Presiden Darurat Sjafruddin
Prawiranegara
(19 Desember 1948-13 Juli 1949)
Oleh:
Lukman Hakiem
PADA 18 Desember 1948, pukul 23.30, Wakil
Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani
pada 17 Januari 1948. Keesokan harinya, 19 Desember 1948, pukul 06.00 ibukota
Republik Indonesia di Yogyakarta diserang dan diduduki oleh tentara Belanda.
Tiga hari kemudian, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan
sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Prapat di Sumatera Utara, dan ke
Muntok di Pulau Bangka.
Dalam sidang kabinet
beberapa saat sesudah Yogyakarta diduduki, Presiden, Wakil Presiden, dan
Menteri Luar Negeri H. Agus Salim mengirim telegram kepada Menteri Kemakmuran
Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk
“Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kepada Dr. Soedarsono, L.N. Palar,
dan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, diperintahkan agar
jika usaha Sjafruddin membentuk pemerintahan darurat tidak berhasil; ketiganya
diberi kuasa untuk membentuk “Pemerintah Republik Indonesia dalam
Pengasingan.”
Presiden Darurat
Mendengar
ibukota Yogya diduduki, Sjafruddin yang sedang berada di Bukittinggi, segera
mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa
mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya
untuk membentuk suatu pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan pada hari
itu juga memproklamirkan berdirinya Pemerintah Darurrat Republik Indonesia (PDRI).
“Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi, pada
tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 sore, telah dibentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia,” ujar Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera, M. Teuku
Mohammad Hasan.
Pada
22 Desember 1948. Di Halaban, Payakumbuh, Sjafruddin mengumumkan susunan
kabinet PDRI yang terdiri dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Ketua), Mr. T.M.
Hasan (Wakil Ketua), Mr. Sutan Moh. Rasjid (Menteri
Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda), Mr. Lukman Hakim (Menteri
Keuangan/Kehakiman), Ir. M. Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan), Ir.
Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran), dan R.M. Danusubroto sebagai
Sekretaris.
Di
Pulau Jawa dibentuk Komisaris PDRI di bawah pimpinan dr. Soekiman
Wirjosandjojo, Mr. Susanto Tirtoprodjo, I.J. Kasimo, K.H. Masjkur, Supeno, dan
Pandji Suroso.
PDRI
juga menata ulang kepemimpinan militer. Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai
Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Kolonel A.H. Nasution ditetapkan sebagai
Panglima Tentara Teritorium Jawa. Kolonel M. Hidajat ditetapkan menjadi
Panglima Tentara Teritorium Sumatera. Kolonel (Laut) M. Nazir diangkat menjadi
Panglima Angkatan Laut, dan Kolonel (Udara) M. Sudjono diangkat menjadi
Panglima Angkatan Udara.
Sjafruddin
sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Dia menggunakan
sebutan Ketua Hal itu, menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya
belum mengetahui adanya mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa
keprihatinan dan kerendahan hati.”
Dalam
memoar/otobiografi yang terbit pertama kali di akhir 1970-an dan diterbitkan
kembali pada 2010, Proklamator Kemerdekaan, Mohammad Hatta, menyebut Sjafruddin
Prawiranegara sebagai “Presiden Darurat”.
Setelah
berpuluh tahun eksistensi PDRI bagai hilang dari catatan sejarah, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal pembentukan PDRI, 19 Desember,
sebagai Hari Bela Negara. Sayang, baru Bung Hatta yang secara terbuka mengakui eksistensi Sjafruddin Prawiranegara
sebagai Presiden Republik Indonesia, walaupun diberi tambahan “Darurat”..
Pernyataan Roem-van Roijen
Dalam
perjuangan melawan Belanda, PDRI antara lain menggunakan siaran radio. Pesan-pesan
radio PDRI ternyata dapat diterima dengan baik di New Delhi, dan mengilhami
pemimpin India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia
guna mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan,
Australia, Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan,
Filipina, Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari
Republik Rakyat Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai
peninjau.
Konferensi
Inter-Asia mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai
upaya memulihkan pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan
itu, lahir Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada
pokoknya meminta Belanda menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin
Republik, dan kembali ke meja perundingan.
Setelah
tidak mampu mengelak dari tekanan dunia internasional, pada 14 April 1949
diselenggarakan perundingan antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983). Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949
itu menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan
permulaan mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas
dasar Pernyataan Roem-van Roijen, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta,
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta para pemimpin RI
dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Pemerintahan RI berfungsi kembali
seperti sedia kala.
Sebagai
salah satu episode dari bagian akhir revolusi kemerdekaan sebelum pelaksanaan
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia
internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik
Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang
sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Pernyataan itu telah menempatkan
Roem --tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah-- dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan
hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti
Pernyataan
Roem-van Roijen ternyata menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang
PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin
pemerintahan ditawan oleh Belanda. PDRI merasa ditinggalkan. Panglima Besar
Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak terima
dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam Pernyataan
Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah menganggap
Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan
kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang
mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta
menunggu kedatangan Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan
Sjafruddin dan Soedirman bagi para pemimpin yang sudah berada di Yogya, sungguh
sangat penting. Bukan saja untuk kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan
bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin
negara, ketika Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah
kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan karena keputusan mereka. “Yogya
kembali” adalah hasil perundingan antara Belanda dengan utusan yang diangkat
oleh pejabat yang secara formal tidak lagi berkuasa.
Sesudah
usaha Hatta mencari Sjafruddin di Kutaraja, Aceh, gagal; Presiden Sukarno
mengutus delegasi terdiri dari Mohammad Natsir, dr. J. Leimena, dr. Abdul
Halim, dan Agus Yaman untuk membujuk PDRI dan Sjafruddin agar mengakui Roem-van
Roijen dan kembali ke Yogya.
Dalam
pertemuan di Padang Jopang, Lima Puluh Kota, sikap PDRI keras: “Mengapa PDRI
tidak diajak dalam perundingan dengan Belanda, padahal yang berkuasa
sesungguhnya PDRI.” Leimeina dan Halim, mulai kehilangan kesabaran. Mereka
berkata: “Dulu, sewaktu Sukarno dan Hatta ditawan, kami tidak tahu bagaimana
nasib Republik apabila tidak ada PDRI. Sekarangpun kami tidak tahu bagaimana
nasib Republik kalau Bung Sjafruddin tidak bersedia kembali ke Yogya.”
Di
tengah pembicaraan yang emosional itu, menjelang subuh, tiba-tiba Natsir
membacakan sebuah syair berbahasa Arab: “Tidaklah keinginan semua manusia akan
tercapai, karena angin berhembus di lautpun tidak selamanya mengikuti keinginan
perahu yang sedang berlayar.”
Entah
terpengaruh oleh syair klasik itu, Sjafruddin menyahut: “Dalam perjuangan, kita
tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan, karena kita berundingpun duduk di
atas lantai. Yang penting adalah kejujuran. Siapa yang jujur kepada Tuhan,
perjuangannya akan selamat.” Sjafruddin memutuskan kembali ke Yogya untuk
mengembalikan mandat --yang tidak pernah dia terima—kepada Presiden Sukarno. Di
lapangan terbang Yogya, Presiden Darurat itu dijemput oleh Mohammad Hatta.
Sesudah
mendengar Sjafruddin kembali ke Yogya, Soedirman bersedia turun gunung, kembali
ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya
dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan memilih nilai yang lebih
tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama. Sjafruddin dan Soedirman kembali
ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan
PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan
jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah
suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the ethics of power).
Mengutip
pakar sejarah, Prof. Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu
tercermin dalam kalimat pendek Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam
sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan
Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung
bersama.”
Peran Signifikan Politisi Muslim
Pembentukan
PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral Natsir yang
mengembalikan negara Republik Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke
negara kesatuan (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir dari revolusi
kemerdekaan yang dramatis, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan
bahwa di saat-saat paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim telah
memberikan peran yang sangat signifikan.
Fakta
sejarah itu menunjukkan bahwa sesungguhnya sejak dulu tidak pernah ada masalah
antara Islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat sembari
dengan riang gembira menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka,
mereka yang tiba-tiba amat bersemangat bicara soal NKRI, dan kebhinekaan seraya
memperhadapkannya dengan Islam; bacalah sejarah dengan jujur dan benar.[]
Tulisan ini dimuat koran Republika, Rabu, 17 Desember 2016.
Lukman Hakiem, pemerhati sejarah. Menulis dan
menyunting beberapa buku. Pernah menjadi anggota DPR-RI (1997-1999, dan
2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-20014).
1 komentar:
Assalamualaikum Pak
Maaf mengganggu, saya Muhammad Faizurrahman dari mahasiswa Ilmu Sejarah UNS, ingin bertemu dengan bapak untuk wawancara judul tugas Mata kuliah Metode Sejarah yaitu Pemikiran Syafrudin prawiranegara
Bagaimana Pak ? Maaf sebelumnya
Terimakasih
Posting Komentar