2
Wewenang
MajelisPermusyawaratan Rakyat
SUATU negara adalah satu masyarakat yang
teratur yang menempati satu daerah tertentu. Dan lebih tegas dapat dikatakan
negara adalah satu organisasi pada satu daerah yang tertentu yang didirikan
untuk mencapai tujuan yang tertentu.
Ada negara yang didirikan untuk
kepentingan seseorang, ada yang untuk segolongan orang dalam masyarakat, dan
ada pula yang untuk seluruh rakyat. Kalau negara yang terakhir didirikan oleh
rakyat, maka negara itu adalah satu organisasi rakyat dalam daerah yang
tertentu.
Satu organisasi adalah satu sistem kerja sama
untuk mencapai tujuan yang tertentu. Pada satu organisasi senantiasa harus ada
pmbagian pekerjaan. Kalau ini suatu negara, yaitu organisasi kekuasaan, maka
harus ada pembagian pekerjaan antara pemerintah dan rakyat. Rakyat mempunyai
hak dan kewajiban, dan pemerintah mempunyai hak dan kewajiban. Pemerintahan
harus disusun begitu rupa hingga mampu mencapai tujuan mendirikan negara.
Kekuasaan dibagi-bagi pada alat-alat perlengkapan negara, ditetapkan hubungan
antara satu sama lain, ditetapkan tingkatan-tingkatannya (hierarchie) dan daerah negara dibagi dalam daerah besar dan kecil
supaya mudah melaksanakan tugas alat-alat perlengkapan negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik
Indonesia didirikan dengan proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
rakyat dan sesudah membacakan proklamasi itu Bung Karno berkata seperti
berikut: “Demikianlan Saudara-saudara.
Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air
kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita, negara merdeka,
negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan
memberkati kemerdekaan kita itu.”
Saya mengatakan 17 Agustus 1945 negara
Republik Indonesia didirikan, karena saya menganggap ucapan Bung Karno sesudah
mengucapkan proklamasi itu adalah lanjutan daripada proklamasi itu.
Biarpun pada tanggal 17 Agustus itu belum
terang susunan pemerintahan, karena belum dirumuskan secara tertulis dan
biarpun belum ada alat perlengkapan negara yang memegang kekuasaan yang harus
ditaati oleh rakyat, tidak berarti bahwa negara pada waktu itu belum ada.
Saya menganggap Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi seperti berikut: “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat” memuat tugas MPR yang bersifat umum dan secara kongkrit satu per satu
disebut dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 37. Tegasnya melakukan
kedaulatan rakyat yang disebut pada Pasal 1 ayat (2) itu dijelmakan pada tugas
menetapkan UUD, menetapkan garis besar haluan negara, memilih Presiden dan
Wakil Presiden, dan mengubah UUD. Jadi, MPR tidak berhak membuat undang-undang
(UU), mengadili, memeriksa keuangan negara, dan lain-lain, karena masing-masing
adalah wewenang Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan lain-lain.
Jadi, biarpun dikatakan pada pasal tersebut
bahwa MPR melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya, tidak berarti badan ini dapat
melakukan segala hal atas nama rakyat. Wewenang MPR untuk mengubah UUD seperti
yang disebut pada Pasal 37 pun tidak dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan Pasal
1 ayat (2) ini. Pasal 37 berbunyi: “(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar
sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
harus hadir, (2). Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota yang hadir.”
Kalau MPR berhak mengubah UUD berdasarkan
Pasal 1 ayat (2), maka pada satu waktu kalau ada orang yang mengajukan usul
perubahan UUD dan ditolak oleh MPR karena yang menyetujui usul tersebut hanya
separoh ditambah satu dari anggota-anggota yang hadir, besoknya orang tersebut
akan meminta agar MPR bersidang dan memutuskan usul perubahan yang
diajukannyaitu berdasarkan wewenang MPR
pada pasal tersebut.
Kalau separoh ditambah satu yang disebut tadi
tetap menyetujui usul perubahan itu, maka usul itu berdasarkan Pasal 2 ayat (3)
yang berbunyi seperti berikut: “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditetapkan dengan suara terbanyak” diterima oleh MPR. Jadi, dengan begitu usul
perubahan itu ditolak oleh MPR, berdasarkan Pasal 37 dan diterima berdasarkan
Pasal 1 ayat (2).
Suara terbanyak yang disebut pada Pasal 2
ayat (3) tadi menurut Perdana Menteri Djuanda dalam jawabannya kepada Sidang
Pleno Konstituante tanggal 21 Mei 1959 adalah suara terbanyak mutlak, artinya
separoh ditambah satu. Jadi, bukan suara terbanyak relatif atau suara terbanyak
yang dikualifiseer.
Begitu pun pada UUD Republik Rakyat Tiongkok,
People’s Congress seperti pendapat
Prof. Mr. Moh. Yamin dalam bukunya Proklamasi
dan Konstitusi (halaman 139) dapat dibandingkan dengan MPR, mempunyai tugas
yang disebut pada Pasal 27:
1.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden,
2.
Merecall
Presiden dan Wakil Presiden,
3.
Mengubah Undang-Undang Dasar, dan
4.
Meratifikasi perubahan-perubahan yang
diusulkan oleh badan legislatif
Pada
Pasal 25 disebut bahwa People’s Congress
melakukan kekuasaan politik atas nama rakyat. Menurut pendapat saya, melakukan
kekuasaan politik atas nama rakyat ini adalah wewenang People’s Congress yang bersifat umum dan dikongkritkan pada Pasal
27, karena People’s Congress tidak
mempunya wewenang yang bersifat kongkrit selain daripada yang disebut pada
pasal tersebut.
Juga perkataan “sepenuhnya” pada Pasal 1 ayat
(2) menurut pendapat saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa segala hal
dapat dilakukan oleh MPR atas nama rakyat. Dan tidak bermaksud untuk mengatakan
bahwa segala alat perlengkapan negara harus bertanggung jawab kepada MPR ini.
Menurut pendapat saya, tugas Pemerintah
bersama-sama dengan DPR menurut UUD Sementara 1950 dan tugas Pemerintah
bersama-sama dengan DPR serta Senat menurut Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS) yaitu melakukan kedaulatan rakyat, sama maksudnya dengan
melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya menurut UUD 1945 Pasal 1 ayat (2).
Wewenang Pemerintah bersama-sama dengan DPR pada UUD Sementara 1950 diperinsi
selanjutnya pada pasal-pasal lain. Begitu pun pada Konstitusi RIS. Selain
daripada yang disebut pada pasal-pasal tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan
DPR tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu.
Menurut UUD Sementara 1950, Pemerintah
bersama-sama DPR menetapkan undang-undang. Kalau satu waktu Pemerintah
bersama-sama DPR membuat satu undang-undang yang memuat perubahan pada UUD,
maka undang-undang tersebut dapat disangsikan syahnya. Mengubah UUD menurut
Pasal 140 adalah wewenang daripada Majelis Perubahan UUD. Begitu pun Pemerintah
bersama-sama dengan DPR, biarpunpun berdasarkan Pasal 1 ayat (2) mereka
melakukan kedaulatan rakyat, tidak berhak untuk menetapkan UUD, karena yang
berhak untuk melakukan itu berdasarkan Pasal 134 adalah Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah.
Janganlah kita samakan Soviet Tertinggi Uni
Sosialis Soviet Rusia (USSR) dengan MPR. Semua pejabat-pejabat tertinggi negara
dangkat oleh Soviet Tertinggi ini. Menurut Pasal 70 UUD, Dewan Menteri
diangkat. Menurut Pasal 105, Ketua Mahkamah Agung dipilih untuk lima tahun, dan
Jaksa Agung dipilih untuk tujuh tahun menurut Pasal 114 oleh Soviet Tertinggi.
Yang berhak membuat undang-undang adalah juga Soviet Tertinggi. Presidium
Soviet Tertinggi dapat menafsirkan undang-undang dan bertanggung jawab kepada
Soviet Tertinggi.
Dengan begitu dapat kita katakan bahwa semua
pejabat-pejabat negara harus bertanggung jawab kepada Soviet Tertinggi. Dan
dapat pula dikatakan bahwa di Uni Soviet tidak ada pemisahan kekuasaan seperti
yang diajarkan oleh Montesquieu.
Mengambil sumpah dan janji Presiden dan Wakil
Presiden oleh MPR yang dikatakan oleh Mr. Simorangkir dalam bukunya Konstitusi dan Konstituante (halaman
62), merupakan salah satu tugas daripada MPR juga tidak saya setujui, karena
dalam Pasal 9 itu tidak disebut MPR mengambil sumpah atau janji, tetapi
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah atau berjanji di hadapan MPR atau DPR.
Pasal 9 UUD 1945 berbunyai seperti berikut:
“Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.... dan seterusnya.”
Jadi, MPR hanya sebagai tempat Presiden dan
Wakil Presiden disumpah, dan dapat pula dilakukan di hadapan DPR.
Kalau tempat bersumpah itu kita anggap
sebagai tugas, maka lebih baik dicantumkan sebagai tugas keenam MPR sesuai
dengan Penjelasan UUD sebagai tempat bertanggung jawab Presiden. Tetapi ini pun
saya tidak setujui, karena saya anggap kewajiban bertanggung jawab Presiden
kepada MPR adalah akibat daripada wewenang MPR untuk memilih Presiden dan
wewenang MPR untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara.
I.
Wewenang
MPR pada Masa Peralihan Pertama
Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945 berbunyi
seperti berikut: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini,
segala kekuasannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional.” Jadi, sebelum MPR berdasarkan Pasal 2 ayat (1) terbentuk, maka
Presiden dengan bantuan Komite Nasional Pusat (KNP) melakukan tugas menetapkan
UUD, menetapkan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden dan Wakil
Presiden, serta mengubah UUD. Sebelum DPR ada, Presiden dengan bantuan KNP
membuat undang-undang sesuai dengan Pasal
5 ayat (1), menetapkan anggaran belanja negara sesuai dengan Pasal 23
ayat (1), dan lain-lain. Begitu pun sebelum DPA terbentuk, Presiden dengan
bantuan KNP memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul
kepada Pemerintah.
Berdasarkan Pengumuman Pemerintah pada
tanggal 25 September 1945, DPA dibentuk dengan 11 anggota (lihat Berita Republik Indonesia, Tahun 1945,
Nomor 4, halaman 2 kolom 3). Dengan demikian tugas DPA sejak itu dilakukan oleh
DPA yang dibentuk tidak sesuai dengan Pasal 16, yakni dengan undang-undang.
Jadi, dapat kita samakan dengan DPA Sementara sekarang ini. Hanya dahulu
ketuanya bukan Presiden.
Biarpunpun pada Pasal IV Aturan Peralihan
tegas dikatakan bahwa KNP membantu Presiden melakukan tugas-tugas MPR, DPR, dan
DPA sebelum badan-badan ini terbentuk, toh KNP menurut kenyataan membantu
Presiden juga dalam melakukan tugas eksekutif seperti yang disebut pada Pasal 4
ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-Undang Dasar.”
Pada tanggal 25 September 1945, KNP
mengumumkan bahwa Presiden memutuskan yang pegawai-pegawai Indonesia dari
segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai Negara Republik
Indonesia dengan penuh kepercayaan bahwa mereka akan menumpahkan segala
kekuatan jiwa dan raga untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.
Sekretaris Negara minta diberitahukan bahwa
hanya perintah dari Pemerintah Republik Indonesia yang diturutinya.
Begitu pun tanggal 3 Oktober 1945 Komite Nasional
Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang ukuran bendera, cara mengereknya, dan
cara pemakaian lencana.
Bantuan KNP mengenai lapangan eksekutif
berhenti sejak Maklumat Wakil Presiden No. X seperti dinyatakan oleh Badan
Pekerja KNP dalam Penjelasan Makkumat Wakil Presiden No. X tanggal 20 Oktober
1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Berhubung denan perubahan dalam kedudukan
dan kewajiban KNP, mulai tanggal 17 Oktober 1945 KNP (dan atas namanya Badan
Pekerja) tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenaan dengan tindakan
Pemerintahan (uitvoering)..
“Dengan bantuan” pada Aturan Peralihan Pasal
IV tidak sama artinya dengan “bersama-sama”. Komite Nasional terletak di bawah
Presiden, tegasnya hanya sebagai pembantu Presiden. Hal ini juga ternyata
dengan ucapan Ketua KNP Mr. Kasman Singodimedjo waktu pelantikan KNP pada
tanggal 29 Agustus 1945 terhadap Presiden, bahwa Komite Nasional siap untuk
menjalankan perintah. Sesudah ucapan Mr. Kasman ini, Presiden melantik KNP
dengan resmi.
Dengan demikian, kalau Presiden pada satu
waktu tidak memerlukan bantuan KNP, dapat ia melakukan sendiri tugas yang
disebut pada Aturan Peralihan Pasal IV tersebut.
Jadi, bantuan daripada KNP tidak bersifat
mengikat. Begitu pun dengan perkataan “dibantu oleh seorang Wakil Presiden”
pada Pasal 4 ayat (2) dan “dibantu oleh Menteri-menteri Negara” seperti yang
disebut pada Pasal 17 ayat (1) sama soalnya. Kalau satu waktu Presiden tidak
memerlukan bantuan daripada seorang Wakil Presiden atau Menteri-menteri Negara,
dapat ia melakukan sendiri kekuasaan pemerintah seperti yang disebut pada Pasal
4 ayat (1).
Dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X
tanggal 16 Oktober 1945, diadakan perubahan pada Aturan Peralihan Pasal IV
dengan menetapkan KNP sebelum DPR terbentuk melakukan tugas legislatif
bersama-sama dengan Presiden, dan sebelum MPR terbentuk KNP menetapkan
garis-garis besar haluan negara. Dan tugas sehari-hari KNP dilakukan oleh Badan
Pekerja KNP. Wewenang KNP ini tidak sesuai dengan usul KNP kepada
Presiden/Wakil Presiden yaitu agar sebelum MPR dan DPR terebentuk, tugas
badan-badan ini dilakukan oleh KNP. Jadi, yang mengubah UUD adalah Presiden,
dalam hal ini yang melakukan Wakil Presiden. Hal ini memperkuat pendapat saya
tadi bahwa KNP terletak di bawah Presiden.
Berdasarkan hal-hal yang saya sebut tadi,
sesudah 16 Oktober 1945 maka wewenang MPR berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV
mengenai penetapan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden dan mengubah UUD
tetap dilakukan oleh Presiden dibantu oleh KNP; sedangkan mengenai penetapan garis-garis
besar haluan negara dilakukan oleh Presiden dengan mengikutkan KNP. Dari
perkataan “ikut”, saya mengambil kesimpulan bahwa peranan Presiden dalam
menetapkan garis-garis besar haluan negara adalah lebih besar dari KNP.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X tidak
mengubah sistem presidentieel kabinet
yang dianut dalam UUD menjadi sistem kabinet parlementair.
Sistem presidentieel
berubah menjadi sistem parlementair
sejak tanggal 14 November 1945, yaitu sejak Kabinet Sutan Sjahrir I dibentuk
yang bertanggung jawab kepada KNP.
Mengenai syahnya perubahan UUD ini, saya
tidak sependapat dengan Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dalam bukunya Perubahan Kabinet Presidentieel Menjadi
Kabinet Parlementer: “Oleh karena usul untuk mengadakan perubahan sistem
pemerintahan itu berasal dari Badan Pekerja KNP dan usul itu diterima oleh
Presiden, maka sudah dipenuhinya syarat-syarat dalam Aturan Peralihan Pasal IV,
yaitu tindakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan Majelis Permusyawaratan
rakyat dengan bantuan Komite Nasional.
“Jadi kesimpulannya ialah bahwa perubahan
sistem pemerintahan dari Kabinet Presidentieel
menjadi Kabinet Parlementair itu
bukan berdasarkan convention, tapi
adalah aturan hukum yang tegas dan syah berdasarkan Pasal 37 UUD jo Pasal IV Aturan Peralihan seperti
halnya dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Maklumat Politik dari tanggal 1
November dan sebagainya yang telah diuraikan di atas.”
1.
Badan Pekerja adalah atu badan berdasarkan
Maklkumat Wakil Prsiden Nomor X yang tidak memberikan wewenang kepada KNP
--dalam hal ini Badan Pekerja KNP—untuk membantu Presiden dalam hal mengubah
UUD. Yang mempunyai hal adalah KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV. Jadi,
Badan Pekerja tidak kompeten untuk mengajukan usul tersebut.
2.
Karena perubahan sistem presidentieel menjadi sistem parlementair
mempunyai akibat yang jauh terhadap susunan ketatanegaraan kit, tidaklah cukup
persetujuan Presiden itu diumumkan oleh Badan Pekerja KNP dengan Pengumuman
Nomor 5 tanggal 11 November 1945. Harus dilakukan oleh Presiden seperti yang
dilakukan oleh Wakil Presiden dengan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Begitu
pun usul Badan Pekerja KNP seperti yang disebut pada Pengumuman Badan Pekerja
Nomor 4 tanggal 30 Oktober 1945 tentang Kepartaian yang karena disetujui oleh
Pemerintah ditetapkan dan diumumkan oleh Wakil Presiden dengan Maklumat Politik
tanggal 1 November 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Saya
tahu bahwa pada waktu itu belum ada kepastian tentang bentuk satu peraturan
yang berisi perubahan UUD, biarpun pun sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 1945 yang diumumkan pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Berita Republik Indonesia Tahun 1 Nomor
1 yaitu yang mengatur pengumuman dan mulai berlakunya Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah. Biarpun pun nama peraturan itu adalah “Peraturan tentang
pengumuman dan mulai berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah”, kita
tidak bertemu dalam perturan itu mengenai Peraturan Pemerintah. Pada Pasal 1
disebut bahwa Undang-undang dan Peraturan Presiden diumumkan oleh Presiden dan
ditandatangani oleh Sekretaris Negara. Mungkin Peraturan Presiden ini mencakup
semua peraturan yang ditetapkan oleh Presiden (Pemerintah) yaitu Peraturan
Pemerintah Penyelenggara Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; masing-masing yang disebut pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22
UUD dan peraturan yang dibuat oleh Presiden yang berisi perubahan UUD
berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV. Tapi dengan diumumkannya Maklumat Wakil
Presiden Nomor X yang berisi perubahan UUD, enam hari sesudah diumumkannya
Peraturan Pemerintah itu, maka saya bimbang apakah istilah “Maklumat Wakil
Presiden” yang kurang tepat atau Peraturan Presiden tidak mencakup aturan
mengenai perubahan UUD. Yang sudah terang istilah “Maklumat Wakil Presiden”
adalah kurang tepat, karena berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV seharusnya
memakai istilah “Maklumat Presiden” atau “Maklumat Pemerintah”, karena dalam
hal ini Wakil Presiden bertindak sebagai Pemerintah atau sebagai Presiden berdasarkan
Pasal 8 UUD 1945.
Saya tidak setuju pendapat Prof. Dr. Supomo
dalam bukunya Undang-Undang Dasar
Sementara RI halaman 66 yang berbunyi seperti berikut: “Atas dasar Pasal 45
ayat (2), maka jika perlu karena Presiden berhalangan, beliau dapat memerintahkan
Wakil Presiden menjalankan pekerjaan jabatannya sehari-hari.” Pasal 45 ayat (2)
UUD Sementara 1950 sama bunyinya dengan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945, maka Prof.
Dr. Supomo tentunya berpendapat bahwa Wakil Presiden melakukan tugas Presiden
kalau berhalangan. Kalau Wakil Presiden melakukan tugas berdasarkan Pasal 4
ayat ((2), maka ia bertindak sebagai Wakil Presiden yang dibawahkan oleh
Presiden. Jadi, biarpun pun Presiden tidak berhalangan, Wakil Presiden
melakukan tugas seperti umpamanya pada bulan Januari 1948 sampai dengan bulan
Desember 1948 yaitu memimpin kabinet sehari-hari.
Mungkin pula perubahan pada UUD dicakup oleh
undang-undang yang disebut dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Pendapat ini
berdasar, karena Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo yang mengumumkan Peraturan
Pemerintah itu pada tanggal 10 Oktober 1945 sebagai Sekretaris Negara,
seharusnya mengerti betul-betul apa yang dimaksud dengan undang-undang dan
Peraturan Presiden dalam Peraturan Pemerintah itu, berpendapat bahwa hasil
kerja sama antara Presiden dan KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV dapat
disebut undang-undang. Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dalam buku Perubahan Kabinet Presidentieel Menjadi
Kabinet Parlementer mengatakan pada muka (halaman –ed) 35: “Tetapi oleh karena aturan hukum tatanegara kita tidak
memberi nama tersendiri untuk hasil kerja sama antara Presiden dan Komite
Nasional Pusat sebagai pengganti Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka penulis
tidak berkeberatan hasil kerja sama itu dinamakan juga Undang-undang.”
Pendapat Prof. Pringgodigdo ini memang nanti
akan terbayang pada beberapa undang-undang yang dibuat pada tahun 1949, yaitu
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1949 mengenai Penetapan Ketua DPR sebagai Pemangku
Jabatan Presiden Kalau Presiden dan Wakil Presiden Berhalangan, dan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949 yang memberi kekuasaan kepada KNP untuk
menyetujui perubahan UUD dengan suara terbanyak mutlak dan dengan qourum separuh ditambah satu.
Kedua-dua undang-undang tadi memuat perubahan
pada UUD tidak pada tubuhnya tapi merupakan tambahan pada UUD sama dengan
Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan perubahan dari sistem presidentieel ke sistem parlementair.
Dan sekaligus pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949 itu diperluas kekuasaan KNP
dengan mempunyai hak mengubah UUD bersama-sama dengan Presiden. Jadi, lebih
luas daripada kekuasaan-kekuasaan KNP yang ditetapkan dalam Maklumat Wakil
Presiden Nomor X.
Menurut saya, dua undang-undang yang saya
sebut tadi, dari sudut bentuk sudah memenuhi syarat-syarat bagi syahnya suatu undang-undang
yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Badan Pekerja KNP dan hak badan
ini berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Dan sudah ditandatangani serta
oleh menteri yang bersangkutan dan sudah diundangkan oleh Sekretaris Negara.
Tapi karena materi yang diatur dalam dua
undang-undang itu adalah perubahan UUD, maka Badan Pekerja KNP berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden Nomor X tidak berhak untuk memberikan persetujuan.
Begitu pun saya tidak sependapat dengan Prof. Pringgodigdo bahwa antara lain
perubahan UUD dapat dilakukan dalam bentuk undang-undang karena ini akan
mengacaukan undang-undang yang disebut Pasal 5 ayat (1) UUD. Memang unsur yang
menentukan daripada perubahan ini sudah dipenuhi, yaitu perubahan itu dilakukan
oleh Presiden. Presiden berhak melakukan ini berdasarkan Aturan Peralihan Pasal
IV. Dan seperti saya katakan tadi, bantuan KNP mengenai hal ini tidak merupakan
syarat untuk syahnya tindakan Presiden ini.
Saya lebih condong untuk mengatakan syahnya
perubahan UUD yang disebut pada Pengumuman Badan Pekerja KNP Nomor 5, Undang-undang Nomor 7 Tahun1949,
dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1949; bukan berdasarkan sumber-sumber tersebut
tetapi berdasarkan kenyataan. Tegasnya, tidak dapat kita nilai secara
formil-yuridis, tetapi harus secara revolusionnair-yuridis.
Para ahli hukum biasanya, kalau suatu
tindakan tidak berdasarkan peraturan yang tertulis tapi tindakan itu dianggap
syah menurut hukum dan dengan begitu mempunyai kekuatan mengikat, mengatakan
tindakan itu berdasarkan peraturan yang tidak tertulis, kebiasaan atau convensi.
Mengenai sumber hukum yang tidak tertulis ini
ada bermacam-macam pendapat. Prof. Pompe dalam bukunya Het Nieuwe Tijdperk en het Recht mengatakan dalam muka 72 ketika
membicarakan Arrest Hooge Raad Tahun
1919 berhubung dengan B.W. Belanda Pasal 1401 (Pasal 1365 B.W. Indonesia) yaitu
tentang onrechtmatige daad, bahwa
hukum yang tidak tertulis itu bersumber tidak hanya pada kebiasaan, tapi juga
pada goede zeden, dan lain-lain.
Beberapa ahli lain mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang tidak
tertulis adalah kebiasaan. Tapi sebaliknya Prof. Logeman dalam bukunya Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht
muka 13 dan 14, tidak mengakui kebiasaan sebagai sumber hukum. Ia berpendapat
bahwa satu tindakan saja sudah cukup sebagai ukuran adanya hukum (rechtsnorm) asalkan memuat keinsyafan
seharusnya demikian (opinion). Encyclopaedie der Rechtswetenschap muka
155 dan 156 menganggap kebiasaan sebagai sumber hukum, yaitu kalau
tindakan-tindakan beberapa kali terjadi dan dengan opinio necessitatis. Tapi ia juga berpendapat dari satu tindakan
saja sudah dapat dikatakan adanya norma hukum dengan syarat-syarat yang
tertentu. Begitu pun W. Ivor Jennings dalam bukunya The Law and The
Constitution muka 135 berpendapat: “a
single precedent with a good reason may be enough to establish the rule.”
Sesudah mempelajari pendapat-pendapat
tersebut di atas dan terpengaruh oleh perkataan Jellineck: “die normative Kraft des Faktischen
(kekuatan mengikat daripada kenyataan),” saya memakai istilah “kenyataan” bagi
sumber hukum
yang tidak tertulis.
Syahnya satu undang-undang dapat kita ketahui
sebelum undang-undang itu berjalan. Satu undang-undang dianggap syah kalau
dibuat oleh yang kompeten dengan bentuk yang tertentu dan syarat-syarat lain.
Syahnya satu undang-undang bukan berarti dengan sendirinya berlaku. Mungkin
para warga negara atau pejabat negara malahan menaati hukum yang bersumber pada
kenyataan yang bertentangan dengan undang-undang yang syah itu. Atau hukum yang
bersumber kepada kenyataan menambah hukum yang bersumber pada undang-undang.
Apa syarat-syaratnya agar suatu tindakan
dianggap syah berdasarkan kenyataan? Atau dengan perkataan lain, kapan timbul
hukum bersumber pada kenyataan?
Jawabnya adalah kalau tindakan itu memuat opinio necessitatis. Hal ini ternyata
pada sikap warga negara dan pejabat negara menaati tindakan itu. Jadi, syahnya
satu tindakan berdasarkan kenyataan harus kita lihat sesudah tindakan itu
dijalankan (mempunyai akibat).
Biarpun pun perubahan dari sistem presidentieel ke sistem parlementair, Undang-undang Nomor 7 dan
9 Tahun 1949 secara formil-yuridis tidak memenuhi syarat, tapi karena ditaati
para warga negara dan pejabat-pejabat negara dan dengan begitu memuat opinio necessitatis, maka saya katakan
bahwa tindakan-tindakan itu adalah syah berdasarkan kenyataan.
Memang antara tanggal 18 Agustus 1945 pada
waktu mulai berlakunya UUD sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia
Serikat (RIS), terutama tahun-tahun pertama berlakunya UUD ini, untuk meninjau
susunan negara Republik Indonesia sangat sukar. Seperti yang disebut tadi pada
Penjelasan UUD, tidak cukup kita membaca UUD daripada suatu negara untuk
mengerti susunan negara itu, tapi juga harus kita pelajari sebagaimana
praktiknya. Sebagaimana praktiknya ini yang sukar kita pelajari. Tidak adanya
bentuk-bentuk peraturan yang tertentu yang memuat tindakan-tindakan Presiden
berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV, yang memuat tindakan Presiden untuk
melaksanakan hak-hak prerogatif yang disebut dalam beberapa pasal UUD dan yang
memuat tindakan-tindakan Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1). Tidak adanya
ketegasan apa yang harus diatur dalam Peraturan Pemerintah dan apa yang harus
diatur dalam Peraturan Presiden.
Apakah Pengumuman Badan Pekerja KNP merupakan
juga undang-undang dalam arti materieel
atau tidak? Sesudah berlaku sistem kabinet parlementer apakah semua
tindakan-tindakan Presiden termasuk menetapkan undang-undang bersama-sama
dengan KNP harus ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan atau
tidak? Mengenai hal-hal ini juga tidak ada ketegasan.
Kita lihat umpamanya perkembangan keanggotaan
KNP. Mula-mula disusun oleh satu panitia yang diketuai oleh Saudara Suwirjo dan
dilantik tanggal 29 Agustus 1945. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
1946 tanggal 18 April 1946 dengan berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV
ditetapkan anggota KNP sebanyak 200 orang. Lalu Peraturan Pemerintah ini
diganti dengan Undang-undang Nomor 12 tanggal 8 Juli 1946. Dasarnya antara lain
disebut Aturan Pertalihan Pasal IV dan Maklumat Wakil Presiden Nomor X. Sesudah
itu pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6 yang
menimbulkan kehebohan pada waktu itu yang menetapkan jumlah anggota KNP lebih
daripada 500 orang. Lalu dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1949 ditetapkan adanya penambahan
anggota Badan Pekerja KNP dan dengan begitu penambahan anggota KNP bagi
partai/golongan yang belum mempunyai anggota-anggota dalam KNP sebanyak paling
sedikti 12 orang.
Pada tahun 1946 ditetapkan sebanyak 24
undang-undang. Dan di antaranya yaitu Undang-undang Nomor 12 dan 15 tidak
ditandatangani serta oleh menteri yang bersangkutan, sedangkan dalam satu negara
yang bersistem kabinet parlementer semua tindakan Presiden selain yang disebut
berdasarkan hak prerogatif Presiden, harus ditandatangani serta oleh menteri
yang bersangkutan, karena menteri inilah yang bertanggung jawab mengenai hal
itu.
Dan biarpun pun dikatakan bahwa sejak bulan
Januari tahun 1948 dibentuk Kabinet Presidentieel
dan pimpinan sehari-hari dilakukan oleh Wakil Presiden, tetapi antara lain
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah
turut serta ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri.
Begitu pun Maklumat Pemerintah kadang-kadang
merupakan bentuk peraturan seperti Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan
kadang-kadang hanya memuat pengumuman Pemerintah, umpamanya tentang pembangunan
negara, tentang susunan kabinet, dan lain-lain.
Ada kalanya untuk Maklumat Pemerintah ini
dipergunakan perkataan Maklumat Wakil Presiden, umpamanya Maklumat Wakil
Presiden Nomor X, dan ada kalanya dengan perkataan Maklumat Presiden, umpamanya
Maklumat Presiden Nomor 1, 2, dan 3 Tahun 1946.
Kekacauan dalam perundang-undangan ini bukan
monopolie masa permulaan Republik Indonesia, tetapi juga masa RIS. Kita masih
ingat begitu Konstitusi RIS berlaku, begitu ditunjuk pembentuk kabinet sebanyak
4 orang, sedang dalam Pasal 74 Konstitusi RIS disebut bahwa Presiden menunjuk 3
orang pembentuk kabinet.
Pemerintah RIS mula-mula berpendapat yang
perubahan satu daerah bagian, begitu pula masuk ke dalam atau menggabungkan
diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada di dalam Pasal 44 harus menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dalam undang-undang, dalam keadaan mendesak tidak
boleh ditetapkan dengan undang-undang darurat sesuai dengan Pasal 139
Konstitusi RIS karena tidak merupakan penyelenggaraan pemerintahan. Tapi
akhirnya toh diatur dalam Undang-undang Darurat yang diundangkan dalam Lembaran
Negara RIS Nomor 6 Tahun 1950.
Juga berdasarkan UUD Sementara 1950 kita
mengalami hal-hal yang sama. Umpamanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 1953 yang
berlaku surut sampai tanggal 17 Agustus 1950 memuat ketentuan tentang
kemungkinan mengganti anggota DPR
Sementara dengan orang yang bukan bekas anggota dewan-dewan yang disebut
pada Pasal 77 UUD Sementara 1950. Jadi, undang-undang tersebut memuat perubahan
pada UUD, khususnya pada Pasal 77 tersebut.
Kita mengetahui bahwa yang berhak menetapkan
undang-undang adalah Pemerintah bersama-sama dengan DPR (menurut Pasal 89),
sedangkan yang berhak mengubah UUD adalah Majelis Perubahan UUD (menurut Pasal
140).
Begitu pun Undang-undang Nomor 29 Tahun 1957
yang mengatur Pemangku Jabatan Presiden kalau Presiden berhalangan sedangkan
Wakil Presiden tidak ada atau juga berhalangan, merupakan tambahan pada UUD
Sementara. Jadi, merupakan perubahan pada UUD Sementara.
Semua tindakan-tindakan dan
peraturan-peraturan tadi menurut pendapat saya adalah syah berdasarkan
kenyataan, karena ternyata ditaati oleh para warga negara dan pejabat negara.
Jadi, mempunya kekuatan mengikat.
Saya gembira dengan tindakan Presiden RI yang
menetapkan bentuk peraturan dan hal-hal apa yang harus diatur dalam
peraturan-peraturan tersebut yang berlaku sejak 5 Juli 1959 dan yang sudah
diberitahukan kepada DPR dengan surat Presiden tanggal 20 Agustus 1959 Nomor
2262/Hk/59.
Dengan begitu, mudah-mudahan kita tidak akan
mengalami lagi kekacauan dalam perundang-undangan seperti yang kita alami
terutama sekitar 1945.
Dan biarpun pun saya mengakui kenyataan
sebagai sumber hukum, menurut saya lebih sedikit hukum yang bersumber kepada
kenyataan, lebih baik. Kalau tidak terpaksa sekali, lebih baik kenyataan jangan
dipakai sebagai sumber hukum.
II.
Wewenang
MPR Sesudah Dekrit Presiden
Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD yang dibuat
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah UUD Seementara. Hal ini
sesuai dengan ucapan Ketua Panitia yaitu Bung Karno pada rapat paripurna
Panitia tersebut pada tanggal 18 Agustus 1945 seperti berikut: “Sidang saya
buka lagi. Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangn umum, yang singkat,
cekak, aos, hanya mengenai pokok-pokok saja. Dan Tuan-tuan semuanya tentu
mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah
Undang-Undang Dasar Sementara.”
Begitu pun Presiden Republik Indonesia pada
waktu membuka Konstituante tanggal 10 November 1956 berkata seperti berikut:
“Konstitusi pertama adalah konstitusi yang jadi pegangan kita sejak tanggal 17
Agustus 1945 dengan melalui pasang naik dan pasang surut revolusi sampai kepada
peresmian Republik Indonesia Serikat. Konstitusi kedua berlaku dalam zaman
Republik Indonesia Serikat, dan konstitusi ini tamat riwayatnya pada tanggal 17
Agustus 1950 ketika Republik Kesatuan bangkit kembali. Konstitusi ketiga adalah
konstitusi yang berlaku sejak 17 Agustus 1950 sampai kepada saat jika kelak
konstitusi yang Saudara-saudara akan susun sudah diresmikan. Tapi semua
konstitusi dari nomor satu sampai dengan nomor tiga itu bersifat sementara.”
Bahwa UUD yang dibuat pada tanggal 18 Agustus
1945 bersifat sementara, dapat kita lihat pada Pasal 3 yang berbunyi seperti
berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar”, dan
pada Aturan Tambahan ayat (2): “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.”
Menetapkan Undang-Undang Dasar sama artinya
dengan membuat Undang-Undang Dasar. Hal ini dapat juga kita lihat pada Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 22 di mana dikatakan Presiden menetapkan masing-masing
Peraturan Pemerintah penyelenggara Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang. Di sini pun “menetapkan” sama artinya dengan
“membuat”.
Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD
1945 tidak lagi UUD Sementara tetapi UUD Tetap. Presiden Republik Indonesia
dengan Dekrit mengambil alih wewenang Konstituante bersama-sama dengan
Pemerintah untuk menetapkan UUD yang menggantikan UUD Sementara 1950 seperti
yang disebut pada Pasal 134 UUD Sementara 1950: “Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini.”
Saya termasuk orang yang menyesali kenapa
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak dikeluarkan pada waktu Kabinet Ali
yang terakhir meletakkan jabatan. Kalau Dekrit Presiden dikeluarkan pada waktu
itu, maka Keputusan Presiden tanggal 14 Maret 1957 yang menetapkan negara dalam
keadaan bahaya yang ditandangani serta oleh Perdana Menteri demisionair tidak
akan dihebohkan pada waktu itu dengan mengatakan bahwa Keputusan itu tidak syah
karena Perdana Menteri yang sudah demisionair tidak dapat
mempertanggungjawabkan ini kepada DPR sesuai dengan yang disebut pada Pasal 83 jo Pasal 85 UUD Sementara 1950.
Begitu pun tidak akan menjadi persoalan
apakah tindakan Presiden Republik Indonesia yang menunjuk warga negara Republik
Indonesia Bung Karno menjadi formatir Kabinet syah atau tidak. Dan juga
pembentukan Dewan Nasional yang dibentuk dengan Undang-undang Darurat Nomor 7
Tahun 1957 tidak perlu dilakuka, karena dalam UUD 1945 sudah ada ketentuan
mengenai Dewan Pertimbangan Agung yang mempunyai tugas yang sama dengan Dewan
Nasional yang disebut pada Pasal 2 Undang-undang Darurat tersebut.
Kita masih ingat bahwa ditunjuknya Bung Karno
sebagai pembentuk kabinet dan pembentukan Dewan Nasional juga sangat dihebohkan
pada waktu tindakan-tindakan tersebut dilakukan.
Kenapa
Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku lagi berdasarkan Dekrit Presiden adalah
Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap?
Kalau Konstituante menerima usul rencana yang
diajukan oleh Kabinet Karya pada tanggal 21 Februari 1959 dan yang diamanatkan
oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 April 1959 yaitu kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia seperti
yang disebut pada Pasal 134 UUD Seementara 1950 sudah terbentuk, yaitu UUD
dengan naskah UUD 1945.
Kabinet Karya pun berpendapat demikian sesuai
dengan jawaban tertulis Perdana Menteri Djuanda kepada DPR tertnggal 25 Maret
1959.
Karena UUD 1945 sudah menjadi UUD yang
bersifat tetap, maka dengan sendirinya MPR tidak mempunyai hak lagi untuk
membuat atau menetapkan UUD. Dan dengan demikian maka UUD yang dibuat pada
tanggal 18 Agustus 1945 berdasarkan Dekrit Presiden, sudah berubah, biarpun pun
perubahan itu tidak dilakukan dalam tubuh UUD itu. Yang berubah antara lain
adalah Pasal 3 Bagian Pertama dan Aturan Tambahan ayat (2).
Jadi, dengan demikian sesudah Dekrit Presiden,
MPR hanya mempunyai tiga wewenang yaitu menetapkan garis-garis besar haluan
negara, memilih Presiden serta Wakil Presiden, dan mengubah UUD.
Sesudah garis-garis besar haluan negara
ditetapkan oleh MPR, maka sebagian diatur selanjutnya dalam undang-undang agar
Presiden dapat melaksanakannya sebagai pemegang kekuasaan eksekutief. Tapi ada
bagian daripada garis-garis besar haluan negara yang dapat langsung dijalankan
oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD.
Hal ini sesuai dengan sistem yang dianut
dalam UUD 1945 yaitu yang menetapkan adanya hal-hal yang harus diatur lebih
dahulu dalam undang-undang, baru dapat dijalankan oleh Pemerintah; dan ada pula
yang langsung dapat dijalankan oleh Pemerintah berdasarkan UUD antara lain
seperti yang disebut pada Pasal 13 ayat (1): Presiden mengangkat duta dan
konsul; Pasal 13 ayat (2): Presiden menerima duta-duta; Pasal 14: Presiden
memberi grasi, amnestie, abolisi, dan rehabilitasi; serta Pasal 15: Presiden
memberi gelaran, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
Karena UUD ini sudah bersifat tetap, maka
dengan sendirinya mencakup juga pembatasan pada kemungkinan-kemungkinan
mengadakan perubahan.
Kemungkinan ini jangan kita samakan dengan
kemungkinan mengubah Konstitusi RIS berdasarkan Pasal 190 jo Pasal 191. Perubahan Konstitusi RIS dapat dilakukan dengan
Undang-undang Federal asal memenuhi syarat-syarat yang disebut pada Pasal 190
yaitu rapat DPR dan Senat RIS masing-masing harus dihadiri oleh paling sedikit
2/3 dari seluruh anggota dan usul perubahan harus disetujui oleh paling sedikit
2/3 daripada anggota yang hadir. Dan memang pada pasal ini tidak disebut batas
kemungkinan mengubah Konstitusi RIS. Oleh sebab itulah Undang-undang Nomor 7
Tahun 1950 yang memuat UUD sementara 1950 dianggap syah biarpun mengubah
Konstitusi RIS secara prinsipil antara lain mengubah bentuk federaal menjadi
kesatuan.
Kita mengetahui yang Konstitusi RIS adalah
Konstitusi sementara, antara lain berdasarkan Pasal 186 yang berbunyi seperti
berikut: “Konstituanten (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan
Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat
untuk menggantikan Konstittusi sementara ini.”
Pembatasan mengenai kemungkinan untuk
mengadakan perubahan pada UUD ini antara lain dianut dengan tegas dalam
Konstitusi Perancis seperti disebut pada Pasal 95 yang berbunyi seperti
berikut: “Bentuk Pemerintahan Republik sekali-kali tidak diperkenankan untuk
menjadi usul perubahan.”
Menurut saya, perubahan-perubahan yang tidak
boleh diadakan adalah perubahan-perubahan yang sangat tidak sesuai dengan
pendapat golongan yang membuat UUD. Konstitusi Perancis dibuat oleh golongan
yang tidak menghendaki kerajan, oleh karena itulah tidak diperkenankan mengubah
Republik Perancis menjadi Kerajaan Perancis.
Begitupun, karena UUD 1945 ditetapkan dengan
Dekrit Presiden oleh Presiden Sukarno maka menurut pendapat saya negara ini
tidak boleh diubah menjadi kerajaan. Juga tidak boleh bentuk kesatuan diubah
menjadi bentuk federaal. Dan juga tidak boleh sistem kabinet presidentieel diubah menjadi sistem
kabinet parlementair. Karena tiga hal
itu sangat tidak disukai oleh Presiden Sukarno.
III.
Wewenang
MPR pada Masa Peralihan Kedua
Karena pada tanggal 5 Juli 1959 MPR belum
terbentuk seperti yang disebut pada Pasal 2 ayat (1) UUD, untuk menghindarkan
vacuum hukum, maka harus ada badan yang melakukan tugas MPR ini.
Mula-mula saya kira bahwa MPR Sementara yang
disebut pada Dekrit Presiden akan melakukan tugas MPR sebelum badan ini
terbentuk. Tetapi sesudah melihat cara terbentuknya MPR Seementara berdasarkan
Dekrit Presiden dengan aturan yang ditetapkan dalam Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1959, dan tindakan Presiden ini menurut Penjelasan Penetapan itu akan
dipertanggungjawabkan kepada MPR, maka saya mengambil kesimpulan bahwa tugas MPR
Sementara adalah sama dengan tugas KNP yang disebut pada Aturan Peralihan Pasal
IV khusus mengenai tugas MPR.
Menurut Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1959, banyaknya anggota MPR Sementara ditetapkan oleh Presiden. Anggota-anggota
DPR yang sekarang dengan sendirinya menjadi anggota-anggota MPR Sementara
ditambah dengan wakil-wakil golongan fungsional dan wakil-wakil Daerah
Swatantra I (sekarang Provinsi –ed)
yang akan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
Biarpun DPR Seementara berdasarkan UUD Sementara
1950 dan DPR Sementara RIS berdasarkan Konstitusi RIS melakukan tugas DPR yang
bersifat tetap, yaitu antara lain bersama-sama dengan Pemerintah menetapkan
undang-undang, kita tidak dapat mempergunakan ketentuan ini terhadap hubungan
antara MPR Sementara dengan MPR yang bersifat tetap.
Adalah tidak logis umpamanya kalau Presiden
harus bertanggung jawab kepada MPR Sementara mengenai Penetapan Presiden Nomor
2 Tahun 1959 yaitu tentang Pembentukan MPR Sementara, sedangkan beliau sendiri
yang menetapkan seorang (seseorang –ed)
menjadi anggota MPR Sementara dan seharusnya beliau pulalah yang memberhentikan
seseorang dari keanggotaan MPR Sementara.
Begitupun DPR yang sekarang dapat
melaksanakan tugas seperti disebut pada UUD adalah atas berkat Penetapan Presiden
Nomor 1 Tahun 1959 yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh Presiden,
Sesuai dengan pendapat saya bahwa pendapat
KNP berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV dalam Presiden melakukan tugas MPR
tidak mengikat Presiden, saya juga berpendapat bahwa putusan MPR Sementara
sebagai pembantu Presiden, juga tidak mengikat Presiden.
Sebelum MPR Sementara terbentuk, tugas MPR
dilakukan sendiri oleh Presiden. Dan sesudah Majelis ini terbentuk, tugas MPR
dilakukan oleh Presiden denfan bantuan MPR Sementara.
Dengan sendirinya Presiden dapat
mendelegasikan kekuasaan kepada MPR Sementara, sama dengan Presiden
mendelegasikan kekuasaan kepada pembantu-pembantunya yang lain, umpamanya para
menteri negara. Dan dapat pula kita katakan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1
adalah pendelegasian kekuasaan DPR sekarang untuk melakukan kekuasaan DDPR yang
harus dibentuk berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Dasar.
Karena MPR Sementara mendapat kekuasaan yang
didelegasikan oleh Presiden, maka Majelis ini harus bertanggung jawab kepada
Presiden.
Dan putusan MPR Sementara dapat sewaktu-waktu
dibatalkan oleh Presiden atau tiap-tiap putusan MPR Sementara harus disyahkan
lebih dahulu oleh Presiden. Dan kalau MPR Sementara tidak mendapat kekuasaan
yang didelegasikan oleh Presiden, maka MPR Sementara hanya mempunyai tugas
memberi nasihat atau mengajukan usul-usul kepada Presiden khusus mengenai
tugas-tugas MPR.[]
Sumber
tulisan: Diesrede
(Pidato Dies) pada Dies Natalis XV Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, 26 Januari 1960, di
Aula Masjid Syuhada, sebagaimana dimuat dalam Dahlan Thaib, S.H.
dan Moh. Mahfud MD, S.H., 5 Windu UII
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
1945-1984, diterbitkan dalam rangka menyongsong Dies Natalis ke-40 UII,
1984, halaman 446-464.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar