Oleh Lukman
Hakiem
(Artikel ini
dimuat di Majalah Kiblat No. 8/XXXII,
5-20 September 1984, halaman 29)
SEPULANG dari
sebuah muktamar di hotel mewah, Kiai yang dikenal ramah itu bercerita bangga: “Hebat
Ketua Umum kita sekarang. Dia benar-benar pintar. Tokoh internasional. Berani.
Dan lain-lain.” Dan jamaah yang mendengar puja-puji Sang Kiai,
terbengong-bengong. Bukan apa-apa. Kiai itu sebelumnya dikenal sebagai seorang
yang anti-Ketua Umum yang sekarang terpilih itu. Dalam salah satu obrolan
dengan jamaah, Kiai menilai Ketua Umum
sebagai orang yang tidak jelas nasab politiknya.
Jika sekarang
Kiai memuji Ketua Umum setinggi langit, tentu harus diselidiki: makanan apa
yang disantap Kiai di muktamar sehingga sikapnya berbalik seratus delapan puluh
derajat.
***
MUKTAMAR sendiri
memang peritsitwa yang ditunggu-tunggu banyak kalangan. Maklum sejak berdirinya
organisasi itu lebih dari sewindu yang lalu, belum pernah sekali pun
dilaksanakan muktamar. Maka segala macam bentuk kebijaksanaan organisasi yang
menyangkut kepentingan seluruh negeri cukup diputuskan diam-diam. Artinya,
tiada angin tiada apa, tiba-tiba keluar keputusan. Kalau tidak pergantian
Ketua, tentu pemecatan salah seorang Ketua. Keruan saja, khalayak organisasi
pun jadi ribut.
Barangkali karena
itu pula organisasi yang bergerak di bidang politik itu (kendati tidak pernah
jelas politik macam apa yang menjadi perhatian utamanya), diberi nama “Partai
Putus Pecah.” Nama itu berarti, setiap keluar keputusan, selalu terjadi
perpecahan. Bisa juga berarti bahwa partai itu selalu dirundung pemutusan
silaturahmi dan perpecahan.
Tetapi, jangan
dikira karena kerja utama partai itu memutuskan silaturrahmi dan mengatur
jadual perpecahan, organisasi itu tidak mendapat dukungan. Partai itu tetap
menarik simpati, berhubung partai itu pandai mencari muka ke atas maupun ke
bawah. Maka, dapatlah dipahami mengapa orang seperti Kiai mati-matian menjadi
pendukung partai.
“Pak Kiai
tiba-tiba kok jadi pengagum Ketua Umum?” salah seorang jamaah memberanikan diri
bertanya. Dan Sang Kiai menjawab seraya tertawa terbahak-bahak. “Jangankan
saya, teman saya yang lebih keras dari saya pun mengaguminya sekarang.”
Jadi? “Ketua Umum
kita memang benar-benar hebat,” lanjut Kiai, “Bagaimana tidak hebat? Seluruh
peserta muktamar dia yang atur. Tanpa restunya, tidak mungkin seseorang bisa
masuk dan tidur enak di muktamar. Bagaimana tidak hebat? Laporan
pertanggungjawaban Ketua Umum langsung diterima peserta muktamar tanpa sepotong
pun kalimat pembahasan. Betapa tidak hebat? Baru membicarakan tata tertib
muktamar, orang sudah sepakat bulat memilihnya kembali menjadi Ketua Umum. Di
sudut dunia yang manakah bisa ditemukan Ketua Umum seberwibawa dia?”
Jamaah yang
mendengarkan uraian Kiai, sama berdecak. Mereka manggut-manggut. “Memang hebat
kalau begitu,” gumam jamaah ramai-ramai. “Tetapi.” Kiai memecah parade
kekaguman, “ada seorang yang dia tidak bisa atur.” Jamaah bengong. “Sayalah
yang tidak bisa dia atur,” tegas Kiai.
Kiai bercerita
bahwa di penutupan muktamar dia diminta membaca doa. Dan sebagaimana lazimnya
di Negeri Antah Barantah yang masih belum bebas sensor, konsep doa yang sudah
disiapkan Kiai tidak luput dari gunting sensor. Begitu tajamnya gunting sensor
sampai-sampai konsep doa Kiai tidak berbentuk doa lagi. “Doa itu kan cetusan
hati nurani. Jadi, tidak bisa diatur dan disensor,” ujar Kiai. Maka, berdoalah
Kiai menurut hati nuraninya. Sang Ketua Umum berang. Tapi, mau apa lagi? Toh
doa sudah dibacakan.
“Saya bukan
robot. Kalau mau berdoa sesuai pesanan, suruh saja robot yang berdoa,” kata
Kiai.
***
MUKTAMAR Antah
Barantah sudah selesai. Kiai sudah pulang kampung. Keputusan untuk membuang
inventaris partai digantikan dengan inventaris lain yang tidak jelas
asal-usulnya, telah diambil tanpa sedikitpun bantahan dan rasa penyesalan dari
peserta muktamar.Tidak ada sedikit pun rasa gundah karena telah membuang
inventaris partai yang paling berharga, yang dibeli dengan darah dan keringat
para pendukung partai.
Ketika membuang
inventaris berharga itu tidak sedikit pun terlintas di benak peserta muktamar
untuk merembuknya lebih dulu dengan para pendukung partai. Para peserta
muktamar tidak lagi merasa bahwa “Partai Putus Pecah” adalah milik rakyat
pendukung. Partai telah dianggap sebagai milik Ketua Umum, dan para pengurus di
seluruh jajaran adalah para pembantu yang harus sangat setia kepada Ketua Umum.
Orang-orang itu,
seakan-akan tidak pernah berpikir bahwa mereka bukan saja harus
bertanggungjawab kepada rakyat pendukung, tetapi terlebih-lebih kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Seorang jamaah
termenung. Dia terbatuk, dan bergumam lirih: “Lama ditunggu muktamar, sekali
muktamar dihilangkannya seluruh milik kita yang paling asasi.” Yang lain
terpengaruh. Seakan baru sadar, serempak mereka berucap: “Masya Allah!”
Langit mendung di
Negeri Antah Barantah. Mendung menimbulkan gelap yang amat sangat. Jamaah
kaget. Mereka berlarian mencari rumahnya masing-masing. Sementara Sang Kiai
cuma tersenyum. Senyum yang sulit diterjemahkan artinya.
Kiai itu mungkin
prihatin. Mungkin juga gembira. Wallahu a’lam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar