Oleh: Lukman Hakiem
Ketua Pimpinan Pusat
Persaudaraan Muslimin Indonesia (PP. Parmusi)
Anggota Panitia
Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Ki Bagus Hadikusumo,
Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir
Sejarah, kata seorang
pakar, hanyalah bagian dari masa lampau manusia yang dapat disusun kembali
secara berarti berdasarkan rekaman-rekaman yang ada, dan berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan lingkungannya. Di sinilah terletak kesulitan menulis
sejarah. Jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada, sejarawan yang mampu
mengisahkan masa lampau –sebagian sekalipun—“sebagaimana yang sungguh-sungguh
terjadi.” Kesulitan tersebut bukan saja karena tidak lengkapnya rekaman masa
lampau, tetapi juga karena terbatasnya imajinasi dan bahasa manusia untuk mengungkapkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa
lampau.
Dalam konteks seperti inilah kita memahami Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954). Seiring bertambahnya jarak waktu kita dengan masa ketika Ki Bagus memberikan sumbangsihnya untuk umat, bangsa, dan negara, makin
sedikit pula gambaran kita mengenai Ki Bagus.
Ingatan kita terhadap Ki Bagus, makin terbatasi pada posisinya sebagai
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Paling jauh yang kita ingat ialah beban yang mendadak dia harus terima di sekitar pengesahan
Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945 dan sesudah itu, seperti
dikemukakan dalam pidato K.H. Abdul Kahar Mudzakkir di Konstituante pada 11 Mei
1959, pesan getir (Pak Abdul Kahar menyebutnya: “jeritan”) Ki Bagus di muka Majelis Tanwir dari Konsul-konsul Muhammadiyah seluruh
Indonesia pada bulan Agustus 1945 di Yogyakarta mengenai “pasal-pasal yang
mengenai Islam dan umat Islam telah dihapuskan dan dilenyapkan dari
Undang-Undang Dasar 1945.”
Islam sebagai Jati Diri Bangsa
Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang yang sangat yakin terhadap kesempurnaan ajaran Islam dan relevansi ajaran Islam bagi kehidupan umat, bangsa, dan negara.
Dalam pidato di BPUPKI pada 31 Mei 1945, Ki Bagus antara lain mengemukakan
keyakinannya bahwa Islam sedikitnya sudah enam abad menjadi agama kebangsaan
Indonesia dan sedikitnya sudah tiga abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam
sudah berlaku di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Menurut Ki Bagus, banyak
sekali hukum Islam yang sudah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia, sehingga
tidak akan salah lagi bila dikatakan bahwa hukum Islam sudah menjadi adat
istidat bangsa Indonesia.
Apa yang disampaikan dengan penuh keyakinan oleh Ki Bagus, sesungguhnya
merupakan fakta dalam sejarah perkembangan hubungan agama (dalam hal ini Islam)
dengan negara.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa relijiusitas telah
menyatu dan menjadi jati diri bangsa ini.
Di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat, yang mengalami proses Islamisasi
sekitar pertengahan abad ke-16, sistem pemerintahannya
memberi kedudukan terhormat kepada ajaran dan hukum Islam. Setiap keputusan
pemerintahan Kesultanan Bima tidak boleh dilaksanakan sebelum mendapat
pertimbangan hukum syara’, apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan hukum
Islam. Ini tercermin dalam ungkapan: “syara’
na katenggo kuma hukum –syara’ harus dikuatkan oleh hukum Islam.”
Para penguasa di Nusantara, dengan kesadaran penuh mempergunakan
idiom-idiom Islam pada dirinya. Sultan,
Sayyidin, dan Khalfatullah melekat menjadi sebutan para penguasa di Nusantara.
Bahkan, meskipun kemudian berbagai bangsa Barat datang untuk menaklukkan dan menjajah berbagai
kerajaan di Nusantara, mereka tidak mampu menghilangkan Islam dari jiwa
penduduk di kepulauan Nusantara. Islam tetap menjiwai, dilaksanakan, dan
menjadi jati diri penduduk di kepulauan ini.
Sepanjang catatan yang ada, sampai sebelum 1882, pemerintah kolonial
Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan Agama Islam di masyarakat kepulauan
Nusantara.
Pada September 1801 pemerintah Hindia-Belanda memerintahkan kepada seluruh
Bupati agar terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak dilakukan gangguan,
sedangkan kepada para pemuka agama Islam diberikan keleluasaan untuk memutuskan
perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Pada tahun
1820, melalui Stanblad No. 22 pasal 13,
ditentukan bahwa para Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya para pemuka dapat melakukan tugas mereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka,
dan yang sejenis dengan itu. Berturut-turut sesudah itu, keluar Stanblad No. 58 tahun 1835 dan Stanblad No. 2 tahun 1855 yang mendukung pelaksanaan hukum Islam oleh orang-orang
Islam sendiri, melalui cara-cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pada tahun 1882, Pengadilan Agama di Jawa-Madura, diresmikan. Peresmian itu
berlangsung sesudah berkembang pendapat di kalangan orang-orang Belanda sendiri
bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang bumiputera di Hindia-Belanda adalah
undang-undang agama mereka sendiri, yakni hukum Islam. Inilah teori hukum yang
terkenal dengan nama Receptio in Complexu
yang sejak tahun 1885 telah memperoleh landasan perundang-undangan
Hindia-Belanda melalui Stanblad No. 2 Tahun 1855.
Dalam hubungan ini, menarik untuk menyimak nota Ketua Komisi Penyesuaian
Undang-undang Belanda dengan Keadaan Istimewa di Hindia-Belanda, Mr. Scholten
van oud Harlem, kepada pemerintah Belanda pada 1838 sebagai berikut: “Untuk
mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan,
jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang bumiputera, maka harus
diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggtal tetap dalam
lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.” Pendapat Harlem didukung
oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg yang mengatakan bahwa orang-orang
bumiputera yang beragama Islam telah melakukan resepsi terhadap hukum Islam
dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan.
Perubahan mulai terjadi ketika seorang ahli hukum adat, Cornelis van
Vollenhoven mengeritik dan menyerang teori Receptio
in Complexu. Kritik dan serangan van Vollenhoven didukung oleh Penasihat
Pemerintah Hindia-Belanda tentang Soal-soal Islam dan Anak Negeri, Christian
Snouck Hurgronje. Menurut keduanya, yang sesungguhnya berlaku di Hindia-Belanda
bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat itu memang
masuk hukum Islam, tetapi hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah
diterima sebagai hukum adat. Pendapat kedua orang ini dikenal sebagai teori Receptie.
Sejak muncul teori inilah, di kalangan masyarakat lahir dua kubu mengenai
hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara. Golongan-golongan dalam
masyarakat yang diciptakan oleh pemerintah kolonial itu secara otomatis akan
saling berhadapan jika dimunculkan isu menyangkut kepentingan mereka.
Ketika pada awal abad XX pemerintah kolonial
Belanda bermaksud menghapuskan hukum Islam tentang urusan waris dan
menggantinya dengan hukum adat (adatrecht),
Ki Bagus terlibat langsung dalam perdebatan mengenai posisi hukum Islam di
dalam landraad (pengadilan negeri) itu. Dan sesudah
diperdebatkan selama sepuluh hari di
dalam kepanitiaan yang dipimpin oleh Prof. Dr. Husein Djajadiningrat (Ki Bagus duduk sebagai anggota) dengan suara terbanyak diputuskan: hukum
Islamlah yang harus dipakai oleh landraad
untuk memutuskan perkara-perkara yang mengenai atau bersangkut-paut dengan
hal-ihwal waris.
Islam: Jiwa yang Hidup dan Bersemangat
Dalam hubungan dengan semangat kebangsaan, Ki Bagus mengingatkan, bukankah
tokoh-tokoh yang berani menentang imperalisme Belanda adalah tokoh-tokoh
seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan kiai-kiai lain yang
merupakan penganjur dan pendekar rakyat yang berpegang teguh kepada Islam serta
mendasarkan perjuangannya di atas dasar agama Islam.
Menurut Ki Bagus, jika dilihat perkembangan pergerakan rakyat Indonesia
pada kurun terakhir di awal abad ke-20, mulai Indische Partij, Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain; maka
yang mendapat sambutan serta pengaruh yang terbesar dari seluruh rakyat
Indonesia adalah Sarekat Islam.
Sarekat Islam yang mendasarkan pergerakannya kepada ajaran Islam mampu
menggabungkan segenap rakyat dari segala pelosok kepulauan Indonesia. Tidak
hanya di Jawa, pengaruh Sarekat Islam menyebar ke Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan, dan lain-lain.
Melihat kenyataan tersebut, Ki Bagus menyimpulkan bahwa di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup dan bersemangat. Dengan pengaruh agama
Islam kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan mendalam,
maka Ki Bagus yang menyebut dirinya sebagai “seorang bangsa Indonesia tulen”
dan “sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka”
mengharapkan agar Indonesia merdeka
mendasarkan dirinya kepada agama Islam, sesuai dengan jiwa rakyat yang
terbanyak.
Bagi Ki Bagus, Islam yang diusulkannya menjadi dasar negara itu, paling
sedikit mengandung: (1). Mengajarkan persatuan atas
dasar persaudaraan yang kukuh, (2). Mementingkan perekonomian dan mengatur
pertahanan negara, (3). Membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan
keadilan, (4). Tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita,
dan (5). Membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat
kemerdekaan yang menyala-nyala.
Ki Bagus juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah insaf, sudah luas
pandangannya dan sudah lebar dadanya, suka bekerja bersama-sama dengan siapa
dan di mana saja, asal tidak tersinggung agamanya.
Panitia Delapan BPUPKI
Patut diduga, lantaran keteguhannya menyuarakan aspirasi Islam, maka ketika
mula-mula dibentuk Panitia Kecil BPUPKI yang terdiri atas 8 anggota, karena itu
boleh juga disebut Panitia Delapan, Ki Bagus Hadikusumo dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Tujuh anggota yang lain ialah:
Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, R. Oto
Iskandardinata, Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan K.H. A. Wahid Hasjim.
Tugas Panitia Kecil ini adalah mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan
dibahas pada masa sidang yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1945.
Mengenai dasar negara, Panitia Kecil mencatat 7 usul, yaitu: 1. Kebangsaan
dan Ketuhanan (11 pengusul), 2. Kebangsaan dan Kerakyatan (2 pengusul), 3.
Kebangsaan, Kerakyatan, dan Ketuhanan (3 pengusul), 4. Kebangsaan, Kerakyatan, dan Kekeluargaan (4
pengusul), 5. Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian, kecerdasan pikiran
bangsa Indonesia bertakwa, berpegangan teguh pada tuntunan Tuhan Yang Maha Esa,
Igama Negara ialah agama Islam (1
pengusul), 6. Kebangsaan, Kerakyatan, dan Islam, dengan catatan agama Islam
harus diakui sebagai agama negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi
penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam (3 pengusul), dan 7. Jiwa Asia
Timur Raya (4 pengusul).
Melihat kenyataan usul-usul di atas, tidak mengherankan jika dalam rumusan
Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan dan dibentuk atas prakarsa Bung Karno) yang terdiri atas Ir. Sukarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr.
Achmad Soebardjo, K.H. A. Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H. Agus
Salim; Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan mudah disepakati menjadi
dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat.
Ketika pada 10 Juli 1945 hasil kerja Panitia Sembilan ini dibawa ke rapat besar BPUPKI, dan mendapat kritik dan sanggahan dari
beberapa anggota, Ir. Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan gigih
mempertahankan rumusan Pembukaan hukum dasar itu. Sesudah melalui perdebatan
panjang, dalam rapat BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945, rancangan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar diterima –dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan suara sebulat-bulatnya.” Preambule
rumusan 22 Juni 1945 itulah yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Sampai di sini, mau tidak mau, kita
harus mencatat peranan seorang lagi kader Muhammadiyah, K.H. A. Kahar Mudzakkir, di dalam merumuskan konstitusi negara dalam kedudukannya sebagai anggota
Panitia Sembilan. Sayangnya sampai sekarang dokumen perdebatan di Panitia
Sembilan belum ditemukan sehingga belum terpublikasikan.
Sesudah bersidang pada 16 Juli 1945,
BPUPKI “hilang”. Posisi BPUPKI digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan BPUPKI yang beranggotakan 60 orang
ditambah 6 anggota tambahan dan 7 wakil Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI
hanya beranggotakan 27
orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, entah
mengapa, baru bersidang pada 18 Agustus 1945.
Di PPKI, yang anggotanya hanya 21 orang
plus 6 anggota tambahan jumlah anggota yang berasal dari
kalangan Islam makin merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah
yang saat itu lebih dikenal sebagai Daidantjo
Jakarta), dan Mr. T.M. Hasan (Ikhwanus
Shafa Indonesia
yang keanggotaannya dalam PPKI lebih karena faktor
ke-Sumatera-annya).
Di tangan PPKI dengan format seperti
itulah, karya besar 60 + 6 anggota BPUPKI berupa Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang dengan susah payah dan dengan penuh kesabaran dirancang,
diperdebatkan, dan pada 16 Juli 1945 dengan suara bulat disahkan dalam rapat
besar BPUPKI, hanya dalam hitungan jam, serta merta dianulir oleh 20 + 6 anggota PPKI.
Seluruhnya di Pundak Ki Bagus
Situasi pada pagi 18 Agustus 1945
itu, sungguh-sungguh sangat krusial. Lagi-lagi, beban berat itu diletakkan di
pundak kader Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo.
Menurut Ketua Umum Partai Masyumi,
Prawoto Mangkusasmito, ketika seluruh eksponen non-Islam menghendaki tidak ada
klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta pada rapat 18 Agustus 1945 itu, anggota PPKI K.H. A. Wahid
Hasjim tidak ada, karena masih dalam perjalanan di Jawa Timur. Mr. Kasman
Singodimedjo sebagai anggota tambahan, yang baru mendapat undangan rapat pada
pagi hari itu, belum mengetahui sama sekali persoalannya. Seluruh tekanan psikologis
tentang berhasil atau tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas
pundak Ki Bagus Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI pada saat
itu.
Tidak mudah meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule Undang-Undang Dasar. Sesudah Bung Hatta --yang konon pada
sore 17 Agustus 1945 menerima opsir Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan
keberatan rakyat di Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule Undang-Undang Dasar—gagal meyakinkan
Ki Bagus, dia meminta T. M. Hasan untuk melobbi Ki Bagus. Hasan ternyata juga tidak mampu.melunakkan hati ki Bagus.
Dalam situasi kritis itulah, Hatta
meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan
bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima
usul perubahan.
Entah karena dilobbi oleh sesama kader Muhammadiyah, atau karena kepiawaian Kasman melobbi dengan bahasa
Jawa halus, Ki Bagus dapat menerima argumen Kasman. Ki Bagus setuju kalimat dalam
rancangan Preambule Undang-Undang
Dasar, Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti
dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule Undang-Undang Dasar dihapus,
sehingga penulisannya dalam Preambule
Undang-Undang Dasar menjadi: “….
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan seterusnya.” Usul Ki Bagus disetujui.
Setelah sekian lama berlalu, telah tiba waktunya bagi seluruh komponen
bangsa untuk melengkapi pengetahuan kita terhadap masa lalu bangsa ini dan
menimbang secara adil peran Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Mr. Kasman Singodimedjo, dan banyak tokoh lain
seperti Dr. Soekiman Wirjosandjojo, K.H. Ahmad Sanusi, dan Abdul Rahman Baswedan dalam proses pembentukan negara
Republik Indonesia dengan konstitusinya yang kita kenal sekarang sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun1945.
Dalam proses penyusunan konstitusi, terutama pada saat-saat kritis dalam
proses penetapan Undang-Undang Dasar, terbukti tiga tokoh Muhammadiyah telah
menorehkan peranan yang cukup signifikan. Anehnya, meskipun Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Kahar Muzakkir, dan Mr. Kasman Singodimedjo, dan tokoh-tokoh
yang disebut di atas, serta banyak tokoh lain memiliki peran cukup signifikan
dalam pembentukan Undang-Undang Dasar, sampai hari ini pemerintah belum
mengakui mereka tokoh ini sebagai Pahlawan Nasional.
Tentu saja, di hati kaum Muslimin dan bangsa Indonesia, mereka telah lama
menjadi pahlawan.
Ada atau tidak pengakuan pemerintah kepada peran dan
jasa-jasa mereka,
mereka adalah para pahlawan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar