1
Keadaan
dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
BUKANLAH bermaksud hendak mengupas
dalam-dalam keadaan dan kemungkinan-kemungkinan kebudayaan Islam ini, tapi
hanya sekadar menganalisis dan menunjukkan akan kenyataan-kenyataan tentang
kedudukan kebudayaan Islam di Indonesia ini dan kenyataan-kenyataan yang
dihadapinya sekarang dan di kemudian hari.
Mudah-mudahan dapatlah ini menjadi sumbangan bahan-bahan tinjauan dalam
Kongres Muslimin Indonesia.
Manusia mempunyai bermacam-macam
sifat asasi, antara lain sifat tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat,
maka ia harus pula dapat menyelaraskan diri dengan masyarakatnya, atau mencoba
mengubah masyarakatnya sesuai dengan kehendaknya. Seorang manusia tidaklah
dapat hidup sendiri. Kalau orang hendak mencontoh, tidaklah akan mencontoh apa
yang dianggapnya jelek dan tidak pula mencontoh kebiasaan-kebiasaan atau
hal-hal yanfg dianggapnya lebih rendah daripadanya.
Karena tindasan dari pendidikan Belanda,
umumnya bangsa kita merasa lebih rendah (minderwaardig)
dari bangsa itu dan bangsa Barat lainnya.
Biarpun pun kita sudah merdeka, sudah mempunyai negara nasional,
peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu tidaklah akan
hilang lenyap begitu saja, terurama orang-orang yang melulu mengecap pelajaran
dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru hilang dengan
pendidikan yang teratur dan keinsafan, bahwa Belanda itu tidaklah lebih tinggi
derajatnya dari bangsa kita. Jadi tidaklah cukup dengan mulut saja, atau
ditulis di atas kertas.
Kalau kita menyelidiki agama Islam
sedalam-dalamnya, dapatlah kita mengatakan, bahwa kalau agama ini dianut dan
dipraktikkan oleh rakyat kita di segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya,
maka tak mungkin Belanda menjajah dan mengeksploitasi kita sebegitu lama.
Karena Belanda mengerti pula hal ini, maka tentulah ia menetapkan sikapnya dan
melakukan tindakan dengan cara yang teratur dari yang halus sampai kasar. Tak
perlu ditunjukkan dalam karangan ini, bagaimana tindakan-tindakan dan
usaha-usaha Belanda itu, tapi dapatlah kita melihat dalam masyarakat kita
sekarang ini akan akibat-akibatnya. Banyak orang, terutama kaum terpelajar,
biarpun pun menganut agama Islam, malu mengakui terus terang bahwa ia beragama
Islam dan ada pula yang mengatakan bahwa agama ini tak sesuai lagi dengan
zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama ini. Dan karena orang-orang
Belanda dan bangsa Barat lainnya, dianggap mereka lebih tinggi derajatnya,
menganut agama Kristen, dan juga berkat organisasi dan keuangannya sangat kuat
maka golongan bangsa kita ini, biarpunpun tidak menganut agama tersebut, toh
menganggap derajatnya lebih tinggi daripada derajat agamanya sendiri. Lain
sekali pandangan mereka terhadap orang yang pergi ke masjid dan yang ke gereja,
begitu pula terhadap orang yang memegang Al-Quran di tangan dan yang memegang
Bibel.
Kalau kita meninjau masyarakat Islam
di negeri ini, di samping bagian yang terbesar, yaitu yang mengamalkan agama
Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan, umpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, kita
melihat tiga golongan lagi:
- Golongan alim ulamadan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktikkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tersebut di dalam hadit-hadits dan riwayat. Golongan ini tidak hanya mencontoh Nabi Muhammad sebagai Rasul, tetapi juga sifat dan kebiasaannya yang tidak bisa lepas dari masyarakat Arab yang mempunyai sifat-sifat dan adat yang khusus, yang berlainan dengan masyarakat Indonesia. Pendeknya, karena mereka menganggap bahwa bangsa Arab tinggi derajatnya, sampai sekarang masih banyak orang yang hidup seperti orang Arab, dan kalau hendak mendengar lagu hanya lagu gambus dan kasidahlah yang mereka anggap tidak haram. Sesudah masuknya pengaruh kebudayaan Arab, hidup alim ulama ini sangat tertutup, hingga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perhubungan (aanraking) umpamanya dengan kebudayaan lain sangat sedikit sekali, maka perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka, hampir tidak ada. Sampai-sampai masih ada orang yang beralam pikiran dan berjiwa seperti orang yang hidup pada masyarakat beberapa abad yang lalu. Dan golongan ini umumnya berpendapat supaya agama Islam itu dipraktikkan persis seperti yang dilakukan di negeri Arab 13 abad yang lalu, tidak memperhatikan faktor-faktor tempat dan waktu.
- Golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mystek yang menyebabkan mereka ini menganggap bahwa hidup ini adalah untuk akhirat belaka. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan di dunia ini, apalagi untuk memperhatikan pengaruh perubahan dalam masyarakat Indonesia dan dunia sekarang ini. Mereka ini berpendirian bahwa kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
- Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama ini benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dari
ketiga golongan di atas, golongan kesatu dan kedualah yang sekarang paling besar
pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Kalau orang yang belum mempelajari agama
Islam dalam-dalam, tentulah menganggap bahwa Islam itu adalah seperti yang
dianut dan dijalankan oleh kedua golongan tadi. Dan tentu berpendapat bahwa
agama Islam itu tak dapat mengikuti dunia modern ini.
Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Tuhan, tapi juga hubungan antara manusia dan manusia lain,
satu masyarakat dengan masyarakat lain,
dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga sampai ke masyarakat yang
besar, seperti masyarakat negara. Juga ia berisi peraturan-peraturan dan
tuntunan-tuntunan untuk segala lapangan hidup.
Maka dapatlah disebut bahwa agama Islam itu
berupa satu kebudayaan yang sempurna yang tidak muncul dari hasil pergaulan
dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia pada satu waktu, tapi adalah
kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab dan juga
berlaku untuk seluruh dunia.
Dan menurut Quran pun, agama Islam dapat
memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya
dapat menyelaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat mana pun juga.
Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung
pada faktor-faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain; maka kebudayaan Islam
hendaknyalah dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing. Dan dalam
masyarakat segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia
lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia, dan sebaliknya. Begitu pula hasil
kebudayaan (cultuuur product) yang
satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat dan
manusianya.
Stelsel
perekonomian akan mempengaruhi stelsel
hukumnya, teknik mempengaruhi cara produksi, dan ini mempengaruhi pula lapangan
lain. Dan begitulah adanya perubahan-perubahan ini dalam masyarakat terus
menerus yang pula mempengaruhi alam pikiran manusia. Kalau ada orang atau
golongan yang tak mau tahu adanya perubahan-perubahan ini, maka orang yang
begitu dapatlah disebut orang kolot. Dan begitu pula kalau satu ajaran (leer) tak mau memperhatikan ini dan
masih menjalankan peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan yang tak sesuai
dengan keadaan maka dapatlah dinamakan pula ajaran yang kolot.
Adat istiadat yang berlaku sekarang, belum
tentu orang turuti beberapa tahun yang akan datang, dan begitu pula
peraturan-peraturan yang diancam dengan hukuman (sanctie) sekarang, sebentar lagi mungkin tak tepakai lagi, karena
keperluan dan keadaan sudah berubah. Dan demikian juga terhadap mana yang baik
dan mana yang tidak, tergantung pula pada tempat dan waktu.
Kalau kita memperhatikan gologan kesatu dan
kedua yang tersebut di atas tadi, maka kelihatannya seakan-akan agama Islam itu
sudah kolot, tak dapat selaras dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat lagi.
Tapi menurut Quran dan penyelidikan, bukan agama ini yang kolot, tetapi
penganut-penganutnyalah yang kolot atau belum benar-benar mengerti akan isi
dari agama ini, atau belum mempraktikkannya.
Karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
akan kita jelang nanti adalah satu negara demokrasi, maka perkembangan
aliran-aliran kebudayaan nanti akan mendapat keleluasaan, karena kemerdekaan
berpikir, bersidang, dan mengeluarkan pendapat akan dijamin oleh negara
(pemerintah).
Biasanya dalam satu masyarakat di mana ada
bermacam-macam aliran kebudayaan, maka muncullah perjuangan (struggle) antara yang satu dan yang
lain, yang satu mempengaruhi yang lain dan masing-masing berlomba mencari
penganut. Aliran kebudayaan yang lemah, tentu akan dikalahkan oleh yang kuat,
atau yang lemah akan diisap oleh yang kuat. Dan pada umumnya manusia lebih
senang memihak yang kuat dan menang, hingga yang menang mendapat lebih banyak
penganut. Dan aliran yang kalah mungkin akan hilang lenyap dari muka bumi.
Demikianlah kebudayaan Islam akan menghadapi
beberapa aliran kebudayaan dalam masyarakat yang harus ditandinginya kalau
hendak hidup dengan sewajarnya dan sempurna, di antaranya yang terbesar:
- Aliran Kebudayaan Barat yang diwakili oleh Amerika, Belanda, dan lain-lain;
- Komunisme dan Sosialisme;
- Agama Kristen, yang Katolik dan Protestan; dan
- Aliran Kebudayaan Kebangsaan yang cenderung kepada sosialisme (Marxisme) dan dikembangi sedikit oleh kebatinan dan kesusilaan (Hindu-Jawa).
Aliran
kesatu, kedua, dan ketiga, sangat kuat organisasinya dan juga mempunyai tenaga materi yang kuat seperti keuangan,
alat-alat, dan lain-lain, sedangkan organisasi dan keuangan serta alat-alat
kita sangat lemah sekali, karena umumnya umat Islam dan negara-negara Islam
yang kita harapkan bantuannya ada yang baru saja merdeka dan ada yang masih
setengah jajahan. Sedang orang-orang yang dijajah, umumnya miskin.
Tak perlu saya kupas isi dari aliran-aliran
ini. Pendek kata, kalau kebudayaan Islam tidak kuat untuk bertanding, derajat
Islam akan lebih rendah lagi dianggap orang, dan dengan sendirinya derajat
umatnya pun akan lebih merosot lagi, walaupun kita masih mendabik (menepuk –ed) dada bahwa umat kita adalah umat yang besar.
Marilah kita mencari usaha supaya kita dapat
menghadapi aliran-aliran ini, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membantu dan melindungi kita. Aamiin![]
Yogyakarta, 12 November 1949
Sumber
tulisan: Panitia Pusat Kongres Muslimin Indonesia Bagian
Penerangan, Pedoman Lengkap Kongres
Muslimin Indonesia di Yogyakarta, tanggal 20-21 Desember 1949, sebagaimana
dimuat dalam Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul (editor), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta, Misaka Galiza,
Cetakan Kedua, Agustus 2008, halaman 3-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar