Kasman Singodimedjo
Pemimpin di Masa Kritis yang Dilupakan Bangsa
Oleh:
Lukman Hakiem
Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia
Anggota Panitia Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdoel
Kahar Moedzakir
Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982), bagai ditakdirkan
untuk selalu tampil sebagai perintis di saat-saat kritis. Di waktu sekitar
proklamasi, kata Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, adalah lazim kalangan
pemuda menyebut trio Soekarno-Hatta-Kasman, di mana Kasman dirasakan sebagai
tokoh militer yang terdepan ketika itu. “Hanya dengan pimpinan
Soekarno-Hatta-Kasman rakyat dapat digerakkan secara massal, dan kegiatan tanpa
disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu gerakan yang
hanya setengah-setengah saja,” kata Pak Nas.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, tokoh kelahiran Purworejo yang berlatar
belakang pendidikan Barat itu, yang bertahun-tahun
menjadi aktivis Jong Islamieten Bond
(JIB), dan menjadi guru serta pengurus Muhammadiyah, oleh tentara pendudukan
Jepang ditunjuk menjadi Komandan Batalyon (Daidancho)
Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta. Sebagai Daidancho
paling senior, pada 16 Agustus 1945, dalam pertemuan dengan para Daidancho se-Jawa dan Madura di Bandung, Kasman memberi arahan kepada para Daidancho agar semua persenjataan yang telah berada di tangan PETA
tidak diserahkan kepada tentara Jepang.
Pada 18 Agustus 1945, Daidancho Kasman
diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
menghasilkan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Pada 20 Agustus 1945, sidang ketiga PPKI
memutuskan membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan tugas dan
kewajiban “harus memelihara keamanan bersama-sama rakyat dengan jawatan-jawatan
negeri yang bersangkutan.” Otto Iskandar Dinata ditunjuk menjadi Kepala BKR
dengan Kasman Singodimedjo sebagai Wakil. Oleh karena sejak ditunjuk menjadi
Kepala BKR, Otto tidak pernah muncul (hilang/gugur di daerah Tangerang), praktis Kasman lah yang memimpin BKR. Kita tahu, BKR
ini
adalah cikal bakal Tentara
Nasional Indonesia (TNI), dan dalam konteks ini kita dapat memahami kesaksian
Jenderal Nasution di atas.
Belum rampung mengkonsolidasikan BKR, pada 29 Agustus 1945, Kasman dipilih
menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP adalah parlemen
pertama di era kemerdekaan, dan Kasman adalah
orang pertama yang memimpin parlemen pertama itu.
Meskipun sudah menjadi ketua parlemen, perhatian Kasman kepada pembentukan
tentara, tidak pudar. Pada 9 Oktober 1945, Kasman
Singodimedjo selaku Ketua KNIP mengumumkan bahwa untuk menjaga keamanan rakyat
pada dewasa ini, oleh Presiden RI telah diperintahkan pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat. Kasman menyerukan agar seluruh pemuda, bekas prajurit PETA,
bekas prajurit Hindia-Belanda, Pelopor, dan lain-lain, baik yang sudah maupun
yang belum pernah memperoleh latihan militer supaya selekas-lekasnya
mendaftarkan diri di kantor BKR yang ditunjuk oleh Residen atau wakilnya.
Jabatan Ketua KNIP dipegang Kasman sampai 15 Oktober 1945 ketika Kasman
menyerahkan jabatan itu kepada Sutan Sjahrir.
Selepas dari jabatan Ketua KNIP, Kasman diangkat menjadi Jaksa Agung. Ini
pun jabatan rintisan, sebab Jaksa Agung yang pertama (17 Agustus-6 November
1945), Mr. Gatot, yang tinggal di Purwokerto, karena situasi dan kondisi pada masa itu tidak efektif di dalam menjalankan tugasnya. Sebagai Jaksa Agung di masa permulaan kemerdekaan, Kasman melakukan penyusunan administrasi dan personalia,
hubungan dengan berbagai instansi baik vertikal maupun horisontal, juga
mengeluarkan berbagai instruksi kepada segenap jajaran kejaksaan.
Setelah berhenti dari
jabatan Jaksa Agung, Kasman ditunjuk menjadi Kepala
Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan RI dengan
pangkat Jenderal Mayor. Setelah itu, Kasman diangkat menjadi Kepala Kehakiman
dan Pengadilan Militer pada Kementerian Pertahanan.
Jabatan terakhir Kasman di pemerintahan adalah sebagai Menteri Muda
Kehakiman dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Beberapa tahun kemudian, Kasman
terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante dan diberi amanah menjadi Ketua
Fraksi Islam yang merupakan gabungan dari anggota Partai Masyumi, Partai
Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Islam PERTI di Konstituante.
Menurut Jenderal TNI A.H. Nasution, ketampilan ikut memimpin negara dan
tentara pada saat-saat yang amat kritik
itu, tidak akan datang dari “pemimpin-pemimpin rutin.”
Tugas memimpin di masa-masa kritik pasti jauh lebih berbahaya dan lebih
menentukan bagi nasib bangsa, dibanding dengan di masa negara dan tentara telah
tegak terkonsolidasi.
Melunakkan Ki Bagoes Hadikoesoemo
Begitu diangkat menjadi anggota PPKI, lagi-lagi Kasman menghadapi situasi
kritis. Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 itu, sungguh-sungguh sangat krusial.
Keputusan rapat besar BPUPK mengenai Preambule
(yang biasa disebut Piagam Jakarta 22 Juni 1945) dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 yang pada16 Juli 1945, diterima –dalam kata-kata Ketua BPUPK Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan
suara sebulat-bulatnya” atas permintaan Mohammad Hatta diusulkan agar
diamandemen, yaitu dengan menghilangkan tujuh kata: “…. dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Menurut mantan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito,
ketika seluruh eksponen non-Islam pada rapat 18 Agustus 1945
itu menghendaki tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam
Jakarta, anggota PPKI K.H. A. Wahid Hasjim masih dalam perjalanan dari Jawa Timur. Kasman sebagai anggota tambahan,
yang baru mendapat undangan rapat pada pagi hari itu, belum mengetahui sama
sekali persoalannya. Oleh karena itu, seluruh tekanan psikologis tentang
berhasil atau tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang
kemerdekaannya baru berumur beberapa jam itu sepenuhnya
diletakkan di atas pundak Ketua PP Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI pada saat itu.
Tidak mudah meyakinkan Ki Bagoes untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule Undang-Undang Dasar. Sesudah
Bung Hatta --yang konon pada sore 17 Agustus 1945 menerima opsir Angkatan Laut
Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di Indonesia Timur atas masuknya
tujuh kata
tersebut dalam Preambule
Undang-Undang Dasar—gagal meyakinkan Ki Bagoes, dia meminta T. M. Hasan
tokoh Ikhwanus Safa dari Aceh untuk
melobbi Ki Bagoes. Hasan ternyata juga tidak mampu.melunakkan hati ki Bagoes.
Dalam situasi kritis itulah, Hatta meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagoes.
Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagoes untuk mau
menerima usul perubahan. Kasman antara lain mengingatkan Ki Bagoes bahwa
karena kemarin kemerdekaan sudah
diproklamasikan, maka Undang-Undang Dasar harus cepat ditetapkan supaya
memperlancar roda pemerintahan. Kasman juga mengingatkan Ki Bagoes bahwa bangsa
Indonesia sekarang posisinya terjepit di antara bala tentara Dai Nippon yang masih tongol-tongol di bumi Indonesia dengan
persenjataan moderennya; dan tentara Sekutu –termasuk Belanda—yang tingil-tingil mau masuk Indonesia, juga
dengan persenjataan moderennya.
Di akhir pembicaraannya, Kasman bertanya kepada Ki Bagoes apakah tidak
bijaksana jika kita sebagai umat Islam yang mayoritas ini mengalah, yakni
menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita bersama, yakni
tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur,
tenang tenteram, diridhai Allah.
Entah karena dilobbi oleh sesama kader Muhammadiyah,
atau karena kepiawaian Kasman melobbi dengan bahasa Jawa halus, Ki Bagoes luluh
dan dapat menerima argumen Kasman. Ki Bagoes setuju tujuh kata dalam rancangan Preambule Undang-Undang Dasar, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa. Bersamaan
dengan itu Ki Bagoes meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule
Undang-Undang Dasar dihapus, sehingga penulisannya dalam Preambule
Undang-Undang Dasar menjadi: “….
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan seterusnya.” Usul Ki Bagoes disetujui, dan langsung
dikonfirmasikan kepada Bung Hatta.
Berpolitik dengan Keyakinan
Kasman Singodimedjo, bukanlah jenis tokoh yang berpolitik
untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi, apalagi sekadar untuk memperkaya
diri. Kasman berpolitik berdasarkan cita-cita dan keyakinan.
Perjuangannya yang dilandasi cita-cita dan keyakinan itu
menyebabkan Kasman tidak pernah mau duduk berpangku tangan. Ketika pada 19
Desember 1948, ibukota RI di Yogyakarta diserang dan diduduki tentara Belanda,
dan para pemimpin Republik ditawan, Kasman sebagai Juru Bicara Pemerintah Pusat
berkeliling ke basis-basis Republik di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk
memberikan penerangan bahwa meskipun Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta, dan para menteri ditawan oleh Belanda, roda pemerintahan Republik
Indonesia masih terus berjalan. Kasman juga mengobarkan semangat rakyat untuk
terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Letnan Jenderal
T.B. Simatupang, mencatat pertemuannya dengan Kasman di masa itu. Simatupang
mengakui di masa perang-rakyat itu, dirinya tidak mungkin mampu mengunjungi
daerah-daerah yang sudah dikunjungi Kasman. “Gambaran yang saya peroleh dari
ceritanya (Kasman) itu pada dasarnya adalah sama dengan keadaan yang telah saya
lihat sendiri di daerah Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta itu. Belanda menduduki
kota-kota besar, tetapi di luar kota-kota itu tentara dan pamongpraja kita
bergerak dan bekerja terus,” demikian Jenderal Simatupang dalam bukunya yang
terkenal, Laporan dari Banaran.
Sebagai aktivis Muhammadiyah sejak 1921, cita-cita dan
keyakinan Kasman dipengaruhi oleh rumusan kepribadian Muhammadiyah, antara
lain: beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan, memperbanyak
kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah, mengindahkan segala hukum,
undang-undang, peraturan serta dasar dan filsafat negara yang sah. Membantu
pemerintah serta kerja sama dengan golongan lain dalam pemeliharaan dan
membangun negara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur dan diridhai
Allah subhanahu wa ta’ala, dan
bersifat adil serta korektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.
Dengan cita-cita dan keyakinan seperti itu, tidak perlu
heran melihat Kasman yang bukan pengurus atau calon anggota legislative
(caleg), pada 1977 sangat bersemangat menjadi juru kampanye salah satu
organisasi peserta pemilihan umum. Kasman berkampanye di Sumatera Barat, Riau,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Maluku.
Semangat kampanye Kasman melampaui semangat para pengurus partai dan caleg,
karena Kasman bergerak didasari keyakinan. Bukan karena kepentingan sesaat untuk melanggengkan kekuasaan di partai atau untuk menjadi anggota parlemen.
Padahal, pada saat itu, masih banyak tokoh yang bersikap wait and see atau
memilih menjadi golongan putih (golput) karena menganggap pemilu kedua di masa
Orde Baru itu tidak ada manfaatnya untuk demokrasi dan hanya menguntungkan
rezim yang berkuasa saja.
Akan tetapi, jika tiba saatnya Kasman harus mengeritik,
dia pun tidak segan melancarkan kritik. Itu terjadi di masa Presiden Soekarno. Akibat pidatonya yang kritis terhadap pemerintahan Soekarno yang
disampaikannya pada 31 Agustus 1958 di Magelang, Kasman dituduh menyebarkan permusuhan kepada pemerintah dan menyebabkannya
di penjara selama beberapa tahun.
Sikap kritis Kasman juga terjadi di masa Presiden
Soeharto dengan mengajukan Petisi Kasman (Petisi 26) mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi
50) yang menyebabkan hak-hak sipilnya dibunuh. Yang mengenaskan, ketika pada 12
Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada para
mantan anggota BPUPK dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewati. Patut diduga, ini
adalah dampak dari keikutsertaan Kasman menandatangani Petisi 50.
Akan tetapi, berbagai resiko yang dihadapi, tidak
menyebabkan Kasman surut dari lapangan perjuangan. Seorang Muslim, kata Kasman,
harus berjuang terus. Hukumnya wajib, karena hidup itu adalah
perjuangan.
Bagi Kasman, seorang Muslim harus berjuang terus, betapa
pun keadaannya lebih sulit dari sebelumnya. Adanya kesulitan-kesulitan itu
tidak membebaskan seorang Muslim untuk berhenti berjuang, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau dengan
strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai.
Kasman Singodimedjo adalah tokoh pemimpin yang unik.
Beliau adalah seorang nasionalis yang memperjuangkan tegaknya Islam, sekaligus
pemimpin Islam yang berjuang untuk kepentingan nasional. Beliau adalah seorang
politikus yang sekaligus seorang pekerja social. Beliau seorang cendekiawan
yang selalu berada di tengah-tengah rakyat. Beliau seorang intelek sekaligus
seorang kiai. Lebih dari itu semua, Kasman adalah seorang pejuang tanpa pamrih
yang nyaris dilupakan oleh bangsanya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa
para pahlawannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar