MENURUNNYA perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pasca-Orde Baru menjadi problem tersendiri bagi parpol berbasis massa Islam berlambang Ka’bah ini. Salah satu faktor yang menyebabkan perolehan suara terus merosot dikarenakan lunturnya ruh jihad di dalam diri kader-kader untuk membesarkan parpol tersebut.
Salah satu ormas pendukung PPP, Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) menilai kondisi yang terjadi di PPP saat ini adalah reformasi yang membunuh anaknya sendiri. Hal itu dikarenakan PPP yang seharusnya menjadi besar pasca-Orde Baru, justru mengalami kemerosotan yang luar biasa di era reformasi, yang merupakan era keterbukaan politik dan tidak ada lagi intimidasi kekuasaan maupun kekuatan dari parpol manapun.
“Jika ada istilah revolusi memakan anaknya sendiri, maka itulah yang terjadi di PPP, karena yang membuka kran keterbukaan pada waktu itu adalah PPP,” kata Ketua DPP Parmusi Lukman Hakiem kepada Pelita, di Jakarta, Rabu (1/12).
Lukman Hakiem mengatakan, kalau saat ini PPP mampu tetap bertahan di dalam perpolitikan di Tanah-Air, maka itu merupakan hal yang luar biasa. Sebab pada tahun 1999 para pengamat politik meramalkan PPP akan hancur mengingat elemen-elemen ormas Islam yang mendukung PPP satu persatu hengkang dan mendirikan partai sendiri.
Misalnya saja, NU mendirikan PKB, Muhammadiyah mendirikan PAN, dan Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Begitu juga dengan Syarikat Islam yang juga mendirikan partai sendiri.
Menanggapi krisis kepemimpinan di tubuh PPP, Lukman mengatakan, bergulirnya era reformasi sejak tahun 1998 lalu secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya perubahan geopolitik di Tanah-Air. Sebelum reformasi bergulir, masyarakat mendukung PPP atas dasar jihad. ”Pada saat itu ruh jihad seseorang mendukung PPP masih tinggi. Ini pun masih terjadi pada Pemilu 1999.”
Disisi lain, kata Lukman Hakiem, juga terjadi perubahan cara pandang di dalam diri pendukung PPP dari perjuangan amar ma’ruf kepada konsumerisme, hedonisme, dan pragmatisme.
“Ini mungkin ruhul jihadnya yang berkurang dibandingkan tahun 1977 dan 1982. Bahkan yang menyedihkan di dalam perhelatan muktamar ketika orang ingin menjadi ketua partai harus membawa duit yang banyak. Ini barangkali asas Islam hanya tinggal di atas kertas,” jelas dia.
Tentang langkah bai’at yang ditanamkan PPP untuk menanamkan militansi dan perjuangan keras bagi kader-kader partai, Lukman Hakiem mengatakan di tubuh PPP tidak dikenal istilah bai’at seperti yang ditanamkan Partai Keadilan Sejahtera kepada kader-kader mereka.
“Itu bedanya antara PPP dengan partai Islam lain seperti PKS. Kalau PKS merupakan partai yang dibentuk perorangan (kader), sedangkan PPP adalah ormas-ormas,”
Menanggapi kesiapan PPP dalam menghadapi Pemilu 2014 mendatang, Lukman Hakiem mengaku dirinya cemas dan pesimis terhadap kesiapan PPP dibandingkan partai lainnya. Pihaknya juga cemas terhadap capaian PPP dalam menghadapi parliamentary threshold (PT) 5 persen yang diperjuangkan partai-partai besar.
“Melihat kondisi saat ini dan ruh jihad yang menurun, saya khawatir dan pesimis. Jangan-jangan PPP tidak mampu mencapai PT 5 persen. Sekarang ini tidak terlihat adanya pembinaan kader. Sebaliknya partai justru berjalan sendiri-sendiri,” ujar dia
Begitu juga dengan wacana konfederasi. Konfederasi tersebut tidak akan berjalan efektif bagi parpol-parpol Islam karena ego politik dari masing-masing partai Islam untuk mengusung nama partainya sebagai leader. Selain itu, konfederasi mudah diucapkan, tapi pelaksanaannya tidak mudah akibat egopolitik tersebut.
“Ego masing-masing partai itu sangat tinggi, semuanya ingin menjadi imam dan tidak ada yang mau menjadi makmum. Jika harus berkonfederasi dengan PKS, maka dia nanti merasa paling besar perolehan suara yang ingin menjadi leader. Begitu juga dengan PPP ingin menjadi leader karena merasa paling tua,” jelas dia.
Ditanya sejauhmana kesiapan finansial PPP menghadapi 20014, Lukman secara tegas mengaku tidak mengetahui sejauh mana kesiapan PPP dalam hal keuangan tersebut.”Saya tidak tahu menahu. Masalah itu yang mengetahui adalah pejabat di PPP,” kata dia.
Namun begitu, pihaknya setuju jika biaya politik saat ini semakin mahal sehingga perlu dana yang cukup besar untuk memperoleh dukungan suara yang maksimal.
“Melihat kondisi itu, saya sependapat dengan pernyataan Pak Harto (mantan Presiden HM Seoharto-Red) yang menolak sistem distrik. Alasannya pemilu dengan sistem distrik mahal dan yang dipilih orang yang populer saja, sementara kualitas SDM belum tentu. Karena itu perlu ada refleksi mengenai model yang kita gunakan saat ini,” ujar dia. (ay)
Salah satu ormas pendukung PPP, Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) menilai kondisi yang terjadi di PPP saat ini adalah reformasi yang membunuh anaknya sendiri. Hal itu dikarenakan PPP yang seharusnya menjadi besar pasca-Orde Baru, justru mengalami kemerosotan yang luar biasa di era reformasi, yang merupakan era keterbukaan politik dan tidak ada lagi intimidasi kekuasaan maupun kekuatan dari parpol manapun.
“Jika ada istilah revolusi memakan anaknya sendiri, maka itulah yang terjadi di PPP, karena yang membuka kran keterbukaan pada waktu itu adalah PPP,” kata Ketua DPP Parmusi Lukman Hakiem kepada Pelita, di Jakarta, Rabu (1/12).
Lukman Hakiem mengatakan, kalau saat ini PPP mampu tetap bertahan di dalam perpolitikan di Tanah-Air, maka itu merupakan hal yang luar biasa. Sebab pada tahun 1999 para pengamat politik meramalkan PPP akan hancur mengingat elemen-elemen ormas Islam yang mendukung PPP satu persatu hengkang dan mendirikan partai sendiri.
Misalnya saja, NU mendirikan PKB, Muhammadiyah mendirikan PAN, dan Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Begitu juga dengan Syarikat Islam yang juga mendirikan partai sendiri.
Menanggapi krisis kepemimpinan di tubuh PPP, Lukman mengatakan, bergulirnya era reformasi sejak tahun 1998 lalu secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya perubahan geopolitik di Tanah-Air. Sebelum reformasi bergulir, masyarakat mendukung PPP atas dasar jihad. ”Pada saat itu ruh jihad seseorang mendukung PPP masih tinggi. Ini pun masih terjadi pada Pemilu 1999.”
Disisi lain, kata Lukman Hakiem, juga terjadi perubahan cara pandang di dalam diri pendukung PPP dari perjuangan amar ma’ruf kepada konsumerisme, hedonisme, dan pragmatisme.
“Ini mungkin ruhul jihadnya yang berkurang dibandingkan tahun 1977 dan 1982. Bahkan yang menyedihkan di dalam perhelatan muktamar ketika orang ingin menjadi ketua partai harus membawa duit yang banyak. Ini barangkali asas Islam hanya tinggal di atas kertas,” jelas dia.
Tentang langkah bai’at yang ditanamkan PPP untuk menanamkan militansi dan perjuangan keras bagi kader-kader partai, Lukman Hakiem mengatakan di tubuh PPP tidak dikenal istilah bai’at seperti yang ditanamkan Partai Keadilan Sejahtera kepada kader-kader mereka.
“Itu bedanya antara PPP dengan partai Islam lain seperti PKS. Kalau PKS merupakan partai yang dibentuk perorangan (kader), sedangkan PPP adalah ormas-ormas,”
Menanggapi kesiapan PPP dalam menghadapi Pemilu 2014 mendatang, Lukman Hakiem mengaku dirinya cemas dan pesimis terhadap kesiapan PPP dibandingkan partai lainnya. Pihaknya juga cemas terhadap capaian PPP dalam menghadapi parliamentary threshold (PT) 5 persen yang diperjuangkan partai-partai besar.
“Melihat kondisi saat ini dan ruh jihad yang menurun, saya khawatir dan pesimis. Jangan-jangan PPP tidak mampu mencapai PT 5 persen. Sekarang ini tidak terlihat adanya pembinaan kader. Sebaliknya partai justru berjalan sendiri-sendiri,” ujar dia
Begitu juga dengan wacana konfederasi. Konfederasi tersebut tidak akan berjalan efektif bagi parpol-parpol Islam karena ego politik dari masing-masing partai Islam untuk mengusung nama partainya sebagai leader. Selain itu, konfederasi mudah diucapkan, tapi pelaksanaannya tidak mudah akibat egopolitik tersebut.
“Ego masing-masing partai itu sangat tinggi, semuanya ingin menjadi imam dan tidak ada yang mau menjadi makmum. Jika harus berkonfederasi dengan PKS, maka dia nanti merasa paling besar perolehan suara yang ingin menjadi leader. Begitu juga dengan PPP ingin menjadi leader karena merasa paling tua,” jelas dia.
Ditanya sejauhmana kesiapan finansial PPP menghadapi 20014, Lukman secara tegas mengaku tidak mengetahui sejauh mana kesiapan PPP dalam hal keuangan tersebut.”Saya tidak tahu menahu. Masalah itu yang mengetahui adalah pejabat di PPP,” kata dia.
Namun begitu, pihaknya setuju jika biaya politik saat ini semakin mahal sehingga perlu dana yang cukup besar untuk memperoleh dukungan suara yang maksimal.
“Melihat kondisi itu, saya sependapat dengan pernyataan Pak Harto (mantan Presiden HM Seoharto-Red) yang menolak sistem distrik. Alasannya pemilu dengan sistem distrik mahal dan yang dipilih orang yang populer saja, sementara kualitas SDM belum tentu. Karena itu perlu ada refleksi mengenai model yang kita gunakan saat ini,” ujar dia. (ay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar