Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

07 November 2014

Muktamar Antar Barantah




Oleh Lukman Hakiem
(Artikel ini dimuat di Majalah Kiblat No. 8/XXXII, 5-20 September 1984, halaman 29)

SEPULANG dari sebuah muktamar di hotel mewah, Kiai yang dikenal ramah itu bercerita bangga: “Hebat Ketua Umum kita sekarang. Dia benar-benar pintar. Tokoh internasional. Berani. Dan lain-lain.” Dan jamaah yang mendengar puja-puji Sang Kiai, terbengong-bengong. Bukan apa-apa. Kiai itu sebelumnya dikenal sebagai seorang yang anti-Ketua Umum yang sekarang terpilih itu. Dalam salah satu obrolan dengan jamaah, Kiai menilai  Ketua Umum sebagai orang yang tidak jelas nasab politiknya.
Jika sekarang Kiai memuji Ketua Umum setinggi langit, tentu harus diselidiki: makanan apa yang disantap Kiai di muktamar sehingga sikapnya berbalik seratus delapan puluh derajat.
***
MUKTAMAR sendiri memang peritsitwa yang ditunggu-tunggu banyak kalangan. Maklum sejak berdirinya organisasi itu lebih dari sewindu yang lalu, belum pernah sekali pun dilaksanakan muktamar. Maka segala macam bentuk kebijaksanaan organisasi yang menyangkut kepentingan seluruh negeri cukup diputuskan diam-diam. Artinya, tiada angin tiada apa, tiba-tiba keluar keputusan. Kalau tidak pergantian Ketua, tentu pemecatan salah seorang Ketua. Keruan saja, khalayak organisasi pun jadi ribut.
Barangkali karena itu pula organisasi yang bergerak di bidang politik itu (kendati tidak pernah jelas politik macam apa yang menjadi perhatian utamanya), diberi nama “Partai Putus Pecah.” Nama itu berarti, setiap keluar keputusan, selalu terjadi perpecahan. Bisa juga berarti bahwa partai itu selalu dirundung pemutusan silaturahmi dan perpecahan.
Tetapi, jangan dikira karena kerja utama partai itu memutuskan silaturrahmi dan mengatur jadual perpecahan, organisasi itu tidak mendapat dukungan. Partai itu tetap menarik simpati, berhubung partai itu pandai mencari muka ke atas maupun ke bawah. Maka, dapatlah dipahami mengapa orang seperti Kiai mati-matian menjadi pendukung partai.
“Pak Kiai tiba-tiba kok jadi pengagum Ketua Umum?” salah seorang jamaah memberanikan diri bertanya. Dan Sang Kiai menjawab seraya tertawa terbahak-bahak. “Jangankan saya, teman saya yang lebih keras dari saya pun mengaguminya sekarang.”
Jadi? “Ketua Umum kita memang benar-benar hebat,” lanjut Kiai, “Bagaimana tidak hebat? Seluruh peserta muktamar dia yang atur. Tanpa restunya, tidak mungkin seseorang bisa masuk dan tidur enak di muktamar. Bagaimana tidak hebat? Laporan pertanggungjawaban Ketua Umum langsung diterima peserta muktamar tanpa sepotong pun kalimat pembahasan. Betapa tidak hebat? Baru membicarakan tata tertib muktamar, orang sudah sepakat bulat memilihnya kembali menjadi Ketua Umum. Di sudut dunia yang manakah bisa ditemukan Ketua Umum seberwibawa dia?”
Jamaah yang mendengarkan uraian Kiai, sama berdecak. Mereka manggut-manggut. “Memang hebat kalau begitu,” gumam jamaah ramai-ramai. “Tetapi.” Kiai memecah parade kekaguman, “ada seorang yang dia tidak bisa atur.” Jamaah bengong. “Sayalah yang tidak bisa dia atur,” tegas Kiai.
Kiai bercerita bahwa di penutupan muktamar dia diminta membaca doa. Dan sebagaimana lazimnya di Negeri Antah Barantah yang masih belum bebas sensor, konsep doa yang sudah disiapkan Kiai tidak luput dari gunting sensor. Begitu tajamnya gunting sensor sampai-sampai konsep doa Kiai tidak berbentuk doa lagi. “Doa itu kan cetusan hati nurani. Jadi, tidak bisa diatur dan disensor,” ujar Kiai. Maka, berdoalah Kiai menurut hati nuraninya. Sang Ketua Umum berang. Tapi, mau apa lagi? Toh doa sudah dibacakan.
“Saya bukan robot. Kalau mau berdoa sesuai pesanan, suruh saja robot yang berdoa,” kata Kiai.
***
MUKTAMAR Antah Barantah sudah selesai. Kiai sudah pulang kampung. Keputusan untuk membuang inventaris partai digantikan dengan inventaris lain yang tidak jelas asal-usulnya, telah diambil tanpa sedikitpun bantahan dan rasa penyesalan dari peserta muktamar.Tidak ada sedikit pun rasa gundah karena telah membuang inventaris partai yang paling berharga, yang dibeli dengan darah dan keringat para pendukung partai.
Ketika membuang inventaris berharga itu tidak sedikit pun terlintas di benak peserta muktamar untuk merembuknya lebih dulu dengan para pendukung partai. Para peserta muktamar tidak lagi merasa bahwa “Partai Putus Pecah” adalah milik rakyat pendukung. Partai telah dianggap sebagai milik Ketua Umum, dan para pengurus di seluruh jajaran adalah para pembantu yang harus sangat setia kepada Ketua Umum.
Orang-orang itu, seakan-akan tidak pernah berpikir bahwa mereka bukan saja harus bertanggungjawab kepada rakyat pendukung, tetapi terlebih-lebih kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Seorang jamaah termenung. Dia terbatuk, dan bergumam lirih: “Lama ditunggu muktamar, sekali muktamar dihilangkannya seluruh milik kita yang paling asasi.” Yang lain terpengaruh. Seakan baru sadar, serempak mereka berucap: “Masya Allah!”
Langit mendung di Negeri Antah Barantah. Mendung menimbulkan gelap yang amat sangat. Jamaah kaget. Mereka berlarian mencari rumahnya masing-masing. Sementara Sang Kiai cuma tersenyum. Senyum yang sulit diterjemahkan artinya.
Kiai itu mungkin prihatin. Mungkin juga gembira. Wallahu a’lam.[]          

Tidak ada komentar: