Sepatah Kata Dari Saya
Assalamualaikum Wr. Wb.
Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Kegiatan Saya
16 November 2011
10 November 2011
Setengah Abad Lebih, Nama Sjafruddin Dilupakan Sejarah
Diakuinya Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional menandai babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lukman Hakiem (Foto: lukmanhakiem.blogspot.com)
Jakarta, PelitaOnline - DIAKUINYA ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional menandai babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Lukman Hakiem mengatakan, Sjafruddin selain dikenang sebagai penyelamat republik karena keberaniannya membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat RI, juga dicatat sebagai Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner RI dan Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) di masa pergolakan daerah.
"Karena dua peranannya itu, ditambah dengan sikap kritisnya terhadap pemerintahan Orde Baru, lebih setengah abad nama Sjafruddin dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa," ujar Lukman Hakiem melalui pesan singkatnya kepada PelitaOnline, Rabu (9/11).
Mantan salah satu ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, pengakuan kepahlawanan Sjafruddin menandai kemampuan negara-bangsa Indonesia berdamai dengan sejarahnya sendiri. Karenanya, lanjut Lukman, ke depan, bangsa ini harus lebih tajam, jujur dan jernih di dalam melihat peristiwa-peristiwa masa lalu yang krusial.
"Dengan semangat seperti itu mudah-mudahan bangsa ini mampu menempatkan secara proporsional tokoh-tokoh seperti Alex Kawilarang, HN. Ventje Sumual, Burhanuddin Harahap, M. Simbolon, Ahmad Husein, dan Zulkifli Lubis," tutup mantan anggota DPR ini. (Hurri Rauf/Fitri)
(Hurri Rauf/Fitri)
dilihat 38 kali.
Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Lukman Hakiem mengatakan, Sjafruddin selain dikenang sebagai penyelamat republik karena keberaniannya membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat RI, juga dicatat sebagai Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner RI dan Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) di masa pergolakan daerah.
"Karena dua peranannya itu, ditambah dengan sikap kritisnya terhadap pemerintahan Orde Baru, lebih setengah abad nama Sjafruddin dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa," ujar Lukman Hakiem melalui pesan singkatnya kepada PelitaOnline, Rabu (9/11).
Mantan salah satu ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, pengakuan kepahlawanan Sjafruddin menandai kemampuan negara-bangsa Indonesia berdamai dengan sejarahnya sendiri. Karenanya, lanjut Lukman, ke depan, bangsa ini harus lebih tajam, jujur dan jernih di dalam melihat peristiwa-peristiwa masa lalu yang krusial.
"Dengan semangat seperti itu mudah-mudahan bangsa ini mampu menempatkan secara proporsional tokoh-tokoh seperti Alex Kawilarang, HN. Ventje Sumual, Burhanuddin Harahap, M. Simbolon, Ahmad Husein, dan Zulkifli Lubis," tutup mantan anggota DPR ini. (Hurri Rauf/Fitri)
(Hurri Rauf/Fitri)
dilihat 38 kali.
23 Oktober 2011
Kepentingan Rakyat Dalam Pemikiran Ekonomi Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Oleh: Lukman Hakiem
Sekretaris Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Dalam suatu kesempatan, Ketua Dewan
Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (KSAF) Jakarta, Drs. Mohammad
Dawam Rahardjo, mengungkapkan kesinambungan pembangunan ekonomi Orde
Baru dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang sudah berkembang
pada tahun 1950-an. Menurutnya pemerintah Orde Baru mengambil pemikiran
ekonomi Dr. Mohammad Hatta dibidang koperasi. Pembangunan pertanian,
penarikan modal asing, dan keseimbangan anggaran belanja Negara Mr.
Sjafruddin Prawiranegara. Pengembangan industri kecil dan menengah,
pengembangan wiraswasta pribumi, dan pemakaian kredit/hutang luar
negeri, diambil dari pikiran Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Menurut Dawam, pikiran ketiga tokoh di atas saling melengkapi dan kesemuanya diambil oleh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru.
Ungkapan
Dawam bukan sebuah basa-basi. Sebab, seperti ternyata dari
tulisan-tulisan yang dikumpulkan dan disunting oleh Ajip Rosidi,
Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih 2.
(CV. Haji masagung, Jakarta, 1988) tiga pikiran utama Sjafruddin
(1911-1989) di bidang ekonomi terlihat sangat jelas.
Ketika
mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal 30 Maret 1983 (Karet 30)
yang mendevaluasikan rupiah terhadap mata uang asing, Sjafruddin antara
lain menulis: “kalau pemerintah mengelola dan membangun ekonomi
Indonesia secara wajar dengan berpedoman kepada APBN yang benar-benar
berimbang, yaitu tidak terlalu bergantung pada pinjaman-pinjaman luar
negeri dan penerimaan-penerimaan dari minyak bumi, kita pada tahun 1978
itu tidak perlu mengadakan devaluasi, tidak perlu ada Kenop 15. Dan
begitu juga sekarang, Maret 30 tidak perlu diadakan kalau pemerintah
berkenan memperhatikan pandangan dan anjuran saya itu.”
Lima
tahun sebelumnya, ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal
15 November 1978 (Kenop 15) yang melahirkan devaluasi rupiah, Sjafruddin
menulis: “Kalau kita dalam Repelita II (yang meliputi masa
1974/1975-1978/1979) telah bersedia ‘berdikari’ dan menyusun anggaran
pembangunan yang benar-benar berimbang – tidak mengharapkan ‘bantuan’
(=pinjaman) dari luar negeri—maka kita masih dapat menyusun rencana
pembangunan yang progressif, mulai dari tahun 1974/1975-1978/1979 tanpa
minta-minta bantuan dari luar negeri.”
Sikap
“anti” pinjaman dari luar negeri itu bukanlah tanpa alasan, sebab
menurut Sjafruddin hasil ekspor kita sejak tahun 1972/1973 hingga
1977/1978, melonjak-lonjak nilainya. Di mata Sjafruddin, rencana
pembangunan yang disusun pemerintah terlampau ambisius, jauh di atas
kemampuan rakyat dan kurang memperhatikan prinsip “berdikari”.
Pendapat
Sjafruddin itu disetujui Dawam Rahardjo. Ia berkata: “Ini memang aneh,
hutang luar negeri meningkat ketika devisa juga meningkat. Seharusnya,
kalau devisa meningkat hutang dikurangi. Kalau devisa meningkat
sedangkan hutang juga meningkat , akhirnya tidak efisien, banyak korupsi
dan sebagainya.” Dawam kemudian menunjuk studi yang dilakukan Sritua
Arif dan Adi Sasono yang membuktikan bahwa jika hanya untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi pada tingkat sekarang ini tidak perlu dengan hutang
luar negeri. “Studi itu membuktikan kebenaran pendapat Sjafruddin,”
kata Dawam.
Meskipun Sjafruddin
dikenal sebagai lawan politik Bung Karno yang amat tangguh, tapi ia
tidak kehilangan obyektivitasnya dalam menilai kebijaksanaan Bung Karno
yang benar. Yang benar dari Bung Karno, ia katakan sebagai kebenaran.
Dalam
soal kebijakan ekonomi, Sjafruddin tampak amat apresiatif terhadap
kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin yang diintrodusir Bung Karno, karena ia
melihat tujuan Ekonomi Terpimpin adalah melindungi dan memperkuat
ekonomi rakyat pribumi yang miskin. Meskipun Sjafruddin mengeritik
pelaksanaan Ekonomi Terpimpin yang terlalu ekstrim, toh ia menilai
kebijakan ekonomi moneter dan liberal zaman Orde Baru terlalu
mementingkan uang sebagai alat pembangunan.
Kepentingan
rakyat adalah kepedulian utama pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin. Ia
berpendapat, yang menjadi korban dari ekonomi bebas Orde Baru adalah
perusahan-perusahan nasional baik kepunyaan negara maupun swasta, yang
bukan saja sangat kekurangan modal dan pada umumnya tidak dapat
mengadakan off-shore-loans seperti perusahan milik asing atau setengah
asing, tetapi juga kekurangan managerial knowlodge dan skill.
Selanjutnya, modal asing—yaitu perusahan-perusahan asing yang
bermodal—lebih suka bekerjasama dengan warganegara Indonesia yang sejak
dulu biasa dan oleh karena itu mempunyai pengetahuan dan ketrampilan
dalam usahan dagang dan industri, yaitu warganegara turunan asing,
khususnya Cina. Apalagi kalau modal asing itu milik Cina asing,
warganegara Singapura, Taiwan, atau Hongkong tentu mereka akan mencari
pembantu atau parnernya di kalangan WNI turunan Cina.
Di
bawah politik ekonomi Orde Baru yang praktis dan pragmatis, dan yang
tampaknya lebih mementingkan modal dan skill yang sudah ada –walaupun
dimiliki orang asing– daripada cita-cita untuk membentuk modal dan dan
skill nasional sendiri, perusahaan-perusahaan Indonesia (pribumi) yang
tadinya sudah berkembang, berguguran satu persatu, tidak tahan
menghadapi tantangan dan saingan modal asing. Perusahaan-perusahaan
sirup dan air buah-buahan habis disapu bersih oleh perusahaan-perusahaan
minuman raksasa seperti Coca cola, Green Spot, Fanta dan lain-lain.
Perusahaan-perusahaan tekstil yang dulu meramaikan Majalaya (Jawa Barat)
dan dimiliki orang-orang pribumi, disapu bersih oleh
perusahaan-perusahaan tekstil raksasa. Majalaya, bagi Sjafruddin, adalah
cermin keadaan ekonomi Indonesia. Kita lambat laun dijajah oleh modal
asing yang dikendalikan oleh manajer-manajer asing atau WNI nonpribumi,
dan orang-orang pribumi hanya menjadi kuli-kulinya, paling banter
mandor-mandornya.
Sjafruddin
masih melanjutkan uraiannya yang membenarkan bahwa lenyapnya
perusahaan-perusahaan kecil milik pribumi digantikan oleh
perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan modal besar, adalah proses
alamiah yang terjadi di seluruh negara industri. Tetapi, lanjut
Sjafruddin, dalil itu dapat dibantah. Benar, (tenaga) manusia di
mana-mana dikalahkan oleh (tenaga) mesin, tetapi di negara-negara yang
sudah maju itu, modal yang mengesampingkan manusia dimiliki (pada
umumnya) oleh warganegara sendiri. Dan tenaga-tenaga yang mengganggur
ditempatkan di lapangan-lapangan kerja baru tanpa atau setelah mendapat
pelatihan atau pendidikan kembali. Di Indonesia modal asing menggantikan
modal pribumi kecil, juga di bidang-bidang usaha yang tidak (kurang)
penting, seperti industri minuman, dan pemerintah kurang memperhatikan
manusia-manusia yang tersingkirkan.
Ringkasnya,
demikian Sjafruddin, karena pemerintah terlampau mengagungkan peranan
modal (asing), maka pemerintah kurang melindungi modal dan (tenaga)
manusia Indonesia dalam usaha pembangunannya. Di samping itu, karena
pemerintah kurang mampu memobilisasikan tenaga dan daya kreasi rakyat
Indonesia supaya benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha
pembangunan. “Seharusnya pembangunan itu merupakan kreasi bangsa
Indonesia sendiri yang disesuaikan dengan keadaan alam dan lingkungan
bangsa Indonesia umumnya,” tulis Sjafruddin.
Bagi
Sjafruddin, mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila
yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan
materiilnya, yang harus dapat dinikmati oleh rakyat seluruhnya, supaya
tercipta keadilan sosial.
Di mata
Sjafruddin, pembangunan yang sekarang dilaksanakan tidak atau sangat
kurang berakar ke dalam rakyat, karena (rakyat) tidak/kurang diajak
berpartisipasi, tatapi segala sesuatu direncanakan dan kemudian
dipaksakan dari atas ke bawah. Sepintas lalu hasil pembangunan itu
menggembirakan dan mengagumkan. Tetapi kalau datang resesi ekonomi
dunia, harga minyak jatuh, pinjaman-pinjaman lunak tidak/sukar
diperoleh, kecuali pinjaman komersial dengan bunga dan kewajiban bayar
kembali yang jauh lebih tinggi dan berat dari biasa, sedang modal swasta
yang ada cenderung untuk meninggalkan tanah air kita dan dipermudah
jalannya berhubungan dengan kebebasan lalu lintas devisa, maka terlihat
dan terasalah kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dasar dan pola
pembangunan kita selama ini.
Demikianlah,
beberapa pokok pikiran Sjafruddin yang jelas amat memihak kepada
kepentingan rakyat. Jika dari uraian di atas tertangkap kesan Sjafruddin
anti modal asing, sesungguhnya kesan serupa itu tidak tepat sama
sekali. Menurut Dawam Rahardjo, Undan-undang tentang Modal Asing berlaku
di masa Orde Baru, banyak sekali yang berasal dari gagasan Sjafruddin.
Benar Sjafruddin memang tidak setuju kepada kredit atau hutang luar
negeri, karena dianggapnya mengandung beban. Menurut Sjafruddin, lebih
baik kita mengimport modal karena yang akan menanggung resikonya nanti
orang asing itu sendiri.
Di
manakah posisi Sjafruddin di dalam percaturan pemikiran ekonomi
Indonesia? Meskipun pikiran-pikirannya banyak diambil oleh para arsitek
pembangunan ekonomi Orde Baru, tetapi menurut Dawam Rahardjo posisi
Sjafruddin bagaikan penumpang kapal di pinggir pantai.
Akan
tetapi, apa dan bagaimanapun posisinya, Sjafruddin tetap tegar membela
kepentingan rakyat. Sjafruddin bergerak menghimpun para pengusaha muslim
di dalam wadah Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI). Ketika
PT. Arafat yang sahamnya sebagian besar dimiliki kaum Muslim Indonesia
mengalami kebangkrutan drastis karena faktor dari dalam dan luar
perusahaan, Sjafruddin melalui HUSAMI menyelenggarakan perjalanan haji
yang ongkos naik haji (ONH)-nya terbukti lebih murah ketimbang tarif
resmi pemerintah. Sayangnya, ONH yang lebih murah dan jelas-jelas
menguntungkan rakyat itu dilarang oleh pemerintah. Ketimbang menurunkan
tarif dan memperbaiki pelayanan kepada umat, pemerintah lebih suka
menggunakan kekuasaan untuk memonopoli perjalanan haji.
Sebuah
desertasi yang ditulis oleh John Sutter menyebut Sjafruddin sebagai
figur yang sangat rasional dalam memandang fungsi kapital. Di mana saja
kapital sama, tidak merugikan. Yang harus dikontrol adalah orangnya,
kapitalnya sendiri harus dimanfaatkan.
Bagi
Sutter, Sjafruddin adalah seorang ahli moneter dan sangat ahli di
bidang budget. Bagi orang Belanda, Sjafruddin terkenal sangat teliti dan
berhati-hati dalam menghitung anggaran. “Sjafruddin sangat menonjolkan
kepentingan negara di dalam menghitung anggaran,” ungkap Dawam Rahardjo.
Dalam
zaman serba bebas sekarang ini, sungguh menarik mengkaji kembali
pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara. Ramalannya bahwa
politik ekonomi Presiden Soeharto akan mengalami kegagalan jika
dijalankan terlampau praktis-pragmatis, perlu direnungkan oleh semua
yang berkepentingan terhadap susksesnya pembangunan menuju terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan bagi segelintir
rakyat Indonesia!
(Catatan kegiatan: International Seminar on
Islamic Finance and Its Global Challenges, 11 Mei 2011 di UNISSULA.
Dalam rangka memperingati 1 Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara, ditulis
kembali oleh maruf, )
Menemukan Kembali Indonesia yang Hilang
Pengantar Penyunting
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah
MR. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA (28 Februari 1911-15 Februari1989) adalah Presiden yakni Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kedua Republik Indonesia setelah Ir. Soekarno –yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus1945— menyerah dan ditawan oleh tentara kolonial Belanda yang melakukan agresi II pada 19 Desember 1948. Statement ini bukanlah statement subjektif-emosional dari penyunting buku ini. Statement ini mengacu kepada pendapat guru besar hukum tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H..
Dalam kalimat lugas dan terang benderang, Prof. Jimly mengatakan, “secara hukum tidak perlu ada keraguan bagi kita untuk menyatakan bahwa Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Dalam sistem UUD 1945, kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Tidak Kehilangan Akal Sehat
Pada 19 Desember 1948 itu, Belanda melancarkan agresinya yang kedua terhadap negara Republik Indonesia yang baru berumur tiga tahun beberapa bulan. Agresi II itu dilakukan setelah secara sefihak Belanda menyatakan tidak terikat lagi kepada hasil Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Januari 1948.
Pada saat mencekam itu, dwitunggal Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta tidak kehilangan akal sehatnya. Di tengah deru pesawat terbang Belanda yang menyerang ibukota Yogyakarta, segara dilakukan sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Alasan untuk tetap tinggal di dalam kota antara lain karena untuk berangkat ke luar kota diperlukan pasukan pengawal sebanyak dua batalion. Pasukan sebesar itu tidak tersedia di dalam kota.
Alasan kedua, dengan tetap tinggal di dalam kota, para pamimpin Republik Indonesia masih dapat melakukan berbagai upaya diplomasi. Kabinet menyadari, dengan tetap tinggal di dalam kota pimpinan negara akan ditawan oleh Belanda, akan tetapi itu lebih baik daripada tertawan di luar kota ketika memimpin perang.
Keputusan sidang kabinet itu pada pertengahan 1970-an menjadi perdebatan hangat antara Mohammad Hatta dengan sejarawan militer, Nugroho Notosoesanto.
Keputusan penting lain yang diambil ialah memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yang ketika itu sudah berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatrera. Mandat yang lain diberikan kepada dr. Sudarsono, LN. Palar, dan AA. Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera tidak berhasil.
Sjafruddin yang tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat, sore tanggal 19 Desember 1948 segera sesudah mendengar siaran radio mengenai didudukinya ibukota Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin Republik, menemui pimpinan Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera (Kompempus), Mr. Teuku Muhammad Hasan, guna menyampaikan pendapatnya tentang kemungkinan terjadinya kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri, dan karena itu perlu segera dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam bahaya..
Sebagai seorang ahli hukum, pada mulanya T.M. Hasan mempersoalkan segi juridis dari gagasan Sjafruddin, apalagi Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera tidak ada seorang pun yang memegang mandat untuk membentuk pemerintah. Namun tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan telah mengatasi aspek hukum itu. Maka pada 19 Desember 1948 sore, tercapai kesepakatan antara Sjafruddin dan TM. Hasan untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat. Disepakati pula, bahwa pemerintahan darurat itu akan dipimpin oleh Sjafruddin dan TM. Hasan sebagai wakilnya.
Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban. Walaupun usia Sjafruddin lebih muda dari TM. Hasan, tetapi dia berani mengambil tanggung jawab perjuangan menyelamatkan Republik Indonesia, dengan segala resikonya.
Merujuk kembali pendapat Prof. Jimly seperti dimuat di buku ini, kita mesti adil di dalam memberi penilaian hukum kepada sesuatu peristiwa. Pada masa awal setelah kemerdekaan, kondisi negara dan pemerintahan Republik Indonesia masih belum stabil dan sistem administrasinya belum tertib, banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang tidak mendapat dukungan sistem administrasi negara yang memadai sehingga penilaian terhadapnya di kemudian hari sering menimbulkan perdebatan hukum. Apalagi, di mata orang-orang yang memahami hukum dengan cara yang sangat kaku dan mengutamakan orientasi berpikir yang bersifat ‘rule-driven’, serba peraturan tertulis, serba prosedural, maka niscaya ketiadaan dukungan administrasi yang tertib itu menimbulkan tafsir yang sangat kaku, termasuk dalam memahami status Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI. Misalnya, bagi mereka yang berpikir harfiah tidak mudah untuk menerima pengertian bahwa Ketua PDRI adalah sebutan darurat dari jabatan Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Menurut Prof. Jimly, dalam keadaan darurat, tidak perlu dipersoalkan apakah ada atau tidak surat mandat tertulis dari Soekarno kepada Sjafruddin untuk mengambil alih pemerintahan sementara dalam keadaan darurat. Juga tidak perlu dipersoalkan apakah Mr. Mohamad Roem mewakili pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno atau pemerintahan yang dipimpin Sjafruddin. Yang penting, Roem dipahami sebagai mewakili pemerintahan Republik Indonesia. Secara juridis, selama Soekarno dan Hatta berada dalam tahanan, Presiden RI yang disebut dengan istilah Ketua PDRI dipegang oleh Sjafruddin Prawiranegara yang baru diserahterimakan kembali kepada Soekarno selaku Presiden pada tanggal 13 Juli 1948.
Dilupakan Bangsanya
Keberanian Sjafruddin membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), bukan saja telah membuktikan bahwa Republik Indonesia tidak pernah bubar hanya karena Soekarno-Hatta dan para pemimpin lain ditangkap, tetapi juga dengan sikap sangat keras dan gigih PDRI telah memperkuat posisi Roem ketika harus berunding dengan van Roijen.
Ironisnya, peristiwa historik yang amat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan eksistensi Republik Indonesia ini, selama puluhan tahun telah dilupakan oleh hampir seluruh anak bangsa. Sjafruddin Prawiranegara sebagai sutradara dan aktor utama PDRI, selama berpuluh tahun bagai telah diharamkan untuk ditampilkan dalam bingkai sejarah bangsa. Bahkan sekadar sketsanya sekalipun!
Masalah politik rupanya menjadi penghalang utama untuk melahirkan kesadaran berbangsa yang tulus dan kesadaran mengingat sejarah bangsa yang otentik ini, sehingga terhadap PDRI bukan saja bangsa ini terlambat memberi pengakuan, tetapi juga sampai sekarang pemerintah belum mau memeringati dan secara terbuka bersama seluruh anak bangsa mengingat serta mencatat PDRI dengan tinta emas sebagai satu tahap yang sangat menentukan dalam perjuangan bangsa kita.
Dapat diduga, di masa Orde Lama nama Sjafruddin Prawiranegara tidak boleh dimunculkan, karena keikutsertaannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Republik Persatuan Indonesia (RPI). Di masa Orde Baru, nama Sjafruddin dicoret dari buku sejarah karena suaranya yang lantang mengeritik berbagai kebijakan pemerintah, terutama keikutsertaannya dalam Kelompok Petisi 50, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto yang ditandatangani oleh 50 orang politisi sipil dan senior militer.
“Bicara tentang Sjafruddin Prawiranegara, kita tidak bisa tidak bicara tentang dua hal: PDRI dan PRRI,” ujar pakar ilmu politik Dr. Salim Said. Pada yang pertama jelas jasa Sjafruddin menyelamatkan Republik Indonesia yang pemimpinnya sudah ditahan oleh Belanda. Sedang PRRI haruslah dilihat sebagai usaha menyelamatkan RI yang terancam oleh komunisme.
PRRI bukanlah gerakan separatis, melainkan gerakan alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh komunisme dan “petualangan” politik Presiden Soekarno.
PRRI kalah, dan selanjutnya diperlukan waktu beberapa tahun sebelum akhirnya ancaman Partai Komunis Indonesia (PKI) serta “petualangan” politik Presiden Soekarno hancur lewat Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965.
PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia, sedangkan PRRI justeru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme.
Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi Republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
PRRI dimaksudkan untuk menegakkan kembali Republik Indonesia sebagai “Negara hukum dan kebangsaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di mana kedaulatan mengurus rumah tangga negara berdasarkan Perikemanusiaan dan Musyawarah berada di tangan rakyat, guna mencapai Keadilan Sosial dan Kemakmuran rakyat lahir dan batin.”
Bagi guru besar Cornell University, Amerika Serikat, George McT Kahin, Sjafruddin bersama dua koleganya, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, harus dihargai karena telah memberikan sumbangan penting kepada pemeliharaan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Sjafruddin, Natsir, dan Burhanuddin telah melakukan satu perjuangan yang akhirnya berhasil di kalangan dalam PRRI untuk menghalang-halangi mereka yang lebih menyukai pemisahan Sumatera dari Indonesia dan menjadi negara sendiri.
Sjafruddin dan dua koleganya bersikeras terhadap jalan seperti itu, walaupun harus mengabaikan dukungan negara adidaya, Amerika Serikat. Maka, demikian Kahin, untuk sebagian besar karena trio tokoh Masyumi itulah perjuangan PRRI tercegah menjadi gerakan sparatis, dan tetap dilakukan dalam batas-batas ikatan kesatuan Indonesia.
Yang paling krusial dari dekade pergolakan daerah ini, yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut sebagai kemelut sejarah, ialah berkembangnya PRRI menjadi RPI. Seperti diketahui, Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden RPI.
Salah seorang tokoh PRRI, Permesta, dan RPI, Ventje H.N. Sumual di dalam Memoar-nya yang terbit pada Juli 2011 mencatat, “Keberadaan dan hakikat RPI sebagai pengembangan dari PRRI adalah satu hal yang paling banyak disalahpahami, sehingga banyak menimbulkan pertentangan di kalangan pendukung PRRI sendiri. Paling banyak disalahmengerti, baik oleh umumnya pelaku sejarah di masa itu, tak kecuali di kalangan para pemimpin PRRI hingga di semua tingkatan. Juga kemudian di antara para sejarawan hingga sekarang.”
Sumual menepis anggapan bahwa RPI dibentuk semata-mata karena kepentingan bersifat praktis dari para pemimpin PRRI yang mencoba bertahan, dengan menambah kekuatan dari kelompok pemberontak lain. Dalam kalimat singkat padat, Sumual menegaskan: “.... RPI adalah tatanegara alternatif, bukan negara alternatif.”
Sjafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan seperjuangannya pada dekade pergolakan daerah, bagai telah membakar dirinya sendiri. Apa yang dia lakukan bersama teman-temannya di dekade pergolakan daerah, karena kalah, lalu ramai-ramai disalahkan, diberi berbagai stigma. Akan tetapi sejarah ternyata membuktikan apa yang diperjuangkan Sjafruddin dan teman-temannya, benar adanya. Hampir lima dekade kemudian, semua hal yang diperjuangkan Sjafruddin dan teman-temannya secara sadar dan terencana, diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meminjam ungkapan Fendy E.W. Parengkuan di buku ini, PRRI dan Permesta, “dihukum oleh sejarah karena ‘berani mendahului sejarah’. Masih adakah di antara kita sekarang yang sudi mengapresiasi nilai-nilai dan semangat kepeloporan mereka? Inikah saatnya bagi kita membuat keputusan bersejarah untuk tidak lagi melakukan stigmatisasi terhadap (PRRI dan) Permesta, mulai dari lembaran hidup hingga ke lembaran buku-buku sejarah yang dipelajari oleh anak-anak kita? Mungkin inilah waktunya untuk membuktikan bahwa kita sudah cerdas sebagai bangsa berbudaya adiluhung dan berpekerti luhur.”
Tentang Buku Ini
Sebagian terbesar isi buku ini berasal dari tulisan para ahli di bidangnya masing-masing yang dibuat khusus atas permintaan Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) yang selama rentang waktu Februari sampai Juni 2011 melakukan 12 seminar di berbagai daerah dengan berbagai tema, mulai tema Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Otonomi Daerah, sampai Ekonomi.
Tidak semua tulisan berasal dari makalah. Kata Sambutan Wakil Presiden Boediono di buku ini adalah hasil transkrip teman-teman di Sekretariat Wakil Presiden RI, yang kemudian disisir oleh penyunting, sedangkan tulisan (almarhum) H. Rosihan Anwar adalah gabungan dari tulisannya di tabloid Cek & Ricek dan kesaksian lisannya untuk film testimoni “Mengenang Presiden RI yang Terlupakan”. Pesan Pak Rosihan dalam tulisan ini amat sangat jelas: “Kalau mau mengakui Sjafruddin sebagai Presiden boleh, kalau tidak boleh juga. Tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu membantah atau mengecilkan peranan orang seperti Sjafruddin Prawiranegara dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.”
Tulisan Prof. Dr. Taufik Abdullah, “Kisah PDRI Sebuah Refleksi Sejarah” berasal dari makalah yang disajikan dalam diskusi bertajuk “Peran Yogyakarta dan Bukittinggi sebagai Dua Pilar Sejarah Perjuangan di Masa Krisis (PDRI 1948-1949)” yang diselenggarakan di Bukittinggi pada 29-30 April 2002.
Tulisan yang lebih tua lagi adalah tulisan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, “Prolog PRRI dan Keterlibatan Natsir-Sjafruddin” berasal tulisannya dalam H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais (ed), Pak Natsir 80 Tahun Buku Pertama Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, Jakarta: Media Dakwah dan LIPPM, 1988.
Dengan tema yang relatif beragam, penyunting mencoba membagi kumpulan tulisan ini menjadi enam bagian yang tiap bagian bicara dalam satu tema tertentu (I. PDRI, Insiatif Lokal, dan Relevansinya untuk Indonesia Kini dan Esok; II. Dekade Pergolakan Daerah; III. Mendamaikan Daerah dengan Pusat; IV. Jejak Hayat dan Pemikiran; V. Di Sekitar Ekonomi Islam; dan VI. Mempertimbangkan Sjafruddin). Keenam Bagian itu diapit oleh satu Prolog dan satu Epilog. Dengan lampiran yang relatif banyak, penyunting berharap buku ini juga bernilai informatif, karena beberapa dokumen lama seperti Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang menandai bermulanya pergolakan daerah pada dekade 1950-an, disajikan apa adanya. Biarlah generasi abad XXI membaca jejak hayat pendahulunya sebagaimana adanya.
Pada saat buku ini dipersiapkan, terbit buku Memoar Ventje H.N. Sumual yang memuat banyak fakta sejarah penting pada dekade pergolakan daerah yang dialaminya, dilakukannya, digagasnya, diprakarsainya, atau yang sekadar disaksikan dan direnungkannya. Memoar yang mengungkap sangat banyak mata rantai sejarah yang selama ini terselubung, bersama buku ini, tanpa disengaja ternyata saling melengkapi.
Apabila Memoar Ventje H.N. Sumual mengungkap banyak hal berdasarkan pandangan subjektif Sumual, buku ini mengungkap banyak hal berdasarkan pandangan objektif para penulisnya. Bukankah penulisan sejarah berdiri persis di persimpangan jalan antara subjektifitas dan objektifitas?
Penyunting berharap, dengan segala kekurangannya, buku ini tetap memiliki nilai limpah, yaitu sebagai rujukan untuk melangkah ke masa depan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Penyunting menggarisbawahi pesan Sri Sultan Hamengku Buwono X di buku ini yang menekankan pentingnya “menemukan kembali ‘Indonesia’ yang hilang. Indonesia dengan sederet tokoh pergerakan yang visioner dan menjalin hubungan antartokoh yang demikian erat. Indonesia yang bisa menjadi rumah narasi bagi bangsa yang demikian majemuk. Tokoh-tokoh pergerakan saat itu sangat mengedepankan diplomasi. Mereka ramah, mudah bergaul, berani berdebat dengan siapa pun, dan memiliki persahabatan yang kuat sekali. Suasana etika moral bermartabat di antara tokoh bangsa waktu itu begitu terasa. Di sidang berdebat hebat, tapi di luar itu mereka bersahabat. Para tokoh pergerakan itu merupakan guru-guru keluhuran bangsa. Selayaknya jika generasi penerus bangsa ini belajar dari mereka.”
Mudah-mudahan demikianlah hendaknya.
Jakarta, Ramadhan 1432/Agustus 2011
Lukman Hakiem
Mohammad Noer
21 Juni 2011
Pemerintah Sengaja Biarkan WNI Dibunuh
Jakarta, PelitaOnline - PEMERINTAH dinilai sengaja membiarkan Warga Negara Indonesia dibunuh, disiksa, ditelantarkan, diperkosa, dan dipancung oleh negara lain. Perlakuan yang tidak manusiawi kepada WNI oleh pemerintahan negara lain ini selalu terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Pakar DPP Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakiem melalui pesan singkatnya (SMS). Menurut Lukman, sejak pemilihan presiden 2009 lalu, negara benar-benar hilang, "Tidak mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia."
Pernyataan mantan anggota DPR tersebut tampaknya menjadi jawaban atas pernyataan pemerintah, terutama Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang mengatakan bahwa pemerintah tak pernah diam dan tidur dalam melindungi para TKW disejumlah negara.
Menurut Patrialis, masyarakat janganlah memberikan penilian yang bersifat negatif kepada pemerintah terkait keberadaan para TKW. Pasalnya, lanjut dia, pemerintah selalu mengupayakan yang terbaik untuk para TKW. (Hurri Rauf)
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Pakar DPP Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakiem melalui pesan singkatnya (SMS). Menurut Lukman, sejak pemilihan presiden 2009 lalu, negara benar-benar hilang, "Tidak mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia."
Pernyataan mantan anggota DPR tersebut tampaknya menjadi jawaban atas pernyataan pemerintah, terutama Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang mengatakan bahwa pemerintah tak pernah diam dan tidur dalam melindungi para TKW disejumlah negara.
15 Juni 2011
KPK Adalah Komisi Pelindung Kepentingan
KPK dianggap sebagai Komisi Pelindung Kepentingan karena lebih serius mengurus perkara korupsi kecil ketimbang yang kakap
Sumber Foto: matanews.com
Jakarta, PelitaOnline - BANYAKNYA koruptor kelas kakap yang kabur meninggalkan Tanah Air bukan disebabkan karena kelalaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi dinilai lebih karena faktor pada peran KPK yang menjadi pelindung kepentingan.
Hal tersebut dikatakan ketua Majelis Pakar DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakiem, Selasa (14/06/2011). Pendapat ini dia sampaikan menyikapi lambannya langkah KPK dalam mengusut tersangka kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti dan kasus suap di Kemenpora yang melibatkan Muhammad Nazaruddin.
"Saya katakan demikian karena KPK sudah kehilangan jejak kepada dua orang ini. KPK hingga saat ini masih juga belum mengetahui di mana kedua orang itu tinggal," kata Lukman.
Menurut Lukman, selama ini KPK lebih serius mengurus kasus-kasus kecil dan membiarkan kasus-kasus besar. " Kasus Nunun adalah contoh yang tak bisa KPK sangkal," katanya.
Mantan anggota DPR ini mengatakan, KPK tidak mungkin kehilangan jejak terhadap istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun jika saja KPK mencegah langsung tersangka setelah jaksa KPK menyebut nama Nunun berkali-kali di persidangan setahun lalu.
"Tapi kenapa KPK tidak langsung melakukan pencegahan. Bukankah KPK sebagai lembaga independen yang bebas mengusut, menyidik, dan memberantas koruptor kelas kakap. Makanya sekali lagi saya katakan bahwa lembaga ini bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi Komisi Pelindung Kepentingan," tegas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini. (Hurri Rauf)
Hal tersebut dikatakan ketua Majelis Pakar DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakiem, Selasa (14/06/2011). Pendapat ini dia sampaikan menyikapi lambannya langkah KPK dalam mengusut tersangka kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti dan kasus suap di Kemenpora yang melibatkan Muhammad Nazaruddin.
"Saya katakan demikian karena KPK sudah kehilangan jejak kepada dua orang ini. KPK hingga saat ini masih juga belum mengetahui di mana kedua orang itu tinggal," kata Lukman.
Menurut Lukman, selama ini KPK lebih serius mengurus kasus-kasus kecil dan membiarkan kasus-kasus besar. " Kasus Nunun adalah contoh yang tak bisa KPK sangkal," katanya.
Mantan anggota DPR ini mengatakan, KPK tidak mungkin kehilangan jejak terhadap istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun jika saja KPK mencegah langsung tersangka setelah jaksa KPK menyebut nama Nunun berkali-kali di persidangan setahun lalu.
"Tapi kenapa KPK tidak langsung melakukan pencegahan. Bukankah KPK sebagai lembaga independen yang bebas mengusut, menyidik, dan memberantas koruptor kelas kakap. Makanya sekali lagi saya katakan bahwa lembaga ini bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi Komisi Pelindung Kepentingan," tegas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini. (Hurri Rauf)
03 Juni 2011
Peringatan Kelahiran Pancasila Tidak Sesuai Fakta
Peringatan hari kelahiran Pancasila seolah-olah dimiliki satu golongan. Dan itu pun tidak sesuai dengan fakta sejarah
Pelita Online - Wakil Ketua Majelis Pakar Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) Lukman Hakiem mengatakan Pancasila bukan kesepakatan sekali jadi. Simbol persatu bangsa itu disepakati menjadi dasar negara sebagai milik bersama melalui proses panjang dan berliku. Namun, peringatan hari kelahiran ideologi negara yang jatuh pada 1 Juni tersebut seolah-olah dimiliki satu golongan, yang juga tidak sesuai dengan fakta sejarah.
“Sebab ada rangkaian pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKU) pada awal Mei 1945, ada beberapa kali perubahan konstitusi Undag-Undang 1945, konstitusi RIS dan UUDS 1950, ada proses permusyawaratan di Majelis Konstituante 1956-1959, dan akhirnya proses Dekrit Presiden 5-19 juli 1959 menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila,” kata Lukman, melalui pesan singkatnya (SMS) Juma’at (03/06/2011)
Menurut Lukman, lahirnya Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni jelas merupakan pememotongan sejarah dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Apalagi, lanjut Lukman, ada perbedaan signifikan antara pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dengan Pancasila versi dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang disepakati secara aklamasi oleh DPR pada 22 Juli 1959.
“Pada pidato 1 juni, sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan sebagai sila kelima, ketiga dan akhirnya hilang ketika Pancasila diperas menjadi Ekasila (gotong royong),” tuturnya.
Mantan anggota DPR RI ini mengatakan, Pancasila yang merupakan hasil proses panjang itu, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah filsafat materialisme belaka. Tanpa sila pertama pancasila kebawah tidak berakar dan ke atas juga tentu tidak berpucuk.
“kita yakin, hanya dipangkuan umat beragama, pancasila akan tumbuh subur. Karena itu jangan dibiarkan Pancasila hanya menjadi milik satu golongan saja.
Sebab, tambah dia, pada 1 juni, MPR memperingati pidato Bung Karno. “Namun Kenapa MPR tidak diperingati pidato Mr. Muh. Yamin, Pidato Prof. Soepomo, pidato Mr. Maramis, pidato K.H. A. Wahid Hasyim, Pidato Ki Bagus Hadikusumo dan pidato tokoh-tokoh lainnya,” tambahnya.
“Kenapa juga tidak ada peringatan Piagam Jakarta pada 22 Juni, atau peringatan Dekrit Presiden 5 juli,”.
Agar pancasila tetap menjadi milik bersama dan tidak jatuh pada satu golongan, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini berharap MPR juga memperingati hasil pidato para fanding fathers di atas. Hurri Rauf
19 Mei 2011
Parpol Islam Diminta Ikut Meluruskan Sejarah Lahir Pancasila
Jakarta, Pelita
Ketua DPP Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi) Lukman Hakiem mengimbau agar partai-partai politik (parpol) berasas dan berbasis massa Islam ikut meluruskan sejarah lahirnya Pancasila yang sampai saat ini msih diperdebatkan publik.
Keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tidak luput dari peran tokoh-tokoh parpol Islam. Karena itu parpol berasas dan berbasis massa Islam harus meluruskan sejarah lahirnya Pancasila tersebut, ujar Lukman Hakiem di Jakarta, Selasa (17/5).
Melalui pelurusan itu rakyat akan paham, bahwa kelahiran Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah berdasarkan keputusan bersama, bukan atas klaim satu orang atau sekelompok orang, ujar Lukman Hakiem.
Imbauan itu disamapiaknnya, karena persoalan kelahiran Pancasila itu masih menjadi perdebatan dan terkatung-katung selama 65 tahun, apakah kelahiran Pancasila itu pada 1 Juni, 22 Juni ataukah tanggal 18 Agustus 1945.
Menurut Lukman, perdebatan itu muncul karena sampai saat ini belum ada keberanian pemerintah untuk menetapkan hari lahirnya Pancasila tersebut. Akibatnya, muncul keinginan memaknai Pancasila sebagai marhaenisme versi Bung Karno.
Akan beda lagi
Menurut Lukman Hakiem yang juga Wakil Ketua Majelis Pakar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, Pancasila 1 Juni berbeda dengan Pancasila 22 Juni. Akan beda lagi kalau Pancasila dimaknai sebagai marhaenisme versi Bung Karno.
Bukankah sebelum Bung Karno, Muhammad Yamin sudah mengusulkan lima dasar negara? Lagi pula rumusan yang disahkan pada 18 Agustus oleh BPUPKI bukan rumusan Bung Karno, tetapi rumusan 22 Juni dengan menghapus tujuh kata (piagam Jakarta). Ini harus diluruskan, ujar dia.
Lukman menegaskan, Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah barang yang sekali jadi; dirumuskan langsung disahkan. Akan tetapi kesepakatan bersama melalui proses perdebatan panjang yang dilakukan founding father bangsa ini, antara lain beranggotakan Bung Karno, M Hatta, Soetardjo Kartohadikoesumo, KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Moh Yamin dan AA Maramis.
Rangkaian panjang dan berliku itu kata Lukman, yakni ada rangkaian pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 60 orang pada akhir mei sampai awal Juni 1945.
Sejumlah tokoh itut membentuk tim kecil yang bersidang sejak 28 Mei-17 Juli 1945. Sidang pertama dipimpin Moh Yamin pada 29 Mei 1945, 31 Mei di rumah Soepomo dan pada 31 Mei malam Bung Karno, KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakkir dan KH Masykur ke rumah Moh Yamin untuk membicarakan Pancasila.
Tim kecil tersebut terus melakukan kajian Pancasila hingga 10 Juli 1945 dan kemudian membentuk Tim 9 dengan anggota Bung Karno, KH Wahid Hasyim, KH. Kahar Muzakkir, M Hatta, Ahmad Soebardjo, AA Maramis, Abi Koesno Tjokrosujoso dan Agus Salim.
Pada 10-17 Juli terjadi perdebatan sengit di BPUPKI terkait Piagam Jakarta dengan kalimat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
Proses lobi
Selanjutnya, ada juga proses lobby di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pengganti BPUPKI setelah kemerdekaan RI yang bersidang pada 18 Agustus 1945 dan sepakat menghilangkan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Di samping itu proses lainnya ada beberapa kali perubahan konstitusi, ada proses permusyawaratan di Majelis Konstituente (1956-1959), dan akhirnya proses dekrit Presiden (5-22 juli 1959).
Jadi menetapkan 1 Juni sebagai hari Pancasila jelas-jelas memotong sejarah dan tidak sesuai dengan fakta. Dalam hal ini ada perbedaan signifikan antara Pidato Bung Karno pada 1 juni 1945 dengan Pancasila versi Dekrit Presiden yang disepakati secara aklamasi oleh DPR pada 22 Juli 1959, jelas dia.
Menurut dia, pada pidato Bung Karno, sila Ketuhanan YME diletakkan di posisi kelima, lalu ke posisi ketiga dan akhirnya hilang. Sedangkan pada Pancasila hasil proses panjang Ketuhanan YME adalah sila pertama yang menjadi fundamen moral.
Kita yakin hanya pangkuan umat beragama, Pancasila akan tumbuh subur. Dan tanpa sila Kertuhanan YME, pancasila ke bawah tidak berakar, dan ke atas tidak berpucuk, tegas dia.(ay
02 April 2011
PDRI, Inisiatif Lokal dan Kita Yang Gagap
Sabtu, 02 April 2011 02:32 |
Agresi militer Belanda ke Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang nyaris mengakhiri riwayat Republik Indonesia—karena praktis telah menyebabkan pemerintahan tidak lagi berfungsi—dan pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat (dulu termasuk provinsi Sumatera Tengah) adalah dua peristiwa yang unik dalam sejarah Republik Indonesia. Sungguh pengalaman sangat pahit dan memalukan, ibukota dan para pemimpin sebuah negara jatuh dan ditawan pada hari pertama serangan tentara Belanda. Akan tetapi, dalam situasi tegang dan mencekam, para pemimpin Republik tidak kehilangan akal sehat dan masih mampu berpikir jernih. Rapat kilat kabinet memutuskan untuk mengirim kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Bukittinggi. Kawat tersebut berisi mandat untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera. Kepada Soedarsono, LN. Palar, dan AA. Maramis di New Delhi, India, dikirim juga kawat agar jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera gagal, ketiganya membentuk Exile Government Republic of Indonesia di India. Sejarah mencatat, kawat yang dikirim dari Yogyakarta itu tidak pernah sampai ke tangan Sjafruddin. Inisiatif Lokal Tanpa mengetahui adanya mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepadanya, pada sore hari tanggal 19 Desember 1948, bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. T.M. Hasan, Sjafruddin dan Hasan bersepakat membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI–perhatikan penamaan yang berbeda dengan yang tertulis dalam kawat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta) yang pada 22 Desember 1948 diumumkan di Halaban, sebuah desa di daerah Payakumbuh. Dibanding dengan duet Soekarno-Hatta, duet Sjafruddin-Hasan jelas bukan siapa-siapa. Di Sumatera Tengah ketika itu, meskipun Sjafruddin adalah Menteri Kemakmuran, hanya sedikit orang tahu siapa Sjafruddin. Di Jawa pun pastilah cuma sedikit orang yang mengetahui siapa Teuku Mohammad Hasan. Akan tetapi, ketika perjuangan nasional dalam krisis, masyarakat ternyata tidak pernah tertarik untuk mempertanyakan siapa Sjafruddin atau siapa Teuku Hasan. Masyarakat lebih tertarik untuk melihat apa yang mereka perbuat untuk menjaga tetap tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia. Dua peristiwa di sekitar terbentuknya PDRI menunjukkan betapa sesungguhnya inisiatif-inisitaif lokal itulah yang sebagai totalitas memiliki nilai limpah untuk kepentingan nasional. Prakarsa membentuk PDRI, menunjukkan betapa pentingnya inisiatif lokal bagi perjuangan nasional. Kearifan PDRI Sikap keras PDRI terhadap proses Persetujuan Roem-Roijen, 7 Mei 1949, yang meninggalkan PDRI dan muatan Persetujuan yang dipandang kurang mencerminkan keadaan Republik yang sesungguhnya, menunjukkan betapa di tengah situasi kritis yang memerlukan kesatupaduan segenap komponen bangsa, para pemimpin kita di masa lalu masih tetap bisa memperdebatkan masalah bangsa dan negara secara jujur dan jernih. Jika bukan dikhianati, PDRI merasa telah ditinggalkan oleh Soekarno-Hatta. Itu sebabnya, sangat kuat suara di kalangan PDRI yang menentang Persetujuan Roem-Roijen. Akan tetapi, lagi-lagi sejarah menunjukkan, di saat-saat kritis, yang muncul adalah kebersamaan. Bukan ego masing-masing kelompok. Sjafruddin dan PDRI sebagai pemegang mandat kekuasaan Republik yang ditinggalkan oleh para pemimpinnya, ternyata memilih bersikap arif. Dalam sikap akhirnya terhadap Persetujuan Roem-Roijen, di depan Soekarno-Hatta, Sjafruddin mengatakan: “PDRI tidak mempunyai pendapat tentang ‘pernyataan Roem-van Roijen’, tetapi segala akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.” Kita tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi jika di masa krisis itu Sjafruddin bersikeras menolak Persetujuan Roem-Roijen dan menolak menyerahkan kembali mandat (yang secara fisik tidak pernah diterimanya) kepada Presiden dan Wakil Presiden. Hanya Mengisi Kekosongan? Bangsa ini ternyata gagap menerima kenyataan PDRI yang heroik dan berhasil mempertahankan eksistensi Republik Indonesia sejak tanggal pembentukannya 19 Desember 1948 sampai pengembalian mandat kekuasaan kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta pada tanggal 13 Juli 1949. Mengutip pendapat pakar sejarah terkemuka, Prof. Dr. Taufik Abdullah, pemegang kekuasaan mempunyai kepentingan dengan bagaimana sejarah ditulis. Sejalan dengan itu pemegang kekuasan pun mempunyai kecenderungan pula untuk melupakan berbagai hal. Ketika kedua kecenderungan itu terjadi maka kita pun tahu bahwa sejarah, yaitu rekonstruksi tentang peristiwa di masa lalu, telah dianggap sebagai wacana untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Untuk dan atas nama kepentingan kekuasaan, PDRI dan para aktor utamanya selama berpuluh tahun telah diusahakan dengan keras untuk dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa. Alhamdulillah, meskipun berbagai cara dilakukan untuk menenggelamkan PDRI dari permukaan sejarah, tetapi PDRI tetap hidup dalam pikiran mereka yang mau dan berani bersikap jujur terhadap sejarah. Empat puluh sembilan tahun sejak mandat PDRI dikembalikan, atau lima puluh tahun sejak didirikan, peranan PDRI dan tokoh-tokohnya dianggap tidak ada. Baru di masa Presiden BJ. Habibie, mantan Ketua PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara diberi penghargaan Bintang Republik Adipradhana, dan baru para tahun 2006 hari lahir PDRI 19 Desember dinyatakan sebagai Hari Bela Negara. Entah karena tidak mengenali sejarah perjuangan bangsa dengan baik, pertimbangan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara ternyata hanya memosisikan PDRI sekadar untuk “… mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka bela Negara,” padahal pembentukan dan keberadaan PDRI lebih dari sekadar mengisi kekosongan pemerintahan yang semata-mata bersifat administratif sebagaimana jika Presiden ke luar negeri. PDRI lahir untuk menyambung eksistensi Negara Republik Indonesia yang sejak 19 Desember 1948 oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap telah lenyap dari peta bumi, karena ibukota Yogyakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpinnya telah mereka tawan dan dibuang jauh dari Yogyakarta ke pulau Sumatera. Peran PDRI Sepuluh tahun silam, di Bukittinggi, Prof. Dr. Emil Salim dan Maludin Simbolon memberi kesaksian. Menurut Emil Salim, “Hadirnya PDRI telah mengukuhkan eksistensi Republik Indonesia sehingga memperkuat perjuangan diplomasi delegasi RI di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.” PDRI, menurut Simbolon, adalah pemerintah yang efektif. “Jadi,” kata Simbolon, “kenapa PDRI yang efektif itu diabaikan, di-ignored?” Memosisikan PDRI hanya sekadar sebagai pengisi kekosongan kepemimpinan pemerintahan, yang bersifat administratif, jelas telah mereduksi peran dan fungsi PDRI yang sebenarnya, yaitu sebagai pemerintahan yang telah menyelamatkan Republik dari kemungkinan terhapus dari peta sejarah. Dengan Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Belanda mengira dengan demikian posisi legal perwakilan RI di PBB dapat dipertanyakan. Akan tetapi, belum sempat hal itu terjadi, PDRI telah memberi kuasa kepada delegasi RI untuk meneruskan perjuangan, dan dengan demikian posisi delegasi RI di PBB tidak dapat diganggu-gugat. PDRI telah meneguhkan posisi wakil Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jika kita jujur di dalam membaca sejarah, maka peran PDRI, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, dapat dilihat dari tiga aspek: (1) memberi legitimasi bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang pemerintah pusatnya tetap tegar berdiri walau secara darurat dengan kekuatan tentara yang aktif bergerilya dan didukung oleh rakyat umum, sungguh pun Presiden dan Wakil Presidennya serta pemimpin-pemimpin penting lainnya ditangkap oleh Belanda, (2) menjadi pusat komunikasi Republik Indonesia dengan luar negeri, sehingga dunia tetap mengetahui perjuangan rakyat Indonesia, dan (3) menjadi sumber inspirasi bagi kelanjutan perang gerilya yang sepenuhnya didukung oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, dan pemimpin-pemimpin lainnya. Nilai Limpah Maka, di sinilah pentingnya pelaksanaan seminar nasional bertema: “Makna PDRI dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia” di Istana Bung Hatta, Bukittinggi, Ahad 3 April yang diselenggarakan oleh Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) bekerja sama dengan Yayasan Peduli Perjuangan PDRI 1948-1949. Paling sedikit ada empat nilai limpah strategis dari kegiatan ini: Pertama, menyegarkan kembali ingatan masyarakat terhadap peristiwa heroik dan strategis yang terjadi lebih enam dasawarsa yang lalu di daerah Sumatera Tengah (kini meliputi Provinsi-provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau), dan Aceh. Kedua, menggali dan menegaskan pentingnya nilai-nilai lokal dan partisipasi masyarakat bagi perjuangan nasional. Ketiga, mengingatkan komponen bangsa agar dalam situasi apapun tidak kehilangan akal sehat dan sikap kritis, dan keempat, memahami makna PDRI yang sesungguhnya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Mudah-mudahan kita tidak gagap lagi membaca sejarah.
LUKMAN HAKIEM Sekretaris Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) |
Langganan:
Postingan (Atom)