Dari Partai Masyumi
ke Partai Muslimin
Catatan Kronologis[1]
Oleh: Lukman Hakiem
Sekretaris Majelis Pakar PP Parmusi
Masyumi Memilih Jalan yang Hak
Perkembangan politik di Tanah Air sejak
Presiden Sukarno mencanangkan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin[2], berkembang dan berubah
cepat. Kalangan politisi sipil dan militer di daerah yang tidak menyetujui
Konsepsi Presiden lantaran mengikutsertakan kaum komunis dalam Kabinet Karya,
bersekutu dalam sebuah gerakan yang kemudian melahirkan Perdjuangan Semesta
(Permesta) di Sulawesi, dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera.[3]
Tiga tokoh Partai Masyumi yaitu Mohammad
Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dan Mr. Boerhanoeddin Harahap, turut
dalam PRRI. Mengenai keikutsertaan Natsir dan dua koleganya dalam PRRI, George
Mc Turnan Kahin berpendapat bahwa salah satu dari sumbangan-sumbangan utama
Natsir kepada Tanah Airnya datang selama masa berjalannya PRRI. Menurut Kahin,
Natsir harus dihargai karena telah memberikan satu sumbangan penting kepada
pemeliharaan keutuhan teritorial Indonesia. Disokong oleh Sjafruddin dan
Boerhanoeddin, ia telah melakukan satu perjuangan yang pada akhirnya berhasil
di kalangan dalam PRRI untuk menghalang-halangi mereka yang lebih menyukai
pemisahan Sumatera dari Indonesia dan menjadi satu negara sendiri.[4]
Masyumi sendiri menyatakan baik pembentukan
Kabinet Karya di mana Presiden Sukarno menunjuk warga negara bernama Ir.
Sukarno sebagai formatur Kabinet maupun PRRI, sama-sama tidak konstitusional.
Sikap Masyumi yang sangat tegas itu rupanya tidak memuaskan selera politik
Presiden Sukarno yang mendesak Masyumi supaya mengutuk para anggotanya yang
terlibat dalam PRRI. Desakan tersebut tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh
Masyumi yang selalu melihat segala sesuatu dari sudut konstitusi.
Masyumi, kata Wakil Ketua III Pimpinan Partai
Masyumi hasil Muktamar IX, 1959, Mr. Mohamad Roem, tidak mau mengutuk
anggotanya karena anggota-anggota itu tidak bersalah kepada Masyumi, dan
andaikata mau mengambil tindakan, Masyumi harus menyelidiki dulu apa yang salah
(melanggar Masyumi). Jadi karena Masyumi tidak mau (mengutuk anggotanya –elha), maka Sukarno membubarkan Masyumi.
Partai Sosialis Indonesia (PSI), kata Roem, mau menyalahkan Soemitro
Djojohadikoesoemo dan mengeluarkan Soemitro dari PSI, tetapi keputusan itu
dirahasiakan. Tidak urung, PSI dibubarkan juga, sedangkan hubungan Soemitro
dengan kawan-kawan PSI sudah pecah sampai sekarang. “Andaikata Masyumi mengutuk
Natsir, Boerhan, dan Sjafruddin,” kata Roem, “maka tentu antara kita akan ada
perpecahan. Akan tetapi kita memilih jalan yang hak, meskipun Masyumi
dibubarkan, dan pemimpin-pemimpinnya masuk penjara selama 4 tahun 4 bulan.”[5]
Pilihan sikap politik Masyumi yang menolak
mengutuk anggotanyta, dua dasawarsa kemudian dipuji oleh Nurcholish Madjid.
“Dan seandainya pimpinan Masyumi dulu
mengutuk dan memecat rekan-rekannya yang terlibat dalam PRRI, tamatlah riwayat
Masyumi, baik pada dataran politik praktis maupun dataran etis-filosofis, dan
musnahlah sisa-sisa terakhir perjuangan menegakkan kultur politik yang sehat
itu dalam skalanya yang besar dan fundamental. Syukur alhamdulillah, hal itu
tidak terjadi.”[6]
Akibat keengganan Masyumi mengutuk para
anggotanya, jatuhlah palu godam politik berupa Keputusan Presiden No. 200 Tahun
1960 yang memerintahkan Masyumi untuk membubarkan diri atau, kalau tidak,
Masyumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Jika Kepres No. 200/1960 dibiarkan, resikonya
sangat besar. Masyumi akan jadi partai terlarang. Para pengurus dan anggotanya
mulai dari ranting sampai pusat mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta
kekayaan partai bukan mustahil akan dirampas. Maka Masyumi mematuhi Kepres No,
200/1960, seraya mengadukan perbuatan Pemerintah itu ke pengadilan. Secara
politis Masyumi dikalahkan, tetapi hati nurani hukum Masyumi tetap tidak bisa
membenarkan. Maka ditunjuklah Mr. Mohamad Roem menjadi kuasa hukum Masyumi
untuk menggugat Pemerintah di pengadilan. Dan pengadilan ternyata tidak mampu
menegakkan keadilan. Pengadilan menganggap pihaknya tidak berwenang mengadili
perkara Masyumi melawan Pemerintah, karena perintah pembubaran Masyumi
merupakan kebijakan politik.
Rehabilitasi Masyumi: Ikhtiar yang Gagal
Sesudah tumbangnya rezim Sukarno pasca
pemberontakan berdarah Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia,
lahirlah pemerintahan baru yang menyebut dirinya Orde Baru di bawah pimpinan
Jenderal Soeharto. Lahirnya Orde Baru membawa janji dan harapan bagi tegaknya
kebenaran dan keadilan. Hukum akan menjadi panglima, dan demokrasi akan tumbuh
subur.
Bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama
sejumlah eksponen Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dan alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Mashud Sosrohardjo, Deliar Noer, Ismail
Hasan Metareum, Ibrahim Madylao, Sulastomo, M. Daud Ali, dan Norman Razak
merancang pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Meskipun Rencana
Dasar, Program, dan Struktur PDII yang direncanakan akan dipimpin oleh Bung
Hatta itu sudah selesai disusun, PDII tidak dapat diwujudkan lantaran
Pemerintah tidak memberi lampu hijau.
Sementara itu, sejumlah tokoh Masyumi yang
berada di luar penjara menyambut kelahiran Orde Baru dengan melakukan
langkah-langkah ke arah rehabilitasi Masyumi. Kebetulan pada 9 Mei 1966
Panglima Daerah Militer Jakarta Raya Brigadir Jenderal Amirmachmud mengundang
sejumlah tokoh Masyumi ke rumahnya.[7] Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh tiga tokoh Masyumi: K.H. Faqih Usman, Anwar Harjono, dan H.
Hasan Basri untuk menyampaikan hal-hal di sekitar rehabilitasi Masyumi.
Melalui surat kepada Brigjen Amirmachmud,
ketiga tokoh Masyumi itu pada intinya menegaskan bahwa rehabilitasi Masyumi
bukan saja berarti memenuhi rasa keadilan berdasarkan hak-hak asasi manusia
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar, tetapi juga sekaligus akan dapat
meniupkan angin yang segar dalam kehidupan politik kita.
Gagasan merehabilitasi Masyumi ternyata hidup
juga di kalangan para pemimpin Masyumi yang baru dibebaskan dari penjara rezim
Sukarno seperti Mohammad Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito. Lantaran itu, surat
Faqih Usman, Anwar Harjono, dan Hasan Basri kepada Amirmachmud dijadikan modal
untuk menuntut rehabilitasi Masyumi secara lebih luas kepada Jenderal Soeharto.
Secara formal dibentuk Panitia Rehabilitasi Masyumi yang diketuai oleh Drs.
Sjarif Usman dengan dukungan berbagai organisasi kemayarakatan Islam yang belum
berafiliasi kepada sesuatu partai politik.
Pada 6 Oktober 1966, Ketua Umum Masyumi --saat
membubarkan diri—Prawoto Mangkusasmito berkirim surat kepada Ketua Presidium
Kabinet, Jenderal Soeharto, guna
menjelaskan posisi politik Masyumi. Surat Prawoto itu dilampiri surat Faqih
Usman cs kepada Amirmachmud. Korespondensi antara Prawoto dengan Soeharto
berlangsung sampai 20 Maret 1967.[8]
Dalam surat-suratnya, Prawoto antara lain mengingatkan
khalayak terhadap resolusi Musyawarah Nasional III Perhimpunan Sarjana Hukum
Indonesia (Persahi) yang menyatakan bahwa pembubaran Partai Masyumi, Partai
SosiaIis Indonesia (PSI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI),
yuridis-formil tidak syah, dan yuridis-materiil tidak beralasan. Lebih lanjut
Prawoto mengingatkan Soeharto: “Adalah suatu ironi yang sangat besar sekali,
bahwa Masyumi yang senantiasa mengajak supaya kita bersama berpegang teguh
kepada Undang-Undang Dasar 1945, sekarang ini digolongkan kepada yang telah
menyelewengkannya.”
Pada 6 Januari 1967, Soeharto menyurati
Prawoto. Surat itu pada pokoknya menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) tidak dapat menerima rehabilitasi Partai Masyumi. “Alasan-alasan
yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian
bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas Partai Politik Masyumi.”
Adapun mengenai bekas anggota Masyumi sebagai warga negara, Soeharto
menegaskan, “... tetap dijamin hak-hak demokrasinya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.”
Dengan jawaban Jenderal Soeharto itu,
pupuslah sudah harapan dan segala ikhtiar untuk merehabilitasi Partai Masyumi.
Partai Muslimin Minus Tokoh Masyumi
Dalam pada itu sejak Desember 1965, beberapa
organisasi sosial dan pendidikan Islam: Muhammadiyah, Jamiatul Washliyah,
Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo), Persatuan Islam (Persis),
Nahdhatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII),
Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Ummat Islam (PUI),
Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh se-Indonesia (Porbisi), Persatuan
Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan
Wanita Islam membentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin.[9]
Sesudah dipertimbangkan masak-masak oleh
seluruh pendukung rehabilitasi Masyumi, surat Jenderal Soeharto kepada Prawoto
Mangkusasmito mendorong semua yang hadir dalam rapat Badan Koordinasi pada 6
Mei 1967 untuk menyepakati keputusan membentuk wadah politik baru bagi umat
Islam yang belum tersalurkan aspirasi politiknya dalam sesuatu partai politik.
Wadah itu akan menampung bekas anggota Masyumi dan organisasi-organisasi
kemasyarakatan pendukung Masyumi yang oleh Jenderal Soeharto tegas dijamin
hak-hak demokrasinya.
Untuk mendukung keputusan rapat itu,
dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Partai Muslimin Indonesia atau yang
dikenal dengan nama Panitia Tujuh karena terdiri dari tujuh orang, yaitu: K.H.
Faqih Usman (Ketua), Anwar Harjono (Wakil Ketua), Agus Sudono (Sekretaris), Ny.
Sjamsuridjal (Anggota), H. Marzuki Jatim (Anggota), H. Hasan Basri (Anggota),
dan E.,Z. Muttaqin (Anggota).[10]
Pada 20 Juni 1967, Panitia Tujuh mengirim
surat kepada Pemerintah, menyampaikan
hasrat umat Islam untuk membentuk wadah politik baru yang akan
diperkenalkan dengan nama Partai Muslimin Indonesia.Pemerintah menyambut baik
hasrat itu. Pada 24 Juli 1967 dimulailah pertemuan antara Panitia Tudjuh dengan
Staf Pribadi Pejabat Presiden Soeharto yang dikuasakan untuk itu, yaitu Letnan
Jenderal Basuki Rachmat, Mayor Jenderal Alamsyah, dan Brigadir Jenderal
Soenarso. Setelah beberapa kali pertemuan, dicapai kesepakatan bersama untuk
mendirikan Partai Muslimin Indonesia.
Partai Muslimin yang dimaksudkan sebagai
rehabilitasi Masyumi secara de facto
itu memiliki asas dan tujuan sebagai berikut:
1.
Asas
Partai ialah Islam,
2.
Tujuan
Partai ialah bersama-sama dengan semua golongan warga negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa menegakkan dan membangun Negara Republik Indonesia atas landasan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat adil dan makmur yang
diridhai Allah.[11]
Sayangnya,
sekali lagi, cita-cita luhur itu pun kandas. Pada saat-saat terakhir proses
pembentukan Partai Muslimin, terdapat force
majeur (keadaan yang berada di luar kekuasaan) yang menyebabkan Partai
Muslimin tidak lagi menjadi karya bersama Panitia Tujuh dengan para pendukung
rehabilitasi Masyumi. Itu bermula dari sikap Pejabat Presiden Soeharto yang
menolak tampilnya tokoh-tokoh Masyumi dalam kepemimpinan Partai Muslimin.
“Mereka itu,” kata Soeharto, “boleh memimpin di belakang layar. Namun untuk
masa mendatang, apabila partai memanggil kongres dan pemimpin-pemimpin partai
Masyumi terpilih, maka hal ini merupakan masalah intern partai. Pada waktu itu
saya tidak akan campur tangan. Akan tetapi sekarang, sayalah orang yang bertanggungjawab.”[12]
Panitia Tujuh dan para pendukung rehabilitasi
Masyumi menganggap sikap Soeharto itu sebagai sikap sementara, yakni hanya pada
saat kelahiran partai saja. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
reaksi-reaksi yang tidak perlu. Akan tetapi, sesudah nanti Partai Muslimin resmi
dan syah hadir di tengah-tengah masyarakat, maka terhadapnya sepenuhnya berlaku
hak-hak yang melekat pada sesuatu partai politik dalam negara demokrasi.
Dengan keyakinan seperti itu, tidak
mengherankan jika susunan kepemimpinan Partai Muslimin mengalami tiga kali
perubahan sebelum akhirnya disyahkan melalui Keputusan Presiden No. 70 Tahun
1968 tertanggal 20 Februari 1968. Perubahan-perubahan itu menunjukkan betapa
sejak awal para pendukung Partai Muslimin dari kalangan Masyumi telah
menjauhkan sikap konfrontatif dengan Pemerintah. Mereka menaruh prasangka baik
bahwa di masa Orde Baru prilaku tidak demokratis dan menyimpang dari konstitusi
akan dibuang jauh-jauh. Demikianlah, maka pada susunan kepemimpinan Partai Muslimin
yang disyahkan Pemerintah, terlihat jelas betapa Partai Muslimin bersih dari
tokoh-tokoh Masyumi.
Dengan Kepres No. 70/1968, Partai Muslimin
Indonesia hadir dipimpin oleh duet Ketua Umum H. Djarnawi Hadikusumo dan
Sekretaris Jenderal H. Lukman Harun.
Dilema Partai Muslimin
Kenyataan di lapangan ternyata sangat berbeda
dengan kenyataan di atas kertas. Ketika Panitia Tujuh dan para pendukung
rehabilitasi Masyumi bersedia melakukan kompromi dengan Pemerintah untuk
menghilangkan sama sekali tokoh-tokoh Masyumi dari kepemimpinan Partai
Muslimin, di lapangan justru menunjukkan kesediaan masyarakat bergabung ke
dalam Partai Muslimin lantaran mereka berharap partai baru ini dipimpin oleh
para pemimpin Masyumi. Mereka hanya mau bergabung jika Partai Muslimin tumbuh
seperti dan dalam tradisi Partai Masyumi.
Sebuah pilihan sulit segera melilit.
Sementara tidak ada seorang pun yang menginginkan konfrontasi dengan
Pemerintah, di sisi lain tidak seorang pun yang menginginkan Partai Muslimin
lahir dan tumbuh tanpa ruh dan semangat Masyumi.
Dalam pada itu, duet kepemimpinan
Djarnawi-Lukman Harun sampai juga kepada kesimpulan bahwa Partai Muslimin tidak
akan mampu membuat landasan kuat yang didukung masyarakat tanpa keikutsertaan
para pemimpin Masyumi di dalamnya. Seorang tokoh pemuda di Sumatera Utara, seperti
dicatat Allan A. Samson, menegaskan pendiriannya: “Apabila Natsir atau Prawoto
tampil di sini untuk berbicara, maka kesetiaanlah yang akan mengikat hati umat,
tua atau muda. Tergantung pada nama-nama inilah (masa depan) Partai Muslimin.
Tidak ada seorang pun yang menyamai mereka.”[13]
Dengan suasana seperti itulah Partai Muslimin
memasuki Muktamar I di Malang, 2-7 November 1968. Dan seperti dikemukakan oleh
Wakil Ketua Panitia Tujuh, Anwar Harjono, “Dengan pertimbangan matang, kita
menganggap belum tepat waktunya bagi bapak-bapak tokoh Masyumi untuk tampil
kembali. Kita lalu menyepakati Pak Roem sebagai tokoh yang kita anggap moderat
dan kita duga bisa diterima oleh Pemerintah. Bagi kita, muktamar Partai
Muslimin hendaklah merupakan rehabilitasi Masyumi secara de facto.”[14]
Mr. Mohamad Roem sendiri sangat menyadari
posisinya sebagai salah seorang pemimpin Masyumi. Oleh karena itu, sebelum maju
ke Muktamar, Roem mengajukan syarat, Pertama,
Roem hanya akan tampil memimpin Partai Muslimin jika telah ada clearence dari Pemerintah.[15] Kedua, karena Roem masih sedang menulis buku, diharapkan tenaga-tenaga
yang lebih muda dapat tampil dalam kepemimpinan Partai Muslimin. Roem menyebut
beberapa nama Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), tetapi usul ini
tidak mendapat dukungan. Orang-orang tetap mendesak supaya Roem bersedia
menjadi Ketua Umum Partai Muslimin.[16]
Roem sungguh-sungguh mengambil sikap yang
sangat moderat. Kepada peserta muktamar Roem mengingatkan, tidak baik mengambil
sikap konfrontasi dengan Pemerintah. Sebab, walaupun itu bertentangan dengan
hak asasi, kalau Pemerintah sudah mengatakan tidak menerima, ini mesti
diperhatikan. Menurut Roem, partai politik itu mesti ada understanding dengan pemerintah. Tidak perlu bermusuhan. Tidak
boleh bermusuhan.[17]
Entah sikap moderat dan syarat yang diajukan
Roem tidak sampai ke telinga Pemerintah, atau memang Pemerintah tidak mau tahu,
beberapa jam sebelum penutupan Muktamar, datang telegram dari Sekretaris Negara
Mayor Jenderal Alamsyah yang mengatakan bahwa Pemerintah tidak dapat menerima
pencalonan Roem sebagai Ketua Umum Partai Muslimin. Fakta bahwa Roem termasuk
pemimpin kelas satu di Masyumi menyebabkan kemoderatannya yang bagaimanapun tidak
bisa diterima oleh ABRI.
Karena Ketua Umum terpilih tidak mendapat clearence dari Pemerintah, dan sambil
mengupayakan clearence dari
Pemerintah, maka kepemimpinan Partai Muslimin untuk sementara diserahkan
kembali kepada duet Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun.
Dalam usaha memperoleh clearence itu, Prawoto Mangkusasmito mengingatkan agar seluruh
warga Partai Muslimin bersikap sebagai seorang demokrat, jangan sekali-sekali
terseret kepada alam pikiran otokratis. Dan jangan sekali-sekali membikin clearence yang sudah tercapai dalam
keluarga Bulan Bintang menjadi pudar kembali.[18]
Harapan memperoleh clearence pernah muncul, ketika Mayjen Alamsyah meminta jasa baik
Mr. Sutan M. Rasjid untuk menyampaikan pesan kepada Roem bahwa Pemerintah
bermaksud memberikan clearence dengan
tiga syarat: Pertama, Mohammad Natsir
mengeluarkan suatu statement bahwa ia mendukung Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Kedua, agar Sjafruddin Prawiranegara
jangan mengeluarkan kecaman-kecaman terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Ketiga, agar Mohamad Roem mengeluarkan
keterangan bahwa suasana yang tenang lebih baik bagii menyelesaikan clearence, bukan suasana yang tegang.
Ketiga permintaan Alamsyah itu dipenuhi oleh Natsir, Sjafruddin, dan Roem.
Sesudah itu direncanakan sejumlah pertemuan
di rumah Mayjen Alamsyah, di rumah Bung Hatta, dan akhirnya di rumah Presiden
Soeharto.Yang direncanakan hadir dalam pertemuan-pertemuan itu Mayjen Alamsyah,
Mayjen Yoga Soegama, Mayjen Ali Moertopo, Mr. Sutan M. Rasjid, Mohammad Natsir,
Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, dan Mohamad Roem. Pertemuan
pertama dengan Alamsyah berhasil dilaksanakan, dan menimbulkan kesan baik.
Sesudah itu, Mayjen Soedjono Hoemardani minta bertemu Roem. Ditemani Ir.
Mohamad Sanusi, Roem bertandang ke rumah Soedjono Hoemardani. Kesan dari
pertemuan itu, juga baik, dan memberikan harapan.
Dalam suasana yang penuh harapan itu,
tiba-tiba dalam ceramah di hadapan para Pimpinan Wilayah Partai Muslimin
seluruh Indonesia, Soedjono Hoemardani mengatakan bahwa yang clear bagi Pemerintah ialah bahwa
Pemerintah tidak dapat mengakui Pimpinan Partai Muslimin yang dipilih oleh
Muktamar di Malang.[19]
Suasana dikalangan keluarga Bulan Bintang
yang menurut Prawoto sudah clear
(jernih), kembali menjadi clauded
(berkabut). Harapan agar secara de facto
keberadaan Partai Muslimin menjadi pengganti Partai Masyumi pupus. Harapan itu pun makin pupus ketika duet kepemimpinan
Djarnawi-Lukman yang relatif dengan keluarga Bulan Bintang, pada 17 Oktober
1970 dikudeta oleh Jaelani Naro, Imran Kadir, dan kawan-kawan.[20] Dan Soeharto kembali
turun tangan “menyelamatkan” Partai Muslimin dengan mengangkat H.M.S.
Mintaredja menjadi Ketua Umum Partai Muslimin.
Ketidaksukaan Orde Baru kepada tokoh-tokoh
Masyumi tidak berhenti pada penihilan Partai Muslimin dari ruh dan semangat
Masyumi seperti diuraikan di atas, tetapi juga berlanjut kepada pelaksanaan
pemilihan umum (pemilu) 1971.
Dekat menjelang pelaksanaan Pemilu 1971,
Ketua Umum Partai Muslimin Mintaredja, atas nama Presiden Soeharto,
memberitahukan kepada pimpinan Partai Muslimin bahwa jika pemilihan umum jadi
dilaksanakan, maka sejumlah orang dari Partai Muslimin tidak akan diperbolehkan
untuk dipilih. Mereka itu tidak boleh dicalonkan. Mereka itu dikenakan
“karantina politik.” Belakangan keterangan Mintaredja itu dikonfirmasi oleh
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Dalam suatu pidato, Amirmachmud mengatakan
bahwa ada 2.500 orang dari bekas Partai Masyumi/PSI tidak boleh ikut serta
dalam pemilihan umum.[21]
Perdebatan segera marak. Akan tetapi
perdebatan itu berhenti ketika Daftar Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diumumkan pada 14 Maret 1971. Dalam daftar calon Partai Muslimin tidak terdapat
nama-nama Mohammad Natsir,Mohamad Roem,
M. Yunan Nasution, Mr. Kasman Singodimedjo, Boerhanoeddin Harahap, dan
lain-lain.
Sejak saat itu, tokoh-tokoh Masyumi resmi
disingkirkan dari wilayah politik. “Mau tidak mau,” kata Anwar Harjono, “kita
tidak bisa lagi berkiprah. Bukan tidak mau, tetapi memang peluangnya sudah
ditutup.”[22]
Teladan dari Tokoh-tokoh Masyumi
Apakah para tokoh Masyumi itu patah arang?
Ternyata tidak. Seperti dituturkan oleh Juru Bicara Partai Masyumi, Anwar
Harjono, meskipun mereka tidak masuk dalam kepengurusan Partai Muslimin, tetapi
tokoh-tokoh Masyumi itu tetap memberikan dukungan kepada Partai Muslimin.
“Kalau ada pelantikan atau musyawarah Partai Muslimin di daerah, saya sering
diminta datang,” tutur Anwa Harjono.[23]
Kelak ketika Partai Muslimin bersama Partai
Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam
PERTI memfusikan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dukungan
tokoh-tokoh Masyumi kepada partai yang di dalamnya terdapat kader-kader Partai
Muslimin itu, tidak juga surut. Menjelang Pemilu 1977 dan Pemilu 1992, Mohammad
Natsir menyatakan dukungannya kepada PPP dan menyerukan agar umat Islam dan
generasi muda mencoblos PPP.
Tokoh Masyumi yang lain, Mr. Kasman
Singodimedjo, pada Pemilu 1977 aktif menjadi juru kampanye PPP. Dia kampanye
berkeliling Indonesia, padahal Kasman bukan pengurus atau calon anggota
legislatif dari PPP.
Inilah pelajaran penting dari tokoh-tokoh
Masyumi yang harus diteladani oleh kita semua. Untuk perjuangan, mereka tidak
pernah berhitung untung dan rugi. Seperti diungkapkan oleh Roem, duduk di dalam
pemerintahan atau di luarnya, sama saja. Di dalam atau di luar pemerintahan,
fungsinya sama yaitu berbakti kepada bangsa dan negara.
Wallahu’alam
bi al shawab.
Sukabumi,
Sya’ban 1347
M e i 2016
[1]
Bahan untuk Workshop Dakwah
Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Cisarua-Bogor, 27-29 Mei 2016.
[2]
Kritik terhadap Konsepsi
Presiden dan Demokrasi Terpimpin antara lain datang dari Mohammad Hatta. Pada
tahun 1960, tidak lama sesudah Presiden Sukarno membubarkan Majelis
Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum 1955, Wakil
Presiden I itu membuat tulisan berjudul “Demokrasi Kita” dan dimuat di Majalah Pandji
Masyarakat.Dalam tulisannya itu Hatta antara lain mengungkapkan realita
pemerintahan yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi
yang sebenarnya. Akibat memuat tulisan Hatta, Pandji Masyarakat dilarang
terbit. Keluar pula larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan “Demokrasi
Kita”. Lihat “Demokrasi Kita” dalam Nina Pane (Editor), Mohammad Hatta Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Jakarta,
Penerbit Buku Kompas, 2015, halaman 265-288.
[3] Serangkaian tulisan mengenai Permesta
dan PRRI lihatlah Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (Editor), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa
dalam Pusaran Sejarah, Jakarta, Harian Republika, 2011, terutama Bagian
Kedua “Dekade Pergolakan Daerah”, halaman 83-218.
[4] Lihat George McTurnan Kahin,
“Mohammad Natsir” dalam George McTurnan Kahin dan Lukman Hakiem, PRRI: Pergolakan Daerah atau Pemberontakan?,
Jakarta, Panitia Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir Pemikiran dan
Perjuangannya dan Media Dakwah, halaman 20-21.
[5]
Laksmi Pamuntjak dkk
(Penyunting), Tidak Ada Negara Islam
Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta, Penerbit
Djambatan, 1997, halaman 67.
[6] Laksmi Pamuntjak dkk (Penyunting), ibid, halaman 85.
[7] Tokoh-tokoh Masyumi yang diundang
ialah K.H. Faqih Usman, Anwar Harjono, H. Hasan Basri, H. Abdullah Salim, H.
Ghazali Sjahlan, H. Ahmad Buchari, Sulaiman Dahlan, dan Murtadho Ahmad. Lihat
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari
Keadilan dan Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H., Jakarta, Media
Dakwah, 1993, halaman 217.
[8]
Surat menyurat antara Prawoto
Mangkusasmito dengan Jenderal Soeharto dapat dilihat dalam S.U. Bajasut dan
Lukman Hakiem (Editor), Alam Pikiran dan
Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2014.
[9] K.E. Ward, The Fondation of The Partai Muslimin Indonesia, Ithaca-New York,
Cornell University, 1970, halaman 69.
[10]
Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan
Iman-Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, halaman 180.
[11]
Anwar Harjono, ibid, halaman 184.
[13]
Allan A. Samson, “Angkatan
Bersenjata dan Ummat Islam di Indonesia” dalam As-Siyasah No. 3 Tahun I, Mei 1975.
[14] Lukman
Hakiem, op cit, halaman 230-231.
[15]
Mr. Kasman Singodimedjo
keberatan dengan istilah clearence
dari Pemerintah. Menurut Kasman, mestinya yang tepat adalah clearence dengan Pemerintah. Lihat
Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70
Tahun Pejuang Perunding, Jakarta, Bulan Bintang, 1978, halaman 100.
[16] Soemarso Soemarsono, ibid, halaman 99.
[17]
Soemarso Soemarsono, ibid, halaman 99.
[18]
S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem
(Editor), op cit, halaman 312.
[19]
Tentang berbagai ikhtiar untuk
memperoleh clearence, lihatlah
Mohamad Roem, Setahun Sesudah Muktamar,
Jakarta, PT. Kramat Empat Lima, 1969.
[20]
Dalam statementnya, J. Naro
menyebut kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo memusuhi ABRI. Naro dan kawan-kawan
mengumumkan diri sebagai Panitia Penyusun Pimpinan Partai Muslimin. KAMI, 19 Oktober 1970. Abadi, 20 Oktober 1970.
[21]
Soemarso Soemarsono, op cit, halaman 101.
[22] Lukman Hakiem, op cit, halaman 233.
[23] Lukman Hakiem, ibid, halaman 232.