Kepeloporan,
Keteguhan, dan Kesederhanaan Lafran Pane
Oleh: Lukman Hakiem
PENGANTAR:
Pada resepsi Hari Ulang Tahun ke-48 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI), 19 September 2014, Ketua Presidium Nasional KAHMI, Prof. Dr. Moh.
Mahfud MD mengungkapkan rencana KAHMI mengusulkan pemerakarsa berdirinya HMI,
Prof. Drs. H. Lafran Pane menjadi Pahlawan Nasional. Salah satu rekomendasi
Kongres ke-19 HMI, 30 November-9 Desember 1992 di Pekanbaru, Riau, ialah
permohonan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menetapkan Prof. Lafran
Pane sebagai Pahlawan Nasional. Artikel berikut ini saya tulis sebagai respons
terhadap rekomendasi Kongres ke-19 HMI. Artikel ini mula-mula dimuat di harian Pelita, 15 Desember 1992 dengan judul
“Lafran Pane Pahlawan Nasional, Kenapa Tidak?”. Dengan judul yang sama dimuat
pula dalam Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul (Editor), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta, Misaka Galiza,
Cetakan Kedua, Agustus 2008, halaman 198-203. Untuk pemuatan di blog, saya menambahkan beberapa catatan
kaki. Semoga bermanfaat.[]
SALAH SATU rekomendasi Kongres ke-19 Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) di Pekanbaru, Riau, yang baru saja berakhir, ialah
permohonan kepada pemerintah untuk menetapkan almarhum Prof. Drs. H. Lafran
Pane (1923-1991)[1] sebagai
Pahlawan Nasional.
Rekomendasi Kongres HMI itu tidak syak lagi
bakal didukung penuh oleh para aktivis dan mantan aktivis HMI yang jumlahnya
kini telah mencapai jutaan, yangf tersebar di berbagai daerah dengan berbagai
posisi.
Bagi HMI, posisi Lafran Pane memang unik.
Meskipun ada 15 orang yang ikut dalam rapat pembentukan HMI pada 5 Februari
1947[2]
di Sekolah Tinggi Islam (STI, kini Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta,
tetapi pembentukan HMI tetap dianggap prakarsa murni Lafran. Karena itulah
Kongres ke-11 HMI di Bogor, 1974, menetapkan Lafran Pane sebagai pemerakarsa
(orang yang memelopori) berdirinya HMI.
Pada ulang tahun ke-10 HMI, Drs. Sudjoko
Prasodjo menulis di majalah Media,
terbitan PB HMI, “Sesungguhnya di tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah
hampir identik dengan sebagian kehidupan Drs. Lafran Pane sendiri. Karena
dialah pemegang andil terbanyak lahirnya HMI, kalau tidak boleh kita katakan
sebagai tokoh utama pendirinya.”
Jika ditelusuri kembali riwayat awal
berdirinya HMI, terlihat betapa gigihnya Lafran memperjuangkan perwujudan
prakarsanya itu. Ketika kelahiran HMI dicurigai oleh para aktivis Perserikatan
Mahasiswa Jogjakarta (PMJ), dan disalahpahami oleh kalangan Islam, Lafran maju
menjelaskan semua gagasannya. Lafran pula yang sangat bersemangat memasarkan
HMI ke luar STI sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (FH-UGM), Mohammad Syafa’at Mintaredja (almarhum,
pernah menjabat sebagai Menteri Sosial, Duta Besar RI di Turki, dan Ketua Umum
Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan).
Lafran sangat bersukacita mendapati respons
positif dari M.S. Mintaredja. Dan dengan ikhlas pada 22 Agustus 1947 dia
menyerahkan kepemimpinan HMI kepada Mintaredja. Pada Kongres I HMI di
Yogyakarta, 30 November 1947, Mintaredja kembali terpilih menjadi Ketua Umum.
Posisi Lafran justru merosot dari Ketua Umum menjadi Penulis I, kelak bahkan
merosot lagi menjadi Penulis II. Demi kebesaran HMI, Lafran tidak mempersoalkan
jabatan.
Pembaruan
Islam
Meskipun ayah Lafran, Sutan Pangurabaan Pane,
seorang aktivis Partai Indonesia (Partindo), tidak perlu diragukan sesungguhnya
sejak usia dini Lafran telah mengenal Islam. Di usia dini, Lafran yang
dilahirkan tanggal 12 April 1923 (suatu hari kepada penulis dia mengaku
tanggal, bulan, dan tahun kelahiran itu dikarangnya sendiri),[3]
belajar “alif-alifan” kemudian nyantri
di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, Hollands
Inlandse School (HIS) Muhammadiyah, Ibtidaiyah,
Wustho, dan kelak Algemeene Middelbare School (AMS)
Muhammadiyah di Jakarta. Di antara masa-masa belajar di sekolah-sekolah Islam
itu, Lafran sempat pula bersekolah di Perguruan Taman Siswa.
Dalam masa sekolah itu, terutama masa sesudah
hijrah dari Sipirok, Tapanuli Selatan, ke Jakarta; Lafran aktif di Gerakan
Indonesia (Gerindo). Juga di Indonesia Moeda.
Dalam proses pencarian jati diri seperti itu,
ditambah kemudian perkenalannya dengan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, H.M.
Rasjidi, dan lain-lain di dalam atmosfir Islam di STI; dengan mudah kita dapat
memahami obsesi Lafran tentang HMI (= Islam) yang inklusif.
Lafran lahir dan dibesarkan di dalam atmosfir
Islam. Akan tetapi, pergaulannya dengan kalangan pergerakan “bukan Islam”[4]
menyadarkan Lafran tentang betapa kroposnya klaim mayoritasnya kaum Muslimin di
negeri ini. Mereka yang bergerak di luar atmosfir Islam itu, dalam pengamatan
Lafran sesungguhnya Muslim juga, Tetapi mereka telah kehilangan kebanggaan
terhadap Islam. Satu dan lain hal, itu terjadi akibat penindasan dan sistem
pendidikan Belanda yang sekularistik.
Dalam sebuah tulisan tahun 1949, berjudul
“Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”, Lafran melihat dua
kelompok dominan dalam Islam. Yaitu mereka yang mengidentikkan Islam dengan
masyarakat Arab abad ketujuh, dan mereka yang karena pengaruh mistik tidak
menghiraukan kehidupan dunia. Karena dominannya dua kelompok ini, timbul kesan
seakan-akan Islam adalah ajaran kolot antikemajuan. Menurut Lafran,
kecenderungan orang yang belum mantap imannya selalu mengaitkan aspek manfaat
dari sesuatu ajaran. Karena itu Lafran menggesa –di luar persoalan
akidah—pembaruan terus menerus terhadap penerapan ajaran Islam. Dan potensi
yang dilihat Lafran untuk melakukan pembaruan adalah kaum terpelajar,
mahasiswa, yang berpikiran maju.
Lafran sangat percaya, dari 90 persen rakyat
Indonesia yang mengaku Muslim, hanya sedikit saja yang telah benar-benar
melaksanakan ajaran Islam secara paripurna. Karena itu sejak awal dia telah
menggariskan sasaran HMI bukanlah mereka yang telah mengerti agama, melainkan
mereka yang awam agama. Bagi Lafran, jika orang sudah mau masuk HMI itu berarti
yang bersangkutan sudah atau masih memiliki rasa bangga terhadap Islam. Itu
saja sudah cukup. Tidak usah lagi dipersoalkan dari golongan mana dia berasal.
Orang boleh setuju atau tidak setuju, tetapi
Lafran terus melangkah. Melalui HMI, Lafran telah memelopori pengikisan
sektarianisme di kalangan umat Islam. Sejarah panjang HMI mencatat dengan
gemilang betapa mereka yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Persatuan Islam (Persisi), dan sebagainya; mereka yang hafal Qur’an dengan
mereka yang sama sekali buta huruf al-Qur’an; rukun-rukun belaka di dalam
bahtera HMI.
Eksodus
Besar-besaran
Langkah Lafran tidak berhenti sampai di situ.
Dia berusaha keras membongkar dinding yang memisahkan antara “kaum abangan”
dengan “kaum santri”, antara kalangan Islam dengan kalangan nasionalis. Dan
langkah Lafran acap kali mengejutkan. Ketika terjadi polemik tajam antara
mereka yang menerima dengan mereka yang menolak Perjanjian Linggajati (1946),
tanpa canggung Lafran menempatkan HMI sejajar dengan sikap Pemerintah (Kabinet)
Sutan Sjahrir. Sikap itu tentu saja berbeda dengan sikap organisasi
kemasyarakatan dan organisasi Islam yang ketika itu menolak Linggajati.
Untuk hal ini tetaplah mesti dicatat
tokoh-tokoh Partai Politik Islam Masyumi seperti H. Agus Salim, Mohammad Natsir,
Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Jusuf Wibisono, K.H. Fathurrahman, dan
K.H. Abdul Wahid Hasjim yang secara pribadi tetap bertahan dalam Kabinet
Sjahrir III; berbeda dengan sikap resmi Masyumi yang beroposisi terhadap
Kabinet Sjahrir III.
Sikap Lafran sedemikian itu harus dibayar
mahal dengan eksodus besar-besaran para pendiri HMI. Mereka yang bereksodus itu
kemudian mendirikan Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 4 Mei 1947.
Lafran dan HMI kemudian seakan dikucilkan
dari pergaulan umat. Lafran yang datang –walau tanpa undangan-- pada Kongres I
PII di Surakarta, Juli 1947, tidak dibolehkan masuk ruangan karena: “HMI
dianggap tidak ada, dan status HMI di kalangan umat Islam masih disangsikan.”
Lafran tidak putus asa. Dan keteguhannya
membuahkan hasil. Pada Konferensi Besar PII di Ponorogo, November 1947, HMI
diakui sebagai bagian dari umat. Bahkan Kongres Muslimin Indonesia di
Yogyakarta, Desember 1949, memutuskan: “Hanya satu organisasi mahasiswa Islam,
yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada
Sekolah Tinggi.”
Dengan prestasinya mendirikan dan membesarkan
HMI, Lafran tidak lantas menepuk dada. Dia tidak mau menyanggah ketika dalam
suatu forum resmi yang juga dihadirinya di Yogyakarta, Mintaredja mengaku
sebagai pendiri HMI. Dia juga tidak mau memanfaatkan karismanya sebagai
pemerakarsa berdirinya HMI untuk kepentingan pribadi. Ketika sebuah Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di luar Jawa menawarkan jabatan rektor
kepadanya,[5]
dengan halus Lafran menolaknya.
HMI
Itu Nasionalis
Sekitar 1974 kampus IKIP Yogyakarta, tempat
Lafran mengabdi, bergolak. Karena hampir semua aktivis mahasiswa IKIP
Yogyakarta adalah aktivis HMI, Lafran pun dituduh sebagai dalang pergolakan.
Lafran dinonaktifkan dari segala tugas di fakultasnya, meskipun sampai dia
meminta pensiun gaji dan tunjangan guru besarnya tetap dibayar penuh.
Ketika terjadi pergantian rektor IKIP
Yogyakarta dari Prof. Dr. Imam Banadib, M.A. ke Drs. St. Vembriarto, Lafran
kembali mendapat perlakuan tidak enak. Tunjangan jabatan yang telah diterimanya
selama masa nonaktif, harus dikembalikan! Caranya dengan memotong uang
pensiuannya setiap bulan. Saya dan teman-teman yang mendapat kabar kebijakan
rektor baru itu, tentu saja panas hati. Sebagai Ketua HMI Koordinator Komisariat
(Korkom) IKIP Yogyakarta saya meminta izin Lafran Pane untuk memerotes
ketidakadilan itu. “Untuk apa?” ujar Lafran dengan nada menolak, seraya
menambahkan: “Dengan keadaan sekarang ini pun saya sudah berbahagia. Lagi pula,
nanti HMI yang terkena akibatnya.”
Di tengah memanasnya polemik soal asas
tunggal Pancasila pada Kongres ke-15 HMI di Medan, 21-31 Mei 1983, Lafran
keluar dengan pendapatnya yang sangat terkenal dan dimuat di semua surat kabar
utama: “HMI itu pertama-tama nasionalis, baru sesudah itu Islam.”[6]
Pendapat Lafran itu dianggap berat sebelah. Lantaran itu muncul bisik-bisik
yang rupanya sampai juga ke telinga Lafran tentang berapa Lafran dibayar
pemerintah untuk pendapatnya itu.[7]
Dalam pidato penutupan Kongres, Lafran
membantah isu negatif itu sambil menyebut nama saya sebagai saksi yang dianggap
banyak mengetahui kehidupan Lafran sehari-hari. Saya jengah juga mendengarnya.
Akan tetapi, meskipun saya tidak selalu sependapat dengan pemikiran Lafran
Pane, sebagai aktivis HMI yang kebetulan satu fakultas, bertetangga, dan satu
jamaah masjid dengannya, saya berani bersaksi bahwa Lafran Pane tidak pernah
memanfaatkan posisinya sebagai pemerakarsa berdirinya HMI --yang alumninya
sudah amat banyak duduk dalam berbagai posisi strategis di pemerintahan—untuk
kepentingan pribadinya.
Saya juga berani menegaskan, segala pikiran,
gagasan, dan perbuatan Lafran Pane, entah itu menguntungkan pemerintah atau
tidak, murni keluar dari hati nurani dan akal sehatnya.
Sebuah contoh kiranya perlu dikemukakan. Suatu
hari seusai shalat Jum’at, di teras Masjid Al-Falah, Mrican, Lafran mengajak
saya dan Said Tuhuleley[8]
berbicara. Dia meminta pendapat kami tentang kemungkinannya menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). “Ada
alumni yang menawarkan jabatan itu kepada saya. Menurut kalian, bagaimana?”
Kami kaget. Pendiri HMI kok “konsultasi” kepada anak ingusan macam kami. Karena
diminta pendapat, saya jawablah pertanyaan itu. Dengan gaya yakin saya berkata: “Menurut saya, tawaran itu lebih baik ditolak
saja Pak. Di fraksi mana pun Pak Lafran didudukkan, mau tidak mau Bapak akan
‘berhadapan’ dengan alumni HMI yang duduk di fraksi lain. Masak Bapak harus
‘berhadapan’ dengan kader Bapak sendiri. Tidak baik untuk HMI, Pak.” Lafran
manggut-manggut. “Baiklah, kalau begitu saya akan tolak saja tawaran itu.”
Menyegarkan
Pemahaman
Seusai Kongres Medan, polemik asas tunggal
Pancasila makin memanas. Di Yogyakarta, segala izin bagi kegiatan HMI
dibekukan. Bahkan pernah terjadi, izin yang sudah diberikan dicabut sesaat
menjelang acara dimulai.
Kepada Tim Politik dan Keamanan (Polkam)
Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA-RI) dipimpin oleh Wakil Ketua
DPA, Jenderal TNI (Purn) Widodo yang datang ke Yogyakarta, saya tunjukkan Anggaran
Dasar HMI yang pada alinea keempat Mukaddimahnya menyatakan tekad HMI untuk
mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pertemuan di kantor Gubernur DI Yogya
itu, kepada Widodo juga saya katakan bahwa pendekatan keamanan tidak selalu
dapat menyelesaikan masalah. Jika anak muda dikerasi, salah-salah mereka
menjadi nekad. Bukankah segala hal sesungguhnya bisa dimusyawarahkan secara
cerdas dan dewasa. Lagi pula, apakah yang dicemaskan dari HMI. Dengan anatomi
keanggotaan yang amat majemuk, mustahil HMI menjadi gerakan ekstrim. Akan
selalu ada mekanisme internal yang mencegah HMI “lari” dari watak sejarahnya.
Widodo mendengarkan dengan saksama pendapat saya, dan berjanji akan
menyampaikannya kepada pemerintah.
Dalam suasana panas seperti itu, agar isu
asas tunggal Pancasila tidak terperosok menjadi isu dasar negara Pancasila,
sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta (1983-1984), saya menganggap perlu
menyegarkan ulang pemahaman para aktivis HMI terhadap gagasan awal berdirinya
HMI, terutama mengenai hubungan antara Islam, HMI, dan Negara. Yang paling pas
menyampaikan kajian itu adalah Lafran Pane. Forum yang paling cocok, hemat
saya, adalah pelatihan kepemimpinan tingkat menengah (Intermediate Training). Peserta pelatihan pada forum ini adalah
kader-kader menengah yang sudah cukup berwawasan.
Lafran Pane bukan saja bersedia menjadi
pengisi tetap kajian tersebut, juga tampak menikmati betul forum Intermediate itu. Betapa pun mendapat
“gempuran” keras dari para peserta, dia tetap gigih mempertahankan segala
tesisnya dengan wajah tetap tersenyum. Panitia sendiri kadang-kadang “nakal”.
Sebelum masuk session Lafran Pane,
kepada peserta diberikan masukan tertentu. Akibatnya, forum menjadi “panas”.
Akan tetapi, Lafran tetap gigih, sabar, dan telaten melayani diskusi
kader-kader muda HMI. Dia tidak pernah kapok, dan tidak pernah mengeluh. Setiap
kali diminta mengisi acara di Intermediate,
dia selalu datang tepat waktu.
Dialog tajam pemerakarsa berdirinya HMI
dengan kader-kader muda HMI setiap kali berlangsung tidak kurang dari empat
jam, mulai pukul 08.00 sampai pukul 12.00.
Kepeloporan,
Keteguhan, Kesederhanaan
Bahwa akhirnya sejak 1986 HMI pecah, menurut
saya antara lain karena PB HMI ketika itu telah kehilangan semangat dialog
seperti ditunjukkan oleh Lafran Pane ketika “berhadapan” dengan para aktivis
HMI Yogyakarta.
Saya masih ingat betul ketika beberapa ketua cabang
dan badan koordinasi (badko) yang dianggap “keras” oleh PB HMI meminta saya
untuk menengahi konflik mereka dengan PB HMI. Setelah segala upaya saya
lakukan, akhirnya kedua pihak sepakat untuk bertemu di tempat tinggal saya di
bilangan Cempaka Putih.[9]
Tetapi, pada waktu yang telah disepakati, PB HMI bukan saja tidak datang,
dihubungi melalui telepon pun tidak bisa; padahal teman-teman badko dan cabang
yang dianggap “keras” itu telah menunggu sejak sebelum magrib. Dialog terhenti.
Sejak itu, perpecahan HMI tinggal menunggu waktu.
Sampai sekarang saya masih menyesali gagalnya
dialog itu. Saya berpikir, jika saja PB HMI di bawah Ketua Umum H. Harry Azhar
Aziz ketika itu mewarisi keteguhan sikap dan kemauan berdialog seperti
ditunjukkan Lafran Pane ketika “menghadapi” para aktivis HMI Yogyakarta, jalan
sejarah HMI akan lain sama sekali.
Sejak hijrah ke Jakarta pada pertengahan
1985, praktis saya tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Lafran Pane. Satu-satunya
kontak ialah ketika Lafran Pane mengirim telegram saat saya menikah. Almarhum
mendoakan kebahagiaan saya sambil menyatakan penyesalan tidak dapat hadir.
Meskipun demikian, sosok Lafran Pane dengan kepeloporan, keteguhan, dan
kesederhanaannya tetap lekat dalam ingatan dan batin saya.
Dengan kepeloporan, keteguhan, dan
kesederhanaan itulah Lafran mendirikan, memberi arah, dan membesarkan HMI yang
oleh sebuah majalah terkemuka disebut sebagai organisasi pemasok pejabat.
Dan untuk semua jasanya itu, rasanya tidak
ada alasan untuk menolak permintaan HMI agar Prof. Drs. H. Lafran Pane
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.[]
[1] Sampai Lafran Pane wafat pada 1991
umum mencatat tahun kelahiran Lafran Pane ialah pada 1923.
[3] Sesudah wafat baru diketahui
sesungguhnya Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan pada 5 Februari 1922. Lihat
Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane Jejak
Hayat dan Pemikirannya, Jakarta, Penerbit Lingkar, Cetakan Pertama,
November 2010, halaman 40.
[4]
Pada masa itu terdapat perbedaan
tajam antara kalangan pergerakan Islam dengan kalangan nasionalis sehingga
terkesan seakan-akan keduanya berada dalam dunia yang sama sekali berbeda.
[5] “Kalau Pak Lafran bersedia, kami semua
akan mengundurkan diri dan mendukung Bapak,” tulis para calon rektor yang
semuanya alumni HMI dalam sepucuk surat kepada Lafran Pane.
[6] Statement Lafran itu merujuk kepada
tujuan HMI saat pertama kali didirikan, yaitu: “1. Mempertahankan Negara
Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, 2. Menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam.”
[7] Kebetulan pada saat Kongres ke-15 itu,
Menteri Pemuda dan Olahraga dijabat oleh dr. Abdul Gafur. Dalam kabinet
sebelumnya (1978-1983), alumni HMI itu menjabat sebagai Menteri Muda Urusan
Pemuda.
[8]
Ketua Dewan Mahasiswa IKIP
Yogyakarta (1977-1978). Ketika rezim Orde Baru melalui Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo membekukan
Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa di seluruh Indonesia, bersama ratusan
aktivis mahasiswa dan kaum cendekiawan, Said dijebloskan ke penjara. Dia
dibebaskan enam bulan kemudian, tanpa proses pengadilan.
[9] Sebagai Wakil Pemimpin
Redaksi/Redaktur Pelaksana Majalah Kiblat,
saya mendapat fasilitas tinggal di Wisma PHI Cempaka Putih, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar