Jalan
Mrican Gang Sambu Tiga[1]
Oleh: Lukman Hakiem[2]
Dalam
dinamika kehidupan kemahasiswaan di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP, kini Universitas Negeri Yogyakarta, UNY) Karangmalang, khususnya
dinamika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di lingkungan Koordinator Komisariat
(Korkom) IKIP Yogyakarta mulai 1979 sampai awal 1990-an (?), sebuah rumah di
Jalan Mrican Gang Sambu No. 3, tentu tidak boleh diabaikan.
Rumah permanen dengan tiga kamar
tidur, dua kamar mandi, dan satu dapur tempat memasak itu pertama kali disewa
oleh pengurus HMI Korkom periode 1978/1979 di bawah kepemimpinan Saudara
Sudirman (Fakultas Keguruan Teknik, FKT) untuk dimanfaatkan menjadi Kantor
Sekretariat sekaligus pusat kegiatan HMI di lingkungan Korkom.
Sebelum menyewa rumah di Sambu 3,
sekretariat HMI Korkom dan Komisariat di lingkungan IKIP menyebar mengikuti
tempat kos Ketua atau Sekretaris. Beruntung, HMI Komisariat Fakultas Keguruan
Ilmu Sosial (FKIS) punya alumni yang baik hati, sehingga bisa “berkantor” di
rumah alumni, Mas Ekram Prawiro di Demangan Kidul. Ketika Pak Dochak Latief
menyewa rumah untuk usaha percetakannya di Jl. Narada 4. Komisariat FKIS pun
acap berkegiatan di situ. Kebetulan salah seorang senior Komisariat FKIS yang
juga Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogya, M.S. Abbas, ngekos di kamar depan rumah
tempat percetakan Pak Dochak itu.
Akbar
Tanjung Membantu
Korkom menyewa rumah tersebut selama
satu tahun. Dari mana uangnya? Pada pertengahan 1970-an itu, test masuk
perguruan tinggi diselenggarakan sendiri oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan. Kenyataan itu “dimanfaatkan” oleh pengurus HMI di lingkungan
Korkom IKIP untuk menyelenggarakan bimbingan test masuk IKIP Yogyakarta.
Soal-soal test masuk tahun
sebelumnya diperbanyak (distensil) untuk dijual kepada para calon mahasiswa.
Pada waktu yang ditentukan, soal-soal test tersebut dibahas bersama dengan
bimbingan para aktivis senior HMI, baik yang masih mahasiswa maupun yang telah
menjadi dosen muda. Para calon mahasiswa
baru yang telah membeli soal-soal test tersebut dipersilahkan untuk mengikuti
pembahasan bersama secara cuma-cuma (gratis).
Entah karena gratis, atau karena
bimbingan testnya yang berkualitas, bimbingan test HMI sangat diminati oleh
para calon mahasiswa IKIP. Tidak heran jika penyelenggaraan bimbingan test
selama 2-3 hari itu diselenggarakan di sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri
(PHIN, sekarang Madrasah Aliyah Negeri) di Terban, di sekolah Pendidikan Guru
Agama (PGA, kini MAN) di Jalan K.H.A. Dahlan, di SMP Muhammadiyah Kompleks
Colombo, dan di berbagai sekolah lain. Semua ruang kelas di sekolah-sekolah
tersebut penuh terisi oleh peserta bimbingan test HMI.
Oleh karena panitia dan seluruh
tutor tidak ada yang diberi honorarium, kecuali sekadar minum dan makan nasi
bungkus, maka sesudah dipotong dengan biaya operasional pendapatan dari
bimbingan test cukup besar untuk membiayai kegiatan organisasi.
Komisariat-komisariat itu kemudian menyisihkan sebagian dananya untuk urunan menyewa rumah di Sambu 3 itu.
Tentu saja Korkom pun turut pula urunan.
Ketika saya didaulat untuk menjadi
Ketua Korkom, pekerjaan rumah pertama adalah memperpanjang kontrak. Waktu itu,
uang sewa per tahun Rp 90.000,00. Saya berencana mengontraknya minimal dua
tahun. Tidak enak meminta terus ke Komisariat, bersama Saudara Zainal Abidin MZ
(Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta, FKIE), saya pergi mencari dana ke Jakarta.
Masih jelas dalam ingatan saya, dari Ketua Umum DPP KNPI, Akbar Tanjung, kami
memperoleh bantuan Rp 100 ribu. “Untuk sewa sekretariat satu tahun Rp 90 ribu,
sisanya untuk uang makan dan ongkos kalian pulang ke Yogya,” ujar Ketua Umum PB
HMI periode 1971-1974 itu. Untuk uang sewa satu tahun lagi, kami mendapatkannya
dari sejumlah alumni yang lain, dan urunan dari Komisariat. Alhamdulillah!
Ingin
Jadi Orang Baik
Oleh karena uang sewa Sambu 3
diperoleh dari urunan Komisariat, pada mulanya
yang tinggal di situ adalah utusan resmi Komisariat. Mereka diutus untuk
tinggal di Sambu 3 secara gratis. Pada
periode awal, hanya tiga Komisariat yang mengirim utusan. Di kamar depan utusan
dari Komisariat FKT yaitu Saudara Haryadi, Saudara Shalahuddin, Saudara Joko
Mujiono, dan Saudara Bambang PS. Di kamar tengah, utusan dari FKIS yaitu
Saudara Muhibbah Nasruddin, dan saya. Di kamar belakang, utusan dari Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) yaitu Saudara Hasbi Asshiddiqie, dan Saudara Subakti Parbu.
Karena kamar tidur terletak
berjejer, maka ruang tamu jika disambung dengan teras dan ruang belakang,
lumayan luas juga. Di ruang itulah, berbagai aktivitas Komisariat atau Korkom
dilakukan, mulai dari rapat-rapat, diskusi, shalat jama’ah, lomba memasang
dasi, dan kalau malam menjadi ruang tidur para aktivis yang kemalaman atau
malas pulang.
Meskipun utusan Komisariat yang
tinggal di Sambu 3 dipergilirkan, pada kenyatannya beberapa penghuni tetap
tinggal di Sambu 3 sampai mereka menyelesaikan studinya. Tentu saja dengan
membayar uang kontrak sendiri. Belakangan, ketika keuangan Komisariat dan
Korkom tidak terlalu kuat lagi, maka semua penghuni membayar sendiri. Anehnya
meskipun membayar sendiri, dan relatif selalu terganggu, karena aktivitas
Komisariat dan Korkom tetap dipusatkan di sana, penghuni Sambu 3 tetap ramai,
malah bertambah.
Penghuni baru yang masih saya ingat
antara lain Dardiri Dahlan, M. Yusuf, Yanuarto, Yuskardi, Zainal Arifin, M.
Jamal, Asrori, Priyo Abdurrahman, Abdurrahman Palopo, Chamim Prawiro, Parjono, dan Taufik Nugroho; sementara para
penghuni lama yang sudah habis mandatnya tetap tinggal di Sambu 3. Ketua Dema
IKIP Yogya periode 1977/1978, Said Tuhuleley tergoda juga untuk tinggal di
Sambu 3. Ada juga beberapa kader yang hanya datang di waktu malam untuk numpang
tidur. Pagi-pagi, entah mandi dulu atau tidak, pendatang malam itu pergi untuk
kembali nanti malam.
Kelak, ketika pemilik rumah menambah
bangunan di sayap kanan, salah seorang penyewa adalah mahasiswa Fakultas Teknik
Sipil Universitas Atmajaya, Saudara Sudarto. Ketika diberitahu bahwa rumah itu
berfungsi sebagai pusat kegiatan HMI, sehingga kemungkinan bakal mengganggunya,
Sudarto malah menjawab: “Justru karena saya ingin jadi orang baik, maka saya
memilih menyewa kamar di sini.” Berbelas tahun kemudian, jika ada kegiatan buka
puasa bersama aktivis Sambu 3 di Jabotabek, beberapa kali Sudarto menjadi tuan
rumah.
Belakangan, aktivis HMI Cabang
Yogyakarta non-IKIP seperti Hidayat Tri (UGM), Hidayat Sayekti (UII), dan
Suharsono (UII) betah pula tinggal di
Sambu 3.
Sentilan
Cak Nun
Di sebelah kanan rumah, terdapat
tanah kosong yang cukup luas milik Pak Dukuh yang masih keluarga pemilik rumah.
Pak Dukuh yang baik hati itu, mempersilahkan penghuni Sambu 3 dan HMI
menggunakan tanah kosong tersebut. Maka, selain digunakan oleh penghuni Sambu 3
sebagai tempat olahraga bulu tangkis dan sepak takraw, di hari-hari tertentu
tanah kosong tersebut digunakan pula untuk kegiatan HMI menyambut hari-hari
besar Islam dan nasional. Beberapa kali Komisariat dan Korkom memanfaatkan
tanah kosong tersebut untuk pertandingan olah raga, lomba balap karung, dan
tabligh akbar.
Dalam rangka menyambut Tahun Baru
Hijriah 1400 yang digadang-gadang sebagai abad kebangkitan umat Islam, Korkom
menyelenggarakan tabligh akbar mengundang aktivis Masyumi, Mohammad Darban, dan
meminta Emha Ainun Nadjib membacakan puisi-puisinya. Alhamdulillah acara
berjalan sukses, dan masyarakat tumpah ruah mendatangi acara tersebut.
Cak Nun yang terkenal dengan pikiran
bebas dan celetukannya, sebelum membaca puisi menyentil gerakan mahasiswa yang
saat itu sedang giat menentang konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pasca penangkapan
tokoh-tokoh mahasiswa dan pembubaran Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa.
Cak Nun antara lain mengatakan sekarang para
mahasiswa bicara idealisme, tapi lihatlah 5-10 tahun lagi apakah idealismenya
itu masih ada? Sebenarnya itu warning
yang biasa-biasa saja, akan tetapi teman-teman aktivis yang hadir malam itu,
keberatan dengan sentilan Cak Nun yang meragukan idealisme mereka. Agak emosional, mereka hendak bereaksi. Saya
dan Pak Said menenangkan dan mencegah. Alhamdulillah, teman-teman itu masih mau
mendengar “nasihat” kami berdua. Dan acara malam itu berlangsung meriah, aman,
dan lancar, tanpa sesuatu insiden.
Entah bagaimana, peristiwa malam itu sampai
ke Bandung. Aktivis mahasiswa ITB yang sesudah pemilihan umum 1977 turut mendeklarasikan
terbentuknya DPR Sementara --menggantikan DPR hasil pemilihan umum 1971 yang
oleh Ketuanya, K.H. Dr. Idham Chalid dinyatakan demisioner-- Roel Sanre, datang ke Sambu 3 mengklarifikasi
info yang dia terima dan mengajak saya untuk bertemu dengan Cak Nun. “Anda
harus islah dengan Cak Nun,” kata Roel. Saya cuma ketawa, karena tidak merasa
ada yang perlu diislahkan.
Mengenang
M. Rusli Karim
Di Sambu 3 itulah minat, bakat, dan
penalaran dikembangkan. Di Sambu 3 itu setiap malam Minggu akhir bulan, saya
dan M. Rusli Karim, di bawah sinar lampu
petromaks (saat itu Sambu 3 belum berlistrik), bertelanjang dada begadang
sampai subuh mempersiapkan (baca: mengetik di kertas stensil) bulletin/majalah Sosio terbitan HMI Komisariat FKIS.
Bermula dari sinilah saya dan Rusli mengembangkan kemampuan menulis, dan
diam-diam kami “bersaing”. Jika tulisan Rusli dimuat di suatu media, ketika
ketemu di Fakultas, dari jauh dia sudah berteriak: “Luk, tulisan saya dimuat di
koran nih. Ayo, Anda menulis dong.” Lain kali, ketika tulisan saya dimuat di
suatu media, saya menunjukkannya kepada Rusli Karim.
Kelak, Rusli Karim dikenal sebagai penulis
yang produktif. Ratusan tulisannya muncul di berbagai koran, majalah, dan
jurnal ilmiah. Puluhan bukunya diterbitkan. Beberapa bukunya, terutama mengenai
politik Indonesia kontemporer, sampai hari ini masih menjadi referensi.
Suatu malam, di tengah asyik mengetik
bahan-bahan Sosio, saya berkata
kepada Rusli. “Rus, kita ini aneh. Orang-orang itu malam Minggu pergi pacaran,
kita malah kerja bakti.” Dengan serius, seperti biasanya, Rusli menjawab:
“Pacaran itu manfaatnya cuma 20%.” Sampai sekarang saya tidak tahu, apa dasar
hitungan Rusli mengenai manfaat pacaran yang hanya 20% itu.
Sampai Rusli Karim menghembuskan
nafas terakhirnya, persahabatan kami tetap terjaga. Perjalanan hidup membawa
saya ke Jakarta, dan Rusli tetap di Yogya menjadi tenaga pengajar di FKIS. Setiap
kali ke Jakarta, Rusli pasti menyambangi saya di kantor majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, di Jalan Kramat Raya 45, baik untuk sekadar melepas kangen
atau untuk diskusi serius mengenai isu tertentu. Oleh karena itu pula, jika ke
Yogya, saya pun menyempatkan diri mengontaknya, dan dengan antusias Rusli
menjemput saya dari penginapan untuk diajaknya ke kantor penerbitan tempatnya
bekerja. Ketika dia baru saja membeli rumah di Perumahan Nogotirto, dengan
riang gembira dia mengajak saya ke rumahnya.
Ketika menulis disertasi mengenai HMI MPO
(Majelis Penyelamat Organisasi), beberapa kali dia mendiskusikan dan
mengklarifikasi materi disertasinya kepada saya. Barangkali itu sebabnya secara
khusus dia memberi saya naskah disertasi yang sudah dijilid rapi. “Sebelum
diuji, tolong Anda baca dan koreksi dulu naskah disertasi ini.” Manusia
merencanakan, Allah subhanahu wa ta’ala
juga yang Maha Menentukan. Sebelum naskah itu selesai saya baca, M. Rusli Karim
berpulang ke rahmatullah.
Suatu hari telepon di kantor saya berdering.
Dari ujung sana terdengar suara Pak Said Tuhuleley.[3]
Dengan suara bergetar, Pak Said memberi kabar bahwa M. Rusli Karim dirawat di
RS. Panti Rapih. “Kondisinya kritis,” kata Pak Said, “Kesadarannya terus
menurun, dan dia selalu menyebut nama Anda. Kalau bisa, Anda datanglah
menjenguk Rusli. Mungkin usianya tidak lama lagi,” ujar Pak Said. Tidak terasa
mata saya basah. Sangat ingin saya terbang ke Yogya untuk menemui sahabat karib
saya itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian Pak Said kembali menelepon,
memberi kabar bahwa M. Rusli Karim sudah berpulang ke rahmatullah. Allahummaghfilahu warhamhu wa’afihi
wa’fu’anhu.
Pusat
Aktivitas Politik Mahasiswa
Sebagai pusat aktivitas HMI di lingkungan
Korkom, Sambu 3 juga menjadi pusat “aktivitas politik” mahasiswa IKIP Yogya.
Sebagai “partai tunggal” di Kampus
Karangmalang, HMI menempatkan kader-kadernya di hampir semua posisi penting di
lembaga kemahasiswaan. Tidak hanya di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan
Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa; kader-kader HMI
juga menempati posisi penting di Resimen Mahasiswa. Rochmiyati dari FIP,
sekadar menyebut salah seorang contoh, adalah aktivis Menwa yang kelak terpilih
menjadi Ketua Korps HMI Wati Cabang Yogya. Falatehan anggota Menwa yang pernah
dikirim ke Gurun Sinai, adalah aktivis HMI Komisariat FKT. Kader-kader HMI juga
aktif di dalam kegiatan kemahasiswaan yang bersifat pengembangan bakat dan
kegemaran seperti Kelompok Pencinta Alam, group musik, dan kelompok teater.
Dengan kenyataan itu, maka posisi Korkom
menjadi amat sentral. Hampir semua isu kemahasiswaan di IKIP, diperbincangkan
dan diatur taktik dan strateginya di Sambu 3. Jika ada hal-hal yang krusial,
Ketua Korkom memanggil kader-kadernya yang duduk di lembaga kemahasiswaan, dan
kader-kader itu dengan senang hati memenuhi undangan itu ke Sambu 3.
Dari Sambu 3 dirumuskan desakan kepada Rektor
agar membangun Masjid Kampus. Dari Sambu 3 dirumuskan rancangan kegiatan
Karangmalang Ramadhan ketika pertama kali kegiatan Ramadhan itu diselenggarakan.
Dari Sambu 3 direncanakan rute takbir keliling di malam Idul Adha, dan
penyembelihan kurban keesokan harinya. Dari Sambu 3 dirancang cara “menyambut”
kedatangan Menteri Muda Urusan Pemuda, dr. Abdul Gafur yang akan membuka
seminar yang digagas oleh Senat Mahasiswa FIP. Di Sambu 3 juga dibicarakan
sikap menghadapi kedatangan Presiden Soeharto ke Kampus Karangmalang.
Pendek kata tidak ada satu pun kegiatan
kemahasiswaan yang tidak dibicarakan di Sambu 3, baik resmi maupun tidak resmi.
Dengan nada agak terdengar sombong, dapatlah dikatakan, pada masanya, Sambu 3
adalah lokomotif gerakan keislaman dan kemahasiswaan di Kampus IKIP Karangmalang.
Di lingkungan HMI Cabang Yogyakarta, peran
Sambu 3 pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Menghadapi Konferensi Cabang
(Konferca), misalnya, Korkom mengundang semua pimpinan Komisariat di lingkungan
IKIP untuk mendiskusikan dan merumuskan program apa yang akan ditawarkan oleh
Korkom IKIP ke Konferca. Berdasarkan rumusan program yang ditawarkan,
ditetapkanlah kriteria orang yang dianggap cocok untuk menjalankan program itu.
Dari situ muncul peringkat nama-nama calon Ketua Umum HMI Cabang. Tentu saja
calon di peringkat pertama menjadi prioritas untuk diperjuangkan.
Diskusi menghadapi Konferca itu bisa
berlangsung 3 sampai 4 kali. Hasil diskusi diperbanyak dan dibagikan kepada
seluruh peserta Konferca.
Kreatif
Merancang Kegiatan
Nama Sambu 3 makin diperhitungkan di blantika
kemahasiswaan, bukan saja karena banyaknya aktivitas HMI di sana, tetapi juga
karena para penghuni Sambu 3 kreatif merancang kegiatan.
Selain mentradisikan shalat Maghrib berjama’ah
--dengan imam Saudara Muhibbah yang bacaannya fasih dan suaranya merdu, dan
karena itu kami menggelarinya Ustadz-- warga Sambu 3 juga mentradisikan kuliah
tujuh menit (kultum) sesudah shalat Maghrib. Penyaji kultum dipergilirkan di
antara warga Sambu 3. Jika kebetulan Maghrib itu ada tamu, maka sang tamu
diberi kehormatan untuk menyampaikan kultum. Uniknya, jika dalam kultum ada
sesuatu yang menarik perhatian, secara spontan terjadi diskusi.
Belasan tahun kemudian, salah seorang mantan
warga Sambu 3 berbisik kepada saya, “Bang, dulu kalau sudah dekat giliran
memberi kultum, saya grogi. Karena grogi itu, saya mencari bahan.
Alhamdulillah, berkat tradisi kultum di Sambu 3 itu, ilmu saya bertambah.”
Setiap malam Jum’at, warga Sambu 3
menyelenggarakan diskusi dengan topik-topik yang telah ditentukan. Diskusi ini
tidak hanya diikuti oleh aktivis HMI. Diskusi juga memberi kesempatan kepada
aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), atau aktivis yang dikenal
berhaluan sosialis, untuk mengemukakan gagasannya. Karena diselenggarakan
setiap malam Jum’at, maka group diskusi ini populer dengan nama Group Diskusi
Maju.
Tradisi lain yang dikembangkan oleh warga
Sambu 3 ialah mengundang tokoh politik, tokoh organisasi kemasyarakatan, dan
para cendekiawan untuk berceramah dan berdiskusi di Sambu 3. Maka, tokoh-tokoh dari
luar Yogya seperti H.M. Sanusi (generasi awal HMI, mantan Menteri Perindustrian
Ringan, salah seorang penandatangan Petisi 50), H. Lukman Harun (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah), M. Habib Chirzin (Pondok Pabelan), Hidayat Nataatmadja (IPB),
Abdullah Hehamahua (Ketua Umum PB HMI 1979-1981), Komaruddin Hidayat (aktivis
HMI Ciputat, kelak Rektor UIN Ciputat), dan Heri Akhmadi (mantan Ketua Dewan
Mahasiswa ITB) pernah duduk lesehan berdiskusi di Sambu 3.
Tentu saja kaum cendekiawan Yogya seperti
Ahmad Syafii Maarif, Afan Gaffar, Dochak Latief, Hussein Ahmad, Kuntowijoyo, M.
Adaby Darban, M. Amien Rais, Sahirul Alim, dan Saifullah Mahjuddin paling
sering diajak duduk lesehan di Sambu 3.
Dari kalangan perempuan, yang telaten
memenuhi undangan Kohati ke Sambu 3 antara lain Ny. Hadiroh Ahmad Muhsin, Ny.
Susi Kuntowijoyo, Nahiyah, dan Chairunnisa (kini dosen di Universitas Muhammadiyah
Jakarta).
Manis
dan Pahit
Tidak syak lagi, semua aktivitas warga Sambu
3 itu telah menambah wawasan. Juga meninggalkan kesan manis dan pahit. Bagi
yang kreatif seperti Hadi Supeno (FIP, saat tulisan ini dibuat: Wakil Bupati
Banjarnegara), diskusi di Sambu 3 bisa pula mendatangkan uang. Selesai diskusi
Bung Peno diam-diam menyelinap ke kamar, tak-tek-tok dia mengetik. Jadilah
reportase diskusi yang dikirimnya ke Kedaulatan
Rakyat. Besok atau lusa, reportasenya muncul di KR. Tentu saja ada
honorarium untuk pemuatan reportese itu, Saya tidak ingat, apakah honorarium
tulisannya itu dibagikan kepada warga Sambu 3 atau tidak.
Entah berbagai honor atau tidak, mendapat
rizki dari aktivitas Sambu 3, bagi Bung Peno tentu merupakan kenangan manis.
Kenangan manis lain, pada hari Minggu warga
Sambu 3 biasa masak dan makan bersama
dengan menu sederhana: telur dadar, sambal, dan lalab rebus gambas. Sederhana
menunya, tapi karena makan bersama di ruang tengah, nikmatnya luar biasa.
Kenangan pahit pernah saya dan Ustadz
Muhibbah alami pada suatu Ramadhan. Sambu 3 yang belum berlistrik, jarak dengan
masjid yang agak jauh, dan tetangga yang masih jarang, membuka peluang untuk
terlambat bangun. Apalagi, tidur kami malam itu agak larut malam. Saat
terbangun, bergegas saya pergi ke dapur untuk menanak nasi. Ketika nasi hampir
matang, Ustadz Muhibbah menghidupkan radio, dan berkumandanglah suara adzan
Subuh dari RRI Yogya. Kompor langsung saya matikan. Bukan soal tidak bersantap
sahur yang saya sesalkan. Soal nasi yang hampir matang itu lho!
Kenangan yang lebih pahit dialami oleh Bung
Yanuarto. Sahabat kita yang berasal dari Purbalingga itu tentu tidak mungkin
melupakan kenangan pahit yang dialaminya di Sambu 3 ketika pada suatu dinihari,
saat sedang nyenyak tidur dia dibangunkan untuk ditangkap tentara, gara-gara
bersama Bung Yaminuddin, Bung Peno, dan lain-lain mendemo Rektor St. Vembiarto
yang telah menskors tiga mahasiswa selama satu tahun hanya karena tidak berdiri
saat Presiden Soeharto memasuki ruangan acara peresmian gedung Rektorat dan
gedung FKT bantuan dari Bank Dunia.
Supaya tidak makin banyak kenangan yang
terbongkar, baiknya saya akhiri saja tulisan ini.
Wa
Allahu a’lam bi al shawab.
Sukabumi, Sya’ban 1436
Mei 2015
[1] Tulisan ini dibuat berdasarkan ingatan untuk memenuhi
permintaan teman-teman Korps Alumni HMI IKIP/UN Yogyakarta yang sangat
bersemangat itu. Mohon maaf jika tidak semua tokoh dan persistiwa tercatat
dalam tulisan ini. Mohon maaf juga jika tulisan ini berlebihan atau terlalu
banyak kekurangannya. Mudah-mudahan tulisan ini memprovokasi teman-teman sesama
aktivis HMI Korkom IKIP Yogyakarta khususnya, aktivis HMI Cabang Yogyakarta
umumnya, untuk menulis sejarahnya lebih lengkap lagi.
[2] Ketua Himpunan Mahasiswa Islam
Koordinator Komisariat Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (HMI Korkom IKIP)
Yogyakarta periode 1979-1980.
[3] Sejak dulu saya menyapa Said
Tuhuleley dengan sapaan Pak. Pada masanya, sapaan itu lazim saja di kalangan
mahasiswa IKIP. Mungkin karena sadar bakal menjadi guru, maka kepada sesama
mahasiswa kami saling menyapa dengan “Pak” atau “Ibu”. Belakangan, ketika
dinamika perjuangan mahasiswa melawan rezim Orde Baru meningkat, sapaan itu
berubah menjadi “Bung”. Sampai sekarang, misalnya, saya biasa menyapa Ketua
Korkom sesudah saya, Yaminuddin dan Hadi Supeno dengan sapaan Bung Yamin dan
Bung Peno.