Jalan Panjang Penemuan Dasar Negara
(Menyambut Seminar tentang K.H.A. Kahar Mudzakkir di UII Yogyakarta)
Oleh: Lukman Hakiem
Meskipun nama
Prof. K. H. Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973) terabadikan di dalam sejarah pembentukan Negara Republik
Indonesia sebagai salah seorang anggota Panitia Sembilan yang menghasilkan rumusan resmi pertama rancangan Preambule Undang-Undang Dasar 1945 seperti dirumuskan dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan meskipun Pak Abdul Kahar telah turut sejak masa paling awal dari proses pembentukan Sekolah
Tinggi Islam (STI), serta menjadi pemimpin pertama dari perguruan tinggi yang
kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ternyata tidak mudah “menyajikan” apa dan siapa Abdul Kahar kepada publik.
Hal itu terutama sekali karena sifat tawadhu
para pemimpin kita di masa lalu, yang tidak mau mencatat dan menuliskan apa
yang pernah mereka perbuat untuk negeri ini, dan sejarah pun tidak cukup
berbaik hati untuk mencatat peranan mereka. Berbagai buku sejarah politik dan
konstitusi Indonesia, bagai melupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini, padahal Abdul Kahar adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)
yang pada 1 Juni 1945 menyampaikan pikirannya mengenai dasar negara Indonesia
yang akan dibentuk.
Ironisnya sejak buku Mr. Mohamad
Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 yang
terbit pertama kali pada 1959, hingga buku RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 Memuat
Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan
yang terbit pada 2004, pidato Abdul Kahar (bersama banyak
pidato anggota BPUPK yang lain), tidak pernah dapat dinikmati oleh masyarakat
luas.
Menurut buku Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada persidangan pertama BPUPKI, 29 Mei – 1 Juni 1945, terdapat 31 anggota yang menyampaikan pidato,
akan tetapi Risalah Sidang hanya
memuat notulasi pidato-pidato Yamin (29 dan
31 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni
1945). Ke manakah para tokoh, calon
pembicara yang sudah terjadualkan itu?
Mungkinkah 27 anggota BPUPK yang lain, termasuk di dalamnya Mohammad Hatta, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Sanusi, ,
K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Soekiman Wirjosandjojo, A.R. Baswedan, dan
Latuharhary membuang begitu saja peluang bersejarah untuk mengemukakan gagasan
mengenai Indonesia merdeka yang sudah mereka suarakan dan perjuangkan sejak dua
dasawarsa terakhir? Atau, jika pidato mereka tidak tercatat, mengapa tidak
tercatat. Jika hilang, tidak adakah ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk
menemukannya?
Ini misteri yang mesti diusut oleh para ahli sejarah.
Syukurlah, di buku karya RM. A.B. Kusuma, dimuat pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo
yang disampaikannya pada 31 Mei 1945. Pidato itu dikutip Kusuma dari buku Ki Bagoes Hadikoesoemo, terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1982.
Duta Besar Sebelum Indonesia Merdeka
Pada usia 17 tahun, selepas menyelesaikan pendidikan di berbagai pondok
pesantren dan madrasah Mambaul Ulum, Surakarta, Abdul Kahar pergi jauh.
Mula-mula ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setahun kemudian ia sudah
berada di Mesir untuk melanjutkan pendidikan.
Selama 12 tahun di Mesir, Abdul Kahar yang kuliah di Universitas Al-Azhar,
kemudian di Universitas Darul Ulum, aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda kepada publik
melalui berbagai tulisannya di koran-koran Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, dan Al-Hayat.
Ia bersahabat dengan Sayyif Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin penulis Tafsir Fii Dzilal al Quran. Ia juga
aktif menjalin hubungan dengan para aktivis Partai Wafd.
Berkat aktivitasnya itu, Abdul Kahar popular di kalangan aktivis Islam di
Mesir. Pada 1931, dia diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayid Amin Husaini
untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia
Tenggara. Setelah berkomunikasi dengan Partai Syarikat Islam Indonesia di Tanah
Air, Abdul Kahar pun berangkat menghadiri muktamar. Abdul Kahar yang baru
berusia 24 tahun, bukan hanya menjadi peserta termuda, tetapi terpilih sebagai
sekretaris mendampingi Mufti Besar
Palestina. Kesempatan ini, dimanfaatkan Abdul Kahar untuk lebih mengenalkan
kondisi Indonesia yang mayoritas Muslim dan meminta dukungan muktamar untuk
perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.
Tidak syak lagi, aktivitas Abdul Kahar selama di Mesir, kelak mempermudah
ikhtiar H. Agus Salim, AR. Baswedan, dan H.M. Rasjidi, untuk memperoleh
pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Mesir. Pada periode 1930-an, kata
Rasjidi, di Mesir dan Timur Tengah, publik bersimpati kepada Indonesia karena
aktivitas Abdul Kahar yang merupakan lambang atau personifikasi Indonesia di
Timur Tengah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta besar Indonesia
di Mesir, Abdul Kahar telah menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya.
Perhimpunan Indonesia Raya
Bukan kebetulan, jika aktivitas memperkenalkan Indonesia di luar negeri
pada masa itu dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan Islam. Jika di Mesir dan
Timur Tengah ada tokoh bernama Abdul Kahar Mudzakkir, maka di Belanda ada tokoh
bernama Soekiman Wirjosandjojo.
Hampir-hampir dilupakan sejarah, pada awal tahun 1920-an, terjadi peristiwa
yang terlihat biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya sangat revolusioner, yaitu
perubahan nama organisasi para mahasiswa pribumi di Belanda dari De Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia-Belanda) menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Tidak berhenti sampai di situ, para
mahasiswa itu mengubah nama majalah organisasinya dari Hindia Poetera menjadi Indonesia
Merdeka, memperkenalkan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!”, dan mengeluarkan “Manifesto Politik” yang berisi hasrat untuk
memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, peristiwa sederhana itu sekaligus mengatakan tiga hal yang
fundamenta,
yakni: (1). adanya sebuah bangsa
yang bernama Indonesia, (2). adanya sebuah negeri
yang bernama Indonesia, dan (3). bangsa ini menuntut
kemerdekaan bagi negerinya.Para mahasiswa yang tergabung dalam PI di negeri
Belanda itulah yang sesungguhnya merupakan pelopor pergerakan nasionalisme
antikolonial yang radikal.
Ketika semua peristiwa radikal-revolusioner di negeri penjajah itu
berlangsung, Ketua PI adalah Soekiman Wirjosandjojo!
Dibandingkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berhenti pada
penyatuan tekad akan bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan menjunjung
bahasa persatuan; Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1923 telah melampaui
tekad Sumpah Pemuda itu dan menjadikan “Indonesia
Merdeka, sekarang!” sebagai tujuan perjuangan. Anehnya, dengan sekali lagi mengutip Taufik Abdullah, yang mengalami proses
mitologisasi, diperlakukan sebagai salah satu tonggak dalam perjalanan sejarah nation-formation, pembentukan bangsa, dan selalu dirayakan, justru Sumpah Pemuda. Bukan Manifesto Politik PI 1923
yang radikal-revolusioner dan lebih kongkrit dari sekadar tekad itu!
Pada 1933, Abdul Kahar turut serta membentuk Perhimpunan Indonesia Raya
(PIR) di Mesir yang merupakan jaringan
dari Perhimpunan Indonesia di Belanda.dan terpilih menjadi Ketua. PIR di bawah
pimpinan Abdul Kahar kemudian mendirikan kantor berita Indonesia Raya. Tuntutan Indonesia merdeka disiarkan oleh kantor
berita tersebut.
Abdul Kahar dan Soekiman kemudian bertemu dalam proses pembentukan Sekolah
Tinggi Islam (STI). Soekiman mewakili kalangan ulama dan cendekiawan Muslim,
Abdul Kahar mewakili Kantor Urusan Agama (Shumubu);
bertemu dalam Muhammadiyah, bertemu dalam BPUPK, dan bertemu dalam Partai
Masyumi.
Tidak Menarik Garis Pemisah
Maka, membicarakan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir ibarat menegakkan batang yang
terendam. Namun, betapapun sulitnya, ikhtiar mengangkat kembali
tokoh yang sudah lama tidak diperhatikan, dan yang tidak kalah pentingnya:
mengingatkan umat Islam mengenai peran besar yang telah disumbangkan oleh para
pendahulu kita, tetap harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Makna pentingnya antara lain untuk menyegarkan kembali ingatan kolektif
bangsa, betapa sejak awal, para pendahulu kita tidak pernah menarik garis
pemisah antara eksistensinya sebagai Muslim dan statusnya sebagai warga bangsa.
Bahwa di dalam proses pembentukan negara-bangsa ini, terdapat gagasan yang
berbeda mengenai dasar dan struktur negara, tidak perlu kita cepat-cepat memberi
kualifikasi kepada yang berbeda itu
sebagai pengkhianat bangsa, atau tidak setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam proses, semua ide memang harus dikonfrontasikan, agar dengan demikian
dapat ditemukan kesepakatan bersama yang kukuh dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada generasi bangsa yang datang kemudian.
Jika berbagai pendapat yang berbeda itu tidak dikonfrontasikan, maka yang
akan didapat paling banter hanyalah toleransi. Toleransi tanpa konfrontasi,
hanyalah mengelak dari persoalan. Dan Abdul Kahar dengan caranya berbicara di
sidang BPUPK sambil menggebrak meja, telah mengemukakan pendiriannya dengan
terang.
Mimpi Abdul Kahar sejak awal ialah bagaimana negara Indonesia merdeka
memberi tempat terhormat dan strategis kepada agama. Antara
agama dengan negara memang dapat dibedakan, tetapi dalam keyakinan Abdul Kahar
dan banyak pemimpin bangsa yang lain, antara agama dan negara tidak dapat
dipisahkan.
Dalam pidato di Konstituante, Abdul Kahar mengecam orang Islam yang merasa
tidak perlu menyerahkan kehidupan kepada syariat Islam karena mereka percaya
bahwa agama hanya berurusan dengan iman dan ibadah. Dia .menegaskan kembali
pendiriannya bahwa ajaran Islam itu mencakup iman, ibadah, moralitas, ajaran,
ideologi negara, dan hukum. Bagi Abdul Kahar, syariat Islam akan memberi landasan yang kuat bagi negara dan bangsa.
Dan kegalauan Abdul Kahar, terjawab dengan temuan unik bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang diberlakukan
melalui Dekrit Presiden Juli 1959. Dekrit Presiden itu, pada 22 Juli 1959
diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)
hasil pemilihan umum 1955. Itulah jalan panjang penemuan dasar negara kita,
Pancasila.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara aklamasi oleh DPR hasil
Pemilu 1955 itu, menurut Ketua Umum (terakhir) Masyumi menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara Republik Indonesia yang harus
ditegakkan bersama dengan saling menghormati identitas masing-masing.
Tujuh tahun kemudian, lahir Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR Gotong Royong
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia yang mengukuhkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum bagi berlakunya kembali Undang-Undang
Dasar 1945.
Itulah jalan panjang menuju penemuan dasar negara sebagai commont flatform.
Dalam proses itu terdapat sumbangan pikiran seorang anak bangsa bernama Abdul
Kahar Mudzakkir, yang sayangnya sampai sekarang pikiran-pikiran bernas Abdul
Kahar belum banyak terpublikasikan.
Pikiran Abdul Kahar yang masih belum banyak terpublikasikan itu, harus
terus digali dan disajikan kepada khalayak ramai. Hal itu penting, bukan saja
supaya generasi penerus makin mengenali pikiran para pendahulunya, juga agar
salah faham dan dikotomi dalam hubungan Islam dengan negara segera berakhir.
Mudah-mudahan seminar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada
9 Juli ini, mampu menemukan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar