Berdakwah dengan Pena, Kata-kata, dan Perbuatan
Oleh Lukman Hakiem
MOHAMMAD YUNAN NASUTION (22 November 1913-29 November 1996) adalah tokoh kelahiran
Kampung Botung, Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara; yang sejak usia
muda sudah sangat menyadari pentingnya ikhtiar mencerdaskan kehidupan umat dan
bangsa. 17 tahun sebelum Indonesia merdeka dan merumuskan janji kemerdekaan
seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”,
Yunan telah tampil ke depan mendirikan pers-biro Himalaya di Bukittinggi. Melalui pers-biro ini, Yunan ingin apa
yang terjadi di masyarakat masa penjajahan, tidak hanya menjadi masalah orang
perorang atau sekadar menjadi isu lokal, melainkan dapat diketahui oleh kalangan yang lebih
luas. Yunan percaya satu-satunya cara untuk menyebarluaskan penderitaan
masyarakat di masa penjajahan itu ialah melalui tulisan. Dan Yunan memiliki
kemampuan merumuskan pikirannya dalam bentuk tulisan.
Aktivitasnya mewartakan
penderitaan masyarakat jajahan secara lisan dan tulisan, membuat pemerintah
kolonial Belanda marah. Pada Agustus 1933, Yunan ditangkap, diadili, dan
dijebloskan ke penjara selama 4 bulan. Karena Yunan dipenjara, maka pers-biro Himalaya --yang selama satu setengah
tahun telah tampil sebagai pers-biro kaum pergerakan—goyah sebelum akhirnya
berhenti sama sekali.
Pedoman Masjarakat
Keluar dari penjara,
Yunan terkena larangan tinggal di Bukittinggi. Dia hijrah ke Medan. Di Medan,
bersama A. Wahid Er dan H. Madjid Abdullah, Yunan menerbitkan majalah Soeloeh Islam. Majalah yang terbit sejak
awal 1934 sampai pertengahan 1935 itu mengunjungi pembacanya sepuluh hari
sekali atau tiga kali dalam satu bulan. Sasaran Soeloeh Islam ialah para intelektual Muslim yang diharapkan dapat
memengaruhi proses pengambilan keputusan, karena para intelektual Muslim waktu
itu banyak menjadi pegawai negeri dan swasta.
Sejak iulah nama M.
Yunan Nasution lekat sebagai salah seorang tokoh pers nasional. Menjelang akhir
1935, Yunan diserahi tanggung jawab mengatur seluruh isi majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan
sejak 1935, dan yang telah berubah dari majalah bulanan menjadi majalah
mingguan.
Sejak 1936 Yunan berduet
dengan sahabat karibnya, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) membesarkan
majalah yang memiliki motto: “Memajukan pengetahuan dan peradaban bedasarkan
Islam”.
Sejumlah penulis
berkualitas muncul di Pedoman Masjarakat,
antara lain Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, A.R. Sutan Mansur,
Saaduddin Djambek, Abikusno Tjokrosujoso, K.H. Mas Mansur, A. Hasymi, Joesoef
Souy’b, A. Latif Osman, Dr. A.K. Gani, Mr. Mohammad Yamin, Dr. G.S. Ratu
Langie, Dr. R. Ng. Purbatjaraka, Dr. Satiman Wirjisandjojo, Dr. Soepomo, Parada
Harahap, Dr. M. Amir, Rasuna Said, Ny. Sri Mangunsarkoro, Ny. Maria Ulfah, dan
Nadimah Tanjung.
Pedoman Masjarakat yang berbobot itu harus mengakhiri riwayatnya
seiring dengan masuknya tentara pendudukan Jepang. Namun Yunan dan HAMKA tidak
berputus asa. Di masa sangat sulit itu, kedua sahabat itu menerbitkan media
sebagai ajang silaturahmi berupa majalah setebal 24 halaman dan diberi nama Semangat Islam. Setelah menjalin
silaturrahmi selama dua tahun dengan pembacanya, Semangat Islam berhenti terbit karena terlampau ketatnya sensor
balatentara Jepang.
Wartawan Muslimin
Indonesia
Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan, Yunan bersama A. Wahab Siregar, M. Saleh Umar, dan Udin Siregar;
mendirikan harian Mimbar Umum di
Medan. Selanjutnya bersama Mahals mendirikan Islam Berdjuang, juga di Medan. Sesudah Republik Indonesia Serikat
(RIS) kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Yunan aktif
dalam harian Abadi, organ resmi
Partai Masjumi, sampai koran tersebut diberangus oleh rezim Sukarno.
Sesudah rezim Sukarno
tumbang digantikan oleh rezim Soeharto, Abadi
terbit kembali, Yunan pun kembali aktif di Abadi
sampai koran penyuara kebenaran itu diberangus oleh rezim Soeharto pada 1974
menyusul huru-hara di Jakarta pada 15 Januari 1974.
Tidak mau absen dalam
menyebarluaskan pikirannya kepada masyarakat luas, sebagai Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, Yunan menerbitkan Bulletin Dakwah yang khusus berisi
masalah-masalah dakwah dalam arti luas. Bulletin
Dakwah yang terbit dengan satu judul tulisan setiap hari Jum’at beredar dan
seolah menjadi bacaan wajib jama’ah masjid dari Sabang sampai Merauke.
Tidak berhenti sampai
pada pengelola majalah, Yunan pun aktif dalam pembentukan dan kepengurusan
Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) sebagai Sekretaris Jendral. Wamusi
bertujuan: 1. Mempertinggi dan mempertahankan derajat persuratkabaran Islam di
Indnesia, dan 2. Mempertahankan dan mensyiarkan Islam. Dengan tujuan seperti
itu, Warmusi menjadi pembela profesi wartawan Muslim, menggerakkan dan menuntun
generasi muda Muslim yang berminat menjadi wartawan, dan menganjurkan aksi
bersama jika terhadap hal-hal yangf melukai perasaan kaum Muslim.
PNI, Parmusi,
Masjumi
Sejak awal, Yunan adalah
jurnalis-pejuang yang prokemerdekaan. Oleh karena itu, ketika beberapa saat
sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berdiri Partai Nasional
Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal,
Yunan masuk dan menerima pengangkatannya sebagai Wakil Ketua PNI Daerah
Sumatera Timur. Yunan melihat PNI sebagai satu-satunya partai yang berawawasan
Nusantara serta, melihat susunan pengurusnya, bisa diharapkan membawa aspirasi
Islam.
Meskipun demikian,
kepada publik Yunan mengumumkan sikapnya jika suatu saat berdiri partai politik
yang berasas Islam yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, dia akan keluar
dari PNI dan masuk ke partai politik Islam tesebut.
Setelah mendengar
Maklumat Wakil Presiden Nomor X, tertanggal 16 Oktober 1945 yang diumumkan pada
3 November 1945, menganjurkan rakyat Indonesia untuk membentuk partai politik
sesuai dengan aspirasinya masing-masing, Yunan bersama M. Dien Jatim, Bachtiat
Junus, dan lain-lain segera mendirikan Partai Muslimin Indonesia, disingkat
Parmusi. Parmusi bersifat lokal dan hanya bergerak di Sumatera Timur.
Ketika datang berita bahwa Kongres Umat Islam
Indonesia di Yogyakarta, 7-8 November 1945, telah membentuk Partai Politik
Islam Masjumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam
Indonesia, Parmusi pun meleburkan diri ke dalam Masjumi. Pada 6 Februari 1946,
Masjumi resmi berdiri di Sumatera Timur. Yunan tercatat sebagai salah satu
pengurus Partai Masjumi Sumatera Timur.
Sejak saat itu, nama M.
Yunan Nasution lekat dengan Masjumi. Ketika pada masa kepemimpinan Mohammad
Natsir (1956-1958), Yunan dipilih menjadi Sekretaris Umum Partai Masjumi, karir
politik Yunan pun beranjak dari “politisi lokal” menjadi “politisi nasional”.
Posisi sebagai Sekretaris Umum Partai Masjumi tetap dipecayakan kepada Yunan
ketika kepemimpinan Masjumi dipegang oleh Prawoto Mangkusasmito.
Penjara Rezim
Sukarno
Aktivitasnya di dalam
Masjumi tidak hanya mengantarkan Yunan ke posisi-posisi strategis di dalam
pentas politik nasional, tetapi juga mengantarkannya –bersama sejumlah tokoh
Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia-- ke balik terali besi rezim Orde
Lama Sukarno sejak 16 Januari 1962 sampai 17 Mei 1966, tanpa pernah diadili
karena dasar hukum penangkapannya pun tidak jelas.
Penjara memang bukan
tempat yang nikmat, tetapi Yunan menghadapi musibah itu dengan dasar keimanan
yang melahirkan optimisme. Di tembok selnya, Yunan menulis keyakinannya
berdasarkan ajaran Qur/an bahwa umat-umat yang dahulu telah silih berganti
mengalami bangkit dan jatuh; bahwa Tuhan akan mempergilirkan hari-hari
kehidupan manusia dengan kalah dan menang; bahwa Tuhan akan memberikan
pertolongan kepada penegak-penegak keadilan, dan bahwa kemenangan yang
dijanjikan Tuhan sudah dekat.
Menurut Yunan, dalam
kehidupan politik, peristiwa yang demikian (dipenjara tanpa alasan yang jelas)
haruslah ditinjau dengan scoupe yang
luas dan tidaklah sewajarnya meninggalkan bekas perasaan dendam dan lain-lain
sifat yang serupa itu. Semua itu mengandung iktibar dan pelajarn bagi semua
pihak, dan bagi pihak yang bersangkutan dan menderita, harus dipandang sebagai
mata rantai darma bakti kepada negara.
Dengan sikap demikian,
selepas dari penjara Orde Lama, tidak pernah terdengar dari Yunan khususnya,
dan dari tokoh-tokoh Masjumi umumnya, kalimat-kalimat yang menghujat Presiden
Sukarno. Ketika Sang Proklamator meninggal dunia, HAMKA –yang juga dipenjara
oleh rezim Sukarno—mengimami shalat jenazah. Bekas tahanan rezim Orde Lama yang
lain, Mr. Kasman Singodimedjo, turut mengantar jenazah Bung Karno hingga ke
tempat pemakaman di Blitar, Jawa Timur.
Selesai dengan
Dirinya
Sebagai seorang
bekas Sekretaris Umum Partai Masjumi, yang ikhtiarrehabilitasi partainya
ditolak oleh penguasa Orde Baru, kelak tulisan, ceramah, dan khutbahnya bukan
saja disimak oleh Keluarga Besar Bulan Bintang dan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia; tetapi juga menembus dinding-dinding kekuasaan Orde Baru. Suatu saat
M. Yunan Nasution terlihat memberi khutbah di Proyek Senen, di saat yang lain
Yunan memberi tausiah Kedutaan Besar
Republik Indonesia di sebuah negara sahabat, di saat yang lain lagi Yunan
bereramah di markas Komando Daerah Militer Jakarta Raya, dan disimak dengan
khidmat oleh Panglima. Hanya seseorang yang memiliki kematangan jiwa yang dapat
berlaku bijak seperti itu. Hanya seseorang yang telah selesai dengan dirinya
yang dapat istiqamah berdakwah dengan pena, kata-kata, dan perbuatan.
Kisah kehidupan M. Yunan Nasution adalah sebuah kisah
perjuangan mulia yang penuh pahit dan getir, bahkan harus ditebus mahal
dengan kebebasannya. Bangsa ini perlu mengingat jejak-jejak perjuangannya serta
meneladani pengorbanan dan jasa beliau yang amat besar.
Jakarta, Shafar 1435/Desember 2013
Lukman Hakiem adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009.