4
Perubahan Konstitusionil
HUKUM
Tata Negara adalah hukum yang mengatur susunan negara yang tertentu.Hukum Tata
Negara Republik Indonesia mengatur susunan negara Republik Indonesia.Hukum
adalah himpunan norma-norma, himpunan apa yang seharusnya dan apa yang tidak
seharusnya, yang diterapkan atau yang diakui oleh Pemerintah, tentang tingkah laku
manusia dalam masyarakat.
Hukum
Tata Negara adalah himpunan norma-norma, himpunan apa yang seharusnya dan apa
yang tidak seharusnya mengenai susunan negara.
Negara
adalah satu organisasi, yaitu satu sistem kerja sama yang teratur untuk
mencapai tujuan bersama yang tertentu. Dengan demikian Hukum Tata Negara
tergantung pada orang-orang yang membentuk sistem kerja sama itu. Dalam negara
yang menganut ajaran kedaulatan rakyat, rakyatlah yang membentuk sistem kerja
sama itu. Dengan demikian, materi (isi) dari pada Hukum Tata Negara itu
tergantung pada rakyat.Apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya
tergantung pada penilaian rakyat. Dan penilaian itu tergantung pada keyakinan
rakyat. Dan keyakinan rakyat ini ditetapkan oleh bermacam-macam faktor psikologi,
faktor kultur, dan lain-lain.Faktor mana yang paling menentukan, tergantung
pada waktu.Dengan demikian, keyakinan rakyat senantiasa berubah-ubah sesuai
dengan berubahnya faktor-faktor yang menetapkannya. Dengan demikian, penilaian
apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya berubah pula sesuai dengan berubahnya
keyakinan itu. Dan dengan demikian materi (isi) dari pada Hukum Tata Negara berubah
pula.
Isi
dari pada Hukum Tata Negara dapat kita lihat pada Undang-Undang Dasar (UUD),
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah, dan peraturan-peraturan tertulis
lainnya, serta pada peraturan-peraturan yang tidak tertulis.
Berubahnya
isi dari pada Hukum Tata Negara berarti berubahnya peraturan-peraturan
tersebut.Lepas dari pada isinya, kita dapat mengatakan dengan berubahnya Hukum
Tata Negara berarti harus berubah pula peraturan-peraturan tersebut.Biarpun
redaksi peraturan-peraturan tersebut tidak berubah, peraturan-peraturan
tersebut tidak memuat lagi Hukum Tata Negara seperti yang berlaku semula. Atau
dengan perkataan lain, peraturan-peraturan tersebut tidak lagi menggambarkan
Hukum Tata Negara yang berlaku.
Penjelasan
tentang UUD Negara Indonesia pada Bagian Umum Nomor 1 alinea ke-2 menyebut
bahwa hukum dasar adalah sama dengan droit
constitutionelle dalam bahasa Perancis. Dan tentunya sama dengan constitutional law dalam bahasa Inggeris
dan Hukum Tata Negara dalam bahasa Indonesia. Tetapi pada bagian lain (alinea 1
Bagian Umum Nomor 1) disebut bahwa hukum dasar tertulis sama dengan UUD. Dan
selanjutnya pada Bagian Umum Nomor IV dijelaskan bahwa bukan dasar yang
tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok dan selanjutnya penyelenggaraan
aturan-aturan pokok ini diatur oleh undang-undang.Dengan demikian, saya
mengambil kesimpulan bahwa Penjelasan tentang UUD mengenal dua pengertian
terhadap perkataan hukum dasar.
Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam Rencana
Pembukaan mempergunkaan perkataan Hukum Dasar yang diganti oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan perkataan UUD. Andaikata tidak
diganti maka kita akan mengalami kesulitan dalam menyusun Negara Republik
Indonesia selanjutnya. Karena dengan demikian kita akan menyamakan UUD dengan
Hukum Dasar. Dan dengan mempergunakan pengertian pertama mengenai Hukum Dasar,
maka seolah-olah susunan Negara Republik Indonesia kita akan bertemu hanya pada
Hukum Dasar.
Saya
tidak sependapat dengan orang-orang yang menyamakan undang-undang dengan hukumdan UUD dengan Hukum Dasar. Bagi saya, undang-undang
pada waktu yang tertentu memuat hukum, tetapi beberapa waktu sesudah itu dapat
tidak memuat hukum lagi.Begitupun UUD pada waktu tertentu memuat hukum dasar
(aturan-aturan pokok), tetapi beberapa waktu sesudah itu dapat tidak memuat hukum
dasar lagi.Tegasnya, pada waktu tertentu, suatu undang-undang menggambarkan hukum,
tetapi kalau keadaan berubah mungkin undang-undang itu tidak menggambarkan hukum
lagi.Mungkin satu peraturan yang tidak tertulis telah menggantikannya,
menggambarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, undang-undang maupun UUD
harus senantiasa diubah sesuai dengan berubahnya hukum, sesuai dengan berubahnya
penilaian mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya. Jangan
sekali-sekali sesuatu yang menggambarkan sesuatu kita samakan sesuatu yangh
digambarkan itu.Jangan kita samakan gambar seseorang dengan orangnya.Gambar
seseorang 50 tahun yang lalu sudah pasti berbeda dengan gambarnya hari
ini.Dalam bahasa Inggeris dibedakan antara a
law dengan law, atau antara Law dengan huruf besar “L”, dengan law dengan huruf kecil “l”.dalam bahasa
Jerman antara Gesets dengan Recht, di Uni Soviet antara zakon dengan pravo, serta di Negeri Belanda antara wet dengan recht.
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.yang dimaksud dengan rakyat dalam pasal ini tentu adalah
rakyat yang hidup pada masa jabatan MPR yang bersangkutan. Biarpun dalam UUD
1945 tidak disebut masa jabatan MPR tetapi analog dengan interpretasi otentik mengenai
Pasal 3 UUD 1945 tentang penetapan garis-garis besar haluan Negara yang harus
dilakukan tiap lima tahun dan masa jabatan Presiden maupun Wakil Presiden
adalah lima tahun, dapat kita mengambil kesimpulan bahwa masa jabatan MPR
adalah lima tahun. Dengan demikian MPR yang bersangkutan hanya mempunyai mandat
dari rakyat yang hidup pada masa jabatan lima tahun itu. Ia harus dapat
menggambarkan keinginan rakyat dan kepentingan rakyat yang ia wakili. Iaharus
dapat mengetahui keyakinan rakyat mengenai apa yang seharusnya dan apa yang
tidak seharusnya pada waktu itu dan menilai segala sesuatu berdasarkan
keyakinan itu.
Dengan
demikian keputusan MPR yang bermasa jabatan mulai tahun 1971 sampai dengan
1976, mungkin lain dengan keputusan MPR bermasa jabatan 1976 sampai dengan 1981
mengenai materi yang sama. MPR bermasa jabatan 1971 sampai dengan 1976 tidak
mempunyai hak untuk mendikte MPR bermasa jabatan 1976 sampai dengfan 1981.
Tegasnya, rakyat yang hidup pada tahun 1971 sampai dengan 1976 tidak punya hak
untuk mendikte rakyat yang hidup pada tahun 1976 sampai dengan 1981 dan
tahun-tahun selanjutnya. Kalau berlaku yang sebaliknya, maka akan bertentangan
dengan prinsip kedaulatan rakyat. Ini akan merupakan diktatuur yang dilakukan
oleh rakyat terhadap rakyat yang masa hidupnya berbeda. Dan dapat dikatakan
rakyat yang diwakili oleh MPR bermasa jabatan tahun 1971 sampai dengan 1976 itu
ingin agar rakyat sesudah masa jabatan MPR ini menjadi konservatif. Dan
terutama MPR yang sekarang ini sekali-kali tidak boleh mendikte MPR yang akan
datang.
Sampai
sekarang ini pendirian saya mengenai wewenang MPR masih tetap seperti yang saya
ajukan pada bulan Januari 1960 (lihat tulisan kedua di buku ini, “Wewenang
Majelis Permusyawaratan Rakyat”, Pidato Dies Natalis XV Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 26 Januari 1960 –ed),
yaitu:
1. Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2. Mengubah Undang-Undang Dasar,
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden,
4. Menetapkan garis-garis besar haluan negara.
Wewenang/kekuasaan melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya
adalah wewenang yang bersifat umum (genus)
dan empat wewenang yang saya sebut tadi adalah wewenang yang bersifat khusus (specie). Sesuai dengan yang disebut pada
Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia akibat dengan dipilihnya Presiden dan
Wakil Presiden oleh MPR dan ditetapkannya garis-garis besar haluan negara oleh
MPR dan harus dilaksanakan oleh Presiden maka adalah logis kalau Presiden harus
bertanggungjawab kepada MPR dalam arti yang luas. Dan selanjutnya dengan adanya
wewenang MPR untuk menetapkan/mengubah UUD mengakibatkan ia mempunyai wewenang
untuk menafsirkan UUD. Ialah yang mengetahui apakah suatu keputusan Presiden
bertentangan dengan UUD atau tidak. Dan ia pulalah yang paling mengetahui
apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.
Baru-baru
ini dalam DPR-GR ada anggota-anggota yang mengatakan bahwa beberapa pasal dalam
RUU Pemilihan Umum bertentangan dengan konstitusi.Benar atau tidaknya pendapat
ini tentu tergantung pada MPRS yang sekarang melakukan tugas MPR.
Saya
termasuk pada orang-orang yang tidak menyetujui pendapat bahwa Mahkamah Agung
mempunyai wewenang untuk menguji sesuatu undang-undang secara materiil (materiele toetsingsrecht).Sesuai dengan
pendapat saya tadi bahwa MPR-lah yang paling mengetahui apakah sesuatu
undang-undang konstitusionil atau tidak, maka saya berpendapat MPR-lah yang
mempunyai wewenang untuk menguji undang-undang secara materiil.MPR dapat
membentuk satu Panitia Penguji Hukum yang ditugaskan untuk tujuan ini.Panitia
ini dengan sendirinya memerlukan bantuan dari ahli-ahli hukum.Panitia ini
bertanggungjawab sepenuhnya kepada MPR.
Janganlah
disamakan Supreme Court of Justice
Amerika Serikat dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia.Biarpun sistem
pemerintahan kita ama, yaitu sistem presidentiil, Amerika Serikat adalah satu
negara federal di mana diadakan pembagian kekuasaan antara pusat dengan
negara-negara bagian secara konstitusionil dan pusat tidak mempunyai wewenang
untuk mengawasi kekuasaan negara-negara bagian.
Dapat
kita menerima kalau Supreme Court
mempunyai wewenang menguji suatu keputusan Presiden maupun menguji suatu act secara materiil. Di Amerika Serikat
tidak ada satu badan seperti MPR kita yang dapat bersidang setiap waktu untuk
menilai tindakan Presiden maupun tindakan Presiden bersama-sama DPR. Dan juga
tidak dapat kita contoh negara Perancis dengan Dewan Konstitusinya yang antara
lain mempunyai tugas untuk menguji suatu undang-undang maupun suatu keputusan
pemerintah pada konstitusi, mengingat sistem pemerintahan kita berbeda dengan
Perancis.
Apakah
suatu keputusan MPR sesuai dengan keyakinan rakyat atau tidak, secara formil
dapat kita dengan mudah mengetahui.Tiap keputusan MPR adalah sesuai dengan
keyakinan rakyat karena badan ini anggota-anggotanya adalah wakil-wakil
rakyat.Secara materiil adalah sukar, karena keputusan itu harus kita uji dulu
dengan keyakinan tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia.Atau diuji dengan
satu ukuran yang menggambarkan keyakinan rakyat.Dalam hal ini harus kita
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kita sudah memiliki satu kriterium hukum,
satu rechtsidee, satu cita hukum
(berbeda dengan Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia Bagian Umum nomor III
yang menyalin rechtsidee ini dengan
cita-cita hukum).Saya mengambil kesimpulan bahwa pokok-pokok pikiran yang
dimaksud Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia Bagian Umum nomor III yang
merupakan perwujudan dari pada rechtsidee
itu adalah dasar negara, yaitu Pancasila. Dengan hukum yang tertulis maupun
yang tidak tertulis senantiasa harus dinilai, sesuaikah ini dengan Pancasila atau tidak. Kalau tidak
sesuai, maka hukum itu tidak sesuai dengan keyakinan rakyat dan harus
diganti/diubah.
Saya
termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan
interpretasi yang tegas mengenai Pancasila ini, karena dengan demikian akan
terikatlah Pancasila ini dengan waktu. Biarkan saja tiap golongan mempunyai
interpretasi sendiri-sendiri mengenai Pancasila ini. Dan interpretasi
golongan-golongan ini mungkin pula akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan
zaman. Adanya perbedaan-perbedaan interpretasi ini menunjukkan kemampuan hidup
Pancasila ini untuk selama-lamanya sebagai dasar (filsafat) negara.
Antara
tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 sudah berkali-kali UUD 1945 diubah, yaitu
dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yaitu perubahan Aturan Peralihan Pasal
IV mengenai tugas Komite Nasional Pusat (KNP). Dengan Pengumuman Badan Pekerja
Nomor 5 Tahun 1945 yaitu perubahan Pasal 4 dan Pasal 17, biarpun perubahan ini
dicabut kembali dengan terbentuknya Kabinet Presidentiil pada tahun 1948 yang
sehari-hari dipimpin oleh Wakil Presiden. Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1948 menambah ketentuan dalam Pasal 8, yaitu mengenai penunjukan Pemangku
Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia. Dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1949 diubah Pasal 37 dan Aturan Peralihan Pasal IV yaitu pemberian
wewenang kepada KNP untuk mengubah UUD bersama-sama dengan Pemerintah dengan
ketentuan sidang-sidang KNP untuk tujuan ini cukup dihadiri oleh separuh dari
jumlah seluruh anggota ditambah satu serta keputusan diambil dengan suara
terbanyak mutlak. Dan pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1949 dengan sendirinya mencakup pengertian bahwa
UUD 1945 dengan demikian diubah. Segala ketentuan dalam UUD 1945 yang tidak
sesuai dengan Konstitusi RIS tidak berlaku lagi sejak tanggal 14 Desember 1949
yaitu sejak diumumkannya undang-undang tersebut. Artinya segala pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang mengatur hal-hal yang tidak merupakan urusan Negara Bagian
Republik Indonesia tidak berlaku lagi, antara lain Pasal 10 dan Pasal 30
mengenai Pertahanan, Pasal 11 dan Pasal 13 mengenai Hubungan Luar Negeri, dan
Pasal 26 mengenai Warga Negara.
Tentunya
perubahan-perubahan dilakukan melihat keadaan pada waktu itu dan dengan
sendirinya keyakinan rakyat senantiasa dipergunakan sebagai
ukuran.Perubahan-perubahan tidak dilakukan pada tubuh UUD 1945, tapi dapat kita
anggap sebagai lampiran dari pada UUD itu.Dan seperti kita lihat tadi,
perubahan-perubahan itu tidak dilakukan dalam bentuk peraturan yang tertentu,
tetapi dalam tiga macam bentuk yaitu Maklumat Wakil Presiden, Pengumuman Badan
Pekerja KNP, dan undang-undang.Memang, seperti pernah saya katakan bentuk peraturan
yang memuat realisasi wewenang MPR seperti perubahan UUD dan penetapan
garis-garis besar haluan negara, tidak ada kesatuan.Garis-garis besar haluan
negara ditetapkan dalam Maklumat Politik yang diumumkan pada tanggal 1 November
1945.Barulah pada tahun 1960 kita mengenal Ketetapan-ketetapan MPRS.
Seperti
saya katakan tadi, lampiran-lampiran yang merupakan perubahan UUD dapat pula
sewaktu-waktu dicabut kembali atau diubah, sama dengan yang berlaku pada
Konstitusi Amerika Serikat. Kita mengenal umpamanya Amandemen Nomor 18 yang
dicabut dengan Amandemen Nomor 21.
Konstitusi
RIS pun pernah diubah dengan tidak melalui prosedur yang ditentukan dalam
Konstitusi itu, yaitu dengan ditunjuknya empat orang pembentuk kabinet,
sedangkan dalam Konstitusi disebut harus tiga orang. Karena tindakan Presiden
ini dianggap syah, berarti dasar hukum yang dipergunakan bagi penunjukan itu
sudah berubah.
Begitu
pun ketentuan Konstitusi RIS mengenai penggabungan satu daerah bagian atau
bagian dari pada satu daerah bagian pada daerah bagian lain harus dilakukan
berdasarkan undang-undang.Tetapi pada tahun 1950, penggabungan dilakukan
berdasarkan Undang-undang Darurat.Sedangkan menurut Pasal 139 Konstitusi RIS,
yang dapat diatur dalam Undang-undang Darurat adalah penyelenggaraan
pemerintahan.Karena penggabungan semua daerah bagian kepada daerah bagian
Republik Indonesia pada tahun 1950 adalah syah, berarti Pasal 139 Konstitusi
RIS dianggap sudah berubah.Seperti kita ketahui, perubahan pada Konstitusi RIS
harus dilakukan dengan satu undang-undang yang ditetapkan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan Senat RIS.Rapat DPR dan Senat RIS dapat mengambil
keputusan mengenai perubahan Konstitusi kalau dihadiri oleh masing-masing
paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggota-anggotanya.Dan usul perubahan
ini harus disetujui oleh paling sedikit dua pertiga dari pada yang hadir.Dan
selanjutnya harus diundangkan dengan keluhuran.
Biarpun
perubahan-perubahan mengenai UUD 1945 yang dilakukan antara 1945 sampai dengan
1949 seperti saya katakan tadi dilakukan dalam bentuk peraturan yang
berbeda-beda, perubahan-perubahan itu dilakukan sesuai dengan UUD 1945.
Perubahan-perubahan itu senantiasa dilakukan atas dasar Aturan Peralihan Pasal
IV yaitu dasar wewenang Presiden dengan bantuan Komite Nasional mengubah UUD
sebelum MPR terbentuk. Hanya dalam bentuk peraturan apa dituangkan perubahan
itu, tidak ada ketentuannya dalam UUD 1945. Tetapi seperti saya katakan tadi,
dalam Konstitusi RIS bentuk peraturan ini tegas disebut. Saya berpendapat bahwa
perubahan pada Konstitusi RIS pun tidak
dapat dilakukan dalam batang tubuh Konstitusi ini, tetapi merupakan lampiran
dari pada Konstitusi ini. Seperti saya katakan tadi, perubahan pada UUD 1945
seperti juga pada perubahan Konstitusi Amerika Serikat dapat diubah lagi sesuai
dengan keadaan , berlaku pula terhadap perubahan pada Konstitusi RIS. Hal ini
secara khusus dicantumkan pula dalam UUD 1950 pada Pasal 140, tetapi dengan
prosedur yang sulit.Rencana perubahan UUD Sementara 1950 harus disetujui lebih dahulu
dengan undang-undang.Sesudah itu dibawa ke dalam Majelis Perubahan
Undang-Undang Dasar yang anggota-anggotanya terdiri dari pada seluruh
anggota-anggota DPR Sementara dan semua anggota-anggota Komite Nasional Pusat
yang tidak menjadi anggota DPR Sementara.
Waktu
DPR Sementara dibentuk yang anggota-anggotanya sesuai dengan Pasal 77 UUD
Sementara 1950 terdiri dari Ketua, Wakil-wakil Ketua, dan Anggota-anggota DPR
RIS; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-angota Senat RIS; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat; dan Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota-anggota Dewan Pertimbangan Agung; Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar
tidak dibentuk. Dan sampai UUD Sementara 1950 tidak berlaku lagi yaitu sejak 5
Juli 1959 tidak pernah Majelis ini terbentuk. Mengingat sejak 17 Agustus 1950
Komite Nasional Pusat sudah tidak ada lagi, maka timbullah persoalan apakah
masih mungkin dibentuk Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar, kalau tidsak
dibentuk segera sesudah terbentuk Negara Kesatuan, seperti dilakukan mengenai
DPR Sementara, mengingat dengan tidak adanya lagi Komite Nasional Pusat dengan
sendirinya tidak ada lagi anggota-anggota KNP. Dan tambah sukar lagi kalau
dibentuk sesudah terbentuknya DPR berdasarkan pemilihan umum.Karena dalam pasal
itu disebut sebagian anggota-anggotanya adalah anggota-anggota DPR Sementara.
Tegasnya, akan timbullah persoalan apakah anggota-anggota DPR yang tidak bersifat
sementara lagi boleh menjadi anggota-anggota Majelis Perubahan Undang-Undang
Dasar ini?
Mungkin
karena sukarnya untuk membentuk Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar ini, maka
Pemerintah bersama-sama dengan DPR tiap kali hendak mengubah UUD Sementara 1950
merasa cukup dengan undang-undang saja. Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal
95 yang mengatakan bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat lagi.
Kita
mengingat Undang-undang Nomor 37 Tahun 1953 yang memuat perubahan Pasal 77
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1957 yang
merupakan tambahan terhadap Pasal 45 UUD Sementara 1950.
Sebetulnya
di samping dengan melalui Dekrit Presiden masih ada lagi jalan yang dapat
ditempuh untuk kembali ke UUD 1945. Andaikata Pemerintah sesudah melihat
keadaan pada Konstituante bulan Mei 1959 mengajukan kepada DPR satu rencana
undang-undang mengenai perubahan Pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
menurut perhitungan pasti akan mendapat persetujuan. Mengingat mayoritas
angota-anggota DPR pada waktu itu pada pihak Pemerintah.
Perubahan-perubahan
itu adalah mengenai quarum Sidang
Konstituante dari sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang
menjadi sekurang-kurangnya separoh dari jumlah anggota sidang dan rancangan
disetujui kalau sekurang-kurangnya separuh jumlah suara angota yang hadir
menerimanya. Kalau Pasal 45 dan Pasal 77 boleh diubah, kenapa pula Pasal 137
tidak boleh diubah? Dan seperti saya sebut tadi, berdasarkan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1949 rapat-rapayt Komite Nasional Pusat boleh mengambil keputusan
mengenai perubahan UUD 1945 kalau dihadiri oleh separuh dari seluruh
anggota-anggotanya ditambah satu dan segala keputusan diambil dengan suara
terbanyak mutlak. Dengan diubahnya Pasal 137 itu, anjuran Pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, pasti akan diterima oleh Konstituante mengingat
yang setuju dengan anjuran Pemerintah itu dalam Konstituante merupakan
mayoritas mutlak.
Jalan
lain yang dapat ditempuh untuk mengubah UUD adalah dengan Peraturan Penguasa
Militer. Kita mengingat pada waktu itu Negara Republik Indonesia berada dalam keadaan
bahaya.
Pada
tahun 1957 sesudah negara ditetapkan dalam keadaan bahaya, Penguasa Militer
Pusat untuk kepentingan keamanan mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor
Prt/PM/09/1957 mengenai Kewarganegaraan. Sedangkan sesuai dengan UUD Sementara
1950 hal ini harus diatur dengan undang-undang.Pada tahun 1958 Penguasa Militer
Pusat membentuk satu panitia untuk merancang mengenai satu peraturan mengenai
pemerintahan daerah.Hasil Panitia ini tidak jadi dituangkan dalam satu
Peraturan Penguasa Militer.Yang penting bagi kita di sini adalah Penguasa
Militer demi keamanan mempunyai hak untuk mengatur hal yang seharusnya diatur
dalam undang-undang.Seperti kita ketahui, pemerintahan daerah menurut Pasal 131
UUD Sementara 1950 harus diatur dengan undang-undang. Kalau Pasal 137 UUD
Sementara 1950 dapat diubah dengan undang-undang, dengan melihat contoh-contoh
yang saya sebut tadi, pasal tersebut dapat pula diubah dengan Peraturan
Penguasa Militer demi keamanan negara.
Sidang
Umum IV MPRS yang diadakan mulai tanggal 21 Juni sampai dengan 5 Juli 1966
menurut saya juga mengadakan perubahan pada UUD 1945, yaitu Ketetapan MPRS
Nomor XV yang pada Pasal 9 menentukan kalau Presiden berhalangan maka Pemegang
Surat Perintah 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden (sebutan Pemegang Surat
Perintah 1 Maret 1966 sebetulnya tidak tepat, mengingat Surat Perintah itu
sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor IX). Pada Pasal 3 ditentukan
jika Presiden mangkat, berhentu, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya, MPRS segera memilih Pejabat Presiden yang bertugas sampai
dengan terbentuknya MPRS hasil Pemilkihan Umum.
Menurut
saya, Ketetapan MPRS Nomor XV ini merupakan tambahan pada Pasal 8 UUD
1945.Tambahan pada UUD adalah perubahan pada UUD.
Mengenai
sebutan Pejabat Presiden berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XV ini, pada kuliah
umum yang diadakan oleh Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) pada tahun 1967,
saya tidak menyetujui.Menurut saya, sebutan itu seharusnya Presiden. Dan alas
an saya waktu itu dapat diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa perkataan pejabat
pada Pasal 3 (Ketetapan MPRS Nomor XV –ed)
itu ditulis tidak dengan huruf besar. Memang, Presiden adalah satu jabatan.
Bukan orang.memilih pejabat Presiden berarti memilih orang yang akan menjabat Presiden.
Kalau pendapat saya ini dianut oleh MPRS, tentu tidak perlu ada Ketetapan MPRS
Nomor XLIV yang menetapkan Jenderal Soeharto, Pengembang Ketetapan MPRS Nomor
IX, menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 27 Maret 1968.
Dan
dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XLIV ini dapat kita mengambil kesimpulan
bahwa Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor XV sudah berubah.Begitu pun Pasal 2 sudah
pasti berubah, karena tidak mungkjin Presiden Soeharto kalau berhalangan dapat
menyerahkan kekuasaan untuk sementara kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret
1966. Dengan ditunjuknya Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin)
melakukan jabatan Presiden, waktu Presiden Soeharto baru-baru ini pergi ke luar
negeri, dapat kita mengambil kesimpulan bahwa dalam praktik (menurut hukum yang
tidak tertulis) Pasal 2 (Ketetapan MPRS Nomor XV –ed) ini sudah berubah.
Mungkin
sekarang ini dianggap tidak tepat untuk mengatur hal ini dalam satu
undang-undang atau satu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
seperti terjadi dengan Perppu Nomor 10 Tahun 1960 yang menentukan Menteri
Pertama melakukan jabatan Presiden kalau Presiden berhalangan. Andaikata hal
ini diatur dengan yang dilakukan pada tahun 1960 itu, tentu kita akan
mengatakan karena ini merupakan perubahan (tambahan) pada UUD 1945, maka harus
dilakukan dengan satu Ketetapan MPRS.
Begitupun
andaikata Komisi yang dibentuk dalam Sidang Umum V MPRS untuk merumuskan
hak-hak asasi manusia berhasil dengan tugasnya dan disyahkan oleh rapat pleno
MPRS, dengan demikian menjadi Ketetapan MPRS, maka hak-hak asasi manusia yang
tercantum dalam beberapa Pasal UUD 1945 bertambah.Tegasnya, dengan adanya
pengesahan itu, berubahlah UUD 1945.
Seperti
kita mengetahui, hasil Panitia Penyusun Perincian Hak-hak Asasi Manusia yang
dibentuk berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIV sudah disetujui oleh Badan
Pekerja MPRS.Dan selanjutnya harus disyahkan oleh sidang MPRS/MPR.Pada sidang
MPRS yang baru lalu, sesuai dengan prosedur persidangan, harus diputuskan dulu
oleh Komisi, sesudah itu baru dibawa ke rapat Pleno.
Begitupun
pendapat yang mengatakan sejak 5 Juli 1959 UUD 1945 adalah UUD yang bersifat
tetap, mencakup pengertian bahwa UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 sudah berubah,
yaitu Pasal 3. Tegasnya MPR tidak mempunyai hak lagi menetapkan UUD.Seperti
kita mengetahui, UUD 1945 hasil penetapan PPKI itu adalah UUD yang bersifat
sementara.Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 3, Aturan Tambahan, dan notulen
rapat PPKI.
Saya
tidak sependapat dengan MPRS yang mengatakan bahwa MPR nanti berhak menetaspkan
UUD sesuai Pasal 3 itu.Pendapat MMPRS itu dapat kita lihat pada Keputusan MPRS
Nomor 8/MPRS/1968 tentang Peraturan Tata Tertib MPRS. Penjelasan resmi mengenai
Pasal 1 pada alinea ke-2 berbunyi seperti berikut: “MPRS sebagai lembaga yang
memegang kekuasaan tertinggi, sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945,
berhak dan berwewenang pula menentukan garis-garis besar daripada segala
kegiatan kenegaraan, kecuali penetapan serta perubahan Undang-Undang Dasar.”
Dengan argumentum a contrario saya
mengambil kesimpulan bahwa MPR yang bersifat tidak sementara mempunyai hak
untuk menetapkan UUD, menggantikan UUD1945.
Hal
yang serupa pernah kita bertemu dalam Konstitusi RIS yaitu Pasal 122 yang mengatakan
bahwa DPR RIS yang bersifat sementara tidak berhak memaksa kabinet atau
masing-masing menteri meletakkan jabatan.Dengan argumentum a contrario kita mengambil kesimpulan bahwa DPR RIS yang
tidak bersifat sementara mempunyai hak untuk memaksa kabinet atau masing-masing
menteri meletakkan jabatan.
Saya
berpendapat bahwa UUD yang sekarang ini tidak dapat diganti lagi.Tegasnya MPR
tidak mempunya hak untuk menetapkan UUD seperti disebut dalam Pasal 3.Kita
menganut mengenai hal ini seperti yang dianut oleh Amerika Serikat.Perubahan
dapat saja sewaktu-waktu diadakan yang merupakan lampiran daripada UUD ini.
Perubahan-perubahan (amandemen) yang secara formal dilakukan oleh Kongres
Amerika Serikat sejak tahun 1789 sampai dengan tahun 1962 ada 24 buah, tetapi
bukan berarti yang Konstitusi Amerika Serikat berubah hanya dalam 24 amandemen
itu, mengingat adanya wewenang Supreme
Court (Mahkamah Agung --ed) untuk
menginterpretasikan Konstitusi yang dapat menimbulkan perubahan pada
Konstitusi. Umpamanya dengan ajaran implied
power Hamilton, Supreme Court
dapat menambah wewenang Pemerintah Federal seperti tersebut dalam Article 1
section 8 Konstitusi Amerika Serikat. Penambahan pada Konstitusi adalah
perubahan Konstitusi.
Kita
tidak menganut cara negara Perancis. Antara tahun 1789 sampai dengan tahun 1970,
Konstitusi Perancis berganti sebanyak 16 kali. Zaman Republik Perancis I (1792-1804) mengenal tiga konstitusi. Zaman
Republik Perancis II (1848-1852) satu konstitusi.Zaman Republik Perancis III
(1875-1940) satu konstitusi.Zaman Republik Perancis IV (1945-1958) satu
konstitusi sementara dan satu konsitusi tetap.Dan zaman Republik Perancis V
(1958-sekarang) satu konstitusi.Konstitusi Republik Perancis ini sesuai dengan
keadaan mengalami perubahan, antara lain Konstitusi zaman Republik IV telah
diubah pada tanggal 9 Desember 1954.Begitupun Konstitusi sekarang ini sudah
mengalami perubahan. Menurut Konstitusi, Presiden dipilih oleh satu Badan
Pemilih (electoral college). Setelah
diadakan perubahan, yaitu dengan referendum tanggal 25 Oktober 1962, Presiden
dipilih langsung oleh rakyat dalam satu pemilihan umum.
Uni
Soviet sudah mengenal tiga UUD, yaitu UUD Tahun 1918, UUD Tahun 1924, dan UUD
yang berlaku sekarang ini yaitu UUD Tahun 1936.
Kalau
kita teliti secara mendalam, masih ada beberapa Ketetapan MPRS yang memuat
perubahan pada UUD 1945, biarpun dalam Peraturan Tata Tertib yang saya kutip
tadi MPRS tidak mempunyai hak untuk mengubah UUD.
Kenyataan
ini menunjukkan, bagaimanapun juga UUD 1945 adalah sama dengan UUD negara-negara
lain. Sesuai dengan keadaan harus mengalami perubahan. Dan ini memang
diperkenankan oleh UUD 1945 pada Pasal 37 yang melalui argumentum a contrario dianut pula oleh MPRS seperti tersebut dalam
Peraturan Tata Tertib MPRS. Begitupun semua Negara di dunia setahu saya
menentukan di dalam UUD cara mengubah UUD-nya. Prosedur mengubah UUD termasuk
yang tidak terlalu ringan dan juga tidak teralu sulit.
Konstitusi
Inggeris (unwritten constitution)
dapat diubah dengan satu Parliament Act,
sama dengan mengubah satu Parliament Act yang
lain. UUD Uni Soeviet menurut Pasal 146 dapat diubah oleh Soviet Tertinggi
dengan persetujuan paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggota. Di Negeri
Belanda, perubahan harus ditetapkan lebih dahulu dalam wet segala usul untuk mengubah UUD, dan dengan tegas harus menunjuk
perubahan yang diusulkan. Dan selanjutnya harus dinyatakan bahwa untuk
mengadakan perubahan sebagaimana diusulkan itu ada dasarnya. Sesudah wet ini diundangkan, Staten-Generaal (Parlemen Belanda)
dibubarkan. Seperti kita mengetahui, wet
ditetapkan oleh Kroon bersama-sama
dengasn Staten-Generaal.
Staten-Generaal yang baru, mengambil keputusan menyetujui usul perubahan
itu kalau paling sedikit dua pertiga dari seluruh anggotanya menyetui.
UUD
Italia diubah dengan satu undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Italia
pada dua rapat berturut-turut.Dan rapat ini berantara waktu paling sedikit tiga
bulan serta disetujui oleh paling sedikit separuh dari seluruh
anggota.Perubahan UUD dapat diajukan kepada referendum rakyat.
Di
Amerika Serikat, usul perubahan harus disetujui oleh dua pertiga dari seluruh
anggota Senate dan House of Refresentatatives dan harus
diratifikasikan oleh Dewan-dewan Legislatif/konvensi-konvensi dari tiga
perempat Negara-negara Bagian. Atau dengan cara lain, yaitu Congress mengadakan satu konvensi untuk
mengusulkan perubahan konstitusi atas permintaan dua pertiga dari seluruh
Dewan-dewan Legislatif Negara-negara Bagian. Dan keputusan konvensi ini harus
diratifikasikan oleh Dewan-dewan Legislatif/konvensi-konvensi dari tiga
perempat Negara-negara Bagian.
Usul
pada UUD negara Jepang dilakukan oleh Diet
(Parlemen Jepang) dengan suara palign sedikit dua pertiga dari seluruh anggota
masing-masing kamar menyetujui.Usul ini disampaikan untuk disyahkan oleh rakyat
pada suatu referendum atau pada satu pemilihan yang diatur oleh Diet.
UUD
Republik Federal Jerman menganut ketentuan perubahan dapat dilakukan dengan
satu undang-undang yang disetujui oleh paling sedikit dua pertiga dari seluruh
anggota Bundesrat dan Bundestag.Perubahan ini dapat merupakan
perubahan pada batang tubuh UUD, dan dapat pula sebagai supplement dari pada UUD.
Beberapa
negara mengadakan ketentuan dalam UUD mengenai hal-hal yang tidak boleh diubah,
seperti kita lihat pada UUD Turki, UUD Perancis, dan UUD Italia, yaitu adanya
ketentuan bahwa sekali-kali tidak boleh diubah bentuk negara republik. Begituun
Konstitusi Amerika Serikat menentukan dalam Article
V bahwa tidak boleh diadakan amandemen sebelum tahun 1808 mengenai Article 1 section 9 ayat (1) dan ayat
(4), dan tidak boleh diadakan perubahan pada konstitusi sehingga satu negara
tanpa persetujuannya kehilangan haknya untuk mempunyai perwakilan yang sama
dalam senat.
Biarpun
dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan mengenai adanya larangan untuk mengubah
beberapa hal dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945, saya berpendapat
mengingat sejarah terbentuknya UUD ini dan adanya konsensus nasional yang dapat
kita anggap berlaku sekarang ini, memang ada hal-hal yang tidak boleh diubah.
Yang
pertama-tama adalah dasar (filsafat)
negara yaitu Pancasila. Seperti kita mengetahui, dasar negara ini adalah
hasil persetujuan antara semua golongan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan akhirnya dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang menetapkan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945.
Yang
kedua adalah tujuan negara.Seperti
saya katakan tadi, negara adalah satu organisasi.Organisasi ini diadakan untuk
mencapai tujuan yang tertentu.Negara Republik Indonesia didirikan oleh rakyat
untuk mencapai tujuan seperti tercantum dalam Pembukaan UUD.
Yang
ketiga adalah asas negara hukum.Asas
ini dapat kita lihat pada Pembukaan UUD dan lebih tegas lagi dalam Penjelasan
UUD.Pada tahun 1945 kita mendirikan negara hukum.Bukan negara kekuasaan.
Yang
keempat adalah asas kedaulatan rakyat.Asas
ini tercantum dalam Pembukaan UUD.Kita membentuk negara di mana rakyat
mempunyai kekuasaan tertinggi.Pendapat dan keinginan rakyatlah yang harus
menjadi pedoman penguasa dalam melakukan tugasnya.
Yang
kelima adalah asas kesatuan. Pada
tahun 1945, sebelum Proklamasi Kemerdekaan, pada sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan maupun
dalam masyarakat ramai dipersoalkan apakah negara yang akan kita bentuk itu
Negara Kesatuan atau Negara Federal? Akhirnya dicapai satu persetujuan bahwa
yang diinginkan adalah Negara Kesatuan.
Yang
keenam adalah asas republik.Dalam
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan maupun dalam masyarakat pada
waktu merupakan persoalan, karena adanya orang—orang yang menginginkan bentuk
negara kerajaan.Dan soal ini sudah selesai pada waktu itu. Andaikata sekarang
ini maupun kemudian hari ada orang-orang yang menginginkan negara kerajaan,
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan seorang calon raja. Saya kira lama
kelamaan di seluruh dunia ini akan hilang bentuk negara kerajaan. Yang sudah
pasti, tidak akan bertambah lagi negara-negara kerajaan yang sekarang ada.
Menurut
pendapat saya, kalau salah satu hal yan saya sebut tadi diubah, maka negara ini
tidak sesuai lagi dengan negara yang kita inginkan pada tanggal 17 Agustus
1945.Kalau dasar (filsafat) negara dan dan tujuan negara diubah dapat kita
malahan mengatakan bahwa negara ini bukan lagi negara yang kita proklamirkan
pada 17 Agustus 1945.Dan hal ini berlaku juga terhadap organisasi manapun
juga.Tujuan dan dasar satu organisasi merupakan eksistensi organisasi itu.
Apakah
Negara Republik Indonesia harus menganut sistem presidentiil atau sistem
parlementer, menurut pendapat saya merupakan persoalan yang tidak prinsipiil.
Kita mengingat sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia antara tanggal 14 November 1945 sampai 17
Agustus 1950. Memang kita kembali ke UUD 1945 antara lain adalah karena UUD
Sementara 1950 menganut sistem parlementer yang menimbulkan tiap kali
pergantian kabinet. Kita menginginkan suatu pemerintahan yang stabil.Berdasarkan
UUD Sementara 1950 menteri-menteri sendiri-sendiri atau pun bersama-sama
(kabinet) bertanggungjawab kepada DPR, dalam arti kalau pertanggungjawaban itu
ditolak, maka menteri yang bersangkutan atau kabinet harus meletakkan jabatan.Pertanggungjawaban
ini adalah mengenai kebijaksanaan menteri atau kabinet yang berhubungan dengan
tugasnya (pertanggungjawaban politik).
Apakah
sungguh-sungguh UUD 1945 menganut sistem presidentiil? Menurut Penjelasan
Undang-Undang Dasar, Presiden adalah mandataris MPR dan harus bertanggungjawab
kepada MPR. Bertanggungjawab di sini dalam arti yang luas. Artinya kalau
pertanggungjawaban Presiden ini ditolak, maka ia harus meletakkan jabatan.
Dengan demikian, biarpun menurut UUD 1945 masa jabatan Presiden adalah lima
tahun, bukan berarti yang ia akan memegang jabatan selama lima tahun. Karena
mungkin ia baru memegang jabatan satu tahun, sudah mendapat mosi tidak percaya
dari MPR. Dengan demikian ia harus meletakkan jabatan.
Seperti
kita mengetahui, selama UUD Sementara 1950 yang menganut dengan tegas sistem
parlementer itu berlaku yaitu sejak 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959
belum pernah ada menteri atau kabinet yang jatuh karena mosi tidak percaya DPR
(parlemen). Baru sejak UUD 1945 berlaku yaitu tanggal 5 Juli 1959 pernah
Pemerintah jatuh atas keputusan MPRS.Kita mengingat jatuhnya Presiden Sukarno
dengan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967.Berdasarkan UUD Sementara 1950,
Kabinet (Pemerintah) dapat dijatuhkan oleh DPR (Parlemen); sedangkan berdasarkan
UUD 1945, Presiden (Pemerintah) dapat dijatuhkan oleh MPR.Memang DPR
berdasarkan UUD 1945 tidak mempunyai hak untuk menuntut agar Presiden
meletakkan jabatan.Tetapi yang pokok di sini bukan mana yang punya
wewenang.Yang pokok adalah menurut sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden
harus bertanggungjawab dalam arti luas kepada MPR.
Di
Amerika Serikat yang menganut dengan tegas sistem presidentiil, tidak mungkin
seorang Presiden jatuh karena kebijaksanaan politiknya. Senat Amerika Serikat
memang dapat menjatuhkan hukuman kepada Presiden berupa pemecatan (jika
Presiden) melakukan kejahatan yang tertenu sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Konstitusi Amerika Serikat Article II section 4. Tuduhan dilakukan oleh House of Refresentatives.
Menurut
pendapat saya, dengan berpegang teguh kepada enam hal yang saya sebut tadi,
yaitu hal-hal yang tidak dapat diubah, kita dapat mengadakan perubahan pada
tata Negara kita.
Kedaulatan
rakyat haruskah yang melakukannya satu majelis yang bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau oleh satu majelis dengan nama lain, menurut
pendapat saya tidak merupakan hal yang prinsipiil. Dan kenapa hanya MPR yang
melakukan kedaulatan rakyat, dapat dipersoalkan. Melihat dari namanya dan cara
pembentukannya, apakah Dewan Perwakilan Rakyat tidak pantas pula disebut satu
majelis yang melakukan kedaulatan rakyat.
Sampai
sekarang, menurut saya pengertian “MPR melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya”
masih menjadi persoalan.Bagi saya, seperti saya katakana tadi, pengertian tugas
melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya adalah tugas yang bersifat umum yang
diperinci dalam 4 tugas dan ditambah dengan tugas-tugas lain sebagai akibat
logis dari empat tugas tadi.Yang terang sesuai dengan UUD1945, MPR tidak berhak
menetapkan berapa anggota-anggota MPR selain anggota-anggota DPR yang dengan
sendirinya menjadi anggota MPR.Hal ini harus ditetapkan dalam
undang-undang.Jadi oleh Presiden bersama-sama dengan DPR.
Memang
ada ahli-ahli yang mengatakan bahwa ini adalah atas kehendak MPR, karena yang
menetapkan UUD adalah MPR.Jadi, MPR mengikatkan dirinya dengan sukarela (selbstbindung) pada keputusan Presiden
dan DPR.Begitupun mengadili adalah wewenang Mahkamah Agung dan
Pengadilan-pengadilan lainnya.MPR tidak mempunyai hak.Ini pun tentu mereka
katakana karena adanya selbstbindung dari
MPR.Dengan demikian, andaikata MPR pada satu waktu tidak mau terikat kepada keputusan
Presiden dan DPR, atau kepada putusan Mahkamah Agung, MPR dapat mengubah
keputusan tersebut.Ini mecakup pengertian bahwa Presiden dan DPR, maupun
Mahkamah Agung bertanggungjawab kepada MPR.
Kalau
pengertian mengenai melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya adalah demikian,
menurut saya lebih baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung adalah
anggota-anggota MPR. Dewan Perwakilan Rakyat lebih baik ditiadakan dan diganti
dengan Badan Pekerja MPR yang mempunyai tugas seperti Badan Pekerja MPRS
ditambah dengan tugas membuat undang-undang bersama-sama dengan Presiden, dan
tugas-tugas yang lain yang dimiliki oleh DPR sekarang ini.
Dalam
UUD Sementara 1950 kita kenal pada Pasal 133 Badan Pekerja Konstituante yang
melakukan tugas DPR sebelum badan ini terbentuk.Memang Badan Pekerja
Konstituante seperti yang dimaksud oleh pasal itu tidak pernah terbentuk karena
DPR lebih dahulu dibentuk daripada Konstituante.Banyaknya anggota-anggota Badan
Pekerja MPR ditetapkan umpamya dua perlima dari seluruh anggota MPR yang
dipilih dari dan oleh MPR.
Ketua
dan Anggita-anggota Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas persetujuan MPR.Begitupun Dewan Pertimbangan Agung lebih baik ditiadakan
dan diganti dengan satu Panitia yang dipilih dari dan oleh MPR. Dengan demikian
nasihat yang diberikan oleh Panitia ini kepada Pemerintah akan mempunyai
kewibawaan mengingat Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR. Tentu saja
sama dengan Panitia Penguji Hukum yang saya sebut tadi, senantiasa harus
didampingi oleh ahli-ahli yanhg sesuai dengan bidangnya.
Selanjutnya
kalau kita tokh ingin menganut sistem presidentiil secara tegas, lebih baik
diubah saja cara pemilihan presiden. Tidak dipilih lagi oleh MPR tetapi dipilih
secara langsung olerh rakyat.Dengan demikian presiden tidak harus
bertanggungjawab lagi kepada MPR dalam arti luas.Dan dengan demikian ada
jaminan kestabilan pemerintah.Seperti kita mengetahui, sistem pemilihan
presiden Amerika Serikat pun sedang direncanakan untuk diubah dari bertingkat
ke sistem langsung dipilih oleh rakyat. Dengan demikian akan mengubah
konstitusi.
Pada
peristiwa yang bagi saya sangat besar ini, izinkanlah saya pertama-tama
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Republik
Indonesia dan Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia akan
pengangkatan saya sebagai Guru Besar Ilm Tata Negara pada Fakultas Keguruan
Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.
Terima
kasih saya ucapkan pula kpada Rektor IKIP Yogyakarta yang mengusulkan
pengangkatan saya menjadi Guru Besar.
Dan
kepada Senat IKIP Yogyakarta juga saya ucapkan terima kasih akan keputusannya
yang bijaksana menyetujui pengangkatan saya menjadi Gurur Besar. Dan pada
tempatnya pula saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman saya sekerja
pada FKIS yang selama ini memberikan bantuan kepada saya sehingga saya dapat
melakukan tugas saya dengan baik sehingga dapat diangkat menjadi Guru Besar.
Pada
ksempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua guru-guru saya yang
telah mendidik dan mengajar saya.Mudah-mudahan Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada mereka senantiasa.
Pada
kesempatan ini saya memohon kepada Allah subhanahu
wa ta’ala agar mengampuni dosa Almarhumah Ibu dan almarhum Ayah saya, Sutan
Pangurabaan. Dan bersama ini pula saya memohon agar Allah subhanahu wa ta’ala mengasihi mereka sebagaimana mereka mengasihi
saya waktu saya masih kecil.
Kepada
kakak-kakak saya, bersama ini pula saya mengucapkan terima kasih akan bantuan
dan bimbingan yang mereka berikan kepada saya sejak kecil sampai sekarang ini.
Dan khusus kepada kakak-kakak saya yang sudah meninggal dunia, Almarhum Sanusi
Pane dan Almarhum Armijn Pane, saya memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar segala dosa mereka diampuni dan agar
mereka dimasukkan ke dalam sorga.
Dan
selanjutnya terima kasih saya kepada isteri saya yang mendampingi saya selama
ini.
Terima
kasih.[]
DAFTAR BACAAN
Apeldoorn, Prof. Mr. R., Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk
Willink, Zwolle, 1954.
Baharuddin, Z, Menjongsong
Lahirnja Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi Tudjuh Negara sebagai Bahan
Perbandingan, Tinta Mas, Jakarta, 1957.
Bolter, Albert, The
Soviet Legal System Studies on The Soviet Union, Volume VII, No. 2, 1967,
Institute for the Study of the USSR, Munich, 1967.
Gouw Giok Siong, Prof. Mr. Dr., Warga Negara dan Orang2 Asing, Penerbit Keng Po, Jakarta, 1958.
Kementerian Penerangan, Res Publica Sekali Lagi Res Publica! Amanat Presiden kepada Sidang
Pleno Konstituante di Bandung 22 April 1959, Jakarta, 1959.
Kirichenko, SA. Denisof M., Soviet State Law, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1960.
Koesnoprodjo, Himpunan
Undang2 Penetapan2 Peraturan2 Pemerintah Republik Indonesia 1945, S.K.
Seno, Jakarta, 1951.
___________, Himpunan Undang2 Penetapan2 Peraturan2 Pemerintah
Republik Indonesia 1949, Cetakan Pertama.
Kranenburg Prof. Mr. R., Infleiding in de vergelijkende Staatrechtswetwnschap, H.D. Tjeenk
Willink & Zoon N.V., Haarler, 1950.
Logeman Dr. J.H.A., Over de theory van een stellig staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954.
Pane, Lafran, Wewenang
MPR, Penerbit UII, Yogyakarta, 1960.
Pantjuran Tudjuh, Himpunan
Ketetapan-Ketetapan MPRS disertai Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 1969.
Polak Mr. M. V., Schets
van het Amerikaansche, Uniestaatresht Universitaire Pers, Leidep, 1946.
Pot Prof. Mr. C.W. van der, Handboek van het Nederlandse Staatsrecht, W.E.J. Tjeenk Willink,
Zwolle, 1953.
Sayre, Wallace S, American
Government, Baners & Noble Inc, New York, 1966.
Wede E.C.S and Philips G. Govrey, Constitutional Government, Littlefield Adams & Co, Paterson,
1963.
Witman, Shepherd R, and Wuest, John J., Comparative Government, Littlefield,
Adams & Co, Paterson, 1963.
Yamin, Mr. Muhammad, Konstituante Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1950.
Zevenbergen, Mr. Willem, Formeele Encyclopaedie der Rechwetwnschap, Gerb. Belinfante, ‘s
Gravenhage, 1925.
Sumber tulisan: Pidato diucapkan pada peresmian penerimaan jabatan
Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu
Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIS-IKIP) Yogyakarta, di
Yogyakarta, pada hari Kamis tanggal 16 Juli 1970. Lafran Pane diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia sebagai Guru Besar dalam Ilmu Tata Negara pada
FKIS-IKIP Yogyakarta mulai tanggal 1 Desember 1966.
1 komentar:
Alhamdulillah kang,..seneng bacanya sukses terus buat karir nya,semoga sukses dunia akhirat...Aaminnn
Posting Komentar