3
Memurnikan Pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945
NEGARA
Republik Indonesia didirikan oleh rakyat dan untuk rakyat yang ingin hidup
berbahagia, yang ingin terpenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil dan spirituilnya.
Ini
hanya bias tercapai dalam masyarakat adil dan makmur, oleh sebab itulah
masyarakat adil dan makmur inilah tujuan negara kita.
Kita
antipenjajahan, karena kita telah mengalami bagaimana pahitnya hidup dalam alam
penjajahan. Dan tidak bias terbentuk masyarakat adil dan makmur dalam alam
penjajahan. Kita ingin agar senantiasa ada perdamaian di dunia ini, ingin agar
seluruh manusia hidup dalam ketenangan. Tidak ada satu bangsa yang
mengeksploitir bangsa lain, tidak ada orang yang mengisap orang lain.
Pendeknya
kita menginginkan agar seluruh manusia hidup dalam keadilan dan kemakmuran.
Kita
susun negara Republik Indonesua dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
menurut kita dengan susunan demikianlah tujuan negara Republik Indonesia paling
mudah dapat tercapai. Negara adalah satu organisasi untuk mencapai tujuan yang
tertentu.Pada tiap organisasi senantiasa ada pembagian tugas dan
wewenang.Organisasi ini tergambar dalam UUD 1945.Dalam UUD ini ditetapkan
adanya jabatan-jabatan.Tiap-tiap jabatan ditentukan batas tugas dan wewenangnya,
dan keseluruhan jabatan-jabatan ini tugasnya adalah untuk mencapai tujuan
organisasi.
Kalau
satu pejabat bertindak tidak sesuai dengan wewenang jabatan yang ia wakili,
maka ia dikatakan bertindak bertentangan dengan hukum yang berlaku, UUD adalah
sumber hukum yang tertinggi pada negara Republik Indonesia ini. Negara Republik
Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat.Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi.Kehendak dan pendapat rakyatlah yang menjadi pedoman
tindakan-tindakan penguasa.Isi UUD harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat
yang mempunya kekuasaan tertinggi tadi.Dan kesadaran hukum rakyat ini
berubah-ubah sesuai dengan pengaruh-pengaruh yang dialaminya.
Kesadaran
hukum rakyat, yaitu kesadaran mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak
seharusnya, dipengaruhi oleh faktor-faktor agama, faktor-faktor ekonomi,
faktor-faktor politik, dan lain-lain.
Kesadaranhukum
rakyat diketahui melalui partai-partai politik, organisasi-organisasi massa,
dan lain-lain. Dalam negara Republik Indonesia sesuai dengan perkembangan
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang tumbuh dari rakyat juga adalah
saluran kesadaran hukum rakyat.
Seperti
saya katakan tadi, antara lain faktor politik mempengaruhi kesadaran hukum
rakyat pada satu waktu dan dengan sendirinya kalau dalam masyarakat timbul bermacam-macam
pendapat maka yang menentukan satu peraturan atau baik tidaknya satu tindakan
tergantung pada pendapat yang paling kuat dukungannya.
Dan
dengan sendirinya pendapat-pendapat ini tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila atau menyeleweng dari Pancasila yang merupakan dasar daripada negara
Republik Indonesia ini.
Kita
kembali ke UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959, karena isi UUD Sementara 1950 tidak
memuat norma-norma hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat dalam
lapangan ketatanegaraan. Hal ini ternyata dengan pendapat semua golongan dalam
Konstituante pada tahun 1959, waktu Presiden Republik Indonesia menganjurkan
kepada Konstituante agar menerima UUD 1945 sebagai UUD seperti tersebut dalam
UUD Sementara 1950 pasal 134.
Pada
waktu itu tidak ada golongan yang ingin agar UUD Sementara 1950 kita
pertahankan.Semua setuju kembali ke UUD 1945.
Perbedaan
paham waktu itu hanya mengenai penempatan Piagam Jakarta di dalam tubuh UUD
1945 atau di luar UUD 1945.Satu golongan menghendaki di dalam tubuh UUD 1945.
Artinya khusus mengenai penempatan Piagam Jakarta harus diadakan perubahan pada
UUD 1945, yaitu penempatan perkataan: hukum Syari’at Islam berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya sesudah perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pembukaan UUD
1945 dan pada Pasal 29 ayat 1. Golongan lain menghendaki jangan diadakan sama
sekali perubahan pada tubuh UUD 1945. Golongan ini setuju Piagam Jakarta
ditempatkan di luar tubuh UUD 1945, umpamanya sebagai lampiran UUD.Karena tidak
ada persesuaian paham, maka gagallah Konstituante menyetujui anjuran Presiden
untuk kembali ke UUD 1945.
UUD
Sementara 1950 sejak mulai berlaku, yaitu sejak tanggal 17 Agustus 1950,
menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan terutama karena sistem kabinet
parlementer yang dianut oleh UUD Sementara itu.
Kabinet
senantiasa harus terdiri dari beberapa partai yang mempunyai program yang
berbeda dan, mungkin mengenai beberapa hal, bertentangan.
Program
kabinet merupakan perpaduan dari program partai-partai tersebut.Dan dalam
pelaksanaannya masing-masing menteri bertindak biasanya sesuai dengan pendapat
partainya yang kadang-kadang berbeda dengan pendapat kabinet.
Menteri-menteri
itu harus memperhatikan keinginan partainya, karena kalau tidak, mungkin ia
dityarik dari kabinet. Dan biar punia tiak ditarik dari kabinet, mungkin
menyebabkan partainya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak akan memberikan
dukungannya lagi kepada kabinet yang mungkin bisa mengakibatkan kabinet itu
jatuh.
Sungguh
pun dalam sejarah UUD Sementara 1950 belum pernah satu kabinet jatuh karena
mosi tidak percaya dari DPR, satu kenyataan adalah bahwa tiap-tiap kabinetyang
mengembalikan mandatnya kepada Presiden selalu akibat kekhawatiran tidak
cukupnya dukungan dalam DPR dengan ditariknya beberapa menteri oleh satu partai
pendukung kabinet.
Satu
pengecualian kita ingat saat jatuhnya Kabinet Ali
Sastroamidjojo-Wongsonegoro-Zainul Arifin (1953-1955) yaitu karena kurangnya
kewibawaan.Karena Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) baru yang diangkat oleh kabinet
ini tidak dapat melakukan tugasnya, karena diboikot oleh Angkatan Darat.
Seperti
kita mengetahui biar pun DPR sebelum bulan Maret 1956 masih bersifat sementara,
karena belum dibentuk berdasarkan pemilihan umum, DPR ini mempunyai wewenang
sama dengan DPR yang dibentuk dengan pemilihan umum, antara lain yaitu membuat
undang-undang bersama-sama dengan Pemerintah. Dan Pemerintah bertanggungjawab
kepada DPR.Kalau kebijaksanaan Pemerintah tidak disetujui oleh DPR, maka
Pemerintah harus meletakkan jabatan.
Akibat
dari sistem ini, harus diadakan tawar menawar antara beberapa partai dalam
membentuk kabinet berhubung dalam DPR tidak ada satu partai yang mempunyai
anggota lebih dari separuh.
Malahan
sebelum bulan Maret 1956, baru dapat satu kabinet terbentuk, kalau didukung
oleh paling sedikit 4 partai politik/fraksi dalam DPR, sehingga 1 kursi dalam
DPR bias menghasilkan 1 kursi dalam kabinet.
Tawar
menawar antara partai-partai politik tidak hanya mengenai kursi-kursi dalam kabinet,
juga tawar menawar mengenai jabatan-jabatan lain di dalam maupun di luar
negeri.Dan malah sampai tawar menawar mengenai lisensi-lisensi istimewa untuk
mengimpor barang-barang.
Meihat
sistem kabinet parlementer sangat merugikan rakyat, pernah satu partai politik
yang tidak duduk dalam kabinet mengajukan usul kepada Presiden (Sukarno –ed) agar mengambil over kekuasaan. Artinya agar Presiden sudi menjadi Kepala
Pemerintahan.Tegasnya agar diberlakukan kembali sistem kabinet presidentiil.
Menurut
ingatan saya, usul ini diajukan pada tahun 1954 atau 1955.Presiden pada waktu
itu menolak.Beliau ingin tetap setia kepada UUD Sementara 1950 dan beliau
adalah presiden konstitutionil.
Malahan
beberapa sarjana pada waktu itu mengajukan pendapat bahwa dapat saja dibentuk
satu kabinet yang tidak usah bertanggungjawab kepada DPR karena dalam UUD
Sementara 1950 Pasal 83, pertanggungjawaban kepada DPR tidak disebut dengan
tegas.
Dus,
bisa juga bertanggungjawab kepada Presiden.
Biar
pun Presiden, seperti beliau katakan adalah presiden konstitutionil, maksudnya
presiden yang tidak bertanggungjawab mengenai pemerintahan, dan yang bertanggungjawab
adalah kabinet, selalu juga kabinet mengalami kesulitan antara lain kalau
Presiden mengatakan dalam suatu pidato yang tidak sesuai dengan pendapat kabinet.
Dalam negara bersistem kabinet parlementer yang mempertanggungjawabkan pidato
Presiden adalah kabinet/menteri yang bersangkutan.
Kalau
saya tidak salah, pernah terjadi dalam satu pidato Presiden menjanjikan akan
diturunkannya harga buku-buku pelajaran. Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PPK) pada waktu itu adalah Muhammad Yamin, S.H. dengan sendirinya
harus melakukan ini, biar pun mungkin pada waktu itu tidak sesuai dengan
politik pemerintah.
Dan
kesulitan lain yang saya ingat adalah yang dialami Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap. Kabinet memutuskan secara sepihak perjanjian dengan Belanda mengenai Unie-Statut dengan
lampiran-lampirannya.DPR Sementara pada waktu itu menyetujui rencana
undang-undang (RUU) yang diajukan oleh Kabinet Burhanuddin.Sesudah itu, sesuai
dengan ketentuan dalam UUD Sementara 1950 diperlukan pengesahan dari Pemerintah
(Presiden dengan menteri yang bersangkutan).
Waktu
diminta tanda tangan, Presiden menjawab bahwa beliau belum sanggup memberikan
tanda tangan, sebelum Mahkamah Agung memutuskan apakah rapat DPR Sementara yang
menyetujui RUU itu syah apa tidak. Kabarnya Mahkamah Agung berpendapat rapat
DPR Sementara yang menyetujui RUU itu adalah syah.
Akan
tetapi Presiden toh terus menerus menunda penandatanganan RUU itu sehingga
terbentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo-Mohamad Roem-Idham Chalid.Kabinet mengajukan
kembali RUU mengenai pembatalan semua hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
berlaku surut sampai dengan 15 Februari 1956, sama dengan tanggal yang diajukan
oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Dan Presiden menandatangani RUU ini.
Seperti
kita ketahui, penandatanganan satu RUU tidak termasuk dalam salah satu hak-hak
prerogative Presiden seperti tercantum dalam Pasal 85 UUD Sementara 1950.
Jadi,
yang mempertanggungjawabkan penandatanganan ini adalah menteri yang
bersangkutan. Dengan begitu, tidak ada alas an bagi Presiden untuk menunda atau
menolak secara halus penandatanganan satu RUU.
Sesudah
pmilihan umum, pertentangan antara partai-partai tidak mereda, malahan
menjadi-jadi, sehingga antara lain pada tanggal 28 Oktober 1956 di Bandung
Presiden menyebut hal ini sebagai “penyakit kepartaian” dan beliau menganjurkan
“marilah kita pada saat sekarang ini bersama-sama menguburkan partai-partai.”
Biarpun
DPR sudah dibentuk dengan pemiliha umum, tapi rupanya belum juga dapat dibentuk
kabinet yang stabil.Kabinet Ali-Roem-Idham tidak sampai 1 tahun umurnya, karena
salah satu partai yang mendukungnya menarik diri dari kabinet dengan alas an
tidak menyetujui kebijaksanaan kabinet.
Dengan
jatuhnya Kabinet Ali II ini, maka terbentuklah Kabinet Karya yang dipimpin oleh
Perdana Menteri (PM) Ir. H. Djuanda yang dibentuk oleh Presiden.Presiden
Sukarno pada waktu itu menunjuk warga negara Bung Karno menjadi formatur kabinet.Beberapa
sarjana pada waktu itu berpendapat bahwa penunjukan formatur ini melanggar UUD
Sementara 1950.Dan belum pernah terjadi dalam sejarah negara-negara yang
bersistem kabinet parlementer.Dan juga pembentukan Dewan Nasional oleh Kabinet
Karya sesuai dengan Konsepsi Presiden, dianggap oleh golongan oposisi
bertentangan dengan UUD Sementara 1950. Menurut mereka, tidak boleh alat-alat
perlengkapan negara ditambah, karena Pasal 44 UUD Sementara 1950 menyebut
alat-alat perlengkapan negara secara limitative.
Kita
sebetulnya sejak permulaan tahun 1957 sudah berada dalam alam UUD 1945, dengan
terbentuknya kabinet oleh Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional yang
mempunyai wewenang sama dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ditambah lagi
dengan dianutnya pendapat bahwa Surat Keputusan Presiden yang menetapkan negara
dalam keadaan bahaya adalah syah biarpun pada waktu itu kabinetsudah demosioner
dan PM Ali Sastroamidjojo menandatanganinya dalam keadaan demisioner. Dengan
demikian PM Ali dan kabinetnya tidak mungkin mempertanggungjawabkan Surat
Keputusan ini.Dengan demikian yang menentukan adalah tanda tangan Presiden.
Dan kabinet
yang dibentuk olh Presiden, biar pun Perdana Menterinya adalah Ir. Djuanda,
tentu tidak bisa lepas dari Presiden. Saya dapat samakan kabinet ini dengan kabinet
Hatta pada tahun 1948.
Oleh
sebab itu, waktu ada usul agar Kabinet Karya diresafel, Ir. Djuanda menjawab
bahwa hal itu tergantung kepada Presiden.Ucapan PM Djuanda ini tidak sesuai
dengan sistem yang dianut oleh UUD Sementara 1950.
Pengresafelan
(resafel –ed)kabinet adalah urusan
PM. Bukan urusan formatur kabinet. Memang dalam pasal 51 ayat (5) disebut bahwa
pengangkatan maupun penghentian menteri antara waktu dilakukan dengan Keputusan
Presiden.Tetapi karena Keputusan Presiden itu harus ditandatangani oleh Perdana
Menteri, maka dengan sendirinya Perdana Menterilah yang menentukan kemungkinan
resafel kabinet ini.
Akhirnya
pengresafelan kabinet dilakukan oleh Presiden sesudah menggodoknya beberapa
lama.
Andaikata
Presiden menyetujui usul partai oposisi pada tahun 1954 atau 1955 yang saya
sebut di atas, kita sudah sejak tahun-tahun itu berada lagi dalam sistem
kabinet presidentiil yang merupakan unsur pokok dari pada UUD 1945.
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yangf menetapkan UUD 1945
berlaku kembali, saya termasuk orang yang merasa sangat lega. Dan pada waktu
itu saya berpendapat bahwa Presiden telah melakukan tindakan yang sangat
bijaksana dengan memperpadukan dua pendapat yang bertentangan dalam
Konstituante yang mengakibatkan gagalnya Konstituante menyetujui Anjuran
Presiden kembali ke UUD 1945.
Dengan
ditempatkannya ketentuan mengenai Piagam Jakarta dalam bagian konsiderans
Dekrit dan yang menurut saya menjadi sebagian daripada Penjelasan Resmi UUD
1945 dan dengan demikian dapat dipergunakan sebagai dasar hukum
perundang-undangan mengenai hukum syariat Islam, maka terpenuhilah kehendak
satu golongan dalam Konstituante dan kehendak golongan lain juga terpenuhi
karena Piagam Jakarta tidak dimasukkan dalam tubuh UUD tetapi di luarnya.
Dan
pada waktu itu saya menganggap bahwa Dekrit Presiden adalah lebih progresif
daripada Rancangan Piagam Bandung dan segala hal yang diajukan oleh Presiden
dalam Konstituante, antara lain dengan segera dibentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dalam
Rancangan Piagam Bandung disebut pada nomor 3 seperti berikut: “Sebelum MPR dan
DPA dibentuk menurut UUD, kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan
menteri-menteri, yang diangkat selekas-lekasnya menurut UUD, beserta DPR yang
ada pada waktu ini, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUD mengenai
DPR.”
Dan
dalam pokok pikiran keenam (lihat halaman 42 Respublica Sekali Lagi Respublica), Presiden mengatakan bahwa
segera akan ditetapkan Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang rancangannya
sedang disiapkan oleh Kabinet Karya. Setelah ada undang-undang tersebut maka
akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk DPR. Sesudah DPR dibentuk, segera
akan mengajukan RUU mengenai pembentukan MPR dan DPA. Sesudah itu MPR dan DPA
terbentuk.
Dan
pada pokok pikiran ketujuh disebut bahwa sesudah MPR terbentuk akan memilih
Presiden dan Wakil Presiden.
Sebelum
ada Presiden berdasarkan UUD 1945, maka Bung Karno adalah Presiden Republik
Indonesia berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II.
Sesuai
dengan jawaban Pemerintah atas pandangan umum Konstituante tanggal 21 Mei 1959,
maka menurut perhitungan Pemerintah pemilihan anggota-anggota DPR akan diadakan
pada bulan September 1960. Dan DPR akan dilantik pada bulan Maret 1961, dan MPR
akan terbentuk kira-kira pada tahun 1962.
Dan
sesuai dengan penjelasan Pemerintah kepada DPR tanggal 2 Maret 1959, DPR tetap
melakukan tugasnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II.
Dengan
demikian sesuai dengan Rancangan Piagam Bandung, menurut saya, dalam masa
peralihan, kekuasaan MPR dan DPA akan dilakukan oleh Presiden bersama-sama
dengan DPR. Dan Presiden dalam hal ini dengan sendirinya dibantu oleh
menteri-menteri.
Tugas
DPR tetap dilakukan oleh DPR yang ada pada waktu itu sesuai dengan Aturan
Peralihan II.Begitupun tugas Presiden tetap dilakukan dengan bandiajukantuan
menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden sesudah Kabinet Karya meletakkan
jabatan (6 Juli 1959).
Menurut
pikiran saya, MPRS dan DPAS yang segera dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden
adalah badan-badan yang melakukan masing-masing wewenang MPR dan DPA sebelum
badan-badan ini terbentuk. Dan badan-badan ini akan dibentuk bersama-sama
dengan DPR yang ada pada waktu itu.
Pada
waktu itu saya mengira bahwa hasrat Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 yang
diajukan kepada Konstituante dengan mengajukan beberapa pokok-pokok pikiran dan segala penjelasan-penjelasannya
masih dipegang teguh oleh Presiden sesudah tanggal 5 Juli 1959. Menurut saya,
jarak antara bulan Februari, Maret, April, dan Mei 1959 dengan bulan Juli 1959,
tidak begitu jauh.
Dekrit
Presiden menurut saya tidak bisa dilepaskan dari ucapan-ucapan Pemerintah di
dalam Konstituante dan DPR pada bulan-bulan tersebut.Dan hal ini juga ternyata
dengan ucapan Presiden dalam Konsideran Dekrit yang menghubungkan Dekrit ini
dengan amanat Presiden tanggal 22 April 1959 kepada Konstituante.
Dikeluarkannya
Dekrit Presiden, sesuai dengan yang tersebut dalam konsideran, adalah karena
Konstituante tidak mungkin bersidang lagi, karena sebagian besar
anggota-anggota tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante yang
menyebabkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan
negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian menurut pendapat saya, Dekrit
Presiden dikeluarkan karena terpaksa, karena tidak ada jalan lain, karena
Negara dalam keadaan yang sangat membahayakan.
Fungsi
Dekrit ini menurut saya adalah sama dengan Rancangan Piagam Bandung. Dan
seperti saya sebut di atas, isinya malahan lebih maju.
Sejak
mulai Dekrit Presiden ini diselenggarakan yaitu sejak UUD 1945 mulai berlaku
kembali, perkiraan-perkiraan yang saya sebut tadi meleset sama sekali.
Beberapa
pokok pikiran dan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada Konstituante
maupun kepada DPR, tidak dianut lagi.
1. Pada tanggal 10 Juli 1959 Presiden (Sukarno –ed) disumpah lagi dan pada hari itu juga
beliau melantik Kabinet Kerja yang Perdana Menterinya adalah beliau sendiri.
Menurut
pendapat saya Presiden harus disumpah di muka DPR sesuai dengan ketentuan
tersebut dalam Pasal 9 UUD 1945 yang berbunyi: “Sebelum memangku jabatannya,
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR.” Seperti saya katakan di atas, DPR
yang ada pada waktu itu tetap melakukan tugasnya sesuai dengan Aturan Peralihan
Pasal II.
Pada
waktu itu Ketua Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang sebaliknya.Presiden tidak
dapat disumpah di hadapan DPR yang ada pada waktu itu karena badan ini belum
jelas kedudukannya. Untuk dapat merupakan DPR sesuai dengan UUD 1945 harus
lebih dahulu ditempatkan dalam rangka UUD 1945 atau dengan kata lain yaitu DPR
itu harus menyatakan sendiri berada dalam rangka UUD 1945.
Pendapat
Ketua Mahkamah Agung ini menurut saya agak janggal. Mestinya alasan beliau ini
berlaku juga terhadap perlengkapan Negara yang lain, umpamanya Mahkamah Agung
dan Dewan Pengawas Keuangan Negara.
Dengan
begitu mestinya pada waktu itu beliau harus menolak untuk menyumpah Presiden
dengan alasan yang sama, yaitu Mahkamah Agung belum jelas kedudukannya. Dengan
demikian Ketuanya tidak mungkin menyumpah Presiden.
2. Kejadian yang kedua pada hari itu adalah pelantikan
Kabinet Kerja.
Keputusan/pernyataan
Presiden bahwa Kabinet Kerja yang beliau pimpin akan melakukan tugas selama 5
tahun. Dengan demikian sejak 10 Juli 1959 beliau menetapkan beliau menjadi
Presiden untuk 5 tahun, karena Perdana Menteri Kabinet Kerja adalah Presiden,
beliau sendiri.
Keputusan
beliau ini ditegaskan lagi pada bulan Januari 1960 waktu beliau
menginstruksikan kepada Menteri PPK, Prof. Dr. Prijono, agar buta huruf di
seluruh Indonesia sudah harus terberantas pada akhir masa jabatan Kabinet Kerja
yaitu pada tahun 1964.
3. Dengan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959, DPR yang
dibentuk dengan pemilihan umum ditetapkan sebagai DPR Peralihan sebelum
dibentuk DPR berdasarkan UUD 1945.
Kalau
maksudnya hanya untuk memberi legalitas kepada DPR, menurut saya sudah cukup dengan
adanya Aturan Peralihan Pasal II yang menyatakan bahwa segala badan yang ada
tetap melakukan tugasnya sebelum diganti berdasarkan UUD.
Rupanya
Presiden mempunyai maksud lain dengan Penetapan ini. Kalau tidak, tentu
Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan agar dapat melakukan tugasnya harus
ditentukan pula lebih dulu dengan Penetapan Presiden. Dengan Penetapan Presiden
No. 1 Tahun 1959, maka DPR yang dibentuk dengan pemilihan umum berubah menjadi
DPR sebagai pembantu Presiden.
Hal
ini ternyata dengan pidato Presiden waktu melantik anggota-anggota DPR Gotong
Royong yang terbentuk dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960.Beliau
mengatakan bahwa DPRGR adalah pembantu beliau.
Oleh
sebab itu jugalah saya kira Presiden merasa mempunyai hak untuk membubarkan DPR
dengan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, biar pun DPR ini terbentuk dengan
pemilihan umum.
Karena
DPR ini adalah pembantu beliau, tentu sewaktu-waktu beliau dapat
membubarkannya.Beliau dapat sewaktu-waktu mengganti pembantu-pembantu beliau.
Kalau
DPR ini adalah DPR berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II, tentu tidak dapat
belau bubarkan, karena bertentangan dengan UUD (Lihat Penjelasan UUD 1945
mengenai Sistem Pemerintahan Nomor VII).
Memang
pada diktum Penetapan Presiden No. 3 tidak disebut “pembubaran DPR”, tetapi
“penghentian pelaksanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota DPR”.Dan maksud
pembubaran DPR memang adalah penghentian pelaksanaan tugas dan pekerjaan
anggota-anggota DPR, bukan penghapusan DPR dari ketatanegaraan Republik
Indonesia.
4. Begitupun sesudah dikeluarkan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959 mengenai pembentukan MPRS
ditambah lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959
sebagai pelaksanaan dari Penetapan Presiden ini, maka saya berpendapat bahwa
pada waktu itu MPRS ini adalah pembantu Presiden.
Saya
berpendapat demikian mengingat hak Presiden untuk menetapkan banyaknya
anggota-anggota MPRS, hak Presiden untuk mengangkat anggota-anggota di samping
anggota-anggota yang berasal dari DPR yang ditetapkan dengan Penetapan
Presidern No. 1 Tahun 1959, dan hak Presiden untuk mengangkat Ketua, dan Wakil
Ketua MPRS.Dan selanjutnya dengan sendirinya hak Presiden untuk memberhentikan
anggota-anggota yang beliau angkat dan meninjau kembali susunan pimpinan yang
beliau tetapkan.
Menurut
saya, kedudukan MPRS ini jauh lebih rendah daripada kedudukan Komite Nasional
Pusat (KNP) sejak tanggal 16 Oktober 1945.Seperti kita mengetahui, KNP sejak
tanggal tersebut diberi wewenang untuk bertindak sebagai DPR dan diberi
wewenang pula untuk turut menetapkan garis-garis besar haluan negara.Dan dengan
Undang-undang No. 9 Tahun 1949 diberi wewenang bersama-sama dengan Presiden
untuk mengubah UUD.
Apalagi
dengan ditetapkannya Ketua dan Wakil-wakil Ketua MPRS menjadi menteri-menteri,
lebih tegas lagi kedudukan MPRS ini sebagai pembantu Presiden.
5. Begitupun dengan dibentuknya DPAS dengan Penetapan
Presiden No. 3 Tahun 1959, saya berpendapat bahwa badan ini hanya sebagai
pembantu Presiden.
Mengingat
hak Presiden untuk mengangkat anggota-anggota badan ini.Beliau pula yang
menetapkan Wakil Ketuanya yang secara ex
officio menjadi menteri.Dan beliau sendiri adalah Ketua DPAS.
Mengingat
Pasal IV Aturan Peralihan memang KNP adalah pembantu Presiden.Rupanya MPRS,
DPRGR, dan DPAS hendak disamakan dengan KNP.
Beliau
lupa bahwa Aturan Peralihan Pasal IV menurut rencana hanya berlaku sampai
dengan 2 Maret 1946, yaitu 6 bulan sesudah peperangan Asia Timur Raya (berakhir
tanggal 2 September 1945).Dan Aturan Peralihan ini seperti saya sebut di atas,
telah diubah sejak 16 Oktober 195. Dan andaikata Republik Indonesia Serikat
(RIS) tidak terbentuk, dan UUD Sementara 1950 tidak ada, sudah lama Aturan
Peralihan Pasal IV tidak ada lagi.
6. Front Nasional yang dibentuk dengan Peraturan Presiden
No. 13 Tahun 1959 menurut saya agak lain dengan Front Nasional yang digambarkan
oleh Presiden pada sidang Konstituante yang akan beranggotakan hanya golongan
karya.
Front
Nasional yang dibentuk dengan Peraturan Presiden tersebut anggota-anggotanya
adalah warga negara Republik Indonesia baik yang tergabung dalam golongan karya
maupun yang tergolong dalam partai-partai politik maupun yang tidak tergabung
dalam salah satu golongan.
Jadi,
dengan demikian semua warga negara Republik Indonesia dapat menjadi anggota
Front Nasional dengan syarat-syarat yang tertentu.Dan ketuanya adalah beliau
sendiri.
Begitupun
tugas Front Nasional yang diajukan dalam sidang Konstituante agak berbeda
dengan yang dimaksud dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1959. Karena semua
partai politik dan semua organisasi massa adalah anggota Front Nasional, maka
dapat kita katakan bahwa Presiden secara tidak langsung memimpin semua partai
politik dan semua organisasi massa dalam negara Republik Indonesia.
7. Presiden mempunyai wewenang untuk mencampuri soal-soal
pengadilan seperti tersebut dalam Pasal 19 Undang-undang No, 19 Tahun 1964 yang
berbunyi sebagai berikut: “Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan
bangsa, atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turun
tangan atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”
Mengenai
hak Presiden untuk turun tangan dan campur tangan mengenai soal-soal pengadilan
ini dipertegas lagi dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1965 dan pada Penjelasan
atas undang-undang ini.
Dengan
adanya hak Presiden untuk turun tangan dan campur tangan mengenai pengadilan,
maka kita sudah meninggalkan UUD 1945 yang tidak memperkenankan kekuasaan
pemerintah (eksekutif) mencampuri soal-soal pengadilan.
Dalam
Penjelasan UUD 1945 mengenai hal ini dapat dibaca sebagai berikut: “Kekuasaan
kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka. Artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan Pemerintah.”
Dengan
ditetapkannya Ketua Mahkamah Agung ex
officio menjadi menteri, dus
pembantu Presiden, ditambah lagi dengan hak Presiden untuk turun tangan dan
campur tangan mengenai soal-soal pengadilan, sedangkan menurut Penjelasan
Undang-undang No. 13 Tahun 1965 campur tangan itu bisa sangat jauh, maka saya
mengambil kesimpulan bahwa dalam lapangan pengadilan Presiden Republik
Indonesia mempunyai kekuasaan yang sangat besar.
8. Melihat kedudukan MPRS, DPRGR, DPAS, dan Front
Nasional dan mengingat kekuasaan Presiden dalam lapangan pengadilan yang sangat
besar, timbul pertanyaan-pertanyaan, apakah kedudukan Presiden dengan demikian
ini masih sesuai dengan UUD atau tidak?
Seperti
kita mengetahui tugas DPAS adalah mengajukan usul-usul kepada Pemerintah dan
menjawab pertanyaan Pemerintah.
Ketua
badan ini adalah Presiden.Dengan sendirinya beliau dapat mempengaruhi Dewan ini.Dengan
demikian Dewan ini tidak mungkin mengajukan usul kepada Presiden/Pemerintah
yang tidak disetujui beliau.Dan seperti saya katakan di atas, Wakil-wakil Ketua
dan anggota-anggota badan ini, Presidenlah yang mengangkatnya dan sewaktu-waktu
mereka dapat diberhentikan oleh Presiden.
Begitupun
Front Nasional juga beliau sendiri ketuanya. Tentu akan sukar membuat keputusan
yang tidak disetujui oleh Presiden. Malahan mungkin Front Nasional akan
menyetujui setiap usul Presiden yang diajukan dalam rapat Front Nasional.
Karena
usul itu disetujui oleh Front Nasional, jadi oleh semua partai politik dan semua
organisasi massa, ditambah lagi oleh orang-orang yang tidak tergabung dalam dua
golongan tersebut, berdasarkan asas kedaulatan rakyat, Presiden/Pemerintah,
DPRGR, dan MPRS harus melaksanakan putusan tersebut. Dan semua rakyat dengan
sendirinya harus melaksanakan putusan tersebut.
Seperti
kita mengetahui, Presiden adalah Kepala Pemerintahan (eksekutif) berdasarkan
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan menteri-menteri adalah pembantu Presiden.
Sesuai
dengan kedudukan MPRS dan DPRGR sebagai pembantu Presiden maka sukarlah bagi
dua badan ini untuk menolak setiap usul Presiden.
Dengan
demikian satu RUU yang diajukan Presiden kepada DPR hampir dapat kita tentukan
bahwa itu akan disetujui oleh DPR. Dan DPR pun tentu tidak akan mengajukan satu
RUU yang kira-kira akan tidak disetujui oleh Presiden.
Begitupun
MPRS, antara lain mengenai penetapan Manifesto Politik sebagai garis-garis
besar haluan Negara, tentu tidak akan berani mengajukan amandemen, apakah
merupakan penambahan pada Manifesto Politik ini, apakah mengajukan koreksi
terhadap Manifesto Politik ini.
Dan
dapat kita pastikan bahwa segala keputusan-keputusan MPRS senantiasa sesuai
dengan pendapat Presiden.
9. Apakah bentuk-bentuk peraturan yang disebut dalam
surat Presiden tertanggal 22 Agustus 1959 kepada DPR masih dapat dipertahankan
atau tidak.
Sesuaikah
bentuk-bentuk peraturan antara lain Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden,
dengan UUD 1945 atau tidak?
Pada
tahun 1959 dan 1960 ada beberapa sarjana yang menyangsikan ini, tapi karena
pendapat-pendapat tersebut tidak mendapat sambutan dari masyarakat selain
daripada partai-partai oposisi yang masih ada pada waktu itu, maka dengan
sendirinya pendapat demikian juga hilang bersamaan dengan hilangnya partai-partai
oposisi pada bagian kedua tahun 1960.
Baru
pada tahun 1966 ini orang mulai mempersoalkan hal ini kembali. Antara lain
dalam tahun 1959 dipersoalkan apakah Penetapan Presiden No. 6 syah atau tidak.
Penetapan ini merupakan perubahan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.Dalam UUD 1945 disebut pada Pasal 18 bahwa
pemerintah daerah diatur dengan undang-undang. Dengan demikian perubahan pada
Undang-undang No. 1 Tahun 1957 harus diatur dengan undang-undang, tidak dengan
Penetapan Presiden. Dan kalau memang keadaan mendesak, sesuai dengan Pasal 22
UUD 1945 dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Beberapa
partai politik pendukung pemerintah di samping partai-partai oposisi yang saya
sebut di atas, menyangsikan syahnya Penetapan Presiden itu. Tetapi sesudah
diadakan perubahan mengenai ketentuan prosedur pengangkatan kepala daerah dalam
Penetapan Presiden itu, maka partai-partai pendukung pemerintah tersebut tidak pernah lagi mempersoalkan
syahnya Penetapan Presiden tersebut. Begitupun syahnya Penetapan Presiden No. 7
Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, hanya golongan
oposisi saja, yangsaya katakan di atas, yang mengatakannya tidak syah.
Dalam
Pasal 28 UUD 1945 ditentukan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul
ditetapkan dengan undang-undang.Dan demikian syarat-syarat dan penyederhanaan
kepartaian harus diatur dengan undang-undang.Dan kalau keadaan mendesak dapat
diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Pada
waktu itu golongan yang tidak setuju kebijaksanaan Presiden bertanya, kenapa
hal-hal tersebut tidak diatur dengan undang-undang, karena DPR berdasarkan
Penetapan Presiden diberikan wewenang untuk melakukan tugas DPR sesuai dengan
UUD 1945. Lain hal umpamanya kalau DPR belum ada.Rupanya pendapat Presiden
tetap tidak berubah. Seperti kita ketahui, sebelum itu sudah ada beberapa
Penetapan Presiden yang dikeluarkan, yaitu Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1959
merupakan perubahanpada Undang-undang No. 80 Tahun 1958, dan Penetapan Presiden
No. 5 Tahun 1959 yang merupakan perubahan pada Undang-undang Darurat No. 1
Tahun 1958.
Peraturan
Presiden menurut surat Presiden kepada DPR pada bulan Agustus 1959 itu ada dua
macam. Yang satu unutk menyelenggarakan Penetapan Presiden dan yang lain untuk
menyelenggarakan wewenang Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Pasal
tersebut bunyinya adalah sebagai berikut: “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Yang
dimaksud denan kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif.Kekuasaan
eksekutif tugasnya adalah untuk menyelenggarakan undang-undang yang ditugaskan
kepadanya untuk diselenggarakan.
Oleh
sebab itu adalah janggal adanya Peraturan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 di samping Peraturan Pemerintah Penyelenggara Undang-undang seperti
tersebut pada Pasal 5 ayat (2). Saya berpendapat, susunan Bapekan (Badan
Pengawas Keuangan Negara –ed) yang
sudah bubar dan susunan Front Nasional seharusnya diatur dengan undang-undang.
Dengan sendirinya undang-undang yang demikian ini bukan undangh-undang organik.
10. Biarpun saya sebut di atas bahwa MPRS, DPRGR, dan DPAS
adalah pembantu Presiden, tetapi 3 badan ini mengalami pertumbuhan yang baik,
sehingga pada tahun 1966 ini dapat kita anggap bahwa badan-badan ini sudah
berubah menjadi badan-badan yang masing-masing melakukan wewenang MPR, DPR, dan
DPA. Dapat kita samakan dengan pertumbuhan KNP antara tahun 1945 sampai dengan
tahun 1949.
Kalau
kita melihat Penjelasan Penetapan Presiden No. 1, No. 2, dan No. 3 Tahun 1959;
maka tindakan Presiden yang dilakukan dengan membentuk Penetapan-penetapan
Presiden tersebut akan dipertanggungjawabkan kepada MPR. Tidak kepada MPRS.
Dengan
adanya perubahan pada pendapat beliau, bahwa beliau harus bertanggungjawab
kepada MPRS, berarti kedudukan MPRS berubah menjadi badan yang melakukan
wewenang MPR. Dan hal ini diperkuat lagi dengan
pendapat Presiden bahwa beliau adalah mandataris MPRS yang harus
melakukan keputusan badan ini.
Begitu
pun DPRGR mengalami pertumbuhan yang sama yaitu dengan adanya pendapat Presiden
bahwa beliau menetapkan undang-undang bersama-sama dengan DPRGR. Dengan
demikian DPRGR menjadi satu badan yang melakukan wewenang DPR.Begitupun DPAS
tampaknya mengalami pertumbuhan yang baik, sehingga saya dapat mengatakan bahwa
DPAS sudah berubah menjadi satu badan yang melakukan wewenang DPA.
11. Pelaksanaan UUD 1945 secara murni menurut saya dalam
masa peralihan , yaitu sebelum MPR, DPR, DPA terbentuk dengan undang-undang adalah
seperti yang dianut dalam Rancangan Piagam Bandung dan melaksanakan secara
progresif bagian diktum daripada Dekrit Presiden, dalam hal ini mengenai
pembentukan MPRS dan DPA.
DPRGR
tetap melakukan tugasnya sebagai DPR berdasarkan UUD.MPRS yang sekarang ini
melakukan wewenang MPR, dan DPAS segera susunan personalianya ditetapkan oleh
MPRS.
DPAS
di samping tugasnya sebagai badan yang mengajukan usul kepada Presiden dan yang
menjawab pertanyaan Presiden, dapat pula dianggap sebagai badan yang mewakili MPRS
kalau badan ini tidak bersidang.Oleh sebab itulah agar personalia DPAS ini
ditetapkan oleh MPRS.
Menurut
saya, tidak perlu badan ini segera ditetapkan dengan undang-undang.Biarkan saja
dahulu untuk sementara tetap sebagai DPAS.Karena bukan sifat sementaranya yang
menyebabkan badan ini kurang mempunya kewibawaan.Tapi harus dicari pada
struktur dan susunan keanggotaan DPAS ini.
Kita
mengingat Badan Pekerja (BP) KNP adalah DPR Sementara.RIS juga mempunya DPR
Sementara dan Senat Sementara, dan Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950
juga mempunya DPR Sementara. Tetapi lembaga-lembaga itu dapat melakukan
tugasnya sama dengan lembaga-lembaga yang bersifat tetap.
Saya
lebih condong pada pendapat agar undang-undang mengenai susunan MPR dan DPA
diajukan oleh Presien pada sidang DPR yang telah dibentuk dengan pemilihan
umum, sesuai dengan rencana Kabinet Karya yang diajukannya pada sidang
Konstituante.
12. Biarpun menteri-menteri adalah pembantu Presiden,
menurut saya Presiden tidak bebas menetapkan siapa-siapa yang akan beliau
angkat menjadi menteri. Menteri-menteri bukan pegawai tinggi biasa.
Menteri-menterilah terutama yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (lihat
Penjelasan UUD 1945).
Karena
Presiden harus bertanggungjawab kepada MPRS/MPR, maka dalam menentukan siapa-siapa
yang akan beliau angkat menjadi menteri, sebaiknya memperhatikan
pendapat-pendapat dalam MPRS/MPR agar hubungan antara Presiden dengan MPRS/MPR
senantiasa baik dan lancar. Begitupun Presiden harus memperhatikan pendapat dan
keinginan DPR mengenai hal ini, karena dalam praktik nanti menteri-menteri
inilah yang harus bekerjasama dengan DPR, antara lain mengenai pembuatan
undang-undang. Dan dengan sendirinya pendapat DPAS/DPA harus beliau perhatikan.
Presiden
adalah kepala pemerintahan.Dan menteri-menteri adalah pembantu beliau.
Menurut
saya, ada dua kemungkinan yang dapat dipergunakan untuk mengatur hubungan
antara Presiden dengan menteri-menteri.
Pertama-tama
dengan cara yang sekarang berlaku, yaitu Presiden menunjuk menteri-menteri dan
beliau langsung memimpin/mengepalai menteri-menteri ini.
Cara
kedua adalah denfan membentuk kabinet, dan Presiden berada di luar kabinet.Kabinet
ini bertanggungjawab kepada Presiden.Dengan demikian, menteri-menteri sebagai
keseluruhan merupakan pembantu Presiden.Hal ini pernah kita alami pada tahun
1948 waktu Drs. Mohammad Hatta memimpin kabinet yang bertanggungjawab kepada
Presiden (Kabinet Presidentiil).Biar pun secara resmi Drs. Mohammad Hatta bukan
Perdana Menteri, tetapi umum menganggap beliau adalah Perdana Menteri.Sebetulnya
yang dibentuk adalah kabinet yang bersifat presidentiil yang sehari-hari
dipimpin oleh Wakil Presiden, Drs. Mohammad Hatta.
13. Sebutan Pemimpin Besar Revolusi, menurut saya tidak
tepat. Pertama-tama kita lihat sebutan ini pada Ketetapan MPRS No. I, dan
selanjutnya pada Ketetapan MPRS No. II.
Saya
kira MPRS mempunyai salah satu pengertian mengenai istilah “pimpinan revolusi”
dalam Respublika sekali lagi Respublica
dan Manifesto Politik.Pengertian
“pimpinan revolusi” dalam pidato Presiden tersebut maksudnya adalah Pimpinan
Negara (Penjelasan UUD 1945 menyebut Kepala Negara).
Pendapat
Presiden ini kita hubungkan dengan ucapan beliau kepada pers pada tanggal 6
Juli 1959 sesudah menerima kembali mandate Kabinet Djuanda bahwa sejak hari itu
beliau menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang tidak beliau jabat
sejak tahun 1949.
Dan
kita hubungkan pula dengan penjelasan beliau dalam Respublica sekali lagi Respublica bahwa dengan adanya sistem
demokrasi parlementer timbullah dualisme
antara pimpinan revolusi dengan pimpinan pemerintahan.
Maksudnya,
karena kita menganut sistem demokrasi parlementer, yaitu adanya Kepala Negara yang tidak bertanggungjawab,
yang tidak dapat diganggu gugat, di samping kabinet yang dipimpin oleh Perdana
Menteri yang bertanggungjawab.
Maka
dengan kembalinya kita ke UUD 1945, dualisme itu akan hilang. Tegasnya,
kedudukan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dijabat oleh seorang.
14. Sebutan Panglima Tertinggi sebaiknya hanya
dipergunakan dalam hubungan dengan Angkatan Perang, dan kalau negara dalam
keadaan darurat militer atau keadaan perang. Jadi, tidak untuk sehari-hari.
Jabatan
Panglima Tertinggi adalah jabatan ex
officio Presiden seperti tercantum dalam Pasal 10 UUD 1945: “Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara.”
Sebutan
Perdana Menteri menurut saya juga kurang tepat karena Presiden tidak mungkin
menjadi Perdana Menteri, karena Perdana Menteri adalah menteri.Dan seorang
Perdana Menteri adalah pembantu Presiden.
Sebutan
Kabinet Dwikora, menurut saya kurang tepat, karena Kabinet Dwikora tidak
merupakan satu dewan, yaitu Dewan Menteri.
Presiden
bukan Ketua Kabinet (Dewan Menteri)), tetapi kepala dari semua
menteri.Menteri-menteri adalah pembantu beliau.
15. UUD adalah sumber hukum yang tertinggi dalam Negara
ini. Semua peraturan-peraturan yang lain tidak boleh bertentangan dengan UUD
ini.
Karena
UUD 1945 hanya terdiri dari 37 pasal, tetapi segala hal yang akan dikerjakan
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merupakan tujuan pokok daripada
Negara Republik Indonesia harus dapat didasarkan kepada UUD tersebut; maka
Presiden dan DPR harus bekerja keras untuk membentuk undang-undang
sebanyak-banyaknya yang didasarkan pada UUD ini dan yang akan diselenggarakan
oleh Presiden dengan pembantu-pembantu beliau apakah melalui Peraturan
Pemerintah Penyelenggara Undang-undang (Pasal 5 ayat 2), apakah secara langsung.
Memang dalam UUD 1945 hanya beberapa hal yang diwajibkan untuk dirumuskan dalam
undang-undang, antara lain adalah mengenai susunan MPR, susunanDPR, susunan
DPA, pemerintahan daerah, dan kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
Undang-undang
yang demikian ini disebut undang-undang organik, yaitu undang-undang yang harus
dibuat berdasarkan ketentuan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UUD.
Menurut
saya, pembuatan undang-undang yang lain tidak dibatasi oleh UUD, asalkan dengan
sendirinya pembuatannya sesuai denan prosedur yang biasa, yaitu disetujui oleh
Presiden dan DPR.
Karena
MPRS/MPR itu bersidangnya jarang, maka yang ditetapkan oleh MPRS/MPR hanya yang
pokok-pokok saja dan yang harus dirumuskan selanjutnya oleh Presiden
bersama-sama dengan DPR dalam undang-undang.
Biarpun
Presiden adalah mandataris MPRS/MPR, bukan berarti bahwa Presiden harus
melaksanakan semua keputusan-keputusan badan ini secara langhsung.
Menurut
saya, keputusan-keputusan MPRS/MPR harus dirumuskan dulu dalam undang-undang,
atau diselenggarakan berdasarkan undang-undang yang sudah ada. Kalau ketentuan
dalam UUD 1945 sudah tidak sesuai dengan zaman dan malahan akan menghalangi
pelaksanaan tujuan negara, maka ketentuan-ketentuan ini harus diubah oleh
MPRS/MPR. Dan Keputusan MPRS/MPR ini disebut Perubahan UUD dengan menyebut No.
1, No. 2, dan seterusnya; dan merupakan lampiran daripada UUD.Dan berdasarkan
Perubahan ini Presiden dan DPR menetapkan undang-undang untuk diselenggarakan.
Dengan
demikian menurut saya, kita tidak memerlukan bentuk-bentuk peraturan seperti
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang disangsikan tingkatannya yang
malahan dapat mengacaukan tata hukum Republik Indonesia ini.
Seperti
saya sebut di atas, kalau keadaan mendesak, Presiden harus segera
bertindak.Sedang jika undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum
belum ada, maka Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang seperti yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945.
16. Saya berpendapat, agar segera ditinjau segala
peraturan yang bertentangan dengan UUD, antara lain Undang-undang No. 19 Tahun
1964, serta Undang-undang No. 13 Tahun 1965. Begitupun segala Penetapan
Presiden dan Penetapan Presiden segara disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
yang disebut dalam UUD.
Tambahan: Pidato kami ini tidak bermaksud sama sekali
untuk mendongkel-dongkel Bung Karno, tetapi hanya sekadar hendak menunjukkan
bagaimana seharunya melaksanakan UUD 1945 secara murni.[]
Sumber tulisan: Diesrede (Pidato
Dies) pada Dies Natalis II Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri
Yogyakarta, tanggal 30 Mei 1966. Diterbitkan oleh Yayasan Penerbit FKIS IKIP
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar