Tapak-tapak
Perjalanan Ulama-Patriot
K.H. Sholeh Iskandar
Oleh:
Lukman Hakiem
MENULIS
tentang K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992) adalah menulis tentang seorang
ulama-patriot yang komitmen asasinya terhadap keislaman dan keindonesiaan
sungguh-sungguh utuh, dan tanpa pamrih. Masih di zaman penjajahan Belanda,
lelaki kelahiran Kampung Gunung Handeuleum, Desa Situ Udik, Kecamatan Cemplang,
Kabupaten Bogor itu sudah tampil sekaligus memimpin Barisan Islam Indonesia
(BII), dan Pemuda Gerakan Indonesia (Gerindo).
BII
adalah organisasi kepanduan yang berada di bawah naungan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (Persatuan Ummat Islam) yang pembentukannya
diprakarsai oleh murid-murid K.H. Ahmad Sanusi (1306/1888-1369/1950) dalam
sebuah pertemuan di Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi, pimpinan K.H.
Muhammad Hasan Basri pada bulan November 1931.
Pemuda
Gerindo adalah organisasi kepemudaan yang berafiliasi kepada partai nasionalis
kiri, Gerindo, yang dibentuk pada 24 Mei 1937
untuk menggantikan Partai Indonesia (Partindo) yang Sukarnois dan
menjadi lawan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang konservatif. Para pemimpin
Gerindo antara lain A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Yamin. Aktivitas partai ini sangat dibatasi sejak
Mei 1940, untuk akhirnya hilang dari peredaran.
Membantah
Pendapat Sayidiman
Dengan
latar belakang pergerakan seperti itu, tidak mengherankan jika Sholeh Iskandar
menjadi tokoh yang memiliki jaringan luas –modal yang sangat penting di dalam menggerakkan
perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dengan modal itu, sebagai Komandan
Laskar Hizbullah/Sabilillah di daerah Bogor Barat, saat laskar-laskar
perjuangan dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), Sholeh Iskandar yang
saat itu menjadi Komandan Batalyon 0/Hizbullah dipercaya menjadi Komandan
Sektor IV Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi dengan pangkat Mayor.
Eksistensi
Mayor Sholeh Iskandar dan pasukannya di masa perang kemerdekaan dicatat oleh
Jenderal Dr. A.H. Nasution. “Kami berkunjung pula ke Resimen Jayarukmantara di
Rangkasbitung, kemudian ke front Bogor Barat, di mana Mayor H. Dasuki dari
Resimen 2 bertanggungjawab. Daerah ini diperkuat oleh pasukan-pasukan asal
Hizbullah, dipimpin oleh Mayor Soleh Iskandar.”
Dalam
konteks ini mudah dipahami kekecewaan Sholeh Iskandar terhadap pendapat Letnan
Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo yang tidak saja menganggap kecil eksistensi Laskar Hizbullah, bahkan menganggap
Laskar Hizbullah hanya menjadi beban dan mengganggu Republik Indonesia. “Gerakan hijrah itu amat menguntungkan Belanda, baik
dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun masih ada
pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun kekuatan mereka
terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang berarti. Malahan
nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan Republik ketika
pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang Kemerdekaan II. Sebagai
pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak menyerang TNI daripada
Belanda,” kata Sayidiman pada makalah yang disampaikan dalam suatu Seminar Sejarah
Militer yang diselenggarakan oleh Yayasan Historia Vitae Magistre.
Menurut Sholeh Iskandar, pendapat Sayidiman itu
berbeda atau bertentangan dengan pendapat bekas Panglima Siliwangi, E.
Kawilarang, yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah di
Jawa Barat.
“Dalam pada itu,” kata Sholeh Iskandar, “perlu
diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi, dan
seorang hamba Allah yang lain, sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam
waktu perang dan damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi
TNI-AD sebagai Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.”
Menurut Sholeh Iskandar, formasi Batalyon Hizbullah
itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan Selamat.
“Lebih jauh kiranya Al-Mukarram
Jenderal Sayidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi
militer Belanda, Resiment Jaggers
Batalyon 3, mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan,” ujar Sholeh
Iskandar.
Peran Ulama dan Sikap terhadap Darul Islam
Sholeh
Iskandar menyodorkan fakta ketika daerah lain dikuasai Belanda/Sekutu,
keresidenan Banten secara de facto
tetap bersama-sama Republik Indonesia. Mereka bahkan membuat mata uang sendiri.
Di keresidenan Banten itu, para ulama menempati posisi penting dalam pucuk
pimpinan, baik dalam administrasi pemerintahan sipil maupun militer. Sebagai
contoh, Bupati Serang adalah K.H. Sjam’un, Bupati Lebak ialah K.H. Harun, dan
lain-lain. Di daerah Bekasi, Karawang, dan sekitarnya, Komandan Hizbullah dan
Sabilillah ialah K.H. Noer Ali.
Ketika pasukan Siliwangi hijrah ke
Yogyakarta, maka praktis Hizbullah dan Sabilillah yang menjaga dan
mempertahankan kantong-kantong perlawanan rakyat di seluruh Jawa Barat.
Dalam hubungan dengan Darul Islam (DI) seperti dalam
pendapat Sayidiman, menurut Sholeh Iskandar perlu dicatat berlangsungnya
pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan di Peuteuy, Nanggung, Bogor,
membahas sikap terhadap gerakan DI. Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan
dengan penuh tanggung jawab, diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi
DI, dan melanjutkan perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Namun
Sholeh Iskandar mencatat, buku-buku sejarah yang ada, tidak menceritakan
perjuangan umat Islam di seluruh Nusantara secara objektif Kalaupun ada, hanya
ditatap sepintas dan sambil lalu, sehingga menimbulkan kesan ada usaha-usaha
dari golongan tertentu untuk mengaburkan dan menghilangkan peranan umat Islam
–dengan para ulamanya—dari pentas sejarah. Menurut Sholeh Iskandar, ini dapat
dikategorikan sebagai manipulasi atau penggelapan sejarah.
Hubungan
Agama dengan Negara
Statement
Sholeh Iskandar mengenai DI, membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana ulama-patriot
ini memandang hubungan antara agama Islam dengan negara Republik Indonesia?
Menjawab pertanyaan ini, baiklah kita ikuti sikap Sholeh Iskandar menghadapi
pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama yang
diajukan oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 1989.
Dengan
lugas, Sholeh Iskandar menyatakan keheranannya atas pendapat yang menyebut
RUU-PA bertentangan dengan Pancasila. Sholeh Iskandar juga tidak memahami
pendapat yang menganggap aneh jika syariat Islam masuk ke dalam hukum nasional
RI.
Menurut
Sholeh Iskandar, untuk mendudukkan hubungan antara agama dengan negara,
cukuplah dengan memahami dan menghayati Undang-Undang Dasar 1945, sejak
Pembukaan, Batang Tubuh, sampai Penjelasannya.
Semuanya, kata Sholeh Iskandar, serba membuka diri terhadap realitas
yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik realitas yuridis, maupun
realitas sosiologisnya.
Pasal
29 ayat (1) dan (2) mengandung keharusan tiap warganegara untuk beragama,
walaupun keharusan ini tidak disertai sanksi. Akan tetapi, itu tidak mengurangi
sifat keharusan sebagai suatu norma hukum yang harus ditaati.
Menurut
Sholeh Iskandar, Indonesia negara hukum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Maka seharusnya dan logis jika setiap aturan hukum bersumber dari norma
agama, dan sangat logis juga jika hukum agama ditransformasikan ke dalam hukum
nasional sesuai dengan keinsafan dan kebutuhan hukumnya. Tanpa agama, Pancasila
akan kehilangan makna dan nilainya.
Tapak-tapak Perjalanan
Mayor
di masa itu, pangkat yang cukup tinggi, karena sampai akhir 1950-an Panglima
Teritorium (sekarang Panglima Daerah Militer), bahkan Kepala Staf Angkatan
Darat, paling tinggi berpangkat Kolonel. Jika Sholeh Iskandar melanjutkan karir
militernya, bukan mustahil dia bisa meraih pangkat Jenderal dengan tugas
kekaryaan yang menjanjikan. Perwira penghubung yang menjadi staf Mayor Sholeh
Iskandar di masa perang kemerdekaan, Letnan Hasan Selamat, pensiun dengan
pangkat Mayor Jenderal dan sempat menjadi gubernur Maluku.
Akan
tetapi, ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui pada penghujung tahun 1949,
Sholeh Iskandar justru merasa tugasnya sebagai tentara telah selesai. Sholeh
Iskandar tidak tergoda kepada kemewahan dunia, yang sangat mungkin dia peroleh
jika melanjutkan karir militernya. Dia kembali ke dunia sipil dan melanjutkan
pengabdiannya di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, dia tetap menaruh
kepedulian tinggi terhadap nasib dan kesejahteraan bekas anak buahnya, sesama pejuang
kemerdekaan.
Antara
1950-1960, Sholeh Iskandar mendirikan Persatuan Bekas Anggota Tentara (Perbata)
dengan tujuan menghimpun tenaga bekas tentara dan laskar perjuangan ke arah
tujuan pembangunan dan pembinaan negara; terpilih menjadi Wakil Ketua Gabungan
Organisasi-organisasi Perjuangan; terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Pejuang
Islam Bekas Bersenjata Seluruh Indonesia; turut mendirikan dan terpilih menjadi
Ketua II Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia; dan turut mendirikan
Yayasan Carya Dharma yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
anggota LVRI.
Lepas
dari dunia militer, Sholeh Iskandar menjadi aktivis Partai Masyumi. Melihat
prestasi dan ketokohannya, pimpinan Masyumi Jawa Barat meminta Sholeh Iskandar
untuk menjadi anggota DPRD Sementara Provinsi Jawa Barat. Tawaran itu ditolak
oleh Sholeh Iskandar. Mengapa menolak?
“Adapun alasannya,” tulis Sholeh Iskandar dalam suratnya kepada Pimpinan
Wilayah Masyumi Jawa Barat, “sudah barang tentu mudah dicari, akan tetapi yang
terpenting saya berpendapat dalam keadaan, waktu dan situasi seperti sekarang
ini saya mungkin tidak dapat mempergunakan fungsi itu untuk kepentingan
perjuangan kita selanjutnya.”
Tidak
hanya sekali itu saja Sholeh Iskandar menolak jabatan. Menurut beberapa sumber,
Presiden Sukarno pernah memintanya menjadi menteri. Lagi-lagi tawaran itu
ditolak oleh Sholeh Iskandar.
Menolak
jabatan formal, tidak berarti Sholeh Iskandar hanya duduk termangu sembari
berpangku tangan. Tanpa jabatan formal, tapak-tapak perjalanan Sholeh Iskandar
justru terlihat jelas. Di bidang pendidikan, Sholeh Iskandar mewariskan
Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor; Universitas Ibn Khaldun Bogor
(UIKA); dan Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Bogor. Di bidang
kesehatan, Sholeh Iskandar mewariskan Rumah Sakit Islam Bogor. Di bidang
ekonomi syariah, Sholeh Iskandar meninggalkan jejak Bank Pembiayaan Syariah
Amanah Ummah. Tentu tidak boleh dilupakan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP)
Jawa Barat yang didirikannya antara lain bersama K.H. Noer Ali, K.H. Abdullah
Syafi’ie, K.H. Chaer Affandi, dan Majelis Ulama Jawa Barat; yang ditekuni
hingga akhir hayatnya. BKSPP meninggalkan sejumlah fatwa dan sikap politik
sebagai panduan bagi kaum Muslimin.
Bintang
Jasa Nararya
Pemerintah
tidak menutup mata atas jasa Sholeh Iskandar kepada bangsa dan negara. Untuk
menghargai jasa-jasanya yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia, dan
agar menjadi teladan bagi seluruh warga negara, dengan Surat Keputusan Nomor
074/TK/1995, tertanggal 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto menganugerahkan
Bintang Jasa Nararya kepada Sholeh Iskandar. Bintang yang sama, dianugerahkan
juga kepada Ketua Umum BKSPP Jawa Barat, K.H. Noer Ali.
Sementara
Walikota Bogor R. Iswara Natanegara, dengan Surat Keputusan Nomor 620.45-166
Tahun 2001 tertanggal 23 Juli 2001, mengabadikan nama K.H. Sholeh Iskandar pada
Jalan Raya Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara dan Jalan Raya Semplak,
Kecamatan Bogor Barat.
Sekarang,
jika melintas di Jl. K.H. Sholeh Iskandar, kenanglah jasa ulama-patriot yang
layak menjadi Pahlawan Nasional itu.[]
Lukman
Hakiem adalah anggota
DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI
(2001-2004). Menulis dan menyunting beberapa buku.
1 komentar:
ASSALAMUALAIKUM
saya Siti Masliah, Izin bertanya bapak, adakah Sumber Primer tentang pak Kh.Sholeh Iskandar ini yang bisa saya akses di interne?
Posting Komentar