Peringatan hari kelahiran Pancasila seolah-olah dimiliki satu golongan. Dan itu pun tidak sesuai dengan fakta sejarah
Pelita Online - Wakil Ketua Majelis Pakar Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) Lukman Hakiem mengatakan Pancasila bukan kesepakatan sekali jadi. Simbol persatu bangsa itu disepakati menjadi dasar negara sebagai milik bersama melalui proses panjang dan berliku. Namun, peringatan hari kelahiran ideologi negara yang jatuh pada 1 Juni tersebut seolah-olah dimiliki satu golongan, yang juga tidak sesuai dengan fakta sejarah.
“Sebab ada rangkaian pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKU) pada awal Mei 1945, ada beberapa kali perubahan konstitusi Undag-Undang 1945, konstitusi RIS dan UUDS 1950, ada proses permusyawaratan di Majelis Konstituante 1956-1959, dan akhirnya proses Dekrit Presiden 5-19 juli 1959 menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila,” kata Lukman, melalui pesan singkatnya (SMS) Juma’at (03/06/2011)
Menurut Lukman, lahirnya Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni jelas merupakan pememotongan sejarah dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Apalagi, lanjut Lukman, ada perbedaan signifikan antara pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dengan Pancasila versi dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang disepakati secara aklamasi oleh DPR pada 22 Juli 1959.
“Pada pidato 1 juni, sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan sebagai sila kelima, ketiga dan akhirnya hilang ketika Pancasila diperas menjadi Ekasila (gotong royong),” tuturnya.
Mantan anggota DPR RI ini mengatakan, Pancasila yang merupakan hasil proses panjang itu, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah filsafat materialisme belaka. Tanpa sila pertama pancasila kebawah tidak berakar dan ke atas juga tentu tidak berpucuk.
“kita yakin, hanya dipangkuan umat beragama, pancasila akan tumbuh subur. Karena itu jangan dibiarkan Pancasila hanya menjadi milik satu golongan saja.
Sebab, tambah dia, pada 1 juni, MPR memperingati pidato Bung Karno. “Namun Kenapa MPR tidak diperingati pidato Mr. Muh. Yamin, Pidato Prof. Soepomo, pidato Mr. Maramis, pidato K.H. A. Wahid Hasyim, Pidato Ki Bagus Hadikusumo dan pidato tokoh-tokoh lainnya,” tambahnya.
“Kenapa juga tidak ada peringatan Piagam Jakarta pada 22 Juni, atau peringatan Dekrit Presiden 5 juli,”.
Agar pancasila tetap menjadi milik bersama dan tidak jatuh pada satu golongan, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini berharap MPR juga memperingati hasil pidato para fanding fathers di atas. Hurri Rauf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar