Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

06 Januari 2015



H. MUHAMMAD TAHIR AZHARY
Memekarkan Teori Siyasah Diniyah Ibnu Khaldun
(Media Dakwah Nomor 213, Sya’ban 1412/Maret 1992, halaman 60-63)


CITA-CITA dan obsesi seseorang pada tingkat tertentu –seperti terbukti dalam sejarah—tidaklah senantiasa mewujud seiring dengan kehendak-kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain pihak, Dia tetap “membiarkan” kehidupan terkembang dengan segenap keganjilannya, untuk hamba-Nya. Bahkan di balik malapetaka yang mengejutkan, sering kali disembulkan-Nya hikmah, blessing in disguise!
Selebihnya, oleh karena seorang insan hanyalah berjalan ke masa depan, maka ucapan termasyhur filosof besar al-Ghazali (1058-1111): “Laisa fi al imkaani min maa kaana –tidak ada yang lebih baik dari apa yang telah terjadi,” dapatlah dijelaskan maknanya. Demikianlah, Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, S.H., yang lahir di Palembang pada 12 Mei 1939 dan semula bercita-cita menjadi diplomat, oleh kehendak Allah subhanahu wa ta’ala akhirnya harus ikhlas menggapai prestasi puncak di dunia intelektual di Universitas Indonesia.
Pada Maret 1991, di hadapan Tim Penguji yang terdiri atas: Prof. Padmo Wahjono, S.H., Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., Prof. Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Joewono Soedarsono, Prof. Dr. Rahmat Djatnika, dan Prof. Dr. Poernadi Poerbatjaraka, S.H.; Muhammad Tahir yang mengecap pendidikan di SD Muhammadiyah (1947-1950), dan SD Al-Irsyad Jakarta (1950-1954) tu berhasil mempertahankan disertasi bertajuk: “Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.”
Disertasinya yang khas itu merupakan karya intelektual yang dipuji banyak pakar, termasuk pakar ilmu politik terkemuka dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), Deliar Noer, karena kajian yang dibuat Tahir dengan metodologi rasional-transendentl itu amatlah langka. Bukan tidak mungkin disertasi Tahir yang kemudian dibukukan dengan judul: Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta. Bulan Bintang, 1992) itu merupakan kajian pertama yang dilakukan oleh sarjana Muslim Indonesia.
Dipromotori oleh Prof. Dr. H. Ismail Sunny, S.H., MCL (sebagai pengganti Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang tengah sakit), dan Prof. Dr. Mohammad Daud Ali, S.H. (co-promotor), disertasi Tahir mendapat nilai “Sangat Memuaskan”, suatu prestasi akademik pertengahan antara “Memuaskan” dengan “Cum Laude”. Mengomentari yudisiumnya itu, dalam nada berseloroh, Tahir berkata: “Kata Nabi, khairul umuuru awsaathuha, sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”
Tahir terlahir sebagai buah cinta pasangan K.H. Ahmad Azhary dan Hj. Masturoh. Ayahanda Muhammad Tahir, K.H. Ahmad Azhary adalah anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi dari daerah pemilihan Sumatera Selatan. Pada saat Masyumi membubarkan diri, K.H. Ahmad Azhary adalah Ketua Majelis Syuro Pimpinan Pusat Masyumi. Sebagai pejuang yang tidak kerasan duduk berpangku tangan, sesudah Masyumi membubarkan diri pada 1960, K.H. Ahmad Azhary menyalurkan aspirasi politiknya dan tercatat sebagai tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Di awal kemerdekaan, K.H. Ahmad Azhary diminta Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk menjadi Menteri Agama menggantikan H.M. Rasjidi. Ayahanda Tahir itu tidak bisa memenuhi permintaan Sjahrir karena ditahan oleh Belanda. Dari ayahnya itulah, Tahir mendapat tempaan semangat juang dan ghirah Islam.
Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) II Muhammadiyah dan Sekolah Menengah Atas IV/C Negeri (1960), Tahir memulai karirnya sebagai guru bahasa Inggeris di SMP Weda (sore) Jalan Batu, Jakarta (1958-1968), guru privat bahasa Inggeris (1965-1970), dan pegawai Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jakarta (1962-1965). Di TVRI, Tahir sempat menulis naskah sandiwara televisi berjudul “Menjelang Lebaran” (1964)..  
Selain ayahandanya, tokoh yang dikagumi Tahir ialah Haji Agus Salim. Tahis mengagumi Salim terutama dari segi kepemimpinan, penguasaan bahasa, dan intelektualitasnya. “Yang paling saya kagumi dari H. Agus Salim ialah intelektualitasnya,” ungkap alumni Institute of Islamic Studies McGill University, Kanada itu seraya menambahkan bahwa cara berpikir Salim itu rasional-transendental sehingga Salim tidak kagum kepada Barat. “Salim menggunakan logika untuk menggali ajaran Islam,” tutur Tahir.
Bersama isterinya, Hj. Ike Camelia, dan anak-anaknya, Tahir yang menulis skripsi mengena ASEAN itu tinggal di Komplek Perumahan Dosen UI, Ciputat. Kini, selain mengajar di UI, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini Universitas Islam Negeri, UIN –ed), Tahir aktif sebagai khatib shalat Jum’at di berbagai masjid, juga menulis di media massa.
Kepada Yudi Pramuko SPI dari Media Dakwah. Muhammad Tahir Azhary melontarkan pemikiran seputar disertasinya dan apresiasinya terhadap teori Ibnu Khaldun.
Apa latar belakang dan motifasi menulis disertasi ini?
Bismillahirrahmanirrahim. Sebenarnya penelitian tentang topik disertasi ini dimulai pada 1979. Salah satu latar belakangnya ialah keinginan mengetahui bagaimana konsep bernegara menurut Islam. Konsep bernegara dalam Islam merupakan suatu nomokrasi. Nomokrasi artinya negara hukum.
Nomokrasi?
Ya. Nomo berasal dari kata nomos, nomoy, artinya hukum. Krasi berasal dari kata kratos, artinya kekuasaan. Jadi, nomokrasi itu artinya kekusaan yang didasarkan kepada hukum. Dalam bahasa Inggeris sama dengan rule of law, dan rechtstaat dalam bahasa Belanda.
Mengapa saya menuis ini? Karena masalah ini belum pernah ditulis orang. Kalaupun ada, umumnya yang ditulis terbatas pada aspek keperdataan. Saya ingin mengintroduksi bahwa dalam hukum Islam bukan hanya keperdataan saja, tapi ada juga aspek publik. Nah, salah satu aspek publik itu berkaitan dengan soal kenegaraan.
Soal negara hukum selama ini banyak ditulis dari segi pemikiran Barat. Dari sudut pemikiran Islam, sepanjang yang saya ketahui, belum pernah diteliti.
Para sarjana yang notabene Muslim pun tidak banyak membahas hal itu. Ali Abdil Raziq pemikirannya bersifat sekuler.  
Ali Abdil Raziq dari Mesir?
Ya, dari Mesir. Meminjam ungkapan Prof. Dr. H. Peunoh Dali, pemikiran Raziq baru bersifat embrio, namun sudah mati. Tidak sempat besar. Buat kita tidak masalah, tapi bagi orang Barat lain lagi. Pemikiran Raziq mereka jadikan salah satu referensi bahwa dalam Islam itu tidak ada konsep bernegara. Itu menurut persepsi Barat setelah mengikuti Raziq. Pemikiran Raziq sendiri sudah ditolak oleh para sarjana kita.
Akan tetapi, yang sangat kita sayangkan, ada juga pemikiran yang hampir mirip. Tahun 1970-an misalnya, Nurcholish Madjid (mantan Ketua Umum PB-HMI –ed) pernah berkata bahwa bicara konsep bernegara dalam Islam merupakan distorsi. Namun itu dibantah oleh Pak Rasjidi.
Begitu juga H.M.S. Mintaredja, S.H. (mantan Ketua Umum PB-HMI, mantan Menteri Sosial, dan mantan Duta Besar Republik Indonesia di Turki –ed) yang berkata meski Islam berkaitan dengan negara, tetapi dalam hal tertentu, katanya, ada pemisahan. Argumen yang digunakannya sebuah hadits Rasulullah: “antum a’lamu bi umuuri dunyakum (Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian).” Sebenarnya hadits ii berkaitan dengan soal pertanian, soal korma. Jadi, jika dikaitkan dengan urusan negara, tidak tepat.
Jika Mintaredja mengatakan, dalam batas tertentu ada pemisahan agama dengan negara, kesimpulan saya justru kaitan antara agama dengan negara sangat erat sekali. tidak bisa dipisahkan, karena saat Islam lahir missi yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ‘aqidah, akhlaq, dan syari’ah. Nah, di dalam syari’ah itulah terdapat salah satu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bagaimana mengatur negara secara baik.
Jadi, konsep syari’ah itu luas. Saya tidak tahu, apakah sudah diperhatikan oleh Nurcholish dan Mintaredja, begitu juga oleh Pak Munawir Sjadzali (Menteri Agama 1983-1993). Dalam disertasi itu saya tidak menanggapi secara langsung karena buku Pak Munawir (Islam dan Tata Negra: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta UI Press, 1990) terbit ketika proses penulisan disertasi sudah selesai.
Apa komentar Anda terhadap buku Munawir Sjadzali itu?
Sekali lagi, dalam disertasi itu saya tidak menanggapi secara langsung buku Pak Munawir. Dalam catatan saya katakan beliau itu mengekspose aspek negatif dan aspek positif dari teori bernegara dalam Islam, tapi yang lebih banyak ditonjolkan justru hal yang bersifat negatif. Maka perlu didudukkan persoalannya.
Apa basis pemikiran Anda dalam disertasi itu?
Sejak kelahirannya, Islam adalah suatu ajaran yang dalam istilah al-Quran disebut al-Din, lengkapnya al-Din al-Islam. Ia suatu konsep yang berbeda, baik dengan religion maupun dalam konteks istilah agama yang berasal dari Hindu dan Budha. Istilah agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta.
Jika dikatakan “agama Islam”, sebenarnya yang kita maksud adalah “al-Din al-Islam”. Sedangkan religion diakui oleh para sarjana Barat, Bernard Lewis misalnya, memang sangat berbeda dengan al-Din. Antara religion dengan al-Din al-Islam, tidak sama.
Religion menurut sejarah Barat lebih ditekankan kepada hal-hal yang bersifat ritual, sehingga aspek-aspek sosial dan hukum boleh dikatakan tidak ada. Religion itu sesuai dengan salah satu ajaran yang ada dalam Injil Mathius, dalam bahasa Indonesia: “Serahkanlah apa yang menjadi kewenangan Tuhan kepada Tuhan, dan serahkan pula apa yang menjadi kewenangan Kaisar kepada Kaisar.” Inilah yang dijadikan doktrin di dalam sejarah agama di Barat.
Oleh karena itu, sejak Abad Pertengahan terjadi proses sekularisasi di Barat, sehingga tidak ada lagi apa yang disebut peran dan pengaruh agama di dalam negara. Di dalam Islam, pemisahan itu tidak ada. Dalam Islam, sejak kelahirannya, berkembangnya, sampai terbentuknya Negara Madinah; antara al-Din al-Islam dengan negara itu tidak ada pemisahan. Negara adalah salah satu sektor dari al-Din al-Islam.
Jadi, begitulah basis pemikiran saya. Ada hubungan erat antara al-Din al-Islam dengan negara.
Kalau itu tesisnya, bagaimana kongkritnya?
Ya. Itu tesis pokoknya. Yang menjadi masalah sekarang, kalau begitu, bagaimana konsep bernegara menurut Islam? Apakah seperti yang digambarkan orang bahwa konsep bernegara dalam Islam itu selalu keras, seperti gambarang orang tentang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menurut saya, tidak! Gambaran seperti itu sama sekali tidak benar. Keliru.
Konsep bernegara dalam Islam adalah nomokrasi. Saya mengembangkan teori ini dari Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun merupakan salah satu kerangka teoritis saya. Ibnu Khaldun punya satu teori yang disebutnya teori Mulk Siyasi dalam kaitan dengan penjelasannya mengenai tipologi negara.
Dalam Al-Muqaddimah, kitab Ibnu Khaldun yang terkenal itu?
Ya, betul. Ibnu Khaldun menguraikan teorinya di dalam kitab itu. Dalam teori Ibnu Khaldun dikatakan bahwa negara dibagi dalam dua kelompok. Dia mengatakan, ada yang disebut negara dengan ciri kekuasaan alamiah, istilahnya Mulk Thabi’i, ada pula negara dengan ciri kekuasaan politik, Mulk Siyasi. Nah, tipe negara yang pertama itu ditandai dengan kekuasaan yang sewenang-wenang, istilahnya kini nepotisme. Yang dipakai di situ adalah hukum rimba.
Kemudian tipe negara yang kedua dibaginya menjadi tiga macam: Pertama, diberinya istilah Siyasah Diniyah. Saya menerjemahkannya menjadi Nomokrasi Islam. Inilah kerangka teori yang saya gunakan dalam pengembangan pemikiran dalam disertasi. Kedua, negara hukum sekuler yang dalam bahasa Arab disebut Siyasah ‘Aqliyah. Yang ketiga ialah negara ala Republik-nya Plato yang oleh Ibnu Khaldun diistilahkan dengan Siyasah Madaniyah.
Di antara tiga tipe negara dalam Mulk Siyasi, yang ideal menurut saya ya Siyasah Diniyah atau Nomokrasi Islam.
Apakah itu berarti negara berdasarkan agama?
Ya. Suatu negara, yang saya katakan, syari’ahnya itulah yang menjadi dasar. Nah, kalau demikian halnya, Ibnu Khaldun itu hanya menyebut kerangkanya saja. Apa yang menjadi prinsip-prinsip Siyasah Diniyah, itu belum diketahui. Lalu saya meneliti.
Menurut hasil penelitian saya, paling tidak ada sembilan macam prinsip dari Siyasah Diniyah atau Nomokrasi Islam. Kesembilan prinsip itu saya kira sifatnya universal, di mana-mana ada. Bahkan di negara hukum Republik Indonesia, juga ada.
Apa yang baru dalam disertasi Anda?
Ya, saya menjelaskan kesembilan prinsip itu. Sembilan prinsip dalam negara hukum menurut Quran dan Sunnah Rasul. Kesembilan prinsip itulah Nomokrasi Islam.
Selain Ibnu Khaldun, ada referensi lain dari pemikir Islam masa lampau?
Saya singgung sedikit Ibnu Taimiyah. Kalau pemikir yang lain, saya kurang sreg melihatnya. Al-Mawardi, misalnya, saya melihat pemikirannya terlalu dipengaruhi oleh Dinasti Abbasiyah.
Ada satu pemikiran dari al-Mawardi yang menurut saya tidak relevan. Ia mengutip hadits al aimmatu min Quraisyin (kepemimpinan itu dari suku Quraisy). Apa betul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan ucapan seperti itu?
Jika Quraisy saja yang berhak atas kepemimpinan, berarti orang Indonesia tidak bisa menjadi pemimpin. Menurut saya, pemikiran al-Mawardi kurang relevan, sehingga saya tidak memasukkan atau menyinggungnya.
Hanya Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah yang Anda rujuk?
Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah secara ringkas, yang lainnya ialah teori al-Istishlah dari Imam Malik. Jadi, dua teori itulah yang menjadi kerangka pemikiran saya. Yakni bagaimana penerapan dari prinsip-prinsip Nomokrasi Islam dikaitkan dengan teori al-Istishlah-nya Imam Malik.
Di antara prinsip yang sembilan itu misalnya kekuasaan itu adalah amanah. Kekuasaan yang ada di tangan manusia itu sifatnya temporer. Kekuasaan, ilmu, kekayaan, anak, semua itu titipan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Karena kekuasaan itu titipan Ilahi, pertanyaannya: siapakah penguasa yang hakiki? Barangkali ini suatu postulat. Penguasa yang hakiki adalah Allah subhanahu wa ta’ala yang kekuasaan-Nya maha luas dengan segala isinya.
Kita tidak bagaimana luasnya langit. Maka, kekuasaan subhanahu wa ta’ala Allah itu tidak bisa kita ukur.
Dari sanalah ada delegation of power, pelimpahan kekuasaan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada manusia. Orang yang menerima kekuasaan itu adalah orang yang menerima amanah. Artinya, kekuasaan yang dia terima itu harus dia jalankan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk amar ma’ruf nahyi munkar. Tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan. Ini prinsip kekuasaan sebagai amanah, suatu delegation of power dari Allah subhanahu wa ta’ala, rabbul ‘alamin.
Mirip dengan teori Abul ‘Ala al-Maududi?
Mungkin di sini ada kemiripan pemikirn saya denfan al-Maududi. Hanya saja saya tidak sependapat dengan Maududi yang menggunakan istilah teodemokrasi. Menurut saya, Islam itu bukan satu negara teokrasi.
Jadi, menurut saya, istilah yang lebih tepat itu nomokrasi. Sebab apa? Karena nomokrasi itu didasarkan kepada hukum. Yang kongkrit adalah hukum. Kalau dikatakan ‘teodemokrasi”, walaupun didasarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dalam kenyataannya Allah subhanahu wa ta’ala itu Zat Yang Unik, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Yang kongkrit itu hukum, yang kongkrit itu syari’ah.
Istilah nomokrasi itu khas dari Anda atau akomodasi dari istilah lain?
Sebenarnya istilah itu sudah digunakan oleh orang lain. Prof. Dr. H.M. Rasjidi juga menggunakan istilah itu. Yang lain juga, seperti M. Carr –guru besar yang baru-baru ini ditembak di Beirut, Libanon—menggunakan istilah nomocrazy. Bahkan Carr menggunakan istilah Islamic Nomocrazy. 
Yang saya tekankan adalah nomorasi. Oleh karena itu teodemokrasi, yang diperkenalkan oleh Maududi, menurut saya tidak tepat.
Anda percaya konsep Negara Islam terdapat dalam al-Quran?
Kalau disebut Negara Islam, orang alergi. Saya menyebutnya konsep bernegara di dalam Islam, atau konsep negara dalam ajaran Islam.
Mungkin karena pengalaman traumatik di masa lalu?
Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti atau dikuatirkan dari Negara Islam. Sebab, gambaran mengenai konsep negara dalam Islam itu menurut kajian saya itu positif. Sangat positif.
Bisa lebih dijelaskan?
Itu tadi. Kita teruskan sembilan prinsip tadi. Pertama, prinsip kekuasaan sebagai amanah. Kedua, prinsip musyawarah. Ketiga, prinsip keadilan. Keempat, prinsip persamaan. Kelima, prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Keenam, prinsip peradilan bebas. Ketujuh, prinsip perdamaian. Kedelapan, prinsip kesejahteraan. Kesembilan, prinsip ketaatan rakyat. Nah, sembilan prinsip itu sifatnya universal.
Jika kita kaji negara-negara Barat, prinsip-prinsip itu ada di negara mereka, tetapi karakteristiknya berbeda, wataknya berbeda. Karena apa? Karena di Barat itu sifatnya sekuler. Semata-mata berdasarkan rasio manusia. Sembilan prinsip yang saya kemukakan dalam disertasi itu sumbernya dari wahyu, dan al-Quran. Misalnya prinsip musyawarah, itu perintah Quran: “wa syaawirhum bi al amri wa amruhum syuuraa bainahum –dan semua urusan kemasyarakatan, hendaklah mereka musyawaeahkan.”
Dengan prinsip ini, tiak boleh seorang pemimpin, kepala pemerintahan, atau kepala negara mengambil keputusan atas dasar kehendaknya sendiri. Praktik musyawarah itu sudah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada maa Negara Madinah.
Apakah seluruh rakyat dikumpulkan dan dipungut suaranya secara langsung, atau melalui sisten perwakilan, itu soal cara. Islam tidak mengatur sedetail itu. Yang jelas, Quran meletakkan prinsip-prinsip itu.
Nah, implementasi dari prinsip-prinsip ini hendaklah disesuaikan dengan istishlah, teori dari Imam Malik, untuk kemaslahatan masyarakat. Jadi, tidak boleh impelementasinya menurut selera seseorang.
Apa kelemahan ide Negara Islam di masa lalu?
Menurut saya, barangkali waktu itu belum sampai pada penjabaran yang lebih rinci mengenai argumentasi dari konsep itu.
Belum terelaborasi?
Ya. Jadi, kelihatannya waktu itu lebih difokuskan kepada nama. Bagaimana isinya, barangkali yang pada waktu itu belum dibentangkan atau dijelaskan, karena mungkin situasi saat itu tidak memungkinkan. Misalnya diyakinkan bahwa konsep bernegara dalam Islam itu sangat positif. Tidak ada yang merugikan kepentingan masyarakat, misalnya bagaimana Islam memperlakukan golongan minoritas, bagaimana memperlakukan kaum Yahudi di Madinah, itu sangat jelas.
Laa ikraaha fi al din, tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama, itu termasuk dalam prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Ada kebebasan untuk memilih dan melaksanakan agama. Negara tidak boleh memaksa.
Apa dulu ada indikasi bakal ada pemaksaan jika terbentuk Negara Islam?
Bukan. Barangkali ada semacam kekuatiran. Sebenarnya itu, menurut saya kesalahan pemahaman dari golongan lain saja. Padahal di dalam Islam, golongan minoritas itu wajib dilindungi. Istilah bagi mereka itu adalah kafir dzimmi, minoritas yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam, dengan kewajiban membayar pajak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Siapa yang mengganggu kafir dzimmi, berhadapan denganku.” Jadi, eksistensi mereka dijamin. Semua peribadatan mereka dijamin. Bahkan saat itu, bagi kaum Yahudi diberlakukan hukum Taurat, bukan syari’at Islam.
Dalam konteks Negara Madinah, seperti itu. Kewajiban kepala negara pada waktu itu harus memperhatikan hukum yang berlaku untuk kaum Yahudi.
Bagaimana dengan pemikir politik Islam di awal kemerdekaan?
Dari segi itu kita harus menaruh hormat antara lain kepada Pak Mohammad Natsir. Saya kira beliau sudah memikirkan masalah itu. Kondisi waktu itu mungkin titik tolaknya yang dilihat hanyalah umat Islam sebagai kelompok besar yang ada di negara Republik Indonesia. Waktu itu ada rumusan Piagam Jakarta: “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kembali ke disertasi saya, kalai kita berbicara mengenai konsep bernegara dalam Islam, saya tidak melihat ada sesuatu yang negatif. Saya sebutkan tadi, sembilan prinsip bernegara itu berlaku di mana-mana.
Bagaimana Anda melihat IAIN?
Kalau saya perhatikan, tentu tidak semua cenderung berpikir rasional murni ala Barat. Prof. Peunoh Dali, Dr. Aqib Suminto, dan Dr. Satria Effendi misalnya, cara berpikirnya rasional-transendental. Hanya pesan saya kepada generasi muda, belajarlah dalam disiplin ilmu masing-masing.
Kalau Saudara mempelajari Islam secara tradisional, itu perlu juga. Tetapi, pelajari juga agama Islam dari sudut filsafatnya. Seperti ditulis oleh Prof. Rasjidi dalam salh satu bukunya, apakah dalam dunia moderen ini Islam masih diperlukan, atau apakah semua agama sama? Itu salah satu problem kita.
Dengan mempelajari Islam dari sudut filsafatnya, kita tidak akan jemu, dan ada pengembangan pemikiran. Saya mengajarkan kepada para mahasiswa, seperti itu.[]