Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

01 Januari 2016



Kata Pengantar
Panitia Pengusul
Prof. Drs. H. Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional

Bismillahirrahmanirrahim.
SEIRING dengan ikhtiar pengusulan Prof. Drs. H. Lafran Pane menjadi Pahlawan Nasional, Panitia Pengusul Prof. Drs. H. Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional yang dibentuk oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) melacak pikiran pemerakarsa berdirinya HMI untuk disajikan kepada masyarakat luas, utamanya kader-kader HMI.
Untuk upaya permulaan ini, baru lima tulisan Guru Besar Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIS IKIP) Yogyakarta yang dapat disajikan kepada khalayak.
Akan tetapi, lima tulisan ini pun segera menyadarkan kita betapa Prof. Lafran Pane yang berbadan kecil itu (tinggi 158 centimeter, berat 61 kilogram) ternyata orang besar, pemberani, dan visioner. Mari kita simak kalimat Prof. Lafran Pane pada pidato Dies Natalis II IKIP Yogyakarta, 30 Mei 1966,berikut ini:
“Kalauketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dan malahan akan menghalangi pelaksanaan tujuan negara, maka ketentuan-ketentuan ini harus diubah oleh MPRS/MPR.”
Di tengah menguatnya tekad untuk melaksanakan UUD 1945 “secara murni dan konsekuen”, pada 16 Juli 1970 Lafran Pane mengucapkan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara pada FKIS-IKIP Yogyakarta berjudul Perubahan Konstitusionil.
Dalam Pidato Pengukuhan yang diucapkan 45 tahun yang lalu itu Lafran Pane antara lain menyampaikan pendapat:
“Dengan demikian undang-undang maupun Undang-Undang Dasar harus senantiasa diubah, sesuai dengan perubahan hukum, sesuai dengan berubahnya penilaian mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya.”
Yang menarik, meskipun berpendapat mengenai “Undang-Undang Dasar harus senantiasa diubah”, perubahan-perubahan itu tidak dilakukan pada (batang) tubuh UUD 1945, tapi, dalam kata-kata Lafran Pane: “dapat kita anggap sebagai lampiran dari pada UUD itu.” Lampiran-lampiran yang merupakan perubahan UUD dapat pula sewaktu-waktu dicabut kembali atau diubah.Dalam hal ini, Lafran merujuk kepada Amandemen No. 18 Konstitusi Amerika Serikat yang dicabut dengan Amandemen No. 21.
Meskipun berpendirian mengenai Undang-Undang Dasar yang harus senantiasa berubah, Lafran berpendapat ada enam hal yang tidak boleh diubah.Keenam hal itu ialah dasar (filsafat) negara yaitu Pancasila, tujuan negara, asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat, asas negara kesatuan, dan asas republik.
Dalam Pidato Pengukuhan itu, Lafran bukan saja berbicara kemungkinan perubahan konstitusi, tetapi juga mengusulkan agar presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat.Pemililihan Presiden secara langsung menyebabkan kita menganut sistem presidentiil secara lebih tegas sehingga Presiden tidak harus bertanggungjawab lagi kepada MPR, dan dengan demikian ada jaminan kestabilan Pemerintah.
Gagasan yang pada tahun 1970 itu terasa aneh dan mustahil, nyatanya terwujud untuk pertama kalinya pada tahun 2004.Diperlukan waktu 34 tahun untuk mewujudkan gagasan Lafran Pane itu.
Jika rangkaian kalimat di atas, diucapkan Lafran Pane di zaman reformasi sekarang inidalam sebuah talk showdi televisi, pasti bukan sesuatu yang istimewa. Bukankah di zaman reformasi ini, orang bebas mengucapkan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Akan tetapi, karena rangkaian kalimat tersebut diucapkan Lafran Pane di sebuah forum akademik di awal Orde Baru yang ingin melaksanakan UUD 1945 “secara murni dan konsekuen” dan karena itu memantangkan adanya perubahan konstitusi, tidak diragukan lagi orang yang berani mengucapkan kalimat di atas, pastilah memiliki kapasitas dan integritas pribadi yang tangguh serta memiliki wawasan menjangkau jauh ke depan.
Kita boleh setuju atau tidak setuju kepada pendapat dan gagasan Prof. Lafran Pane.Akan tetapi, sebagai kader HMI, tidak salah jika kita bangga memiliki pendiri HMI dengan kualifikasi seperti itu.
Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlampau lama, dapat diterbitkan Kumpulan Tulisan Prof. Drs. H. Lafran Pane yang lebih lengkap.
Oleh karena it dihimbau kepada seluruh kader HMI, dan siapa saja, yang memiliki dan menyimpan tulisan Prof. Drs. H. Lafran Pane, agar berkenan menyerahkan copynya ke Majelis Nasional KAHMI.
Wabillahittaufiq wal hidayah.
Jakarta, Shafar 1437
            Desember 2015


Dr. Ir. H. Akbar Tandjung
Ketua Panitia Pengarah

















1
Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia

            BUKANLAH bermaksud hendak mengupas dalam-dalam keadaan dan kemungkinan-kemungkinan kebudayaan Islam ini, tapi hanya sekadar menganalisis dan menunjukkan akan kenyataan-kenyataan tentang kedudukan kebudayaan Islam di Indonesia ini dan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya sekarang dan di kemudian hari.  Mudah-mudahan dapatlah ini menjadi sumbangan bahan-bahan tinjauan dalam Kongres Muslimin Indonesia.
            Manusia mempunyai bermacam-macam sifat asasi, antara lain sifat tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat, maka ia harus pula dapat menyelaraskan diri dengan masyarakatnya, atau mencoba mengubah masyarakatnya sesuai dengan kehendaknya. Seorang manusia tidaklah dapat hidup sendiri. Kalau orang hendak mencontoh, tidaklah akan mencontoh apa yang dianggapnya jelek dan tidak pula mencontoh kebiasaan-kebiasaan atau hal-hal yanfg dianggapnya lebih rendah daripadanya.
Karena tindasan dari pendidikan Belanda, umumnya bangsa kita merasa lebih rendah (minderwaardig) dari bangsa itu dan bangsa Barat lainnya.  Biarpun pun kita sudah merdeka, sudah mempunyai negara nasional, peninggalan akibat dari penindasan dan pendidikan Belanda itu tidaklah akan hilang lenyap begitu saja, terurama orang-orang yang melulu mengecap pelajaran dan pendidikan di sekolah Belanda. Dan itu mungkin baru hilang dengan pendidikan yang teratur dan keinsafan, bahwa Belanda itu tidaklah lebih tinggi derajatnya dari bangsa kita. Jadi tidaklah cukup dengan mulut saja, atau ditulis di atas kertas.
            Kalau kita menyelidiki agama Islam sedalam-dalamnya, dapatlah kita mengatakan, bahwa kalau agama ini dianut dan dipraktikkan oleh rakyat kita di segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, maka tak mungkin Belanda menjajah dan mengeksploitasi kita sebegitu lama. Karena Belanda mengerti pula hal ini, maka tentulah ia menetapkan sikapnya dan melakukan tindakan dengan cara yang teratur dari yang halus sampai kasar. Tak perlu ditunjukkan dalam karangan ini, bagaimana tindakan-tindakan dan usaha-usaha Belanda itu, tapi dapatlah kita melihat dalam masyarakat kita sekarang ini akan akibat-akibatnya. Banyak orang, terutama kaum terpelajar, biarpun pun menganut agama Islam, malu mengakui terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan bahwa agama ini tak sesuai lagi dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama ini. Dan karena orang-orang Belanda dan bangsa Barat lainnya, dianggap mereka lebih tinggi derajatnya, menganut agama Kristen, dan juga berkat organisasi dan keuangannya sangat kuat maka golongan bangsa kita ini, biarpunpun tidak menganut agama tersebut, toh menganggap derajatnya lebih tinggi daripada derajat agamanya sendiri. Lain sekali pandangan mereka terhadap orang yang pergi ke masjid dan yang ke gereja, begitu pula terhadap orang yang memegang Al-Quran di tangan dan yang memegang Bibel.
            Kalau kita meninjau masyarakat Islam di negeri ini, di samping bagian yang terbesar, yaitu yang mengamalkan agama Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan, umpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, kita melihat tiga golongan lagi:
  1. Golongan alim ulamadan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktikkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tersebut di dalam hadit-hadits dan riwayat. Golongan ini tidak hanya mencontoh Nabi Muhammad sebagai Rasul, tetapi juga sifat dan kebiasaannya yang tidak bisa lepas dari masyarakat Arab yang mempunyai sifat-sifat dan adat yang khusus, yang berlainan dengan masyarakat Indonesia. Pendeknya, karena mereka menganggap bahwa bangsa Arab tinggi derajatnya, sampai sekarang masih banyak orang yang hidup seperti orang Arab, dan kalau hendak mendengar lagu hanya lagu gambus dan kasidahlah yang mereka anggap tidak haram. Sesudah masuknya pengaruh kebudayaan Arab, hidup alim ulama ini sangat tertutup, hingga perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perhubungan (aanraking) umpamanya dengan kebudayaan lain sangat sedikit sekali, maka perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka, hampir tidak ada. Sampai-sampai masih ada orang yang beralam pikiran dan berjiwa seperti orang yang hidup pada masyarakat beberapa abad yang lalu. Dan golongan ini umumnya berpendapat supaya agama Islam itu dipraktikkan persis seperti yang dilakukan di negeri Arab 13 abad yang lalu, tidak memperhatikan faktor-faktor tempat dan waktu.
  2. Golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mystek yang menyebabkan mereka ini menganggap bahwa hidup ini adalah untuk akhirat belaka. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan di dunia ini, apalagi untuk memperhatikan pengaruh perubahan dalam masyarakat Indonesia dan dunia sekarang ini. Mereka ini berpendirian bahwa kemiskinan dan penderitaan adalah salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.
  3. Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman  selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama ini benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Dari ketiga golongan di atas, golongan kesatu dan kedualah yang sekarang paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Islam. Kalau orang yang belum mempelajari agama Islam dalam-dalam, tentulah menganggap bahwa Islam itu adalah seperti yang dianut dan dijalankan oleh kedua golongan tadi. Dan tentu berpendapat bahwa agama Islam itu tak dapat mengikuti dunia modern ini.
Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, tapi juga hubungan antara manusia dan manusia lain, satu masyarakat dengan masyarakat  lain, dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga sampai ke masyarakat yang besar, seperti masyarakat negara. Juga ia berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala lapangan hidup.
Maka dapatlah disebut bahwa agama Islam itu berupa satu kebudayaan yang sempurna yang tidak muncul dari hasil pergaulan dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia pada satu waktu, tapi adalah kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.
Dan menurut Quran pun, agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menyelaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat mana pun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain; maka kebudayaan Islam hendaknyalah dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing. Dan dalam masyarakat segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia, dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultuuur product) yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat dan manusianya.
Stelsel perekonomian akan mempengaruhi stelsel hukumnya, teknik mempengaruhi cara produksi, dan ini mempengaruhi pula lapangan lain. Dan begitulah adanya perubahan-perubahan ini dalam masyarakat terus menerus yang pula mempengaruhi alam pikiran manusia. Kalau ada orang atau golongan yang tak mau tahu adanya perubahan-perubahan ini, maka orang yang begitu dapatlah disebut orang kolot. Dan begitu pula kalau satu ajaran (leer) tak mau memperhatikan ini dan masih menjalankan peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan yang tak sesuai dengan keadaan maka dapatlah dinamakan pula ajaran yang kolot.
Adat istiadat yang berlaku sekarang, belum tentu orang turuti beberapa tahun yang akan datang, dan begitu pula peraturan-peraturan yang diancam dengan hukuman (sanctie) sekarang, sebentar lagi mungkin tak tepakai lagi, karena keperluan dan keadaan sudah berubah. Dan demikian juga terhadap mana yang baik dan mana yang tidak, tergantung pula pada tempat dan waktu.
Kalau kita memperhatikan gologan kesatu dan kedua yang tersebut di atas tadi, maka kelihatannya seakan-akan agama Islam itu sudah kolot, tak dapat selaras dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat lagi. Tapi menurut Quran dan penyelidikan, bukan agama ini yang kolot, tetapi penganut-penganutnyalah yang kolot atau belum benar-benar mengerti akan isi dari agama ini, atau belum mempraktikkannya.
Karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan kita jelang nanti adalah satu negara demokrasi, maka perkembangan aliran-aliran kebudayaan nanti akan mendapat keleluasaan, karena kemerdekaan berpikir, bersidang, dan mengeluarkan pendapat akan dijamin oleh negara (pemerintah).
Biasanya dalam satu masyarakat di mana ada bermacam-macam aliran kebudayaan, maka muncullah perjuangan (struggle) antara yang satu dan yang lain, yang satu mempengaruhi yang lain dan masing-masing berlomba mencari penganut. Aliran kebudayaan yang lemah, tentu akan dikalahkan oleh yang kuat, atau yang lemah akan diisap oleh yang kuat. Dan pada umumnya manusia lebih senang memihak yang kuat dan menang, hingga yang menang mendapat lebih banyak penganut. Dan aliran yang kalah mungkin akan hilang lenyap dari muka bumi.
Demikianlah kebudayaan Islam akan menghadapi beberapa aliran kebudayaan dalam masyarakat yang harus ditandinginya kalau hendak hidup dengan sewajarnya dan sempurna, di antaranya yang terbesar:
  1. Aliran Kebudayaan Barat yang diwakili oleh Amerika, Belanda, dan lain-lain;
  2. Komunisme dan Sosialisme;
  3. Agama Kristen, yang Katolik dan Protestan; dan
  4. Aliran Kebudayaan Kebangsaan yang cenderung kepada sosialisme (Marxisme) dan dikembangi sedikit oleh kebatinan dan kesusilaan (Hindu-Jawa).    
Aliran kesatu, kedua, dan ketiga, sangat kuat organisasinya dan juga mempunyai  tenaga materi yang kuat seperti keuangan, alat-alat, dan lain-lain, sedangkan organisasi dan keuangan serta alat-alat kita sangat lemah sekali, karena umumnya umat Islam dan negara-negara Islam yang kita harapkan bantuannya ada yang baru saja merdeka dan ada yang masih setengah jajahan. Sedang orang-orang yang dijajah, umumnya miskin.
Tak perlu saya kupas isi dari aliran-aliran ini. Pendek kata, kalau kebudayaan Islam tidak kuat untuk bertanding, derajat Islam akan lebih rendah lagi dianggap orang, dan dengan sendirinya derajat umatnya pun akan lebih merosot lagi, walaupun kita masih mendabik (menepuk –ed) dada bahwa umat kita adalah umat yang besar.
Marilah kita mencari usaha supaya kita dapat menghadapi aliran-aliran ini, dan mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala membantu dan melindungi kita. Aamiin![]
Yogyakarta, 12 November 1949
Sumber tulisan: Panitia Pusat Kongres Muslimin Indonesia Bagian Penerangan, Pedoman Lengkap Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, tanggal 20-21 Desember 1949, sebagaimana dimuat dalam Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul (editor), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta, Misaka Galiza, Cetakan Kedua, Agustus 2008, halaman 3-7.






2
Wewenang MajelisPermusyawaratan Rakyat

            SUATU negara adalah satu masyarakat yang teratur yang menempati satu daerah tertentu. Dan lebih tegas dapat dikatakan negara adalah satu organisasi pada satu daerah yang tertentu yang didirikan untuk mencapai tujuan yang tertentu.
            Ada negara yang didirikan untuk kepentingan seseorang, ada yang untuk segolongan orang dalam masyarakat, dan ada pula yang untuk seluruh rakyat. Kalau negara yang terakhir didirikan oleh rakyat, maka negara itu adalah satu organisasi rakyat dalam daerah yang tertentu.
Satu organisasi adalah satu sistem kerja sama untuk mencapai tujuan yang tertentu. Pada satu organisasi senantiasa harus ada pmbagian pekerjaan. Kalau ini suatu negara, yaitu organisasi kekuasaan, maka harus ada pembagian pekerjaan antara pemerintah dan rakyat. Rakyat mempunyai hak dan kewajiban, dan pemerintah mempunyai hak dan kewajiban. Pemerintahan harus disusun begitu rupa hingga mampu mencapai tujuan mendirikan negara. Kekuasaan dibagi-bagi pada alat-alat perlengkapan negara, ditetapkan hubungan antara satu sama lain, ditetapkan tingkatan-tingkatannya (hierarchie) dan daerah negara dibagi dalam daerah besar dan kecil supaya mudah melaksanakan tugas alat-alat perlengkapan negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia didirikan dengan proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama rakyat dan sesudah membacakan proklamasi itu Bung Karno berkata seperti berikut: “Demikianlan Saudara-saudara. Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka, negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.”
Saya mengatakan 17 Agustus 1945 negara Republik Indonesia didirikan, karena saya menganggap ucapan Bung Karno sesudah mengucapkan proklamasi itu adalah lanjutan daripada proklamasi itu.
Biarpun pada tanggal 17 Agustus itu belum terang susunan pemerintahan, karena belum dirumuskan secara tertulis dan biarpun belum ada alat perlengkapan negara yang memegang kekuasaan yang harus ditaati oleh rakyat, tidak berarti bahwa negara pada waktu itu belum ada.
Saya menganggap Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi seperti berikut: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” memuat tugas MPR yang bersifat umum dan secara kongkrit satu per satu disebut dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 37. Tegasnya melakukan kedaulatan rakyat yang disebut pada Pasal 1 ayat (2) itu dijelmakan pada tugas menetapkan UUD, menetapkan garis besar haluan negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Jadi, MPR tidak berhak membuat undang-undang (UU), mengadili, memeriksa keuangan negara, dan lain-lain, karena masing-masing adalah wewenang Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan lain-lain.
Jadi, biarpun dikatakan pada pasal tersebut bahwa MPR melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya, tidak berarti badan ini dapat melakukan segala hal atas nama rakyat. Wewenang MPR untuk mengubah UUD seperti yang disebut pada Pasal 37 pun tidak dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan Pasal 1 ayat (2) ini. Pasal 37 berbunyi: “(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, (2). Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.”
Kalau MPR berhak mengubah UUD berdasarkan Pasal 1 ayat (2), maka pada satu waktu kalau ada orang yang mengajukan usul perubahan UUD dan ditolak oleh MPR karena yang menyetujui usul tersebut hanya separoh ditambah satu dari anggota-anggota yang hadir, besoknya orang tersebut akan meminta agar MPR bersidang dan memutuskan usul perubahan yang diajukannyaitu berdasarkan  wewenang MPR pada pasal tersebut.
Kalau separoh ditambah satu yang disebut tadi tetap menyetujui usul perubahan itu, maka usul itu berdasarkan Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi seperti berikut: “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak” diterima oleh MPR. Jadi, dengan begitu usul perubahan itu ditolak oleh MPR, berdasarkan Pasal 37 dan diterima berdasarkan Pasal 1 ayat (2).
Suara terbanyak yang disebut pada Pasal 2 ayat (3) tadi menurut Perdana Menteri Djuanda dalam jawabannya kepada Sidang Pleno Konstituante tanggal 21 Mei 1959 adalah suara terbanyak mutlak, artinya separoh ditambah satu. Jadi, bukan suara terbanyak relatif atau suara terbanyak yang dikualifiseer.
Begitu pun pada UUD Republik Rakyat Tiongkok, People’s Congress seperti pendapat Prof. Mr. Moh. Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi (halaman 139) dapat dibandingkan dengan MPR, mempunyai tugas yang disebut pada Pasal 27:
1.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden,
2.    Merecall Presiden dan Wakil Presiden,
3.    Mengubah Undang-Undang Dasar, dan
4.    Meratifikasi perubahan-perubahan yang diusulkan oleh badan legislatif
Pada Pasal 25 disebut bahwa People’s Congress melakukan kekuasaan politik atas nama rakyat. Menurut pendapat saya, melakukan kekuasaan politik atas nama rakyat ini adalah wewenang People’s Congress yang bersifat umum dan dikongkritkan pada Pasal 27, karena People’s Congress tidak mempunya wewenang yang bersifat kongkrit selain daripada yang disebut pada pasal tersebut.
Juga perkataan “sepenuhnya” pada Pasal 1 ayat (2) menurut pendapat saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa segala hal dapat dilakukan oleh MPR atas nama rakyat. Dan tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa segala alat perlengkapan negara harus bertanggung jawab kepada MPR ini.
Menurut pendapat saya, tugas Pemerintah bersama-sama dengan DPR menurut UUD Sementara 1950 dan tugas Pemerintah bersama-sama dengan DPR serta Senat menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yaitu melakukan kedaulatan rakyat, sama maksudnya dengan melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya menurut UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Wewenang Pemerintah bersama-sama dengan DPR pada UUD Sementara 1950 diperinsi selanjutnya pada pasal-pasal lain. Begitu pun pada Konstitusi RIS. Selain daripada yang disebut pada pasal-pasal tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu.
Menurut UUD Sementara 1950, Pemerintah bersama-sama DPR menetapkan undang-undang. Kalau satu waktu Pemerintah bersama-sama DPR membuat satu undang-undang yang memuat perubahan pada UUD, maka undang-undang tersebut dapat disangsikan syahnya. Mengubah UUD menurut Pasal 140 adalah wewenang daripada Majelis Perubahan UUD. Begitu pun Pemerintah bersama-sama dengan DPR, biarpunpun berdasarkan Pasal 1 ayat (2) mereka melakukan kedaulatan rakyat, tidak berhak untuk menetapkan UUD, karena yang berhak untuk melakukan itu berdasarkan Pasal 134 adalah Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah.
Janganlah kita samakan Soviet Tertinggi Uni Sosialis Soviet Rusia (USSR) dengan MPR. Semua pejabat-pejabat tertinggi negara dangkat oleh Soviet Tertinggi ini. Menurut Pasal 70 UUD, Dewan Menteri diangkat. Menurut Pasal 105, Ketua Mahkamah Agung dipilih untuk lima tahun, dan Jaksa Agung dipilih untuk tujuh tahun menurut Pasal 114 oleh Soviet Tertinggi. Yang berhak membuat undang-undang adalah juga Soviet Tertinggi. Presidium Soviet Tertinggi dapat menafsirkan undang-undang dan bertanggung jawab kepada Soviet Tertinggi.
Dengan begitu dapat kita katakan bahwa semua pejabat-pejabat negara harus bertanggung jawab kepada Soviet Tertinggi. Dan dapat pula dikatakan bahwa di Uni Soviet tidak ada pemisahan kekuasaan seperti yang diajarkan oleh Montesquieu.
Mengambil sumpah dan janji Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR yang dikatakan oleh Mr. Simorangkir dalam bukunya Konstitusi dan Konstituante (halaman 62), merupakan salah satu tugas daripada MPR juga tidak saya setujui, karena dalam Pasal 9 itu tidak disebut MPR mengambil sumpah atau janji, tetapi Presiden dan Wakil Presiden bersumpah atau berjanji di hadapan MPR atau DPR.
Pasal 9 UUD 1945 berbunyai seperti berikut: “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.... dan seterusnya.”
Jadi, MPR hanya sebagai tempat Presiden dan Wakil Presiden disumpah, dan dapat pula dilakukan di hadapan DPR.
Kalau tempat bersumpah itu kita anggap sebagai tugas, maka lebih baik dicantumkan sebagai tugas keenam MPR sesuai dengan Penjelasan UUD sebagai tempat bertanggung jawab Presiden. Tetapi ini pun saya tidak setujui, karena saya anggap kewajiban bertanggung jawab Presiden kepada MPR adalah akibat daripada wewenang MPR untuk memilih Presiden dan wewenang MPR untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara.
I.              Wewenang MPR pada Masa Peralihan Pertama
Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945 berbunyi seperti berikut: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.” Jadi, sebelum MPR berdasarkan Pasal 2 ayat (1) terbentuk, maka Presiden dengan bantuan Komite Nasional Pusat (KNP) melakukan tugas menetapkan UUD, menetapkan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta mengubah UUD. Sebelum DPR ada, Presiden dengan bantuan KNP membuat undang-undang sesuai dengan Pasal  5 ayat (1), menetapkan anggaran belanja negara sesuai dengan Pasal 23 ayat (1), dan lain-lain. Begitu pun sebelum DPA terbentuk, Presiden dengan bantuan KNP memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah.
Berdasarkan Pengumuman Pemerintah pada tanggal 25 September 1945, DPA dibentuk dengan 11 anggota (lihat Berita Republik Indonesia, Tahun 1945, Nomor 4, halaman 2 kolom 3). Dengan demikian tugas DPA sejak itu dilakukan oleh DPA yang dibentuk tidak sesuai dengan Pasal 16, yakni dengan undang-undang. Jadi, dapat kita samakan dengan DPA Sementara sekarang ini. Hanya dahulu ketuanya bukan Presiden.
Biarpunpun pada Pasal IV Aturan Peralihan tegas dikatakan bahwa KNP membantu Presiden melakukan tugas-tugas MPR, DPR, dan DPA sebelum badan-badan ini terbentuk, toh KNP menurut kenyataan membantu Presiden juga dalam melakukan tugas eksekutif seperti yang disebut pada Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.”
Pada tanggal 25 September 1945, KNP mengumumkan bahwa Presiden memutuskan yang pegawai-pegawai Indonesia dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai Negara Republik Indonesia dengan penuh kepercayaan bahwa mereka akan menumpahkan segala kekuatan jiwa dan raga untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.
Sekretaris Negara minta diberitahukan bahwa hanya perintah dari Pemerintah Republik Indonesia yang diturutinya.
Begitu pun tanggal 3 Oktober 1945 Komite Nasional Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang ukuran bendera, cara mengereknya, dan cara pemakaian lencana.
Bantuan KNP mengenai lapangan eksekutif berhenti sejak Maklumat Wakil Presiden No. X seperti dinyatakan oleh Badan Pekerja KNP dalam Penjelasan Makkumat Wakil Presiden No. X tanggal 20 Oktober 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Berhubung denan perubahan dalam kedudukan dan kewajiban KNP, mulai tanggal 17 Oktober 1945 KNP (dan atas namanya Badan Pekerja) tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenaan dengan tindakan Pemerintahan (uitvoering)..
“Dengan bantuan” pada Aturan Peralihan Pasal IV tidak sama artinya dengan “bersama-sama”. Komite Nasional terletak di bawah Presiden, tegasnya hanya sebagai pembantu Presiden. Hal ini juga ternyata dengan ucapan Ketua KNP Mr. Kasman Singodimedjo waktu pelantikan KNP pada tanggal 29 Agustus 1945 terhadap Presiden, bahwa Komite Nasional siap untuk menjalankan perintah. Sesudah ucapan Mr. Kasman ini, Presiden melantik KNP dengan resmi.
Dengan demikian, kalau Presiden pada satu waktu tidak memerlukan bantuan KNP, dapat ia melakukan sendiri tugas yang disebut pada Aturan Peralihan Pasal IV tersebut.
Jadi, bantuan daripada KNP tidak bersifat mengikat. Begitu pun dengan perkataan “dibantu oleh seorang Wakil Presiden” pada Pasal 4 ayat (2) dan “dibantu oleh Menteri-menteri Negara” seperti yang disebut pada Pasal 17 ayat (1) sama soalnya. Kalau satu waktu Presiden tidak memerlukan bantuan daripada seorang Wakil Presiden atau Menteri-menteri Negara, dapat ia melakukan sendiri kekuasaan pemerintah seperti yang disebut pada Pasal 4 ayat (1). 
Dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, diadakan perubahan pada Aturan Peralihan Pasal IV dengan menetapkan KNP sebelum DPR terbentuk melakukan tugas legislatif bersama-sama dengan Presiden, dan sebelum MPR terbentuk KNP menetapkan garis-garis besar haluan negara. Dan tugas sehari-hari KNP dilakukan oleh Badan Pekerja KNP. Wewenang KNP ini tidak sesuai dengan usul KNP kepada Presiden/Wakil Presiden yaitu agar sebelum MPR dan DPR terebentuk, tugas badan-badan ini dilakukan oleh KNP. Jadi, yang mengubah UUD adalah Presiden, dalam hal ini yang melakukan Wakil Presiden. Hal ini memperkuat pendapat saya tadi bahwa KNP terletak di bawah Presiden.
Berdasarkan hal-hal yang saya sebut tadi, sesudah 16 Oktober 1945 maka wewenang MPR berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV mengenai penetapan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden dan mengubah UUD tetap dilakukan oleh Presiden dibantu oleh KNP; sedangkan mengenai penetapan garis-garis besar haluan negara dilakukan oleh Presiden dengan mengikutkan KNP. Dari perkataan “ikut”, saya mengambil kesimpulan bahwa peranan Presiden dalam menetapkan garis-garis besar haluan negara adalah lebih besar dari KNP.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X tidak mengubah sistem presidentieel kabinet yang dianut dalam UUD menjadi sistem kabinet parlementair.
Sistem presidentieel berubah menjadi sistem parlementair sejak tanggal 14 November 1945, yaitu sejak Kabinet Sutan Sjahrir I dibentuk yang bertanggung jawab kepada KNP.
Mengenai syahnya perubahan UUD ini, saya tidak sependapat dengan Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Perubahan Kabinet Presidentieel Menjadi Kabinet Parlementer: “Oleh karena usul untuk mengadakan perubahan sistem pemerintahan itu berasal dari Badan Pekerja KNP dan usul itu diterima oleh Presiden, maka sudah dipenuhinya syarat-syarat dalam Aturan Peralihan Pasal IV, yaitu tindakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Majelis Permusyawaratan rakyat dengan bantuan Komite Nasional.
“Jadi kesimpulannya ialah bahwa perubahan sistem pemerintahan dari Kabinet Presidentieel menjadi Kabinet Parlementair itu bukan berdasarkan convention, tapi adalah aturan hukum yang tegas dan syah berdasarkan Pasal 37 UUD jo Pasal IV Aturan Peralihan seperti halnya dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Maklumat Politik dari tanggal 1 November dan sebagainya yang telah diuraikan di atas.”
1.    Badan Pekerja adalah atu badan berdasarkan Maklkumat Wakil Prsiden Nomor X yang tidak memberikan wewenang kepada KNP --dalam hal ini Badan Pekerja KNP—untuk membantu Presiden dalam hal mengubah UUD. Yang mempunyai hal adalah KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV. Jadi, Badan Pekerja tidak kompeten untuk mengajukan usul tersebut.
2.    Karena perubahan sistem presidentieel menjadi sistem parlementair mempunyai akibat yang jauh terhadap susunan ketatanegaraan kit, tidaklah cukup persetujuan Presiden itu diumumkan oleh Badan Pekerja KNP dengan Pengumuman Nomor 5 tanggal 11 November 1945. Harus dilakukan oleh Presiden seperti yang dilakukan oleh Wakil Presiden dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Begitu pun usul Badan Pekerja KNP seperti yang disebut pada Pengumuman Badan Pekerja Nomor 4 tanggal 30 Oktober 1945 tentang Kepartaian yang karena disetujui oleh Pemerintah ditetapkan dan diumumkan oleh Wakil Presiden dengan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Saya tahu bahwa pada waktu itu belum ada kepastian tentang bentuk satu peraturan yang berisi perubahan UUD, biarpun pun sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 yang diumumkan pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Berita Republik Indonesia Tahun 1 Nomor 1 yaitu yang mengatur pengumuman dan mulai berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Biarpun pun nama peraturan itu adalah “Peraturan tentang pengumuman dan mulai berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah”, kita tidak bertemu dalam perturan itu mengenai Peraturan Pemerintah. Pada Pasal 1 disebut bahwa Undang-undang dan Peraturan Presiden diumumkan oleh Presiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara. Mungkin Peraturan Presiden ini mencakup semua peraturan yang ditetapkan oleh Presiden (Pemerintah) yaitu Peraturan Pemerintah Penyelenggara Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; masing-masing yang disebut pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 UUD dan peraturan yang dibuat oleh Presiden yang berisi perubahan UUD berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV. Tapi dengan diumumkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang berisi perubahan UUD, enam hari sesudah diumumkannya Peraturan Pemerintah itu, maka saya bimbang apakah istilah “Maklumat Wakil Presiden” yang kurang tepat atau Peraturan Presiden tidak mencakup aturan mengenai perubahan UUD. Yang sudah terang istilah “Maklumat Wakil Presiden” adalah kurang tepat, karena berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV seharusnya memakai istilah “Maklumat Presiden” atau “Maklumat Pemerintah”, karena dalam hal ini Wakil Presiden bertindak sebagai Pemerintah atau sebagai Presiden berdasarkan Pasal 8 UUD 1945.
Saya tidak setuju pendapat Prof. Dr. Supomo dalam bukunya Undang-Undang Dasar Sementara RI halaman 66 yang berbunyi seperti berikut: “Atas dasar Pasal 45 ayat (2), maka jika perlu karena Presiden berhalangan, beliau dapat memerintahkan Wakil Presiden menjalankan pekerjaan jabatannya sehari-hari.” Pasal 45 ayat (2) UUD Sementara 1950 sama bunyinya dengan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945, maka Prof. Dr. Supomo tentunya berpendapat bahwa Wakil Presiden melakukan tugas Presiden kalau berhalangan. Kalau Wakil Presiden melakukan tugas berdasarkan Pasal 4 ayat ((2), maka ia bertindak sebagai Wakil Presiden yang dibawahkan oleh Presiden. Jadi, biarpun pun Presiden tidak berhalangan, Wakil Presiden melakukan tugas seperti umpamanya pada bulan Januari 1948 sampai dengan bulan Desember 1948 yaitu memimpin kabinet sehari-hari.
Mungkin pula perubahan pada UUD dicakup oleh undang-undang yang disebut dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Pendapat ini berdasar, karena Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo yang mengumumkan Peraturan Pemerintah itu pada tanggal 10 Oktober 1945 sebagai Sekretaris Negara, seharusnya mengerti betul-betul apa yang dimaksud dengan undang-undang dan Peraturan Presiden dalam Peraturan Pemerintah itu, berpendapat bahwa hasil kerja sama antara Presiden dan KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV dapat disebut undang-undang. Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dalam buku Perubahan Kabinet Presidentieel Menjadi Kabinet Parlementer mengatakan pada muka (halaman –ed) 35: “Tetapi oleh karena aturan hukum tatanegara kita tidak memberi nama tersendiri untuk hasil kerja sama antara Presiden dan Komite Nasional Pusat sebagai pengganti Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka penulis tidak berkeberatan hasil kerja sama itu dinamakan juga Undang-undang.”
Pendapat Prof. Pringgodigdo ini memang nanti akan terbayang pada beberapa undang-undang yang dibuat pada tahun 1949, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1949 mengenai Penetapan Ketua DPR sebagai Pemangku Jabatan Presiden Kalau Presiden dan Wakil Presiden Berhalangan, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949 yang memberi kekuasaan kepada KNP untuk menyetujui perubahan UUD dengan suara terbanyak mutlak dan dengan qourum separuh ditambah satu.
Kedua-dua undang-undang tadi memuat perubahan pada UUD tidak pada tubuhnya tapi merupakan tambahan pada UUD sama dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan perubahan dari sistem presidentieel ke sistem parlementair. Dan sekaligus pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949 itu diperluas kekuasaan KNP dengan mempunyai hak mengubah UUD bersama-sama dengan Presiden. Jadi, lebih luas daripada kekuasaan-kekuasaan KNP yang ditetapkan dalam Maklumat Wakil Presiden Nomor X.
Menurut saya, dua undang-undang yang saya sebut tadi, dari sudut bentuk sudah memenuhi syarat-syarat bagi syahnya suatu undang-undang yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Badan Pekerja KNP dan hak badan ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Dan sudah ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan dan sudah diundangkan oleh Sekretaris Negara.
Tapi karena materi yang diatur dalam dua undang-undang itu adalah perubahan UUD, maka Badan Pekerja KNP berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tidak berhak untuk memberikan persetujuan. Begitu pun saya tidak sependapat dengan Prof. Pringgodigdo bahwa antara lain perubahan UUD dapat dilakukan dalam bentuk undang-undang karena ini akan mengacaukan undang-undang yang disebut Pasal 5 ayat (1) UUD. Memang unsur yang menentukan daripada perubahan ini sudah dipenuhi, yaitu perubahan itu dilakukan oleh Presiden. Presiden berhak melakukan ini berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV. Dan seperti saya katakan tadi, bantuan KNP mengenai hal ini tidak merupakan syarat untuk syahnya tindakan Presiden ini.
Saya lebih condong untuk mengatakan syahnya perubahan UUD yang disebut pada Pengumuman Badan Pekerja  KNP Nomor 5, Undang-undang Nomor 7 Tahun1949, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949; bukan berdasarkan sumber-sumber tersebut tetapi berdasarkan kenyataan. Tegasnya, tidak dapat kita nilai secara formil-yuridis, tetapi harus secara revolusionnair-yuridis.
Para ahli hukum biasanya, kalau suatu tindakan tidak berdasarkan peraturan yang tertulis tapi tindakan itu dianggap syah menurut hukum dan dengan begitu mempunyai kekuatan mengikat, mengatakan tindakan itu berdasarkan peraturan yang tidak tertulis, kebiasaan atau convensi.
Mengenai sumber hukum yang tidak tertulis ini ada bermacam-macam pendapat. Prof. Pompe dalam bukunya Het Nieuwe Tijdperk en het Recht mengatakan dalam muka 72 ketika membicarakan Arrest Hooge Raad Tahun 1919 berhubung dengan B.W. Belanda Pasal 1401 (Pasal 1365 B.W. Indonesia) yaitu tentang onrechtmatige daad, bahwa hukum yang tidak tertulis itu bersumber tidak hanya pada kebiasaan, tapi juga pada goede zeden, dan lain-lain. Beberapa ahli lain mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan. Tapi sebaliknya Prof. Logeman dalam bukunya Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht muka 13 dan 14, tidak mengakui kebiasaan sebagai sumber hukum. Ia berpendapat bahwa satu tindakan saja sudah cukup sebagai ukuran adanya hukum (rechtsnorm) asalkan memuat keinsyafan seharusnya demikian (opinion). Encyclopaedie der Rechtswetenschap muka 155 dan 156 menganggap kebiasaan sebagai sumber hukum, yaitu kalau tindakan-tindakan beberapa kali terjadi dan dengan opinio necessitatis. Tapi ia juga berpendapat dari satu tindakan saja sudah dapat dikatakan adanya norma hukum dengan syarat-syarat yang tertentu. Begitu pun W. Ivor Jennings dalam bukunya The Law and The Constitution muka 135 berpendapat: “a single precedent with a good reason may be enough to establish the rule.”     
Sesudah mempelajari pendapat-pendapat tersebut di atas dan terpengaruh oleh perkataan Jellineck: “die normative Kraft des Faktischen (kekuatan mengikat daripada kenyataan),” saya memakai istilah “kenyataan” bagi sumber hukum yang tidak tertulis.
Syahnya satu undang-undang dapat kita ketahui sebelum undang-undang itu berjalan. Satu undang-undang dianggap syah kalau dibuat oleh yang kompeten dengan bentuk yang tertentu dan syarat-syarat lain. Syahnya satu undang-undang bukan berarti dengan sendirinya berlaku. Mungkin para warga negara atau pejabat negara malahan menaati hukum yang bersumber pada kenyataan yang bertentangan dengan undang-undang yang syah itu. Atau hukum yang bersumber kepada kenyataan menambah hukum yang bersumber pada undang-undang.
Apa syarat-syaratnya agar suatu tindakan dianggap syah berdasarkan kenyataan? Atau dengan perkataan lain, kapan timbul hukum bersumber pada kenyataan?
Jawabnya adalah kalau tindakan itu memuat opinio necessitatis. Hal ini ternyata pada sikap warga negara dan pejabat negara menaati tindakan itu. Jadi, syahnya satu tindakan berdasarkan kenyataan harus kita lihat sesudah tindakan itu dijalankan (mempunyai akibat).
Biarpun pun perubahan dari sistem presidentieel ke sistem parlementair, Undang-undang Nomor 7 dan 9 Tahun 1949 secara formil-yuridis tidak memenuhi syarat, tapi karena ditaati para warga negara dan pejabat-pejabat negara dan dengan begitu memuat opinio necessitatis, maka saya katakan bahwa tindakan-tindakan itu adalah syah berdasarkan kenyataan.
Memang antara tanggal 18 Agustus 1945 pada waktu mulai berlakunya UUD sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), terutama tahun-tahun pertama berlakunya UUD ini, untuk meninjau susunan negara Republik Indonesia sangat sukar. Seperti yang disebut tadi pada Penjelasan UUD, tidak cukup kita membaca UUD daripada suatu negara untuk mengerti susunan negara itu, tapi juga harus kita pelajari sebagaimana praktiknya. Sebagaimana praktiknya ini yang sukar kita pelajari. Tidak adanya bentuk-bentuk peraturan yang tertentu yang memuat tindakan-tindakan Presiden berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV, yang memuat tindakan Presiden untuk melaksanakan hak-hak prerogatif yang disebut dalam beberapa pasal UUD dan yang memuat tindakan-tindakan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1). Tidak adanya ketegasan apa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah dan apa yang harus diatur dalam Peraturan Presiden.
Apakah Pengumuman Badan Pekerja KNP merupakan juga undang-undang dalam arti materieel atau tidak? Sesudah berlaku sistem kabinet parlementer apakah semua tindakan-tindakan Presiden termasuk menetapkan undang-undang bersama-sama dengan KNP harus ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan atau tidak? Mengenai hal-hal ini juga tidak ada ketegasan.
Kita lihat umpamanya perkembangan keanggotaan KNP. Mula-mula disusun oleh satu panitia yang diketuai oleh Saudara Suwirjo dan dilantik tanggal 29 Agustus 1945. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946 tanggal 18 April 1946 dengan berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV ditetapkan anggota KNP sebanyak 200 orang. Lalu Peraturan Pemerintah ini diganti dengan Undang-undang Nomor 12 tanggal 8 Juli 1946. Dasarnya antara lain disebut Aturan Pertalihan Pasal IV dan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Sesudah itu pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6 yang menimbulkan kehebohan pada waktu itu yang menetapkan jumlah anggota KNP lebih daripada 500 orang. Lalu dalam Undang-undang Nomor 6  Tahun 1949 ditetapkan adanya penambahan anggota Badan Pekerja KNP dan dengan begitu penambahan anggota KNP bagi partai/golongan yang belum mempunyai anggota-anggota dalam KNP sebanyak paling sedikti 12 orang.
Pada tahun 1946 ditetapkan sebanyak 24 undang-undang. Dan di antaranya yaitu Undang-undang Nomor 12 dan 15 tidak ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan, sedangkan dalam satu negara yang bersistem kabinet parlementer semua tindakan Presiden selain yang disebut berdasarkan hak prerogatif Presiden, harus ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan, karena menteri inilah yang bertanggung jawab mengenai hal itu.
Dan biarpun pun dikatakan bahwa sejak bulan Januari tahun 1948 dibentuk Kabinet Presidentieel dan pimpinan sehari-hari dilakukan oleh Wakil Presiden, tetapi antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah turut serta ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri.
Begitu pun Maklumat Pemerintah kadang-kadang merupakan bentuk peraturan seperti Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan kadang-kadang hanya memuat pengumuman Pemerintah, umpamanya tentang pembangunan negara, tentang susunan kabinet, dan lain-lain.
Ada kalanya untuk Maklumat Pemerintah ini dipergunakan perkataan Maklumat Wakil Presiden, umpamanya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, dan ada kalanya dengan perkataan Maklumat Presiden, umpamanya Maklumat Presiden Nomor 1, 2, dan 3 Tahun 1946.
Kekacauan dalam perundang-undangan ini bukan monopolie masa permulaan Republik Indonesia, tetapi juga masa RIS. Kita masih ingat begitu Konstitusi RIS berlaku, begitu ditunjuk pembentuk kabinet sebanyak 4 orang, sedang dalam Pasal 74 Konstitusi RIS disebut bahwa Presiden menunjuk 3 orang pembentuk kabinet.
Pemerintah RIS mula-mula berpendapat yang perubahan satu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada di dalam Pasal 44 harus menurut aturan-aturan yang ditetapkan dalam undang-undang, dalam keadaan mendesak tidak boleh ditetapkan dengan undang-undang darurat sesuai dengan Pasal 139 Konstitusi RIS karena tidak merupakan penyelenggaraan pemerintahan. Tapi akhirnya toh diatur dalam Undang-undang Darurat yang diundangkan dalam Lembaran Negara RIS Nomor 6 Tahun 1950.
Juga berdasarkan UUD Sementara 1950 kita mengalami hal-hal yang sama. Umpamanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 1953 yang berlaku surut sampai tanggal 17 Agustus 1950 memuat ketentuan tentang kemungkinan mengganti anggota DPR  Sementara dengan orang yang bukan bekas anggota dewan-dewan yang disebut pada Pasal 77 UUD Sementara 1950. Jadi, undang-undang tersebut memuat perubahan pada UUD, khususnya pada Pasal 77 tersebut.
Kita mengetahui bahwa yang berhak menetapkan undang-undang adalah Pemerintah bersama-sama dengan DPR (menurut Pasal 89), sedangkan yang berhak mengubah UUD adalah Majelis Perubahan UUD (menurut Pasal 140).
Begitu pun Undang-undang Nomor 29 Tahun 1957 yang mengatur Pemangku Jabatan Presiden kalau Presiden berhalangan sedangkan Wakil Presiden tidak ada atau juga berhalangan, merupakan tambahan pada UUD Sementara. Jadi, merupakan perubahan pada UUD Sementara.
Semua tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan tadi menurut pendapat saya adalah syah berdasarkan kenyataan, karena ternyata ditaati oleh para warga negara dan pejabat negara. Jadi, mempunya kekuatan mengikat.
Saya gembira dengan tindakan Presiden RI yang menetapkan bentuk peraturan dan hal-hal apa yang harus diatur dalam peraturan-peraturan tersebut yang berlaku sejak 5 Juli 1959 dan yang sudah diberitahukan kepada DPR dengan surat Presiden tanggal 20 Agustus 1959 Nomor 2262/Hk/59.
Dengan begitu, mudah-mudahan kita tidak akan mengalami lagi kekacauan dalam perundang-undangan seperti yang kita alami terutama sekitar 1945.
Dan biarpun pun saya mengakui kenyataan sebagai sumber hukum, menurut saya lebih sedikit hukum yang bersumber kepada kenyataan, lebih baik. Kalau tidak terpaksa sekali, lebih baik kenyataan jangan dipakai sebagai sumber hukum.
II.            Wewenang MPR Sesudah Dekrit Presiden
Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD yang dibuat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah UUD Seementara. Hal ini sesuai dengan ucapan Ketua Panitia yaitu Bung Karno pada rapat paripurna Panitia tersebut pada tanggal 18 Agustus 1945 seperti berikut: “Sidang saya buka lagi. Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangn umum, yang singkat, cekak, aos, hanya mengenai pokok-pokok saja. Dan Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara.”
Begitu pun Presiden Republik Indonesia pada waktu membuka Konstituante tanggal 10 November 1956 berkata seperti berikut: “Konstitusi pertama adalah konstitusi yang jadi pegangan kita sejak tanggal 17 Agustus 1945 dengan melalui pasang naik dan pasang surut revolusi sampai kepada peresmian Republik Indonesia Serikat. Konstitusi kedua berlaku dalam zaman Republik Indonesia Serikat, dan konstitusi ini tamat riwayatnya pada tanggal 17 Agustus 1950 ketika Republik Kesatuan bangkit kembali. Konstitusi ketiga adalah konstitusi yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 sampai kepada saat jika kelak konstitusi yang Saudara-saudara akan susun sudah diresmikan. Tapi semua konstitusi dari nomor satu sampai dengan nomor tiga itu bersifat sementara.”
Bahwa UUD yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1945 bersifat sementara, dapat kita lihat pada Pasal 3 yang berbunyi seperti berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar”, dan pada Aturan Tambahan ayat (2): “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.”
Menetapkan Undang-Undang Dasar sama artinya dengan membuat Undang-Undang Dasar. Hal ini dapat juga kita lihat pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 di mana dikatakan Presiden menetapkan masing-masing Peraturan Pemerintah penyelenggara Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Di sini pun “menetapkan” sama artinya dengan “membuat”.
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 tidak lagi UUD Sementara tetapi UUD Tetap. Presiden Republik Indonesia dengan Dekrit mengambil alih wewenang Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah untuk menetapkan UUD yang menggantikan UUD Sementara 1950 seperti yang disebut pada Pasal 134 UUD Sementara 1950: “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.”
Saya termasuk orang yang menyesali kenapa Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak dikeluarkan pada waktu Kabinet Ali yang terakhir meletakkan jabatan. Kalau Dekrit Presiden dikeluarkan pada waktu itu, maka Keputusan Presiden tanggal 14 Maret 1957 yang menetapkan negara dalam keadaan bahaya yang ditandangani serta oleh Perdana Menteri demisionair tidak akan dihebohkan pada waktu itu dengan mengatakan bahwa Keputusan itu tidak syah karena Perdana Menteri yang sudah demisionair tidak dapat mempertanggungjawabkan ini kepada DPR sesuai dengan yang disebut pada Pasal 83 jo Pasal 85 UUD Sementara 1950.            
Begitu pun tidak akan menjadi persoalan apakah tindakan Presiden Republik Indonesia yang menunjuk warga negara Republik Indonesia Bung Karno menjadi formatir Kabinet syah atau tidak. Dan juga pembentukan Dewan Nasional yang dibentuk dengan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1957 tidak perlu dilakuka, karena dalam UUD 1945 sudah ada ketentuan mengenai Dewan Pertimbangan Agung yang mempunyai tugas yang sama dengan Dewan Nasional yang disebut pada Pasal 2 Undang-undang Darurat tersebut.
Kita masih ingat bahwa ditunjuknya Bung Karno sebagai pembentuk kabinet dan pembentukan Dewan Nasional juga sangat dihebohkan pada waktu tindakan-tindakan tersebut dilakukan.
 Kenapa Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku lagi berdasarkan Dekrit Presiden adalah Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap?
Kalau Konstituante menerima usul rencana yang diajukan oleh Kabinet Karya pada tanggal 21 Februari 1959 dan yang diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 April 1959 yaitu kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia seperti yang disebut pada Pasal 134 UUD Seementara 1950 sudah terbentuk, yaitu UUD dengan naskah UUD 1945.
Kabinet Karya pun berpendapat demikian sesuai dengan jawaban tertulis Perdana Menteri Djuanda kepada DPR tertnggal 25 Maret 1959.
Karena UUD 1945 sudah menjadi UUD yang bersifat tetap, maka dengan sendirinya MPR tidak mempunyai hak lagi untuk membuat atau menetapkan UUD. Dan dengan demikian maka UUD yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, sudah berubah, biarpun pun perubahan itu tidak dilakukan dalam tubuh UUD itu. Yang berubah antara lain adalah Pasal 3 Bagian Pertama dan Aturan Tambahan ayat (2).
Jadi, dengan demikian sesudah Dekrit Presiden, MPR hanya mempunyai tiga wewenang yaitu menetapkan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden serta Wakil Presiden, dan mengubah UUD.
Sesudah garis-garis besar haluan negara ditetapkan oleh MPR, maka sebagian diatur selanjutnya dalam undang-undang agar Presiden dapat melaksanakannya sebagai pemegang kekuasaan eksekutief. Tapi ada bagian daripada garis-garis besar haluan negara yang dapat langsung dijalankan oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD.
Hal ini sesuai dengan sistem yang dianut dalam UUD 1945 yaitu yang menetapkan adanya hal-hal yang harus diatur lebih dahulu dalam undang-undang, baru dapat dijalankan oleh Pemerintah; dan ada pula yang langsung dapat dijalankan oleh Pemerintah berdasarkan UUD antara lain seperti yang disebut pada Pasal 13 ayat (1): Presiden mengangkat duta dan konsul; Pasal 13 ayat (2): Presiden menerima duta-duta; Pasal 14: Presiden memberi grasi, amnestie, abolisi, dan rehabilitasi; serta Pasal 15: Presiden memberi gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
Karena UUD ini sudah bersifat tetap, maka dengan sendirinya mencakup juga pembatasan pada kemungkinan-kemungkinan mengadakan perubahan.
Kemungkinan ini jangan kita samakan dengan kemungkinan mengubah Konstitusi RIS berdasarkan Pasal 190 jo Pasal 191. Perubahan Konstitusi RIS dapat dilakukan dengan Undang-undang Federal asal memenuhi syarat-syarat yang disebut pada Pasal 190 yaitu rapat DPR dan Senat RIS masing-masing harus dihadiri oleh paling sedikit 2/3 dari seluruh anggota dan usul perubahan harus disetujui oleh paling sedikit 2/3 daripada anggota yang hadir. Dan memang pada pasal ini tidak disebut batas kemungkinan mengubah Konstitusi RIS. Oleh sebab itulah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950 yang memuat UUD sementara 1950 dianggap syah biarpun mengubah Konstitusi RIS secara prinsipil antara lain mengubah bentuk federaal menjadi kesatuan.
Kita mengetahui yang Konstitusi RIS adalah Konstitusi sementara, antara lain berdasarkan Pasal 186 yang berbunyi seperti berikut: “Konstituanten (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat untuk menggantikan Konstittusi sementara ini.”
Pembatasan mengenai kemungkinan untuk mengadakan perubahan pada UUD ini antara lain dianut dengan tegas dalam Konstitusi Perancis seperti disebut pada Pasal 95 yang berbunyi seperti berikut: “Bentuk Pemerintahan Republik sekali-kali tidak diperkenankan untuk menjadi usul perubahan.”
Menurut saya, perubahan-perubahan yang tidak boleh diadakan adalah perubahan-perubahan yang sangat tidak sesuai dengan pendapat golongan yang membuat UUD. Konstitusi Perancis dibuat oleh golongan yang tidak menghendaki kerajan, oleh karena itulah tidak diperkenankan mengubah Republik Perancis menjadi Kerajaan Perancis.
Begitupun, karena UUD 1945 ditetapkan dengan Dekrit Presiden oleh Presiden Sukarno maka menurut pendapat saya negara ini tidak boleh diubah menjadi kerajaan. Juga tidak boleh bentuk kesatuan diubah menjadi bentuk federaal. Dan juga tidak boleh sistem kabinet presidentieel diubah menjadi sistem kabinet parlementair. Karena tiga hal itu sangat tidak disukai oleh Presiden Sukarno.
III.           Wewenang MPR pada Masa Peralihan Kedua
Karena pada tanggal 5 Juli 1959 MPR belum terbentuk seperti yang disebut pada Pasal 2 ayat (1) UUD, untuk menghindarkan vacuum hukum, maka harus ada badan yang melakukan tugas MPR ini.
Mula-mula saya kira bahwa MPR Sementara yang disebut pada Dekrit Presiden akan melakukan tugas MPR sebelum badan ini terbentuk. Tetapi sesudah melihat cara terbentuknya MPR Seementara berdasarkan Dekrit Presiden dengan aturan yang ditetapkan dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, dan tindakan Presiden ini menurut Penjelasan Penetapan itu akan dipertanggungjawabkan kepada MPR, maka saya mengambil kesimpulan bahwa tugas MPR Sementara adalah sama dengan tugas KNP yang disebut pada Aturan Peralihan Pasal IV khusus mengenai tugas MPR.
Menurut Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, banyaknya anggota MPR Sementara ditetapkan oleh Presiden. Anggota-anggota DPR yang sekarang dengan sendirinya menjadi anggota-anggota MPR Sementara ditambah dengan wakil-wakil golongan fungsional dan wakil-wakil Daerah Swatantra I (sekarang Provinsi –ed) yang akan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
Biarpun DPR Seementara berdasarkan UUD Sementara 1950 dan DPR Sementara RIS berdasarkan Konstitusi RIS melakukan tugas DPR yang bersifat tetap, yaitu antara lain bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan undang-undang, kita tidak dapat mempergunakan ketentuan ini terhadap hubungan antara MPR Sementara dengan MPR yang bersifat tetap.
Adalah tidak logis umpamanya kalau Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR Sementara mengenai Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yaitu tentang Pembentukan MPR Sementara, sedangkan beliau sendiri yang menetapkan seorang (seseorang –ed) menjadi anggota MPR Sementara dan seharusnya beliau pulalah yang memberhentikan seseorang dari keanggotaan MPR Sementara.
Begitupun DPR yang sekarang dapat melaksanakan tugas seperti disebut pada UUD adalah atas berkat Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959 yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh Presiden,
Sesuai dengan pendapat saya bahwa pendapat KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV dalam Presiden melakukan tugas MPR tidak mengikat Presiden, saya juga berpendapat bahwa putusan MPR Sementara sebagai pembantu Presiden, juga tidak mengikat Presiden.
Sebelum MPR Sementara terbentuk, tugas MPR dilakukan sendiri oleh Presiden. Dan sesudah Majelis ini terbentuk, tugas MPR dilakukan oleh Presiden denfan bantuan MPR Sementara.
Dengan sendirinya Presiden dapat mendelegasikan kekuasaan kepada MPR Sementara, sama dengan Presiden mendelegasikan kekuasaan kepada pembantu-pembantunya yang lain, umpamanya para menteri negara. Dan dapat pula kita katakan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1 adalah pendelegasian kekuasaan DPR sekarang untuk melakukan kekuasaan DDPR yang harus dibentuk berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Dasar.
Karena MPR Sementara mendapat kekuasaan yang didelegasikan oleh Presiden, maka Majelis ini harus bertanggung jawab kepada Presiden.
Dan putusan MPR Sementara dapat sewaktu-waktu dibatalkan oleh Presiden atau tiap-tiap putusan MPR Sementara harus disyahkan lebih dahulu oleh Presiden. Dan kalau MPR Sementara tidak mendapat kekuasaan yang didelegasikan oleh Presiden, maka MPR Sementara hanya mempunyai tugas memberi nasihat atau mengajukan usul-usul kepada Presiden khusus mengenai tugas-tugas MPR.[]

Sumber tulisan: Diesrede (Pidato Dies) pada Dies Natalis XV Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 26 Januari 1960, di Aula Masjid Syuhada, sebagaimana dimuat dalam Dahlan Thaib, S.H. dan Moh. Mahfud MD, S.H., 5 Windu UII Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1945-1984, diterbitkan dalam rangka menyongsong Dies Natalis ke-40 UII, 1984, halaman 446-464.

Tidak ada komentar: