Oleh: Lukman Hakiem
Sekretaris Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Dalam suatu kesempatan, Ketua Dewan
Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (KSAF) Jakarta, Drs. Mohammad
Dawam Rahardjo, mengungkapkan kesinambungan pembangunan ekonomi Orde
Baru dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang sudah berkembang
pada tahun 1950-an. Menurutnya pemerintah Orde Baru mengambil pemikiran
ekonomi Dr. Mohammad Hatta dibidang koperasi. Pembangunan pertanian,
penarikan modal asing, dan keseimbangan anggaran belanja Negara Mr.
Sjafruddin Prawiranegara. Pengembangan industri kecil dan menengah,
pengembangan wiraswasta pribumi, dan pemakaian kredit/hutang luar
negeri, diambil dari pikiran Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Menurut Dawam, pikiran ketiga tokoh di atas saling melengkapi dan kesemuanya diambil oleh arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru.
Ungkapan
Dawam bukan sebuah basa-basi. Sebab, seperti ternyata dari
tulisan-tulisan yang dikumpulkan dan disunting oleh Ajip Rosidi,
Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih 2.
(CV. Haji masagung, Jakarta, 1988) tiga pikiran utama Sjafruddin
(1911-1989) di bidang ekonomi terlihat sangat jelas.
Ketika
mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal 30 Maret 1983 (Karet 30)
yang mendevaluasikan rupiah terhadap mata uang asing, Sjafruddin antara
lain menulis: “kalau pemerintah mengelola dan membangun ekonomi
Indonesia secara wajar dengan berpedoman kepada APBN yang benar-benar
berimbang, yaitu tidak terlalu bergantung pada pinjaman-pinjaman luar
negeri dan penerimaan-penerimaan dari minyak bumi, kita pada tahun 1978
itu tidak perlu mengadakan devaluasi, tidak perlu ada Kenop 15. Dan
begitu juga sekarang, Maret 30 tidak perlu diadakan kalau pemerintah
berkenan memperhatikan pandangan dan anjuran saya itu.”
Lima
tahun sebelumnya, ketika mengomentari kebijaksanaan pemerintah tanggal
15 November 1978 (Kenop 15) yang melahirkan devaluasi rupiah, Sjafruddin
menulis: “Kalau kita dalam Repelita II (yang meliputi masa
1974/1975-1978/1979) telah bersedia ‘berdikari’ dan menyusun anggaran
pembangunan yang benar-benar berimbang – tidak mengharapkan ‘bantuan’
(=pinjaman) dari luar negeri—maka kita masih dapat menyusun rencana
pembangunan yang progressif, mulai dari tahun 1974/1975-1978/1979 tanpa
minta-minta bantuan dari luar negeri.”
Sikap
“anti” pinjaman dari luar negeri itu bukanlah tanpa alasan, sebab
menurut Sjafruddin hasil ekspor kita sejak tahun 1972/1973 hingga
1977/1978, melonjak-lonjak nilainya. Di mata Sjafruddin, rencana
pembangunan yang disusun pemerintah terlampau ambisius, jauh di atas
kemampuan rakyat dan kurang memperhatikan prinsip “berdikari”.
Pendapat
Sjafruddin itu disetujui Dawam Rahardjo. Ia berkata: “Ini memang aneh,
hutang luar negeri meningkat ketika devisa juga meningkat. Seharusnya,
kalau devisa meningkat hutang dikurangi. Kalau devisa meningkat
sedangkan hutang juga meningkat , akhirnya tidak efisien, banyak korupsi
dan sebagainya.” Dawam kemudian menunjuk studi yang dilakukan Sritua
Arif dan Adi Sasono yang membuktikan bahwa jika hanya untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi pada tingkat sekarang ini tidak perlu dengan hutang
luar negeri. “Studi itu membuktikan kebenaran pendapat Sjafruddin,”
kata Dawam.
Meskipun Sjafruddin
dikenal sebagai lawan politik Bung Karno yang amat tangguh, tapi ia
tidak kehilangan obyektivitasnya dalam menilai kebijaksanaan Bung Karno
yang benar. Yang benar dari Bung Karno, ia katakan sebagai kebenaran.
Dalam
soal kebijakan ekonomi, Sjafruddin tampak amat apresiatif terhadap
kebijaksanaan Ekonomi Terpimpin yang diintrodusir Bung Karno, karena ia
melihat tujuan Ekonomi Terpimpin adalah melindungi dan memperkuat
ekonomi rakyat pribumi yang miskin. Meskipun Sjafruddin mengeritik
pelaksanaan Ekonomi Terpimpin yang terlalu ekstrim, toh ia menilai
kebijakan ekonomi moneter dan liberal zaman Orde Baru terlalu
mementingkan uang sebagai alat pembangunan.
Kepentingan
rakyat adalah kepedulian utama pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin. Ia
berpendapat, yang menjadi korban dari ekonomi bebas Orde Baru adalah
perusahan-perusahan nasional baik kepunyaan negara maupun swasta, yang
bukan saja sangat kekurangan modal dan pada umumnya tidak dapat
mengadakan off-shore-loans seperti perusahan milik asing atau setengah
asing, tetapi juga kekurangan managerial knowlodge dan skill.
Selanjutnya, modal asing—yaitu perusahan-perusahan asing yang
bermodal—lebih suka bekerjasama dengan warganegara Indonesia yang sejak
dulu biasa dan oleh karena itu mempunyai pengetahuan dan ketrampilan
dalam usahan dagang dan industri, yaitu warganegara turunan asing,
khususnya Cina. Apalagi kalau modal asing itu milik Cina asing,
warganegara Singapura, Taiwan, atau Hongkong tentu mereka akan mencari
pembantu atau parnernya di kalangan WNI turunan Cina.
Di
bawah politik ekonomi Orde Baru yang praktis dan pragmatis, dan yang
tampaknya lebih mementingkan modal dan skill yang sudah ada –walaupun
dimiliki orang asing– daripada cita-cita untuk membentuk modal dan dan
skill nasional sendiri, perusahaan-perusahaan Indonesia (pribumi) yang
tadinya sudah berkembang, berguguran satu persatu, tidak tahan
menghadapi tantangan dan saingan modal asing. Perusahaan-perusahaan
sirup dan air buah-buahan habis disapu bersih oleh perusahaan-perusahaan
minuman raksasa seperti Coca cola, Green Spot, Fanta dan lain-lain.
Perusahaan-perusahaan tekstil yang dulu meramaikan Majalaya (Jawa Barat)
dan dimiliki orang-orang pribumi, disapu bersih oleh
perusahaan-perusahaan tekstil raksasa. Majalaya, bagi Sjafruddin, adalah
cermin keadaan ekonomi Indonesia. Kita lambat laun dijajah oleh modal
asing yang dikendalikan oleh manajer-manajer asing atau WNI nonpribumi,
dan orang-orang pribumi hanya menjadi kuli-kulinya, paling banter
mandor-mandornya.
Sjafruddin
masih melanjutkan uraiannya yang membenarkan bahwa lenyapnya
perusahaan-perusahaan kecil milik pribumi digantikan oleh
perusahaan-perusahaan besar yang memerlukan modal besar, adalah proses
alamiah yang terjadi di seluruh negara industri. Tetapi, lanjut
Sjafruddin, dalil itu dapat dibantah. Benar, (tenaga) manusia di
mana-mana dikalahkan oleh (tenaga) mesin, tetapi di negara-negara yang
sudah maju itu, modal yang mengesampingkan manusia dimiliki (pada
umumnya) oleh warganegara sendiri. Dan tenaga-tenaga yang mengganggur
ditempatkan di lapangan-lapangan kerja baru tanpa atau setelah mendapat
pelatihan atau pendidikan kembali. Di Indonesia modal asing menggantikan
modal pribumi kecil, juga di bidang-bidang usaha yang tidak (kurang)
penting, seperti industri minuman, dan pemerintah kurang memperhatikan
manusia-manusia yang tersingkirkan.
Ringkasnya,
demikian Sjafruddin, karena pemerintah terlampau mengagungkan peranan
modal (asing), maka pemerintah kurang melindungi modal dan (tenaga)
manusia Indonesia dalam usaha pembangunannya. Di samping itu, karena
pemerintah kurang mampu memobilisasikan tenaga dan daya kreasi rakyat
Indonesia supaya benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha
pembangunan. “Seharusnya pembangunan itu merupakan kreasi bangsa
Indonesia sendiri yang disesuaikan dengan keadaan alam dan lingkungan
bangsa Indonesia umumnya,” tulis Sjafruddin.
Bagi
Sjafruddin, mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila
yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan
materiilnya, yang harus dapat dinikmati oleh rakyat seluruhnya, supaya
tercipta keadilan sosial.
Di mata
Sjafruddin, pembangunan yang sekarang dilaksanakan tidak atau sangat
kurang berakar ke dalam rakyat, karena (rakyat) tidak/kurang diajak
berpartisipasi, tatapi segala sesuatu direncanakan dan kemudian
dipaksakan dari atas ke bawah. Sepintas lalu hasil pembangunan itu
menggembirakan dan mengagumkan. Tetapi kalau datang resesi ekonomi
dunia, harga minyak jatuh, pinjaman-pinjaman lunak tidak/sukar
diperoleh, kecuali pinjaman komersial dengan bunga dan kewajiban bayar
kembali yang jauh lebih tinggi dan berat dari biasa, sedang modal swasta
yang ada cenderung untuk meninggalkan tanah air kita dan dipermudah
jalannya berhubungan dengan kebebasan lalu lintas devisa, maka terlihat
dan terasalah kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dasar dan pola
pembangunan kita selama ini.
Demikianlah,
beberapa pokok pikiran Sjafruddin yang jelas amat memihak kepada
kepentingan rakyat. Jika dari uraian di atas tertangkap kesan Sjafruddin
anti modal asing, sesungguhnya kesan serupa itu tidak tepat sama
sekali. Menurut Dawam Rahardjo, Undan-undang tentang Modal Asing berlaku
di masa Orde Baru, banyak sekali yang berasal dari gagasan Sjafruddin.
Benar Sjafruddin memang tidak setuju kepada kredit atau hutang luar
negeri, karena dianggapnya mengandung beban. Menurut Sjafruddin, lebih
baik kita mengimport modal karena yang akan menanggung resikonya nanti
orang asing itu sendiri.
Di
manakah posisi Sjafruddin di dalam percaturan pemikiran ekonomi
Indonesia? Meskipun pikiran-pikirannya banyak diambil oleh para arsitek
pembangunan ekonomi Orde Baru, tetapi menurut Dawam Rahardjo posisi
Sjafruddin bagaikan penumpang kapal di pinggir pantai.
Akan
tetapi, apa dan bagaimanapun posisinya, Sjafruddin tetap tegar membela
kepentingan rakyat. Sjafruddin bergerak menghimpun para pengusaha muslim
di dalam wadah Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI). Ketika
PT. Arafat yang sahamnya sebagian besar dimiliki kaum Muslim Indonesia
mengalami kebangkrutan drastis karena faktor dari dalam dan luar
perusahaan, Sjafruddin melalui HUSAMI menyelenggarakan perjalanan haji
yang ongkos naik haji (ONH)-nya terbukti lebih murah ketimbang tarif
resmi pemerintah. Sayangnya, ONH yang lebih murah dan jelas-jelas
menguntungkan rakyat itu dilarang oleh pemerintah. Ketimbang menurunkan
tarif dan memperbaiki pelayanan kepada umat, pemerintah lebih suka
menggunakan kekuasaan untuk memonopoli perjalanan haji.
Sebuah
desertasi yang ditulis oleh John Sutter menyebut Sjafruddin sebagai
figur yang sangat rasional dalam memandang fungsi kapital. Di mana saja
kapital sama, tidak merugikan. Yang harus dikontrol adalah orangnya,
kapitalnya sendiri harus dimanfaatkan.
Bagi
Sutter, Sjafruddin adalah seorang ahli moneter dan sangat ahli di
bidang budget. Bagi orang Belanda, Sjafruddin terkenal sangat teliti dan
berhati-hati dalam menghitung anggaran. “Sjafruddin sangat menonjolkan
kepentingan negara di dalam menghitung anggaran,” ungkap Dawam Rahardjo.
Dalam
zaman serba bebas sekarang ini, sungguh menarik mengkaji kembali
pikiran-pikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara. Ramalannya bahwa
politik ekonomi Presiden Soeharto akan mengalami kegagalan jika
dijalankan terlampau praktis-pragmatis, perlu direnungkan oleh semua
yang berkepentingan terhadap susksesnya pembangunan menuju terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan bagi segelintir
rakyat Indonesia!
(Catatan kegiatan: International Seminar on
Islamic Finance and Its Global Challenges, 11 Mei 2011 di UNISSULA.
Dalam rangka memperingati 1 Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara, ditulis
kembali oleh maruf, )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar