rangkaian acara "Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara" berlangsung 28 Februari 2011, bertepatan dengan tanggal kelahirannya sekaligus diluncurkan biografi berjudul "Mr Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia)".

Berikut sekilas profil Syafruddin Prawiranegara yang diperoleh dari DPD RI di Jakarta pada Sabtu. DPD RI memfasilitasi rangkaian kegiatan dalam rangka satu abad tokoh nasional itu dan menempatkan anggota DPD Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa sebagai ketua panitia pelaksana.

Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, 28 Februari 1911 dan wafat di Jakarta, 15 Februari 1989. Dia adalah pejuang kemerdekaan RI yang menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan serta Menteri Penerangan dan Urusan Luar Negeri ketika pemerintahan RI di Yogyakarta dikuasai Belanda setelah agresi militer yang kedua (19 Desember 1948).

Saat itu, Presiden Soekarno bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta diasingkan ke Pulau Bangka. Dalam tubuh Sjafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, dibuang ke Banten karena terlibat Perang Paderi.

Sutan menikahi puteri bangsawan Banten, yang melahirkan kakek Syafruddin, yang kelak memiliki anak bernama R Arsyad Prawiraatmadja. Arsyad, ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa tetapi dekat dengan rakyat. Ia dibuang Belanda ke Jawa Timur.

Sjafruddin menempuh pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) setara Sekolah Dasar (SD) tahun 1925, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara sekolah menengah pertama (SMP) di Madiun tahun 1928 dan AMS (Algemeene Middelbare School) setara sekolah menengah atas (SMA) di Bandung tahun 1931.

Ia lulusan Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum, sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia) dan bergelar Meester in de Rechten. Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan dan Menteri Kemakmuran.

Ia juga menjadi Wakil Perdana Menteri tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran tahun 1947. Saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran terjadi agresi militer kedua Belada yang menyebabkan pembentukan PDRI di Sumatera.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri tahun 1949, kemudian Menteri Keuangan tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, bulan Maret 1950, ia memotong uang bernilai Rp5 lebih hingga separuh.

Kebijakan moneternya dikritik dan dikenal dengan julukan "Gunting Sjafruddin". Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, tahun 1951. Sebelumnya, ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, kelak namanya menjadi Bank Sentral Indonesia.

Ia menulis buku "Sejarah Moneter" dibantu Oei Beng To, Direktur Utama Lembaga Keuangan Indonesia. Awal tahun 1958, PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan sosial yang terjadi.

Ia diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah. Dalam kabinet PRRI, Sjafruddin adalah Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI.

Keputusan Presiden Nomor 449 Tahun 1961 menetapkan pemberian amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan, termasuk PRRI. Sjafruddin beristri Tengku Halimah Syehabuddin, seorang wanita kelahiran Aceh. Memasuki masa tuanya, ia menjadi seorang mubaligh. Dalam aktivitas keagamaannya, ia menjadi Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI).

Dia adalah tokoh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang pada Juni 1985, berkhotbah Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A'raf, Tanjungpriok, Jakarta.

Red: Stevy Maradona
Sumber: Antara

12 Februari 2011

Sjafruddin Prawiranegara Diperjuangkan Jadi Pahlawan Nasional

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Republik Indonesia Darurat di Sumatera (19 Desember 1948 - 13 Juli 1949) Sjafruddin Prawiranegara diperjuangkan oleh "Panitia Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara" menjadi pahlawan nasional.

Lukman Hakiem, Sekretaris Panitia Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara, dalam surat elektronik di Jakarta, Jumat menyatakan bahwa Sjafruddin (28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah Presiden yakni Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kedua Republik Indonesia setelah Ir. Soekarno yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus 1945 menyerah dan ditangkap oleh tentara kolonial Belanda pada 19 Desember 1948 di Istana Kepresidenan, Gedung Agung, Yogyakarta.

Peristiwa historik yang amat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan eksistensi Republik Indonesia ini selama puluhan tahun telah dilupakan oleh hampir seluruh anak bangsa, katanya.

Sjafruddin, katanya, sebagai sutradara dan aktor utama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sengaja dihilangkan dari catatan sejarah bangsa padahal dalam sejarah bangsa.

Ia menambahkan, Sjafruddin bagai telah ditakdirkan sebagai orang yang selalu berdiri di garis depan.

Oleh karena itu, kata Lukman, kepanitiaan Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat Indonesia terutama generasi muda terhadap satu fase penting di dalam sejarah perjuangan fisik Republik Indonesia yaitu terbentuknya PDRI di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Panitia menyiapkan beragam acara sepanjang tahun ini seperti resepsi Peringatan Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara pada 28 Februari 2011 bertempat di Ruang Chandra Gedung Bank Indonesia.

"Acara diharapkan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," katanya.

Selain itu juga dilakukan beragam seminar di berbagai daerah tentang perjuangan Sjafruddin, penerbitan buku, pembuatan film dokumenter.

"Juga memperjuangkan gelar pahlawan nasional bagi Sjafruddin Prawiranegara," kata Lukman.

Kepanitiaan terdiri atas pejabat negara dan tokoh masyarakat. Dalam jajaran penasihat misalnya tercantum nama-nama Taufik Kiemas (Ketua MPR RI), Marzuki Alie (Ketua DPR RI), Irman Gusman (Ketua DPD RI), Mahfud MD (Ketua MK), Irwandi Yusuf (Gubernur NAD), Irwan Prayitno (Gubernur Sumbar), Rusli Zainal (Gubernur Riau), Hasan Basri Agus (Gubernur Jambi), Ahmad Heryawan (Gubernur Jabar), Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta), Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur D.I Yogyakarta).

Panitia pengarah Hamzah Haz, Jusuf Kalla, Rosihan Anwar, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan Surjadi Sudirdja.

Ketua Umum panitia adalah AM Fatwa, sekretaris umum Badruzzaman Busyairi, bendahara umum Asmawati Marzuki Alie.(*)
(T.B009/A035)

Republika OnLine » Breaking News » Nasional Presiden Kedua Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara, Diperjuangkan Jadi Pahlawan

Smaller Reset Larger
Presiden Kedua Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara, Diperjuangkan Jadi Pahlawan
Ketua/Presiden PDRI, Syafruddin Prawiranegara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Presiden Republik Indonesia Darurat di Sumatera (19 Desember 1948 - 13 Juli 1949), Sjafruddin Prawiranegara, diperjuangkan oleh "Panitia Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara" menjadi pahlawan nasional.

Lukman Hakiem, Sekretaris Panitia Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara, dalam surat elektronik di Jakarta, Jumat menyatakan bahwa Sjafruddin (28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah Presiden yakni Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kedua Republik Indonesia setelah Ir Soekarno yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus 1945 menyerah dan ditangkap oleh tentara kolonial Belanda pada 19 Desember 1948 di Istana Kepresidenan, Gedung Agung, Yogyakarta.

Peristiwa historik yang amat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan eksistensi Republik Indonesia ini selama puluhan tahun telah dilupakan oleh hampir seluruh anak bangsa, katanya.

Ia menilai, Sjafruddin, sebagai sutradara dan aktor utama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sengaja dihilangkan dari catatan sejarah bangsa.

Panitia menyiapkan beragam acara sepanjang tahun ini seperti resepsi Peringatan Satu Abad Sjafruddin Prawiranegara pada 28 Februari 2011 bertempat di Ruang Chandra Gedung Bank Indonesia. "Acara diharapkan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," katanya.



Red: Stevy Maradona
Sumber: Antara

11 Februari 2011

PRESIDEN RI KE-2, SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA

JAKARTA, HALUAN–PDRI yang dipimpinnya telah menyambung nafas republik ini sehingga kolonial Belanda gagal membuktikan pada dunia bahwa Indonesia telah mati.

Melihat dari sejarah dan perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam men­dirikan dan memimpin Peme­rintahan Dararut Republik In­donesia (PDRI), maka bangsa ini harus mengakui bahwa Mr. Sjaruddin adalah Presiden RI ke-2 setelah Bung Karno.

Desakan itu disampaikan Panitia Peringatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang dipimpin AM. Fatwa, saat beraudensi dengan Ketua MPR Taufiq Kiemas, di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/2). Taufik Kiemas didam­pingi 2 Wakil Ketua MPR Luk­man Hakim Saefuddin dan Ahmad Farhan Hamid.

Seperti dilontarkan Wakil Sekretaris Panitia Lukman Hakiem, seharusnya presiden RI ke-2 itu adalah Sjafruddin Pra­wiranegara. Alasannya, tanpa adanya PDRI yang dipimpin MR Sjafruddin maka RI tidak ada waktu itu. Karena itu ia memin­ta MPR untuk memperjuangkan dan menetapkan dalam sejarah banga ini bahwa Sjafruddin Prawira­ne­gara adalah Presiden RI ke-2.

Menurut Lukman Hakiem, Presiden RI hingga sekarang jumlahnya bukanlah 6 , tetapi sesuai sejarah jumlahnya 9 orang. Pertama Soekarno sejak 18 Agus­tus 1945. Mr Syafruddin Pra­wiranegara adalah Presiden yakni kepala negara dan kepala peme­rintahan kedua sejak 19 Desem­ber 1948 setelah Sukarno dan Hatta menyerah dan ditang­kap oleh Belanda dalam agresi kedua.

Pada saat mencekam itu dwitunggal Soekarno-Hatta mengeluarkan pernyataan yang menyerahkan pemerintahan RI kepada Menteri Kemakmuran Mr Syafruddin Prawiranegara yang tengan berada di Bukit­tinggi, Sumatera Barat.

Surat pernyataan itu berbunyi “Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 06.oo pagi , Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Yog­yakarta. Djika daam keadaan pemerintahan tidak dapat men­djalankan kewadjibannnya lagi, kami menguasakan kepada Mr syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Re­pub­lik Darurat di Sumatera”.

Presiden ketiga kata Lukman Hakiem adalah Mr Assat yang menjadi presiden RI ketika posisi Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Presiden keempat kembali kepada Soekarno kemudian digantikan Soeharto diteruskan oleh Habibie dan presiden ke-7 Abdurrahman Wahid presiden ke-8 Megawati Soekarnoputri dan sekarang ke-9 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Urutan daftar Presiden RI menurut Lukman Hakiem, adalah 1. Soekarno (18 Agustus 1945-19 Desember 1948), 2. Sjafruddin Prawiranegara (19 Desember 1948-13 Juli 1949), 3. Soekarno (13 Juli-17 De­sember 1949), 4. Mr. Assaat (17 Desember 1949-15 Agustus 1950), 5. Soekarno (15 Agustus 1950-22 Februari 1967), 6. Soeharto (22 Febuari 1967-21 Mei 1998), 7. Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999), 8. Ab­durahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Jul 2001), 9. Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) dan ke-10. Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-sekarang ).

Menanggapi desakan tersebut, Ketua MPR Taufiq Kiemas tidak menampik peran besar Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam memimpin bangsa ini. “Menurut saya Pak Sjaf (panggilan Syafru­ddin Prawiranegara) adalah presiden kedua kita. Kalau saya berani mengatakan begitu, apakah yang lain berani begitu, saya tidak tahu,” kata Taufiq Kiemas.

Taufiq Kiemas tidak bisa membayangkan apa jadinya republik ini jika tidak ada PDRI yang didirikan Sjafruddin Pra­wiranegara. “Seandainya tidak ada Pak Sjaf, sejarah kita akan be­rubah. Kalau mengenang za­man revolusi, tidak bisa melu­pakan peranan Pak Sjaf. Apa yang diperbuatnya sangat heroik dan sulit mencari orang yang asal luar Sumatera berperan dari Sumatera untuk negara Indonesia,”ujar Taufiq Kiemas.

Taufiq Kiemas berjanji akan meluruskan sejarah tersebut, yaitu mengakui keberadaan Sjafruddin Prawiranegara seba­gai Presiden RI ke-2. “Kerja ka­mi (MPR) lebih banyak me­lu­ruskan sejarah dan dari gedung inilah tokoh Aceh Hasan Tiro yang menjadi polemik tentang ke­warga­negaraannya dapat di­sah­kan menjadi WNI”, ungkap sua­mi Megawati Soekarnoputri itu.

Sedangkan kegiatan peringa­tan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara itu seperti dijelas­kan AM. Fatwa adalah kegiatan pun­cak diselenggarakan berte­patan dengan kelahiran Mr Sjaruddin tanggal 28 Februari di Jakarta yang diisi dengan peluncuran novel sejarah “PRE­SIDEN PRAWI­RANE­GARA; Kisah 209 Hari Mr. Sjaf­ruddin Prawiranegara Memimpin In­donesia”.

Kegiatan lainnya berupa seminar di beberapa tempat, yaitu di Bukittinggi dengan tema “Makna PDRI dalam Mem­pertahankan Kemerde­kaan­Repbulik Indonesia” dengan pembicara Mestika Zeid, Fadli Zon dan Thamrin Man “Kegia­tan di Bukittinggi nanti juga dilakukan pemugaran monumen PDRI,” jelas Fatwa.Seminar lainnya diseleng­garakan di Banda Aceh, LPPM Jakarta, Banten, DPD RI, Universitas Sultan Agung Sema­rang, Universitas Paramadina Jakarta dan Yogyakarta. (sam)

10 Februari 2011

Sjafruddin Prawiranegara Harus DIakui Sebagai Preside RI Ke-2

JAKARTA - Selama ini, sejarah nasional seolah tak pernah mengakui bahwa Indonesia pernah memiliki seorang presiden bernama Mr Sjafruddin Prawiranegara. Padahal, Sjafruddin adalah Presiden kedua RI yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Hal itu mengemuka pada pertemuan antara pimpinan MPR RI dengan Panitia Peringatan Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara, di gedung MPR RI, Jakarta, Selasa (8/2). Dalam pertemuan itu terlihat Ketua MPR Taufiq Kiemas yang didampingi Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin dan Ahmad Farhan Hamid. Sedangkan dari pihak panitia hadir AM Fatwa selaku ketua panitia, serta Sekretaris Panitia selaku Wakil Lukman Hakiem.

"Seharusnya Presiden RI kedua itu adalah Sjafruddin Prawiranegara. Tanpa adanya PDRI yang dipimpin Mr Sjafruddin maka RI tidak ada waktu itu. Karena itu kami meminta MPR untuk memperjuangkan dan menetapkan dalam sejarah bangsa bahwa Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden RI kedua," ujar Lukman Hakiem.

Ditegaskannya, jumlah Presiden RI hingga sekarang bukan hanya enam. Sesuai fakta sejarah, jumlahnya malah sembilan orang. Lukman Hakiem merincikan, Soekarno menjadi Presiden I sejak 18 Agustus 1945. Sedangkan Mr Sjafruddin Prawiranegara menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan kedua sejak 19 Desember 1948, setelah Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda dalam agresi kedua.

"Saat situasi mencekam itu, dwitunggal Soekarno-Hatta menyerahkan pemerintahan RI kepada Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi, Sumatera Barat," ungkat Lukman Hakiem.

Mengutip surat penyerahan dari Soekarno, Lukman Hakiem menjelaskan, pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya terhadap Yogyakarta yang waktu itu menjadi ibukota RI. "Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat mendjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”, kata Lukman mengutip surat pernyataan Soekarno-Hatta.

Sedangkan Presiden RI ketiga, kata Lukman Hakiem, tak lain adalah Mr Assaat. Menurut Lukman, Mr Assaat menjadi presiden RI ketika Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Presiden Indonesia keempat kembali lagi kepada Soekarno hingga akhirnya digantikan Soeharto.

Kemudian pada 1998, BJ Habibie menjadi Presiden RI kelima menggantikan Soeharto. Pada 1999, MPR RI memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI keenam. Presiden yang mantan ketua PBNU itu dilengserkan di tengah jalan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono naik menjadi Presiden RI ke-9 setelah memenangi Pemilihan Presiden (Polpres) langsung pada 2004.

Menanggapi permintaan panitia tentang perlunya pelurusan sejarah, Ketua MPR RI Taufiq Kiemas mengatakan, Mr Sjafruddin Prawiranegara berperan besar dalam memimpin bangsa. "Menurut saya, Pak Sjaf (panggilan Sjafruddin Prawiranegara) adalah presiden kedua kita. Kalau saya berani mengatakan begitu, apakah yang lain berani begitu, saya tidak tahu," kata Taufiq.

Suami Megawati Soekarnoputri itu mengaku tak bisa membayangkan jika tidak ada PDRI yang didirikan Sjafruddin Prawiranegara. "Seandainya tidak ada Pak Sjaf, sejarah kita akan berubah. Kalau mengenang zaman revolusi, tidak bisa melupakan peranan Pak Sjaf. Apa yang diperbuatnya sangat heroik dan sulit mencari orang yang asal luar Sumatera berperan di Sumatera untuk negara Indonesia," ujar Taufiq Kiemas.

Karenanya Taufiq berjanji akan meluruskan sejarah tersebut, dengan mengakui peran Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden RI kedua. "Kerja kami (MPR) lebih banyak meluruskan sejarah dan dari gedung inilah tokoh Aceh Hasan Tiro yang menjadi polemik tentang kewarganegaraannya dapat disahkan menjadi WNI", ungkap Taufiq Kiemas.

Sedangkan AM Fatwa menambahkan, kegiatan peringatan Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara akan digelar pada 28 Februari, atau bersamaan dengan tanggal kelahiran Sjafruddin. Acara puncak akan diisi dengan peluncuran novel sejarah berjudul Presiden Prawiranegara: Kisah 209 Hari Mr Sjafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia. Kegiatan lainnya adalah seminar di beberapa kota, speerti di Bukittinggi Banda Aceh, Jakarta dan Yogyakarta. (fas/jpnn)

06 Februari 2011

Pelajaran dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara


OLEH : LUKMAN HAKIEM


Setelah kerusuhan di Lapangan Banteng pada kampanye pemilihan umum 1982, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), 16 Agustus 1982, menarik kesimpulan bahwa keberingasan politik pada kampanye pemilihan umum 1982 terjadi lantaran masih terdapat asas ciri selain Pancasila di dalam organisasi poltik. Dengan kesimpulan seperti itu, Soeharto menyerukan agar Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas untuk organisasi politik. Silang pendapat terhadap gagasan politik Soeharto itu pun mencuat.
Mereka yang mendukung gagasan politik Pancasila sebagai satu-satunya asas menganggap dengan diterimanya gagasan itu berarti kita dapat mengakhiri secara tuntas perdebatan yang membuang energi di sekitar dasar negara Pancasila.
Mereka yang menolak gagasan asas tunggal Pancasila menganggap gagasan itu dapat menghilangkan kebhinekaan di dalam semboyan negara bhinneka tunggal ika. Lagi pula para pendiri negara dan penggali Pancasila sendiri tidaklah memaksudkan Pancasila untuk diberlakukan sampai sejauh itu. Lebih jauh lagi, jika gagasan itu diterima, dikhawatirkan akan muncul sikap munafik: menerima tetapi sesungguhnya tidak.
Untuk menggambarkan situasi dilematis itu, pakar ilmu politik Prof. Dr. Deliar Noer merasa perlu mengungkapkannya dengan pepatah Minangkabau: “diiyokan nan diurang, dilakukan nan diawak” (=kemauan orang diiyakan, tetapi yang dilaksanakan kemauan sendiri).
Di antara yang keberatan terhadap gagasan politik menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas itu ialah tokoh Partai Masyumi, mantan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989).
Pada 7 Juli 1983 Sjafruddin menulis surat kepada Presiden Soeharto perihal keberatannya itu lengkap dengan seluruh argumentasinya. Intinya, Sjafruddin menegaskan, meskipun Pancasila dimaksudkan untuk menjadi dasar negara dan landasan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi Pancasila tidaklah digagas untuk menjadi dasar organisasi-organisasi sosial, politik, atau lainnya.
Surat Sjafruddin kepada Presiden Soeharto itu kemudian diterbitkan sebagai brosur kecil yang fotocopynya beredar luas.
Setelah menguraikan sejarah dan proses tercapainya kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, Sjafruddin mengingatkan bahwa kesepakatan itu bukanlah dengan maksud untuk menghilangkan keragaman masyarakat. Sebagai Muslim, Sjafruddin juga merasa perlu –untuk kesekian kalinya—mengingatkan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, dan karena itu Islam tidak perlu dialternatifkan terhadap Pancasila. Keduanya dapat berjalan seiring bersama.
Penegasan Sjafruddin itu dapat difahami, karena gagasan politik yang dimajukan Presiden Soeharto secara tersirat menunjuk kepada masih digunakannya asas Islam oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang notabene merupakan hasil fusi dari empat partai politik Islam: Nahdhatul Ulama (NU) Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI.
Tahniyah untuk Nahdlatul Ulama
Seperti sudah diduga sebelumnya, gagasan Presiden Soeharto itu akhirnya ditetapkan menjadi kesepakatan nasional melalui salah satu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) 1983. Persoalannya kemudian, sesudah menjadi TAP MPR, siapa sajakah yang terkena keharusan berasas tunggal Pancasila? Partai politik (PPP dan Partai Demokrasi Indonesia, PDI) dan Golongan Karya (Golkar) sajakah, atau mengenai juga seluruh organisasi kemasyarakatan bukan politik?
Mantan Wakil Perdana Menteri, Mr. Hardi, tegas berkata secara yuridis-formal organisasi kemasyarakatan nonpolitik tidak terkena keharusan dalam TAP MPR tersebut.
Di tengah perdebatan apakah organisasi kemasyarakatan nonpolitik terkena ketentuan asas tunggal atau tidak itulah pada bulan Desember 1983 Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur.
Sambil memberi penafsiran Qur’ani terhadap semua sila dalam Pancasila, Munas Alim Ulama NU sepakat untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas NU. Kesepakatan yang diambil ketika bahkan pemerintah pun belum mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan –yang akan mengatur soal berlaku atau tidaknya asas tunggal Pancasila untuk organisasi kemasyarakatan, pemerintah baru mengajukan RUU tersebut pada bulan Juni 1984—mau tidak mau menimbulkan berbagai nada sumbang kepada NU.
Di tengah ramainya berbagai kalangan mengecam sikap NU itulah, Sjafruddin muncul dengan surat tahniyahnya kepada NU. Dalam surat singkat yang kemudian fotocopynya beredar luas itu, Sjafruddin mengucapkan selamat atas keberhasilan Munas Alim Ulama NU.
Tidak pelak lagi, surat tahniyah Sjafruddin itu menimbulkan tanda tanya terutama di kalangan mereka yang membaca sikap awal Sjafruddin yang keras menolak asas tunggal Pancasila. Bagaimana bisa terjadi, Sjafruddin yang keberatan terhadap diterapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial poliitik justeru mengucapkan selamat terhadap organisasi yang secara amat dini menyatakan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasinya.
Dalam rangka “teka-teki Sjafruddin” itulah saya “diperintah” oleh A.R. Baswedan untuk berangkat dari Yogyakarta menemui Sjafruddin di Jakarta guna mencari kejelasan apa sesungguhnya latar belakang Sjafruddin membuat surat tahniyah kepada NU. Dan keterangan yang saya peroleh dari Pak Sjaf –panggilan akrab Sjafruddin Prawiranegara—sungguh amat mengesankan.
Pak Sjaf menekankan, dalam berjuang hendaknya jangan semua yang berbeda pendapat dengan kita, kita anggap lawan. Dalam kasus Munas Alim Ulama NU, Pak Sjaf menganggap justeru keberanian NU memberi tafsir Islami terhadap Pancasila harus dipuji. Dan yang penting, Pak Sjaf menekankan, jangan pernah kehilangan objektivitas meskipun terhadap mereka yang tidak kita sukai.
Porkas dan Reaktualisasi
Ketika pemerintah memperkenalkan undian berhadiah Porkas Sepakbola sebagai ikhtiar mengumpulkan dana bagi pengembangan olahraga di Tanah Air, perdebatan pun muncul tentang apakah Porkas halal atau haram, termasuk judi atau tidak.
Berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tidak pernah mengungkapkan sikapnya dengan jelas, para ulama yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barattegas memfatwakan Porkas haram karena termasuk kategori judi.
Dalam pada itu, meskipun dalam kapasitas pribadi, Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. K.H. Ibrahim Hossen, mempublikasikan pendapatnya yang menghalalkan Porkas. Tentu saja pendapat yang “melawan arus” ini segera mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Dan di tengah derasnya kecaman terhadap fatwa Ibrahim Hossen, lagi-lagi Pak Sjaf muncul dengan sikapnya yang unik. Pak Sjaf menyetujui pendapat Ibrahim Hossen.
Tulisan Pak Sjaf yang mendukung pendapat Ibrahim Hossen, dengan nama terang, beredar dalam bentuk foto copy; sementara tulsan Pak Sjaf dengan nama samaran –entah kenapa harus memakai nama samaran—dipublikasikan pada sebuah majalah Islam terkemuka di Jakarta.
Ketika Menteri Agama H. Munawir Sjadzali melemparkan gagasan tentang perlunya dilakukan reaktualisasi terhadap ajaran Islam, banyak orang bertanya-tanya: “Apa maunya Menteri Agama ini?”
Lontaran gagasan Munawir itu makin mengundang tanda tanya –jika tidak boleh menyebutnya: kecurigaan—lantaran ia dikemukakan antara lain di forum mudzakarah Yayasan Wakaf Paramadina, yang dimotori oleh Dr. Nurcholish Madjid, tokoh yang sejak awal 1970-an pikiran-pikirannya sering dianggap kontroversial. Lagi pula, salah satu kasus yang diangkat sebagai ilustrasi oleh Munawir Sjadzali ialah pelaksanaan hukum waris (faraidh) di kalangan kaum Muslim Indonesia.
Menteri Agama Munawir Sjadzali dianggap telah menghujat sesuatu yang telah mapan.
Reaksi keras terhadap pikiran reaktualisasi Munawir Sjadzali segera bermunculan. Begitu kerasnya sehingga cenderung tidak sehat lagi. Munawir bagai telah menjadi bulan-bulanan. Dalam situasi demikian, harus dipuji sikap majalah Panji Masyarakat yang mengangkat polemik reaktualisasi ke permukaan, karena dengan mengangkatnya secara terbuka di majalah akan menjadi jelas mana fikiran yang berbobot dan argumentatif, mana pula fikiran yang emosional dan asal bunyi.
Di antara yang turut dalam polemik reaktualisasi itu ialah Sjafruddin Prawiranegara. Di luar dugaan, Pak Sjaf justeru mendukung gagasan Munawir Sjadzali, orang yang dalam banyak hal kerap dikritiknya secara tajam. Kepada redaksi Panji Masyarakat yang terheran-heran membaca sikapnya, Pak Sjaf menegaskan bahwa dalam hal-hal lain boleh jadi ia tidak setuju, tetapi terhadap gagasan reaktualisasi ia mendukung Munawir Sjadzali.
Pak Sjaf mampu membuktikan kepada khalayak, dirinya tidak kehilangan objektivitas meskipun terhadap mereka yang tidak dia sukai.


Teladan Berharga


Dari uraian di atas dapat disimpulkan ciri paling menonjol dari kepribadian Pak Sjaf ialah sikapnya yang teguh, terbuka, terus terang, jujur, dan demokratis.
Keterbukaannya dapat disimak dari berbagai reaksi spontannya terhadap berbagai perkembangan situasi. Keterusterangannya dapat kita lihat pada berbagai pilihan sikap yang diambilnya. Jika ia telah meyakini sesuatu, ia akan mengumumkan keyakinannya itu. Tidak peduli bagaimana sikap teman atau lawan-lawannya. Juga tidak peduli apa pun resiko yang bakal diterimanya.
Keikutsertaannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di masa Presiden Soekarno, dan keikutsertaannya dalam Kelmpok Petisi 50 di zaman Soeharto, adalah bukti bagi sikapnya yang teguh, terbuka dan terus terang.
Akan tetapi, seperti dikemukakan Dr. Anwar Harjono, keteguhan sikap, keterbukaan dan keterusterangan itu dibalut oleh sikap jujur dan demokratis.
Salah satu episode dari jejak hayat Pak Sjaf pasca pergolakan daerah PRRI memperlihatkan betapa kejujuran adalah darah dagingnya.
Yang pertama kali dilakukan Pak Sjaf setelah turun gunung ialah memberitahu dan menyerahkan 29 kilogram emas batangan, yang mulanya dimaksudkan sebagai dana cadangan bagi perjuangan PRRI, kepada pemerintah. Padahal yang tahu di mana emas itu dipendam hanya Sjafruddin dan satu orang kepercayaannya.
Jika kejujuran bukan darah dagingnya, mudah sekali bagi Pak Sjaf untuk mengangkangi 29 kilogram emas batangan itu. Tentu setelah ia menyumbat orang kepercayaannya dengan bagian beberapa kilogram emas.
Sikapnya yang demokratis terlihat dari keberaniannya mengiyakan yang benar dan menolak yang diyakininya salah, tanpa perlu melihat siapa yang berbicara atau melakukannya.
Terhadap yang dianggapnya benar, Pak Sjaf tidak ragu mengakuinya. Menanggapi lahirnya Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan yang telah menyingkirkan banyak keberatan umat Islam, Sjafruddin berkata: “Kita telah menang bukan karena umat Islam Indonesia benar-benar sudah kuat, tetapi lebih banyak karena kebijakan Presiden.... Presiden Soeharto masih mempunyai cukup pengertian dan kebijaksanaan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umat Islam....”
Terhadap yang dianggapnya salah, meskipun itu kawan akrab satu partai, Pak Sjaf pun tidak ragu mengatakannya. Salah seorang teman dekat yang dia salahkan ialah Mr. Mohamad Roem. Pak Sjaf menganggap Pak Roem salah karena sebagai tawanan, Roem bersedia berunding dengan Belanda dan menghasilkan Persetujuan Roem-Roijen, padahal yang saat itu memegang mandat pemerintahan ialah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan Sjafruddin sebagai ketuanya. Kata Sjafruddin mengenai kawan akrabnya, Roem:
“Hanya sekali dia ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Soekarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan Van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘persetujuan Roem-Roijen’ (Mei 1949).... Dia berani berbicara seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI pada waktu itu adalah satu-satunya Pemerintah yang sah.”
Khatimah
Demikianlah. Mengenang Sjafruddin Prawiranegara adalah mengenang sikap-sikap teguh pendirian, terbuka, terus terang, jujur, dan demokratis. Sikap yang dengan berat hati terpaksa harus kita katakan, makin hari kian langka.
Pak Sjaf telah mematrikan sikap itu menjadi jatidiri dan citradirinya, walaupun untuk itu Pak sjaf acapkali disalahfahami bukan saja oleh lawan-lawan politiknya, bahkan oleh kawan seiring.
Kini dan di masa mendatang, teladan yang telah diwariskan oleh Pak Sjaf niscaya semakin penting kita hidup-hidupkan.
Dengan mudah kita dapat menduga apa yang bakal menimpa masa depan bangsa dan negara ini jika iklim yang ditumbuhkan bertentangan dengan warisan keteladan Pak Sjaf.

Jakarta, Shafar 1432/Februari 2011

01 Februari 2011

Kader HMI Diminta Teladani Lafran Pane




PEMAPARAN: Narasumber memberikan pemaparan pada acara bedah buku HMI, Minggu (30/1). poto: jakasusila/radarsukabumiCIKOLE-- Sebelum dilaksanakannya Rapat Pleno I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sukabumi Periode 2010-2011, Pengurus HMI menggelar bedah buku Lafran Pane "Jejak Hayat dan Pemikirannya" di Gedung Pendopo Negara Sukabumi. Buku tersebut merupakan karya ilmiah, hasil penulisan skripsi Hariqo dalam menyelesaikan Strata Satu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Peserta acara yang dihadiri lebih dari 100 orang. Diikuti para kader HMI se-wilayah Cabang Sukabumi.


Hadir pula Pimpinan Kolektif Korp Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Daerah Sukabumi, Abdul Madjid dan Mulyawan Sofwandi Nugraha. Selain itu, Ateng Jaelani Noeh (Sekjen PK MD KAHMI), Ana, HM Ajiz (Ketua KADIN), beserta alumni HMI lainnya. Narasumber dari bedah buku tersebut yaitu Hariqo Wibawa Satria, dan Mantan Anggota DPR RI, Lukman Hakiem. Adapun Ketua Bidang Eksternal Badan Koordinasi HMI Jawa Barat, Ferri Gustaman, selaku pembanding. Dimoderatori Ketua Umum HMI Cabang Sukabumi, Angga Perwira Sukmawinata.


Dikatakan Hariqo, Lafran Pane selaku pendiri HMI pada 5 Februari 1947, adalah sosok pria sederhana namun berkarakter dan mempunyai prinsip yang teguh. Dengan kesederhanaanya, dirinya mampu melakukan perubahan besar di tengah percaturan ideologi yang berkecamuk di kalangan mahasiswa saat itu. "Ternyata dengan kesederhanaan dan prinsipnya yang teguh, seorang Lafran Pane mampu mengawali perubahan bagi bangsa ini," tuturnya.


Menurut Lukman Hakiem, bahwa kader HMI perlu meneladani jiwa kepemimpinan Lafran Pane. "Jiwanya yang tangguh dan tidak materialistis dari pak Lafran perlu kita teladani. Terlebih bagi para kader-kader HMI," paparnya. Sementara itu, Ferry mengkritisi tentang sedikitnya referensi yang membahas tentang Lafran Pane selaku pendiri HMI. "Untuk referensi, sepertinya jarang sekali yang membahas tentang Lafran Pane. Kalau untuk Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, banyak sekali referensinya.Ketua Umum HMI cabang Sukabumi, Angga Perwira Sukmawinata mengatakan bahwa HMI berkiprah bukan untuk dirinya saja, melainkan masyarakat banyak. HMI juga jangan berpikir konvensial, melainkan mampu berpikir kritis dan memiliki grand desain. "HMI adalah harapan masyarakat Indonesia. Selain cerdas dalam berbicara, kita pun harus cerdas dalam mendengarkan. Kita jangan selalu berpikir konvensional, tetapi juga mampu mengajukan granddesain," paparnya (rp2)