Dr. Johannes Leimena
Patriot dan Diplomat
Oleh: M. Natsir
Pengantar: Dari Ibu Asma
Faridah Natsir, salah seorang putri mantan Ketua Umum Partai Islam Masyumi,
mantan Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan
Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir (1908-1993), saya memperoleh foto
copy tulisan M. Natsir yang dimuat pada buku biografi Dr. Johannes Leimena.
Copy tulisan itu dikirim oleh A. Djauhar Leimena, atas nama Keluarga Besar Dr.
Johannes Leimena kepada Keluarga Besar M. Natsir melalui Asma Faridah Natsir.
Dalam surat pengantar tertanggal 23 Januari 2011, A. Djauhar Leimena antara
lain menulis: “Suatu phenomena di zaman
itu, terlepas dari aliran politik dan perbedaan agama, orang tua kita sangat
menghormati keberadaan satu sama lain, serta tetap menjaga persahabatan dan
tali silaturrahmi. Hal ini sudah jarang didapati di era sekarang ini.” Semoga
bermanfaat.
*****
DI
KALANGAN rekan-rekan dan anggota-anggota staf, ia biasa disebut dengan “Oom
Yo.” Ia senang dengan nama gelaran yang mengandung rasa keakraban itu.
Memang
sudah merupakan salah satu sifat dari Saudara Leimena, bahwa, bila mula-mula
berjumpa, orang merasakan seolah sudah lama berkenalan dengannya.
Dia
lihat kita dengan mata terbuka membundar, wajahnya yang tersenyum, dan dengan
kerenyut bibirnya yang membayangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan
kata ringkas: Leimena mempunyai kepribadian yang menarik.
Kami
pertama kali bertemu di Pegangsaan Timur 56, Gedung Proklamasi, di waktu itu
sibuk mengurus perawatan pejuang-pejuang kemerdekaan kita yang luka-luka dalam
pertempuran di sekitar Tangerang, di mana Dr. Leimena menjadi Direktur Rumah
Sakit Tangerang.
Hubungan
kami yang lebih erat ialah di waktu sama-sama duduk dalam Kabinet Sjahrir,
silih berganti, Kabinet Hatta, dan Kabinet Kesatuan yang pertama.
Resminya, Dr. Leimena
menjabat Kementerian Kesehatan. Tetapi sebagian besar pemikiran dan tenaganya
tertumpah kepada partisipasi dalam mengatasi persoalan-persoalan politik dan
diplomasi yang timbul silih berganti dalam masa revolusi fisik dan sesudahnya.
Orang tadinya
tidak menyangka bahwa seorang abiturient
dari sekolah dokter Stovia, antara lain memimpin rumah sakit tingkat kabupaten,
mempunyai bakat sebagai seorang diplomat yang diakui kemahirannya.
Baru saja Dr.
Leimena masuk kabinet, bakat berundingnya sudah terlihat dalam
perundingan-perundingan mengenai penyerahan tawanan perang kepada Komandan
Tentara Sekutu.
Dengan demikian
ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang militer kedua belah
pihak di mana ia dapat mendalami cara-cara berfikir mereka dan masalah-masalah
yang mereka hadapi.
Dalam
perundingan-perundingan seterusnya dengan pihak Belanda, dari perundingan
Linggajati (1946-1947) sampai ke Konferensi Meja Bundar (1949), Dr. Leimena
memberikan tenaganya dengan aktif juga di bidang yang mengenai ketentaraan.
Ia bisa
mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan perundingan dengan tenang dan
konsentrasi. Tapi satu kali ia bicara, orang merasakan bahwa ia benar-benar
menguasai persoalan yang dibicarakan, dan bahwa ia benar-benar sudah
“mengerjakan PR-nya”.
Ia rajin membaca,
dengan kemampuannya untuk mencernakan apa yang dibacanya yang besar sekali.
Bila orang masuk ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, orang segera
tertarik oleh lemari bukunya yang besar penuh dengan buku-buku. Bukan saja
buku-buku medis, tapi buku-buku di bidang sejarah, filsafat, politik,
bermacam-macam. Ada Goethe, ada Max Weber, ada Arnold Toynbee, ada yang
lain-lain.
Pihak Belanda
pernah memberinya julukan Meneer de
Dominee, lantaran cara-caranya yang lemah lembut. Sekalipun demikian, bila
datang saatnya kelemahlembutannya itu tidak menghalanginya untuk menyatakan
kepada lawan perundingan, pendirian delegasi Indonesia yang tegas-tegas.
Saya masih ingat
sewaktu, semasa Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan perundingan dengan
Belanda mengenai Irian Barat di Jenewa, Dr. Leimena duduk dalam delegasi di
bawah pimpinan Anak Agung Gde Agung.
Setelah beberapa
waktu perundingan bertele-tele, anggota Leimena berkata dengan caranya yang
khas itu, lebih kurang:
“.... Tuan-tuan. Pemerintah Indonesia yang sekarang itu
dan kami-kami ini termasuk orang-orang yang boleh dinamakan moderat. Tapi,
kalau Tuan-tuan biarkan kami pulang dengan tangan kosong, maka Tuan-tuan pasti
berhadapan dengan orang Indonesia yang lebih ekstrim!”
Dan kalau Meneer de Dominer sudah berkata secara tough itu, lawan perundingan tahu:
“Sudah pukul berapa hari sekarang.”
Dan memang apa
yang diperingatkannya itu terjadi. Semenjak delegasi pulang dengan tangan
kosong, Belanda berhadapan dengan Presiden Sukarno yang sudah dikelilingi oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ada juga satu
peristiwa yang agak lucu di waktu itu.
Sebagai salah
satu konsekwensi dari gagalnya perundingan mengenai soal Irian itu, Pemerintah
dan DPR mempersiapkan undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda, sesuai
dengan idam-idaman Bung Karno semenjak zaman Kabinet Natsir di tahun 1950,
waktu perundingan mengenai soal Irian itu gagal untuk pertama kalinya. Malah
waktu itu beliau ingin membatalkannya melalui pidato beliau sendiri dari Istana
Merdeka. Ini tidak pernah terjadi.
Tapi di waktu
Kabinet Burhanuddin Harahap mempersiapkan undang-undang pembatalan Unie itu,
Presiden Sukarno tidak bersedia menandatanganinya.
Kemudian sesudah
pemilihan umum pertama, Kabinet Ali Sastroamidjojo mempersiapkan lagi
undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda yang baru, dengan teks yang
serupa, barulah Presiden bersedia menandatanganinya.
Umum menafsirkan
bahwa beliau tidak ingin memberi “Kehormatan” pembatalan Unie itu kepada
kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, yang biasa dinamakan Kabinet
Masyumi itu, sesuai dengan nama partai Perdana Menterinya.
Sementara itu
krisis antara Indonesia dengan Belanda meningkat dari bulan ke bulan. Semua
kekayaan Belanda disita.
Rusia membantu
Indonesia dengan kapal-kapal perangnya yang sudah tua. Terjadilah konfrontasi
fisik (kalau belum dinamakan perang total), di daerah Irian dan sekitarnya di
mana Yos Sudarso tewas.
Krisis ini telah
dapat diakhiri dengan jalan diplomasi, setelahnya Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) campur tangan. Duta Besar Indonesia di Rusia, Adam Malik, dan Wakil Tetap
Indonesia di PBB, Sudjarwo,S.H., banyak berjasa dalam usaha penyelesaian soal
Irian ini.
Semasa Kabinet
Hatta (Kabinet Negara Republik Indonesia Serikat), terjadi pemberontakan di
Ambon dengan diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumukil cs.
Untuk mencari penyelesaian secara damai, Pemerintah Hatta membentuk satu missi
di bawah pimpinan Dr. Leimena, dan terkenal dengan nama Missi Leimena.
Soumokil cs tidak
bersedia menerima Missi Leimena.
Setelah segala
usaha untuk mencari penyelesaian secara damai, gagal, sedangkan laporan-laporan
yang sampai ke Pemerintah Pusat meyakinkan bahwa gerakan RMS itu sama sekali
tidak mendapat sambutan dari penduduk Ambon, malah rakyat Ambon menderita
penteroran dari serdadu-serdadu RMS, maka Kabinet Negara Kesatuan yang baru
saja dibentuk terpaksa mengambil tindakan militer berupa pengiriman pasukan TNI
ke pulau Ambon untuk memulihkan keamanan dan kesatuan negara, pada tanggal 28
September 1950.
Beberapa hari
sesudah operasi militer yang cukup singkat, berhasil, pergilah kami berdua ke
Ambon dengan kapal terbang tua merk Douglas yang berbangku panjang itu melalui
Makassar dan Namlea di pulau Buru.
Sekalipun
kehidupan sehari-hari belum dapat dikatakan normal, tapi seluruh pulau Ambon
sudah dapat dikuasai. Kami ucapkan selamat kepada komandan-komandan pertempuran
dan prajurit-prajurit atas berhasilnya operasi. Kami berziarah ke kuburan
Kolonel Slamet Riyadi yang tewas dalam pertempuran di Tahitu, dan adakan
pertemuan dengan pemuka-pemuka rakyat Ambon.
Dr. Leimena
adalah pemimpin yang tumbuh dari masyarakat dan berurat di dalamnya. Dia juga
seorang dokter yang tahu apa artinya diagnose
dan apa therapie. Ia dapat cepat
merasakan dengan peka, bahwa sesuatu peristiwa berupa tantangan kepada orde
yang sedang berlaku, baik yang sudah berupa tantangan fisik seperti yang
terjadi di Ambon itu, ataupun yang masih merupakan protes-protes, dan
pernyataan yang seringkali menjengkelkan fihak yang sedang berkuasa, semua itu
bersumber dari suatu proses psychologis yang sekarang ini –dengan bahasa
lunak—sering dinamakan “keresahan” batin, apapun yang menyebabkan keresahan
itu.
Jadi, tidak
selesai dengan menindak mereka yang “menyeleweng” atau yang resah itu secara
fisik dan juridis semata-mata. Kita tidak boleh semata-mata melayani gejala-gejala, dengan symptomatic approach, kata orang
sekarang. Tapi kita harus langsung melayani apa-apa yang menjadi sebab –dengan causal approach.
Oleh karena itu,
Dr. Leimena setelah ia mengkaji persoalannya, memerlukan membuat suatu analisa
dari peristiwa RMS itu disertai dengan satu Seruan
dari hati ke hati, diterbitkan berbentuk brosur berjudul: Soal Ambon – Satu Seruan.
Brosur tersebut
ditulisnya sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dari Dewan Gereja Sedunia
kepadanya pribadi yang tadinya kuatir, bahwa tindakan militer terhadap RMS di
pulau Ambon menyebabkan antara lain gereja Kristen tidak dapat menjalankan
pekerjaannya.
Ia berbicara
sebagai patriot dan pemimpin umat Kristen.
Dalam kata-kata
pengantarnya diterangkan antara lain:
“.... Oleh karena,
menurut hemat saya, Maluku dan kaum Kristen Maluku pada waktu sekarang
ini ada dalam ‘krisis rohani’ (geestelijke crisis)
saya merasa wajib sebagai seorang Indonesia yang berasal dari Maluku dan
sebagai anggota Gereja Kristen Indonesia, menunjukkan jalan yang kiranya harus
ditempuh oleh kaum Kristen maluku, dan di kemudian hari.”
Dengan nada khas
Leimene de Dominee, ia katakan:
“Mudah-mudahan suara ini tidaklah laksana suara seorang
penyeru di padang pasir. Barangsiapa yang mempunya mata, hendaklah ia melihat.
Barangsiapa yang mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar. Supaya ia mengerti
akan tanda-tanda sejarah yang baru di Indonesia ini....”
Disampaikannya
seruannya dengan kata-kata yang terang dan clear
cut: “Soal yang terpenting bagi orang
Kristen yang berasal dari Maluku (Ambon) ialah memeluk agama Kristen dan
juga menjadi seorang warga negara Indonesia.
Soal ini harus dipecahkan juga oleh Gereja di Maluku. Sampai pada waktu
sekarang Gereja ini bersikap agak ragu-ragu. Sebagian dari kaum Kristen Ambon
di Maluku dan di luar Maluku paham dan sadar akan jalannya sejarah Indonesia.
Mereka sebenarnya belum dapat melihat ke muka, tapi masih menengok kepada masa
yang lampau, seakan-akan mereka masih hankerring after the fleshpots of
Egypt.
“Pada hemat saya adalah satu kesalahan besar jika kaum
Kristen di Indonesia memisahkan dirinya daripada masyarakat Indonesia, seperti
sekarang terjadi di Ambon. Menurut paham saya, justru oleh karena orang Krsiten
Maluku harus hidup dan bekerja sebagai orang Kristen, haruslah ia juga seorang
warga negara Indonesia sejati. Pada saat ini, ketika sejarah memberikan
kesempatan kepada kaum Kristen turut serta menyempurnakan penyelenggaraan ‘one nation
building’ dan ‘one state building’, kaum Kristen tidak boleh mungkir dalam
pekerjaan yang penting ini. Hal ini penting juga bagi kehidupan Gereja pada
waktu sekarang dan di hari kemudian.”
Cukup tajam
kalimat-kalimat itu. Tapi bila keluar dari mulut Leimena, orang bisa
menerimanya dan merenungkannya.
Demikian sekadar
kutipan dari therapie yang diberikan
Dokter Leimena untuk menyembuhkan apa yang dinamakan “krisis rohani” segera
sesudah pulihnya keterlibatan fisik di Ambon bulan Oktober 1950, yang besar
sekali manfaatnya dalam pemulihan ketertiban lahir dan batin di daerah yang
baru kena bencana itu.
Dalam tahun
1950-an, Dr. Leimena memperlihatkan segi pribadinya sebagai pemimpin umatnya,
dengan tulisannya yang terkenal berjudul: “Kewarganegaraan yang
Bertanggungjawab”. Sifatnya educatif
dan mudah difahamkan. Sampai sekarang tulisannya tersebut menjadi pegangan bagi
para pengikut yang mencintainya.
Ditekankannya
dalam kata-kata penutupnya agar umat Kristen, sekalipun jumlahnya minoritas,
jangan merasa bahwa mereka warga negara kelas 2 atau kelas 3. Mereka mempunyai
hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, sebagai warga negara yang
bertanggungjawab.
Ringkasannya, Dr.
Leimena ingin membanteras inferiority
complex (merasa rendah diri) sekalipun umatnya minoritas dalam arti jumlah.
Memang, inferiority complex atau yang sebaliknya
yang disebut over compensation,
merasakan diri serba-ulung, penutup-nutup kelemahan diri yang sebenarnya,
bukanlah adviseur yang baik bagi
pribadi atau golongan warga negara yang manapun, yang minoritas ataupun yang
mayoritas dari segi jumlah.
Dapat dikatakan
bahwa di zaman itu dua partai Kristen, baik Partai Protestan (Partai Kristen
Indonesia) ataupun Partai Katolik, sekalipun ke luar dari pemilihan umum
sebagai partai-partai kecil, tetap memainkan peranan yang penting.
Dalam praktiknya,
siapapun yang memimpin kabinet, kedua partai itu ikut serta, sebagai tradisi
yang baik. Partai-partai yang besar ataupun kecil duduk bersama dalam kabinet
untuk menjalankan suatu program yang sama-sama sudah disetujui. Masing-masing
memandang Indonesia sebagai tanah airnya, dan sama-sama mempunyai kesempatan
untuk berkhidmat kepada tanah air. Cinta tanah air tidak dimonopoli oleh
pemimpin-pemimpin partai besar atau kecil.
Begitu cara-cara
di waktu itu.....
Dan Leimena
adalah seorang pemimpin yang memberi contoh sebagai seorang patriot Indonesia
terlepas dari perbedaan agama. Ia menghormati pendapat orang lain, di samping
kesetiaannya kepada pendapatnya sendiri, dan dalam segala keadaan dapat
memelihara kejujuran.
Begitu pribadi
Leimena sebagai Pemimpin dan Patriot.[]