5
Menggugat Eksistensi HMI
(Bukan Masalah Kubu MPO dan PB HMI)
HIMPUNAN
Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi kader yang lahir karena kebutuhan
politik mahasiswa.Kondisi politik yang melingkupi ketika itu merangsang
beberapa mahasiswa untuk membentuk suatu organisasi yang bisa berguna bagi
masyarakat, bangsa, dan agama. Karena itu tujuan didirikannya HMI antara lain
mempertahankan Negara Republik Indonesia serta mempertinggi derajat dan
martabat rakyat Indonesia. Juga untuk menegakkan dan mengembangkan
ajaran-ajaran Islam di muka bumi.
Kepentingan Nasional dan
Kepentingan Islam
Sebagai
organisasi kader, HMI menginginkan semua mahasiswa yang beragama Islam mengenal
dan menghayati ajaran agamanya, serta mengamalkannya di mana pun dia
berada.Tentunya penghayatan dan pengenalan agama tersebut disesuaikan dengan
atribut kemahasiswaannya yang lebih menekankan pada etos
kecendekiawanan.Harapan yang ingin diperoleh dari ini adalah terciptanya insan
akademis yang beragama dan dan memiliki wawasan serta kepekaan sosial-politik.
Tekad
yang menyertai didirikannya HMI semacam itulah, yang menjadikan ia selalu ingin
eksis dalam setiap kurun waktu dan setiap perjalanan sejarah. Kalau tekad
tersebut belum tercapai, apa pun tantangannya, harus dihadapi. Dengan kata
lain, dalam situasi sosial-politik yang bagaimana pun selama usaha menciptakan
insan akademis yang Islami dan memiliki kepekaan sosial-politik ini belum
berhasil, tidak ada alasan untuk meniadakan organisasi tersebut.Paling tidak
itu menjadi keinginan saya sebagai pendiri organisasi tersebut.
Tentu
saja sesuai dengan perkembangan sejarah, tujuan utama didirikannya HMI tersebut
bisa saja bergeser.Dan yang demikian ini, juga sudah terjadi.Meski demikian,
pergeseran tujuan yang pernah terjadi di dalam HMI, beberapa waktu setelah
didirikan, tidaklah berarti menghilangkan tujuan semula.Pergeseran tujuan yang
terjadi semata-mata hanyalah sebagai upaya mempersempit dan menspesialisasikan
tujuan tersebut.Tujuan itu adalah turut membina anggotanya agar menjadi
sarjana-sarjana yang handal.
Jadi,
pada garis besarnya, HMI lahir untuk kepentingan nasional dan kepentingan
Islam. Dengan kata lain, kelahiran HMI merupakan manifestasi kepedulian
mahasiswa pada waktu itu untuk ikut berperan dalam menegakkan Republik ini,
yang sekaligus mempertahankan dan menyiarkan Islam. Dan ini bisa dibuktikan
dari kiprah HMI dalam setiap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Kalau
kemudian HMI berperan juga dalam suatu perubahan sosial, itu sebenarnya
hanyalah peran tambahan.Sebab HMI sebagai generasi muda yang sekaligus warga
negara, mempunyai kewajiban memberi kekhususan kepada mahasiswa yang beragama
Islam yang menjadi anggotanya.Misalnya saja turut membentuk anggota HMI supaya
mempunyai sikap kritis dan mempunyai kualitas yang seharusnya dimiliki seorang
mahasiswa.Kemudian sesudah menjadi sarjana mereka bisa bekerja dengan tetap
membawa missi-missi yang bernafaskan Islam.Atau bisa menyesuaikan diri dengan
masyarakat lingkungannya atau bahkan menjadi pemimpin dalam skala lokal maupun
nasional.
Kemudian
apakah tujuan tersebut telah tercapai?Untuk menjawab pertanyaan itu agak sulit.
Tetapi kalau sekarang kita melihat banyak mahasiswa yang mempunyai kebanggaan
terhadap Islam, masjid-masjid di kampus penuh dengan kegiatan keagamaan, bisa
dikatakan ada arahan ke sana. Ini bukan berarti mengklaim bahwa kecenderungan
tersebut semata-mata sebagai hasil usaha HMI, tetapi yang lebih penting adalah
HMI memiliki peranan di dalamnya.Sebab sejarah mengatakan bahwa dulu untuk
mencari mahasiswa yang shalat saja sulit.Walaupun memang belum tentu bahwa
perubahan-perubahan tersebut semata-mata atas andil HMI, tapi hal seperti
itulah yang diinginkan HMI.
Meski
demikian harus diakui bahwa sekarang ini masih banyak mahasiswa yang menjadi
anggota HMI hanya sebagai simbol status.Mereka mengikuti basic training –pelatihan kepemimpinan tingkat dasar—HMI hanya
untuk hura-hura atau ramai-ramai. Tapi itu harus dipahami sebagai proses,
karena memang mahasiswa yang jadi anggota HMI berasal dari tingkat pemahaman
keagamaan yang berbeda-beda. Ada yang ketika masuk HMI baru bisa membaca
syahadat, ada yang sudah bisa membaca Al-Quran, dan ada pula yang dirinya sudah
mapan dalam beragama.
Ini
persoalan yang tidak begitu sulit diatasi, karena kita harus paham bahwa
perkembangan jiwa manusia memang punya tingkatan yang berbeda. Bagi HMI, yang
demikian ini sebenarnya bukan persoalan tetapi tantangan yang bukannya tidak
mungkin dipecahkan dengan mudah.
PB HMI dan HMI MPO
Cuma
masalahnya sekarang, bagaimana agar HMI yang telah memiliki makna sejarah dan
mempunyai tujuan yang luhur tersebut bisa survive
dalam setiap perkembangan zaman yang terus menerus beubah. Dalam kaitan inilah
HMI harus selalu bisa memahami perkembangan dan keadaan zaman serta
menyesuaikan program-programnya dengan perkembangan zamannya.Dia juga harus
membina diri menjadi kader bangsa yang punya kualitas dan mempunyai aspirasi
keislaman.Hal itu juga untuk menjaga agar HMI tetap eksis tanpa melenceng dari maksud
dan tujuan pendiriannya.
Memang
akhir-akhir ini kita melihat seolah-olah di dalam tubuh HMI ada kesan
perpecahan, yakni adanya Pengurus Besar (PB) dan ada HMI Majelis Penyelamat
Organisasi (MPO) yang mengklaim dirinya sebagai pelurus HMI yang telah dianggapnya
melenceng dari tujuan semula. Tetapi hal itu menurut saya sebenarnya hanyalah
suatu kesalahpahaman yang sifatnya temporer.Dan perbedaan paham itu
diperlukan.Karena, suatu organisasi hanya bisa maju dan dinamis kalau ada
perbedaan paham di antara para anggotanya.Dan seandainya sekarang dikenal kubu
PB dan kubu MPO, asalkan mereka masih setia kepada cita-cita semula, sebetulnya
bukanlah suatu masalah.
HMI Tidak Pernah Menyimpang
Sejauh
pengamatan saya, sampai saat ini HMI tidak pernah menyimpang ari cita-cita
maupun aturan main yang telah ditentukan.Ini terbukti sampai sekarang
keputusan-keputusan kongres masih dijalankan, dan anggota HMI memiliki rasa
nasionalisme yang tinggi.
Kini,
kalau banyak pihak menyoroti HMI agak melempem
dan tidak lagi berpikir tentang perubahan sosial, itu sangat keliru.Pada zaman
sekarang, yang membuat suatu perubahan sosialyang diutamakan adalah penguasaan
teknologi.Karena itulah HMI sekarang lebih memfokuskan geraknya untuk bisa
menguasai teknologi sekaligus mengantisipasi dampak-dampak yang ditimbulkan
teknologi tersebut.
Islam
tidak akan bisa dijalankan dengan sempurna kalau dirinya masih terjajah
pendidikannya, spiritual maupun materialnya. Nah, untuk membebaskan
keterjajahan itu dibutuhkan profesionalisme dari para anggota dan alumni HMI
dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.Apa yang dilakukan para anggota
HMI sekarang ini, menurut pengamatan saya, sudah mengarah kepada aktivitas yang
mengantisipasi perkembangan tersebut.
HMI
sampai saat ini juga dikenal sebagai “pabrik”
yang menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas dan punya kepeloporan dalam
proses demokratisasi. Bahkan dalam tata cara pemilihan pengurus, HMI bisa
dikatakan paling demokratis. Di HMI masa jabatan pengurus tidak lebih dari satu
kali. Hal ini akan merangsang calon-calon yang muda untuk lebih diri agar kelak
punya kesempatan memimpin.
Tetapi,
apakah peran “pabrik” cendekiawan
Muslim yang berkualitas ini bisa dipertahankan?Ini
mungkin harus dijawab generasi HMI yang ada sekarang ini. Dan untuk bisa
mempertahankan peran tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan menjadi
lebih peka terhadap perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi.[]
Sumber tulisan: Harian Jawa
Pos, tanggal 18 September 1990, sebagaimana dimuat dalam Drs. H. Agussalim
Sitompul (Editor), HMI Mengayuh di Antara
Cita dan Kritik, Yogyakarta, Aditya Media, 1997, halaman 503-505.
LAFRAN PANE lahir di Padang Sidempuan pada 5 Februari 1922 dan
meninggal dunia di Yogyakarta pada 24 Januari 1991. Ayah tiga anak (dua
laki-laki, satu perempuan) ini memulai pendidikan tingginya di Sekolah Tinggi
Islam (STI, kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia, UII) Yogyakarta pada
1946 dan menyelesaikannya di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Hukum, Ekonomi,
Sosial, Politik (HESP) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1953.
Mengabdikan dirinya melalui dunia
pendidikan, pada tanggal 1 Desember 1966 Lafran diangkat oleh Presiden Republik
Indonesia menjadi Guru Besar dalam Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu
Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIS-IKIP) Yogyakarta.Empat tahun
kemudian, tepatnya pada hari Kamis 16 Juli 1970, Lafran Pane menyampaikan
Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar berjudul Perobahan Konstitusionil.
Dalam kapasitasnya sebagai dosen
FKIS-IKIP Yogyakarta, Lafran Pane pernah berkunjung ke Australia selama 4,5
bulan atas biaya Colombo Plan.
Saat kuliah di STI inilah bersama
14 temannya sesama mahasiswa STI, pada hari Rabu Pon, 14 Rabi’ul Awal 1366
bertepatan dengan 5 Februari 1947, Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), organisasi mahasiswa yang hingga saat ini terus memberikan
sumbangan terbaiknya kepada umat, bangsa, dan negara.
Pada 1940-1942, saat masih
tinggal di Jakarta, Lafran Pane aktif sebagai anggota Barisan Pemuda Gerindo
yang saat itu dipimpin oleh A.M. Hanafi. Pada saat yangsama, Lafran juga
menjadi anggota Indonesia Muda yang saat itu dipimpin oleh Subagio Hadinoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar