Oleh Lukman Hakiem
Sekretaris Umum Panitia Seabad M. Natsir
Perkembangan politik di tanah air sejak Presiden Soekarno mencanangkan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin, berubah pesat. Kalangan politisi dan militer di daerah yang tidak menyetujui konsepsi tersebut lantaran mengikutsertakan kaum komunis anti-Tuhan, bersekutu dalam sebuah gerakan yang kemudian melahirkan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Partai Masjumi sendiri menyatakan, baik pembentukan Kabinet Karya di mana Presiden Soekarno menunjuk Ir. Soekarno sebagai warga Negara menjadi formatur kabinet, maupun PRRI sama-sama tidak konstitusional.
Sikap Masjumi yang sangat tegas itu rupanya tidak cukup memuaskan selera politik rezim Soekarno yang mendesak supaya Masjumi mengutuk anggota-anggotanya yang terlibat di dalam PRRI. Desakan tersebut tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Masjumi yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang konstitusi. “Tidak menjadi kebiasaan Masjumi untuk kutuk mengutuk”, ujar Anwar Harjono sambil menambahkan, “Sejak itu Masjumi ditempatkan dalam posisi yang sangat sulit.”
Sejak saat-saat genting menjelang proklamasi PRRI, pimpinan partai Masjumi telah menjalankan berbagai usaha, baik sendiri maupun bersama partai-partai lainnya, dengan sepengetahuan pemerintah, guna mencegah proklamasi PRRI.
Pada tanggal 15 Februari 1958, pukul 15.00 dikirimlah kawat kepada Ketua Dewan Perjuangan, Letkol Ahmad Husein di Padang sebagai berikut:
“Sebagai hasil pertemuan partai-partai PNI, Masjumi, NU, Katolik, PSSI, dan PRI pada hari Sabtu tanggal 15 Februari 1958 jam 14.00 maka kami mengharap supaya Saudara jangan bertindak apa-apa lebih dulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian.”
Kawat yang dikirim melalui radiogram itu ditandatangani bersama oleh Suwirjo dan Manuaba (PNI), Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar Harjono (Masjumi), Imron Rosjadi, K.H.M. Dachlan, K.H. Masjkur, dan A. A. Tanamas (NU), Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto (PSSI), serta Sutomo alias Bung Tomo (PRI).
Sebelumnya, melalui statemen No.1102/Sek-PP/1/M.VIII/58 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua I (Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo), dan Sekretaris Umum (M. Yunan Nasution), Pimpinan Partai Masjumi menyatakan sikapnya sebagai berikut:
1. Masjumi merasa berterima kasih dapat kesempatan yang baik untuk bertukar pikiran dengan instansi-instansi di pusat yang bertanggung jawab baik sipil maupun militer dan mengkonstatir bahwa ada terdapat pengertian di dalam menilai keadaan dewasa ini.
2. Masjumi bersyukur mendapatkan kesan-kesan yang kuat, bahwa politik yang dijalankannya selama ini dapat dimengerti oleh daerah-daerah yang sedang bergolak.
3. Dengan menegaskan sekali lagi dasar-dasar politiknya selama ini, yaitu:
a. Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar
b. Mengembalikan ketertiban hukum demokrasi.
c. Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari Ikatan Keutuhan Negara Republik Indonesia.
d. Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.
Maka Pimpinan Partai Masjumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara, dan dalam taraf sekarang ini, mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi.
Sebagai tindak lanjut dari statemen tertanggal 23 Januari 1958 itu, Masjumi melakukan kontak-kontak intensif dengan Pejabat Presiden, Mr. Sartono; Perdana Menteri, Ir.H. Djuanda; Wakil Perdana Menteri, Mr. Wardi dan K.H. Idham Chalid; KASAD, Jenderal A.H. Nasution; bekas Wakil Presiden, Mohammad Hatta; dan tokoh-tokoh politik seperti Suwirjo (PNI), K.H.M. Dachlan (NU), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Mr. A.M. Tambunan (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain. Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mr. Mohammad Roem, Z. A. Ahmad, dan lain-lain.
Dalam pada itu, kontak ke Sumatera pun dilakukan. Pada tanggal 25 Januari 1958 kontak itu dilakukan oleh Roem. Pada tanggal 1 Februari 1958, Masjumi mengutus Prawoto, Faqih Usman, dan Roem, untuk berbicara dengan tokoh-tokoh pergolakan daerah di Sumatera.
Usaha-usaha Masjumi itu dihargai baik oleh PM Djuanda melalui pidatonya di DPR, maupun oleh Presiden Soekarno yang diucapkannya pada serah terima jabatan dari Pejabat Presiden Mr. Sartono kepada Presiden Soekarno sekembalinya Bung Karno dari Perlawatan ke luar negeri.
Partai Masjumi sendiri menyatakan, baik pembentukan Kabinet Karya di mana Presiden Soekarno menunjuk Ir. Soekarno sebagai warga Negara menjadi formatur kabinet, maupun PRRI sama-sama tidak konstitusional.
Sikap Masjumi yang sangat tegas itu rupanya tidak cukup memuaskan selera politik rezim Soekarno yang mendesak supaya Masjumi mengutuk anggota-anggotanya yang terlibat di dalam PRRI. Desakan tersebut tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Masjumi yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang konstitusi. “Tidak menjadi kebiasaan Masjumi untuk kutuk mengutuk”, ujar Anwar Harjono sambil menambahkan, “Sejak itu Masjumi ditempatkan dalam posisi yang sangat sulit.”
Sejak saat-saat genting menjelang proklamasi PRRI, pimpinan partai Masjumi telah menjalankan berbagai usaha, baik sendiri maupun bersama partai-partai lainnya, dengan sepengetahuan pemerintah, guna mencegah proklamasi PRRI.
Pada tanggal 15 Februari 1958, pukul 15.00 dikirimlah kawat kepada Ketua Dewan Perjuangan, Letkol Ahmad Husein di Padang sebagai berikut:
“Sebagai hasil pertemuan partai-partai PNI, Masjumi, NU, Katolik, PSSI, dan PRI pada hari Sabtu tanggal 15 Februari 1958 jam 14.00 maka kami mengharap supaya Saudara jangan bertindak apa-apa lebih dulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian.”
Kawat yang dikirim melalui radiogram itu ditandatangani bersama oleh Suwirjo dan Manuaba (PNI), Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar Harjono (Masjumi), Imron Rosjadi, K.H.M. Dachlan, K.H. Masjkur, dan A. A. Tanamas (NU), Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto (PSSI), serta Sutomo alias Bung Tomo (PRI).
Sebelumnya, melalui statemen No.1102/Sek-PP/1/M.VIII/58 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua I (Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo), dan Sekretaris Umum (M. Yunan Nasution), Pimpinan Partai Masjumi menyatakan sikapnya sebagai berikut:
1. Masjumi merasa berterima kasih dapat kesempatan yang baik untuk bertukar pikiran dengan instansi-instansi di pusat yang bertanggung jawab baik sipil maupun militer dan mengkonstatir bahwa ada terdapat pengertian di dalam menilai keadaan dewasa ini.
2. Masjumi bersyukur mendapatkan kesan-kesan yang kuat, bahwa politik yang dijalankannya selama ini dapat dimengerti oleh daerah-daerah yang sedang bergolak.
3. Dengan menegaskan sekali lagi dasar-dasar politiknya selama ini, yaitu:
a. Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar
b. Mengembalikan ketertiban hukum demokrasi.
c. Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari Ikatan Keutuhan Negara Republik Indonesia.
d. Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.
Maka Pimpinan Partai Masjumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara, dan dalam taraf sekarang ini, mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi.
Sebagai tindak lanjut dari statemen tertanggal 23 Januari 1958 itu, Masjumi melakukan kontak-kontak intensif dengan Pejabat Presiden, Mr. Sartono; Perdana Menteri, Ir.H. Djuanda; Wakil Perdana Menteri, Mr. Wardi dan K.H. Idham Chalid; KASAD, Jenderal A.H. Nasution; bekas Wakil Presiden, Mohammad Hatta; dan tokoh-tokoh politik seperti Suwirjo (PNI), K.H.M. Dachlan (NU), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Mr. A.M. Tambunan (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain. Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mr. Mohammad Roem, Z. A. Ahmad, dan lain-lain.
Dalam pada itu, kontak ke Sumatera pun dilakukan. Pada tanggal 25 Januari 1958 kontak itu dilakukan oleh Roem. Pada tanggal 1 Februari 1958, Masjumi mengutus Prawoto, Faqih Usman, dan Roem, untuk berbicara dengan tokoh-tokoh pergolakan daerah di Sumatera.
Usaha-usaha Masjumi itu dihargai baik oleh PM Djuanda melalui pidatonya di DPR, maupun oleh Presiden Soekarno yang diucapkannya pada serah terima jabatan dari Pejabat Presiden Mr. Sartono kepada Presiden Soekarno sekembalinya Bung Karno dari Perlawatan ke luar negeri.
Sesudah Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum pada tanggal 10 Februari 1958, Masjumi mengeluarkan statemen No. 1125/Sek.PP/1/M.VIII/1958 tertanggal 13 Februari 1958, ditandatangani Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Dalam statemen tersebut, Masjumi menegaskan sikapnya antara lain:
4. Dengan menginsyafi sesungguhnya bahaya besar yang sedang mengancam Negara, maka dengan sekuat tenaga diusahakan untuk mempertemukan pendirian-pendirian yang ada di pusat dan daerah.
5. Dengan tidak mengecilkan sedikitpun gentingnya keadaan sesudah keluarnya ultimatum Achmad Husein dan dikeluarkannya keputusan Kabinet tentang pemecatan perwira-perwira yang bersangkutan, Pimpinan Partai Masjumi tidak berpendapat ‘telah terjadi sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi’.
6. Jalan yang harus ditempuh ialah bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat maupun oleh daerah.
7. Pimpinan Partai Masjumi berpendapat bahwa di dalam usaha tersebut di atas, Bung Hatta dapat mengambil peranan yang sangat penting.
8. Untuk mengatasi kegentingan Negara dewasa ini, Masjumi mengharap dengan sebesar-besarnya pengharapan, supaya Presiden menghadapinya dengan pertimbangan menyelamatkan Negara dan bangsa semata-mata.
9. Pimpinan Partai Masjumi mengajak kepada seluruh rakyat supaya mendoakan semoga Presiden mendapatkan PIMPINAN dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala untuk dapat mengambil keputusan yang benar dan dengan demikian menghindarkan Negara dan Bangsa dari malapetaka.
Ketika pada akhirnya PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958, Masjumi kembali mengeluarkan statemen No.1130/Sek.PP/I/M.VIII/1958 tertanggal 17 Februari 1958, ditandatangani oleh Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Bagi Masjumi, “…pembentukan ‘Pemerintah Revolusioner’ itu adalah inkonstitusioneel.” Dalam pada itu, Masjumi pun menegaskan kembali pendiriannya yang sudah dikemukakan di forum DPR, “bahwa pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusioneel.” Selanjutnya, Masjumi menegaskan:
5. Adalah keyakinan Pimpinan Partai Masjumi, bahwa dengan sekuat tenaga harus dirintis setindak demi setindak jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar Sementara, landasan kita hidup bernegara, sebelum Konstituante selesai dengan Undang-Undang Dasar yang tetap.
6. Betapapun sulitnya keadaan, harus menjadi keinsyafan kita bersama, bahwa persoalan sekarang ini adalah persoalan bangsa Indonesia sendiri, dan tiap-tiap campur tangan dari pihak luar harus ditolak.
7. Dalam mencari penyelesaian tanpa kekerasan ini, pulihnya kerja sama Soekarno-Hatta dalam Pemerintahan merupakan syarat mutlak.
8. Pada tempatnya dinyatakan penghargaan atas pidato yang diucapkan Presiden pada upacara penyambutan kedatangan kembali beliau di tanah air, yang memberi harapan baik tentang penyelesaian kesulitan yang dihadapi oleh Negara secara bijaksana.
9. Akhirnya sekali lagi kami mengajak kepada seluruh rakyat untuk berdoa mudah-mudahan Alah subhanahu wa ta’ala memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada Presiden dan Bung Hatta untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang tepat guna keselamatan Negara dan bangsa.
Di tengah keprihatinan bersama menghadapi pergolakan daerah, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1959. Sehubungan dengan keluarnya Penpres tersebut, pemerintah mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Masjumi:
“Apakah Masjumi terkena atau tidak dengan ketentuan-ketentuan Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959, terutama pasal 9 yang berbunyi:
“Presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan Partai yang:
1. Bertentangan dengan asas dan tujuan Negara.
2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan Negara
3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan jelas menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini”.
Pada tanggal 28 Juli 1960, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Masjumi, Prawoto mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, memenuhi undangan Presiden Soekarno di Istana Merdeka untuk memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menjawab pertanyaan: “Apakah asas dan tujuan Masjumi bertentangan dengan asas dan tujuan Negara?” Prawoto dan Yunan dengan tegas menjawab: “Tidak!” Mereka kemudian membandingkan asas dan tujuan Negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) dengan asas tujuan Masjumi seperti termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 Anggaran dasar Masjumi. “Dengan tidak mengajukan keterangan yang panjang lebar, kami dapat mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa asas ISLAM dan tujuan partai tersebut di atas, tidak bertentangan dengan asas dan tujuan Negara, karena apa yang disebut sebagai asas dan tujuan di dalam Pembukaan, adalah termasuk dalam pelajaran Islam dan menjadi pelajaran yang fundamentil,” jawab kedua tokoh Masjumi itu.
Dalam statemen tersebut, Masjumi menegaskan sikapnya antara lain:
4. Dengan menginsyafi sesungguhnya bahaya besar yang sedang mengancam Negara, maka dengan sekuat tenaga diusahakan untuk mempertemukan pendirian-pendirian yang ada di pusat dan daerah.
5. Dengan tidak mengecilkan sedikitpun gentingnya keadaan sesudah keluarnya ultimatum Achmad Husein dan dikeluarkannya keputusan Kabinet tentang pemecatan perwira-perwira yang bersangkutan, Pimpinan Partai Masjumi tidak berpendapat ‘telah terjadi sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi’.
6. Jalan yang harus ditempuh ialah bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat maupun oleh daerah.
7. Pimpinan Partai Masjumi berpendapat bahwa di dalam usaha tersebut di atas, Bung Hatta dapat mengambil peranan yang sangat penting.
8. Untuk mengatasi kegentingan Negara dewasa ini, Masjumi mengharap dengan sebesar-besarnya pengharapan, supaya Presiden menghadapinya dengan pertimbangan menyelamatkan Negara dan bangsa semata-mata.
9. Pimpinan Partai Masjumi mengajak kepada seluruh rakyat supaya mendoakan semoga Presiden mendapatkan PIMPINAN dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala untuk dapat mengambil keputusan yang benar dan dengan demikian menghindarkan Negara dan Bangsa dari malapetaka.
Ketika pada akhirnya PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958, Masjumi kembali mengeluarkan statemen No.1130/Sek.PP/I/M.VIII/1958 tertanggal 17 Februari 1958, ditandatangani oleh Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Bagi Masjumi, “…pembentukan ‘Pemerintah Revolusioner’ itu adalah inkonstitusioneel.” Dalam pada itu, Masjumi pun menegaskan kembali pendiriannya yang sudah dikemukakan di forum DPR, “bahwa pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusioneel.” Selanjutnya, Masjumi menegaskan:
5. Adalah keyakinan Pimpinan Partai Masjumi, bahwa dengan sekuat tenaga harus dirintis setindak demi setindak jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar Sementara, landasan kita hidup bernegara, sebelum Konstituante selesai dengan Undang-Undang Dasar yang tetap.
6. Betapapun sulitnya keadaan, harus menjadi keinsyafan kita bersama, bahwa persoalan sekarang ini adalah persoalan bangsa Indonesia sendiri, dan tiap-tiap campur tangan dari pihak luar harus ditolak.
7. Dalam mencari penyelesaian tanpa kekerasan ini, pulihnya kerja sama Soekarno-Hatta dalam Pemerintahan merupakan syarat mutlak.
8. Pada tempatnya dinyatakan penghargaan atas pidato yang diucapkan Presiden pada upacara penyambutan kedatangan kembali beliau di tanah air, yang memberi harapan baik tentang penyelesaian kesulitan yang dihadapi oleh Negara secara bijaksana.
9. Akhirnya sekali lagi kami mengajak kepada seluruh rakyat untuk berdoa mudah-mudahan Alah subhanahu wa ta’ala memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada Presiden dan Bung Hatta untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang tepat guna keselamatan Negara dan bangsa.
Di tengah keprihatinan bersama menghadapi pergolakan daerah, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1959. Sehubungan dengan keluarnya Penpres tersebut, pemerintah mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Masjumi:
“Apakah Masjumi terkena atau tidak dengan ketentuan-ketentuan Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959, terutama pasal 9 yang berbunyi:
“Presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan Partai yang:
1. Bertentangan dengan asas dan tujuan Negara.
2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan Negara
3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan jelas menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini”.
Pada tanggal 28 Juli 1960, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Masjumi, Prawoto mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, memenuhi undangan Presiden Soekarno di Istana Merdeka untuk memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menjawab pertanyaan: “Apakah asas dan tujuan Masjumi bertentangan dengan asas dan tujuan Negara?” Prawoto dan Yunan dengan tegas menjawab: “Tidak!” Mereka kemudian membandingkan asas dan tujuan Negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) dengan asas tujuan Masjumi seperti termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 Anggaran dasar Masjumi. “Dengan tidak mengajukan keterangan yang panjang lebar, kami dapat mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa asas ISLAM dan tujuan partai tersebut di atas, tidak bertentangan dengan asas dan tujuan Negara, karena apa yang disebut sebagai asas dan tujuan di dalam Pembukaan, adalah termasuk dalam pelajaran Islam dan menjadi pelajaran yang fundamentil,” jawab kedua tokoh Masjumi itu.
Pertanyaan: “Apakah program Masjumi, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara?”, dijawab tegas: “Tidak!” Bagi Masjumi, tidak mungkin program Masjumi baik berjangka panjang maupun yang berjangka pendek, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara. Sebab, dalam pandangan Masjumi, sesuatu program yang bermaksud merombak asas dan tujuan Negara akan bertentangan dengan asas dan tujuan partai sendiri.
Pertanyaan ketiga: “Apakah Masjumi satu partai yang sedang melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan-perbuatan anggotanya?”, juga dijawab tegas: “Tidak!”.
Penpres No.7 Tahun 1959 ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1959, sedangkan Pimpinan Pusat Partai Masjumi yang ditetapkan oleh Muktamar IX, 23-27 April 1959 di Yogyakarta adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo
Wakil Ketua II : K. H. Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Muhammad Roem
Sekretaris Umum : M. Yunan Nasution
Anggota : Mr. Kasman Singodimedjo
Anggota : Anwar Harjono
Anggota : K. H. Taufiqurrahman
Anggota : A. R. Baswedan
Anggota : Ardiwinangun
Anggota : H. Hasan Basri
Anggota : Osman Raliby
Anggota : Sindian Djajadiningrat, SH
Anggota : Sholeh Iskandar
Anggota : K.H. Achmad Azhary
Anggota : Ny. Sunarjo Mangunpuspito
Anggota : Ny. Sjamsuridjal
“Tidak ada pemimpin yang tersebut dalam daftar itu yang turut dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan,” ujar kedua tokoh Masjumi itu sambil menambahkan bahwa mulai September 1958 Masjumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pemberontakan, yaitu di Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam Muktamar IX tidak ada lagi utusan dari daerah-daerah tersebut di atas, juga dalam kepengurusan sesudah Muktamar IX tidak diadakan perwakilan di daerah-daerah yang bergolak itu. “Dengan demikian, maka pada tanggal 31 Desember 1959 tidak ada pemimpin-pemimpin Masjumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan. Statemen pimpinan Partai Masjumi tertanggal 17 Februari 1958 No. 1130/Sek.PP/I/M.VIII/58 telah mencakup menyalahkan pemberotakan itu itu pada keseluruhannya.”
Sedang pertanyaan keempat: “Apakah Masjumi tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959?” tidak dapat dijawab. “Karena syarat-syarat lain yang dimaksud di dalam Penpres No.7 Tahun 1959 (pasal 9 ayat 1 angka 4) tidak ada, sudah tentu belum bisa mendahului memberikan jawabannya”, ujar Prawoto dan Nasution menjawab pertanyaan tertulis dari pemerintah.
Akan tetapi, meskipun telah begitu gamblang sikap Masjumi terhadap pergolakan daerah, Presiden Soekarno tetap pada pendirian bahwa Masjumi mau merobohkan Negara!
Dalam pidato 17 Agustus 1960, Soekarno antara lain berkata:
“Mengenai retooling kepartaian, Saudara-saudara mengetahui bahwa Penetapan Presiden No. 7/1959 dan Peraturan Presiden No. 13/1960 sudah berjalan. Penetapan Presiden No. 7 dan Peraturan Presiden itu pada pokoknya tegas-tegas memberi hak hidup (dengan tentunya syarat-syarat mengenai organisasi dan sebagainya) kepada partai-partai yang ber-USDEK, dan melarang partai-partai yang kontra-revolusioner. Ini bukan diktatur, ini bukan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang! Ini adalah pelaksanaan daripada satu universal principle, satu prinsip umum di negeri manapun juga, bahwa dari Penguasa yang memegang kekuasaan Negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada kekuatan-kekuatan yang mau merobohkan Negara. Ketambahan lagi, berdasarkan moral revolusioner dan moralnya Revolusi, maka Penguasa wajib membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing ataupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya Revolusi.
“Berdasarkan hal-hak ini, saya beritahukan sekarang kepada rakyat, bahwa saya sebagai Presiden Republik Indonesia, sesudah mendengar pendapat Mahkamah Agung, beberapa hari yang lalu telah memerintahkan bubarnya Masjumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia)! Jikalau satu bulan sesudah perintah ini diberikan, Masjumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masjumi dan PSI adalah partai-partai yang terlarang!”
Palu godam pun jatuh. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 tahun 1960, partai Politik Masjumi diperintahkan membubarkan diri atau kalau tidak, Masjumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Ketika Kepres No. 200/1960 itu keluar, pimpinan Partai Masjumi segera merundingkan bagaimana baiknya. “Almarhum Pak Prawoto Mangkusasmito bukan saja memusyawarahkannya dengan kita yang di pucuk pimpinan partai, tetapi juga memanggil teman-teman dari berbagai daerah untuk dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya mengatasi keadaan,” kenang Harjono mengenai saat-saat paling suram dalam kehidupan partai Masjumi.
Menurut Harjono kalau Kepres No.200/1960 itu didiamkan begitu saja, resikonya sangat besar. Masjumi akan menjadi partai terlarang. Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat, mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan partai tidak mustahil akan dirampas. “Jangan lupa, “kata Harjono, “Perintah pembubaran Mayumi itu sesungguhnya merupakan antiklimaks dari klimaks dipriklamasikannya PRRI di Sumatera. Jadi, proses perintah pembubaran Masjumi itu berlangsung lama dan sistematis.”
Masjumi akhirnya memang memenuhi perintah Kepres No. 200/1960. Akan tetapi, seraya memenuhi permintaan tersebut, Masjumi pun mengadukan perbuatan pemerintah itu ke pengadilan. “Secara politis kita memang dikalahkan, tetapi hati nurani hukum kita tetap tidak bisa membenarkan,” ujar Harjono. Maka ditunjuklah Mr. Mohamad Roem sebagai kuasa hukum Masjumi untuk menggugat pemerintah di pengadilan.
Pengadilan ternyata tidak mampu memutuskan benar atau tidaknya tindakan pemerintah mengeluarkan Kepres No.200/1960 itu. Pengadilan mengganggap pihaknya tidak berwenang mengadili perkara Masjumi melawan pemerintah, karena perintah pembubaran Masjumi merupakan kebijaksanaan politik. Perkara itupun terkatung-katung nasibnya, sampai hari ini.
Pertanyaan ketiga: “Apakah Masjumi satu partai yang sedang melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan-perbuatan anggotanya?”, juga dijawab tegas: “Tidak!”.
Penpres No.7 Tahun 1959 ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1959, sedangkan Pimpinan Pusat Partai Masjumi yang ditetapkan oleh Muktamar IX, 23-27 April 1959 di Yogyakarta adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo
Wakil Ketua II : K. H. Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Muhammad Roem
Sekretaris Umum : M. Yunan Nasution
Anggota : Mr. Kasman Singodimedjo
Anggota : Anwar Harjono
Anggota : K. H. Taufiqurrahman
Anggota : A. R. Baswedan
Anggota : Ardiwinangun
Anggota : H. Hasan Basri
Anggota : Osman Raliby
Anggota : Sindian Djajadiningrat, SH
Anggota : Sholeh Iskandar
Anggota : K.H. Achmad Azhary
Anggota : Ny. Sunarjo Mangunpuspito
Anggota : Ny. Sjamsuridjal
“Tidak ada pemimpin yang tersebut dalam daftar itu yang turut dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan,” ujar kedua tokoh Masjumi itu sambil menambahkan bahwa mulai September 1958 Masjumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pemberontakan, yaitu di Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam Muktamar IX tidak ada lagi utusan dari daerah-daerah tersebut di atas, juga dalam kepengurusan sesudah Muktamar IX tidak diadakan perwakilan di daerah-daerah yang bergolak itu. “Dengan demikian, maka pada tanggal 31 Desember 1959 tidak ada pemimpin-pemimpin Masjumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan. Statemen pimpinan Partai Masjumi tertanggal 17 Februari 1958 No. 1130/Sek.PP/I/M.VIII/58 telah mencakup menyalahkan pemberotakan itu itu pada keseluruhannya.”
Sedang pertanyaan keempat: “Apakah Masjumi tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959?” tidak dapat dijawab. “Karena syarat-syarat lain yang dimaksud di dalam Penpres No.7 Tahun 1959 (pasal 9 ayat 1 angka 4) tidak ada, sudah tentu belum bisa mendahului memberikan jawabannya”, ujar Prawoto dan Nasution menjawab pertanyaan tertulis dari pemerintah.
Akan tetapi, meskipun telah begitu gamblang sikap Masjumi terhadap pergolakan daerah, Presiden Soekarno tetap pada pendirian bahwa Masjumi mau merobohkan Negara!
Dalam pidato 17 Agustus 1960, Soekarno antara lain berkata:
“Mengenai retooling kepartaian, Saudara-saudara mengetahui bahwa Penetapan Presiden No. 7/1959 dan Peraturan Presiden No. 13/1960 sudah berjalan. Penetapan Presiden No. 7 dan Peraturan Presiden itu pada pokoknya tegas-tegas memberi hak hidup (dengan tentunya syarat-syarat mengenai organisasi dan sebagainya) kepada partai-partai yang ber-USDEK, dan melarang partai-partai yang kontra-revolusioner. Ini bukan diktatur, ini bukan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang! Ini adalah pelaksanaan daripada satu universal principle, satu prinsip umum di negeri manapun juga, bahwa dari Penguasa yang memegang kekuasaan Negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada kekuatan-kekuatan yang mau merobohkan Negara. Ketambahan lagi, berdasarkan moral revolusioner dan moralnya Revolusi, maka Penguasa wajib membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing ataupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya Revolusi.
“Berdasarkan hal-hak ini, saya beritahukan sekarang kepada rakyat, bahwa saya sebagai Presiden Republik Indonesia, sesudah mendengar pendapat Mahkamah Agung, beberapa hari yang lalu telah memerintahkan bubarnya Masjumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia)! Jikalau satu bulan sesudah perintah ini diberikan, Masjumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masjumi dan PSI adalah partai-partai yang terlarang!”
Palu godam pun jatuh. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 tahun 1960, partai Politik Masjumi diperintahkan membubarkan diri atau kalau tidak, Masjumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Ketika Kepres No. 200/1960 itu keluar, pimpinan Partai Masjumi segera merundingkan bagaimana baiknya. “Almarhum Pak Prawoto Mangkusasmito bukan saja memusyawarahkannya dengan kita yang di pucuk pimpinan partai, tetapi juga memanggil teman-teman dari berbagai daerah untuk dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya mengatasi keadaan,” kenang Harjono mengenai saat-saat paling suram dalam kehidupan partai Masjumi.
Menurut Harjono kalau Kepres No.200/1960 itu didiamkan begitu saja, resikonya sangat besar. Masjumi akan menjadi partai terlarang. Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat, mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan partai tidak mustahil akan dirampas. “Jangan lupa, “kata Harjono, “Perintah pembubaran Mayumi itu sesungguhnya merupakan antiklimaks dari klimaks dipriklamasikannya PRRI di Sumatera. Jadi, proses perintah pembubaran Masjumi itu berlangsung lama dan sistematis.”
Masjumi akhirnya memang memenuhi perintah Kepres No. 200/1960. Akan tetapi, seraya memenuhi permintaan tersebut, Masjumi pun mengadukan perbuatan pemerintah itu ke pengadilan. “Secara politis kita memang dikalahkan, tetapi hati nurani hukum kita tetap tidak bisa membenarkan,” ujar Harjono. Maka ditunjuklah Mr. Mohamad Roem sebagai kuasa hukum Masjumi untuk menggugat pemerintah di pengadilan.
Pengadilan ternyata tidak mampu memutuskan benar atau tidaknya tindakan pemerintah mengeluarkan Kepres No.200/1960 itu. Pengadilan mengganggap pihaknya tidak berwenang mengadili perkara Masjumi melawan pemerintah, karena perintah pembubaran Masjumi merupakan kebijaksanaan politik. Perkara itupun terkatung-katung nasibnya, sampai hari ini.