Mengenang
66 Tahun Pernyataan Roem-van Roijen
Oleh: Lukman Hakiem
PADA
19 Desember1948, pagi-pagi buta, tentara Belanda menyerbu ibu kota Republik
Indonesia, Yogyakarta, menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta, dan sejumlah menteri. Serangan militer juga dilakukan Belanda tehadap
ibu kota Sumatera Tengah, Bukittinggi.
Bagi Belanda, serangan militer, pendudukan ibu kota dan penangkapan
pimpinan pemerintahan RI, memang dimaksudkan untuk mengakhiri riwayat RI yang
kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Dalam situasi genting, para pemimpin Ri tidak kehilangan
akal sehat. Di tengah deru pesawat tempur Belanda yang menyerang Yogya,
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta memimpin
sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota, dan
memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang
ketika itu sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat di
Sumatera. Mandat yang lain diberikan kepada dr. Sudarsono, LN. Palar, dan AA.
Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat, jika ikhtiar
Sjafruddin di Sumatera tidak berhasil.
Dari PDRI ke Resolusi DK
PBB
Segera
sesudah mendengar kabar didudukinya ibu kota Yogyakarta dan ditawannya para
pemimpin Republik, Sjafruddin yang tidak pernah mengetahui adanya mandat untuk
membentuk pemerintahan darurat, menemui Komisaris Pemerintah Pusat untuk
Sumatera (Kompempus, sekarang Gubernur), Mr. T.M. Hasan guna menyampaikan
pendapatnya tentang kemungkinan kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan
dampak negatif di dalam maupun di luar negeri, dan karena itu perlu segera
dibentuk pemerintahan darurat untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam
keadaan bahaya.
Sebagai
seorang ahli hukum, pada mulanya Hasan menolak gagasan Sjafruddin. Apalagi
Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera tidak ada yang memegang mandat untuk membentuk
pemerintahan. Akan tetapi, tanggung jawab terhadap kelanjutan perjuangan
kemerdekaan telah mengatasi pertimbangan hukum. Maka pada 19 Desember 1949
sore, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu pemerintahan darurat.
Disepakati pula pemerintahan darurat itu akan dipimpin oleh Sjafruddin sebagai
Ketua, dan T.M. Hasan sebagai Wakil Ketua.
Eksistensi
PDRI bukan saja diakui oleh para pemimpin Republik, termasuk Panglima Besar
Jenderal Sudirman di Jawa, tetapi juga pesan-pesan yang disampaikannya melalui
pesawat radio berpengaruh positif terhadap tingkatan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Siaran radio PDRI yang sampai di New Delhi, mengilhami pemimpin
India, Jawaharlal Nehru, untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna
memberi dukungan kepada Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari
Afghanistan, Australia, Arab Saudi, Birma (kini Myanmar), Ethiopia, India,
Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina, Sri Langka, dan Yaman sebagai
peserta. Ada pun wakil-wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Nepal,
Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau. Dalam Kongres itu,
Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri PDRI, AA. Maramis, dan Wakil Tetap
RI di PBB, dr. Sudarsono.
Konferensi
mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya untuk
memulihkan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahirlah
Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 yang pada pokoknya meminta
Belanda menghentikan agresi militer, membebaskan para pemimpin RI yang ditahan,
dan kembali ke meja perundingan.
Pernyataan Roem-van
Roijen
Belanda
yang semakin terjepit posisinya, melalui Wakil Tertinggi Ratu Belanda di
Indonesia, Dr. Beel, mencoba mengelak dari kewajiban mematuhi Resolusi DK-PBB.
Dia menawarkan “Rencana Beel” yaitu mengundang para pemimpin Indonesia yang
saat itu semuanya sudah dikumpulkan di Bangka, untuk datang ke Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, langsung dari Bangka.
Rencana Beel itu ditolak. Para pemimpin RI menuntut supaya sebelum KMB
dilaksanakan, kedudukan Republik Indonesia dipulihkan lebih dulu.
Sikap
para pemimpin RI di Bangka itu didukung oleh para pemimpin lain yang tidak
ditawan seperti Dr. Darmasetiawan, Dr. Halim, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh
itu mengingatkan supaya para pemimpin di Bangka tidak meninggalkan PDRI, dan
menjadikan berdirinya pemerintahan RI di Yogyakarta sebagai kartu penting dalam
perundingan dengan Belanda.
Mr. Mohamad
Roem yang sejak Linggajati sampai Renville terlibat dalam proses perundingan
dengan Belanda, gigih mempertahankan garis perjuangan itu. Ketika Ketua Komisi
Tiga Negara (KTN), Merle Cohran, mengundang Belanda dan Indonesia untuk memulai
perundingan di Jakarta pada 30 Maret 1949, Roem menolak. Menurut Roem, jika
undangan KTN dipenuhi sebelum Belanda menyetujui pemulihan RI di Yogya, itu
akan menimbulkan kesalahpahaman yang besar sekali. Karena itu Roem menegaskan,
dirinya hanya bersedia untuk membicarakan lebih dulu secara detail segi-segi
praktis pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta.
Setelah
tidak mampu mengelakkan desakan internasional, akhirnya atas inisiatif KTN,
perundingan Belanda dengan Indonesia dimulai di Jakarta pada 14 April 1949.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen, dan delegasi Indonesia
dipimpin oleh Roem.
Berbeda
dengan van Roijen yang dalam pidato di awal perundingan bernada lemah lembut,
Roem berpidato tegas dan keras; “Agresi militer Belanda yang kedua telah
mengakibatkan hlangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi
berhasilnya suatu perundingan damai,” kata Roem seraya mengingatkan: “Resolusi
DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus
berupa pemulihan pemerintahan RI di Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain
bisa dibicarakan kemudian.”
Wakil
Ketua Delegasi RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dari Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang partainya selalu bersikap keras terhadap Belanda, menyebut pidato Roem
pada pembukaan perundingan, “agak seram.”
Perundingan
yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu menghasillkan Pernyataan van Roijen-Roem (van Roeijen-Roem Statement) sebagai
sebuah “Pernyataan Permulaan mengenai Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia
ke Yogyakarta.”
Pada
penutupan perundingan, Roem lebih dulu berpidato. Roem antara lain mengatakan
bahwa dirinya selaku Ketua Delegasi RI diberi tugas oleh Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi,
sesuai dengan Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 dan Pedoman Pelaksanaan
tanggal 23 Maret 1949. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan
berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik
Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.
Sesudah
itu van Roijen berpidato menyampaikan persetujuan Pemerintah Belanda untuk
memulihkan Pemerintah RI di Yogyakarta, menghentikan segala kegiatan militer,
membebaskan semua tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948,
membatasi pembentukan negara-negara bagian di daerah Republik sampai pada
keadaan sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan memperluas dengan yang
baru di daerah-daerah tersebut, serta akan berusaha keras melaksanakan KMB
untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang nyata dan sempurna kepada Negara
Indonesia Serikat.
Atas
dasar Pernyataan Roem-Roijen itulah, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta,
Presiden dan Wakil Presiden serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan
ke Yogya, dan itu berarti Pemerintahan RI berfungsi kembali sebagaimana
mestinya.
Mengenai
kembali ke Yogyakarta sebagai prasyarat pelaksanaan KMB, Roem yang turut
ditangkap dan dibuang ke Bangka mengatakan: “Kami secara fisik lemah di Bangka
itu, tetapi sekembali kami di Yogyakarta kami bisa mengatur kembali kekuatan
kami dan rakyat, dan seterusnya mengatur kembali daerah-daerah yang lain.”
Yogya Kembali, Yogya
Menanti
Sebagai
salah satu episode dari bagian akhir
revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia
internasional secara utuh dan menyeluruh atas kedaulatan Negara Republik
Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang
sangat penting bagi kelanjutan eksistensi negara RI. Bagi Mohamad Roem,
Pernyataan itu telah menempatkan tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa
Tengah itu, dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang
senafas dengan nama pribadinya.
Meskipun
demikian, Pernyataan Roem-van Roijen menyisakan masalah di kalangan para
pemimpin dan pejuang. PDRI sebagai pemegang kendali pemerintahan yang riil
selama Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri ditawan oleh Belanda,
merasa ditinggalkan. Dalam kata-kata Sjafruddin ketika menulis untuk Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang-Perunding:
“Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah
atas permintaan Sukarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden karena sedang
dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang
lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’ (Mei 1949). Dia berani berbicara,
seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI-lah pada waktu itu satu-satunya
Pemerintah yang sah”
Panglima
Besar Jenderal Sudirman yang dalam keadaan sakit memimpin perang gerilya, tidak
terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam
Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Sudirman, penggunaan istilah itu seolah-olah
menganggap Angkatan Perang RI hanya sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan
kedua pemimpin perjuangan itu, tentu menggelisahkan. Jenderal TB. Simatupang
dalam bukunya yang kini menjadi klasik, Laporan
dan Banaran, mencatat, setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,
kini Yogya menunggu kedatangan dua pemimpin-pejuang: Sjafruddin Prawiranegara
dan Jenderal Sudirman.
Kedatangan
Sjafruddin dan Sudirman bagi para pemimpin yang telah berada di Yogyakarta
sangat crusial. Bukan saja untuk
kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya
yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno-Hatta ditawan
Belanda? Dan sekarang, “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya bukan
karena keputusan mereka. “Yogya kembali” adalah hasil perundingan antara
Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi
berkuasa.
Akan
tetapi, Sjafruddin dan Sudirman ternyata kembali juga ke Yogyakarta. Kedua
pemimpin itu telah menunjukkan kualitas dan integritas pribadinya dengan berani
meninggalkan kepentingan subjektif, dan
memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama.
Sjafruddin
Prawiranegara dan Jenderal Sudirman memilih kembali ke Yogya, demi keutuhan
perjuangan.
Pembentukan
PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan Yogya kembali; memperlihatkan dengan
jelas corak pilihan yang diambil oleh para pemimpin pendahulu kita setelah
suasana dilematis teratasi, yakni sebuah ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the etics of power).
Seperti
dicatat pakar sejarah Taufik Abdullah, ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu
tercermin dari kalimat pendek yang diucapkan Ketua PDRI, Sjafruddin
Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI tidak mempunyai
pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala akibat yang
ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Jejak Politisi Masjumi
Pembentukan
PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen, dan kelak Mosi Integral M. Natsir yang
memulihkan bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS} ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan saja merupakan episode terakhir revolusi
kemerdekaan, tetapi juga menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat
paling kritis bagi eksistensi RI, para politisi Muslim dari Partai Masjumi
telah memberikan peran yang sangat signifikan.
Bangsa
ini semestinya mencatat dengan tinta emas peranan Mr. Sjafruddin Prawiranegara,
Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir.
Akan
tetapi, masihkah bangsa ini mengingat Pernyataan Roem-van Roijen dengan Mohamad
Roem sebagai aktor utamanya?
Wa
Allahu ‘alam bi al shawab.[]
Bahan
bacaan:
- Soemarso
Soemarsono, Mohamad Roem 70 Tahun
Pejuang Perunding, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
- Lukman
Hakiem dan Mohammad Noer (ed), Mr.
Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah,
Jakarta, Harian Republika, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar