Menyimak Pemikiran dan Perjuangan
Mr. Mohamad Roem (1908-1983)
Oleh: Lukman Hakiem
I
MOHAMAD ROEM (lahir di Temanggung16 Mei 1908, wafat di Jakarta 24 September
1983), anak keenam dari pasangan Dulkarnen Djojosasmito dan Siti Tarbijah.
Kepala Desa Klewongan, Parakan,Temanggung ini sangat khas dalam memberi nama
kepada anak-anaknya. Si sulung, perempuan, diberi nama Muti’ah. Anak kedua dan
berikutnya diberi nama Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali, Mohamad Roem, dan Siti Chatidjah.
Urutan nama
anak-anaknya itu menunjukkan kepedulian Dulkarnaen kepada agamanya. Meskipun,
pengetahuannya mengenai Islam tidak terlalu tinggi, tetapi apa yang difahami
diterapkannya di dalam kehidupan. Untuk anak-anaknya, Dulkarnaen mendatangkan
seorang guru ngaji untuk mengajari anak-anaknya pengetahuan dan pemahaman
mengenai Islam.
Roem menempuh pendidikannya
di Sekolah Rakyat (Volksschool), HIS (Hollandsch Inlandsche School), pada 1924
masuk STOVIA (School ter Opleiding voor
Indiesche Arts –Sekolah untuk mendidik dokter pribumi) di Jakarta. Pada
1927, setelah selesai pendidikan di bagian persiapan STOVIA; Roem melanjutkan
ke AMS (Algemene Middelbare Scool).
Lulus AMS pada 1930, Roem masuk Sekolah Tinggi Kedokteran GHS (Geneeskundige Hoge School) di Jakarta. Karena dua kali ujian, gagal, Roem berhenti belajar di GHS, dan
beristirahat selama dua tahun. Pada 1932, Roem masuk RHS (Recht Hooge School), dan meraih gelar Mester in the Rechten.
Selama masa istirahat itu,
Roem memanfaatkan waktunya dengan masuk dan bergiat di dalam Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII). Roem juga aktif dalam Jong Islamieten Bond (JIB) sekaligus dalam organisasi kepanduannya, Natipij (Nationale Indonesische
Padvinderij).
Menurut mantan Menteri Muda Penerangan A.R. Baswedan, Natipij merupakan organisasi yang
pertama sekali terang-terangan menyebut dirinya sebagai organisasi (Kepanduan)
Nasional Indonesia. “Dua tahun sebelum Sumpah Pemuda, Jong Islamieten Bond sudah mendirikan Nationale Indonesische Padvinderij,” kata Baswedan.
Di dalam JIB,
kemudian juga di dalam PSII, Roem akrab dengan senior pergerakan Islam seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Abdul Muthalib Sangaji, dan H. Agus Salim.
Ketika kelak,
karena perbedaan sikap politik antara cooperative
dan noncooperatif, Salim keluar dari
PSII dan mendirikan partai politik Penjadar, Roem yang masih
mahasiswa RHS dan baru berusia 28 tahun ditunjuk menjadi Ketua Centraal
Comite Executif (Lajnah Tanfidziyah) Partai Penjadar. Adapun Ketua Dewan Partai Penyadar ialah Salim, Sangaji, dan lain-lain. Roem
terus bersama Salim di Penjadar sampai datang zaman baru, zaman Indonesia
merdeka.
Di awal
kemerdekaan, Roem bersama para aktivis pergerakan Islam, bersepakat untuk
mendirikan partai politik Islam. Usaha-usaha untuk mendirikan partai politik
Islam telah lebih dulu dikerjakan jauh sebelum ada Maklumat Wakil Presiden No.
X, 5 November 1945. Tidak mengherankan jika hanya berselang dua hari sesudah
keluar Maklumat X, Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 7-8 November
1945/1-2 Dzulhijjah 1364, mengumukan berdirinya Partai Politik Islam Masyumi.
Di Partai Masyumi, yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh K.H.M. Hasjim Asj’ari
(Ketua Umum Majelis Syuro), dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo (Ketua Pengurus
Besar), Roem tercatat sebagai anggota. Sampai Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno pada
pertengahan 1960, Roem tetap bergiat di Masyumi. Bahkan, Ketua Umum Masyumi,
Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) mengajukan gugatan terhadap Presiden Soekarno
dan meminta Pengadilan untuk membatalkan Keputusan Presiden No. 200/1960 dan
Penetapan Presiden No. 7/1959,
Roem ditunjuk menjadi pengacara Masyumi.
Di bidang
pemerintahan, pada awal kemerdekaan, Roem dipercaya
menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta Raya, cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sesudah itu, berturut-turut Roem dipercaya menjadi Menteri Dalam Negeri
(Kabinet Sjahrir III, 2 Oktober 1946-27 Juni 1947; Kabinet Amir Sjarifuddin II,
11 November 1947-29 Januari 1948; dan Kabinet Wilopo, 3 April 1952-30 Juli
1953), Komisaris Agung Republik Indonesia Serikat di Negeri Belanda
berkedudukan di Den Haag (Kabinet Republik Indonesia Serikat, 16 Desember
1949-6 September 1950), Menteri Luar Negeri (Kabinet Natsir, 6 September
1950-21 Maret 1951), dan Wakil Perdana Menteri (24 Maret 1956-9 April 1957).
Di luar
jabatan-jabatan tersebut, sejak 1946, Roem mulai terlibat dalam berbagai
perundingan dengan Belanda. Roem menjadi anggota delegasi Republik Indonesia
dalam perundingan Linggajati (1946), anggota delegasi Renville (1948), Ketua
delegasi perundingan Roem-Roijen (1949),
dan anggota delegasi utama pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949).
Barangkali karena
itulah, meskipun sepanjang kariernya di dalam pemerintahan, Roem hanya sekali
menjadi Menteri Luar Negeri, dan tiga kali menjadi Menteri Dalam Negeri, Roem justru lebih diingat
sebagai mantan Menteri Luar Negeri.
Seiring dengan
bubarnya Masyumi, kiprah Roem di pemerintahan pun berakhir. Bahkan di penghujung rezim Soekarno, mulai 16 Januari 1962 sampai 17 Mei 1966, tanpa alasan yang jelas, Roem dijebloskan ke penjara. Ikut ditahan, sejumlah pemimpin
politik yang bersikap kritis terhadap Presiden Soekarno, seperti Sutan Sjahrir,
Prawoto Mangkusasmito, M. Yunan Nasution, Soebadio Sastrosatomo, Mochtar Lubis,
HAMKA, M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, kasman Singodimedjo, E.Z. Muttaqin,
Imron Rosjadi, dan Anak Agung Gede Agung.
Kemerdekaan yang diperjuangkan
Roem dengan jiwa, tenaga, dan pikiran; ternyata tidak dengan serta merta memberikan kenyamanan
dan keadilan kepada Roem dan kawan-kawan, sebagaimana yang dikehendaki ketika
kemerdekaan itu diperjuangkan. Kemerdekaan, pada suatu ketika, karena berbagai
sebab, dapat juga menghasilkan sebuah tragedi! Roem adalah bagian dari tragedi
di dalam alam kemerdekaan!
II
Mengawali kariernya sebagai diplomat, Roem bukan tidak gamang. Ia tidak
yakin terhadap kemampuan dirinya di bidang itu, karena belum pernah punya
pengalaman di suatu forum internasional, dan umur pun masih di bawah 40 tahun.
Seperti diceritakan Mohammad Natsir (1908-1993), “Dan waktu Saudara Roem diminta (Wakil Presiden --pen) Bung Hatta untuk menjadi anggota delegasi, kami semua berkumpul di tempat Pak Haji Agus
Salim. Pak Salim berkata: ‘Itu bukan suatu problem’ Terima Roem’.”
Keraguan Roem,
boleh jadi juga disebabkan oleh sikap Masyumi yang menolak segala bentuk
perundingan dengan Belanda.
Sejak memegang tampuk
kepemimpinan pemerintahan sebagai Perdana Menteri, Sutan Sjahrir (1909-1966)
telah memperlihatkan kecenderungan untuk berunding dengan Belanda.
Kecenderungan itu agaknya didasari oleh kenyataan bahwa pemerintah Indonesia
mempunyai kekuasaan yang secara de facto ditaati oleh seluruh rakyat, sedangkan Belanda
datang ke Indonesia untuk menegakkan kembali kekuasaan de jure-nya. Guna
memecahkan masalah yang rumit ini, mau tidak mau Belanda pun datang menemui
pemimpinan pemerintahan Indonesia. Dan Sjahrir pun ingin menunjukkan kepada
dunia bahwa pemerintahan yang dia pimpin mampu bertindak sebagaimana layaknya
sebuah negara-bangsa yang merdeka.
Masyumi menolak
kecenderungan Sjahrir untuk berunding. Masyumi menganggap Kabinet Sjahrir tidak
melihat “perubahan radikal” dan mentale revolutie (revolusi mental) dari jiwa
bangsa kita “yang dahulu bersifat lemah dan tak berdaya, menjadi kuat penuh
meluap dengan semangat perjuangan (militant).”
Masyumi yang
bersikap oposisi itu, bersama Tan Malaka, dan golongan lain, membentuk
Persatuan Perjuangan dengan program utamanya, “berunding atas dasar pengakuan
kemerdekaan 100%.”
Itulah situasi
saat Roem diminta Hatta memperkuat Kabinet Sjahrir. Roem bercerita:
“Saya lalu berkonsultasi dengan Pak Dokter Sukiman, waktu
itu sebagai Ketua Umum Partai Masyumi. Pak Kiman tidak setuju kalau saya
mewakili Masyumi dalam Kabinet RI, tetapi tidak keberatan ikut serta sebagai
perseorangan.”
Mengenai situasi
saat itu, simak cerita Natsir berikut:
“Waktu persetujuan Linggajati, partai Masyumi tidak setuju
dengan persetujuan tersebut, tetapi juga tidak menghalangi unsure Masyumi duduk
dalam delegasi perundingan. Partai Masyumi jalan terus, meneruskan oposisi. Partai
Masyumi tidak percaya bahwa Belanda akan mentaati persetujuan itu. Analisis
Partai Masyumi ternyata betul. Tetapi persetujuan Linggajati itu adalah suatu
persetujuan internasional. Pelanggaran Linggajati oleh Belanda, itu
meningkatkan issue Indonesia di dunia internasional. Dan itu menjadi pembuka
pintu bagi Indonesia untuk masuk PBB. Itulah fungsi persetujuan Linggajati.
Jadi bukan untuk memecahkan persoalan secara langsung, tetapi sebagai pembuka
jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin.
“Waktu persetujuan Renville, juga terulang kembali partai Masyumi tidak
menyetujui, dan banyak lagi partai-partai lain bersikap sama. Tetapi Roem tetap
duduk dalam delegasi….”
Kerasnya sikap oposisi
Masyumi kepada Persetujuan Linggajati, digambarkan Roem:
“Waktu itu Masyumi menolak Persetujuan Linggajati, tetapi
menteri-menteri Masyumi menyetujuinya, bukan atas nama partai. Kejadiannya yang
tepat ialah, sewaktu saya masih di Linggajati, Radio Yogyakarta menyiarkan
pengumuman bahwa partai Masyumi menolak Persetujuan Linggajati. Sikap itu
diumumkan, sebelum saya memberikan laporan kepada partai.”
Demikianlah, di
saat negara-bangsa memerlukan kehadirannya, Roem tampil sepenuh hati. Dari
sejak Masyumi berdiri, sampai partai itu membubarkan diri, Roem selalu hadir di
pentas politik nasional, baik atas nama partai maupun atas nama pribadi. Tidak
terdengar orang menggerutu atas kenyataan tersebut. Bahkan jika pun terkesan
Roem “menyebal” dari garis partai, tidak pernah terdengar riwayat mengenai Roem
yang dijatuhi sanksi oleh partai tempatnya berkiprah.
Kata kunci dari kesemuanya itu adalah integritas. Baik kawan maupun lawan,
mempercayai integritas Roem. Salah seorang kawan satu
partai, tetapi
i pernah “dikecewakan” oleh Roem adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara
(1911-1989). Pada saat Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri ditawan, serta
ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda; Sjafruddin melanjutkan
nafas Republik dengan membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Di tengah eksistensi PDRI yang makin menguat, tanpa sepengetahuan PDRI,
pada awal Mei 1949 berlangsunglah pembicaraan antara Roem dengan Roijen. Inilah
komentar Sjafruddin terhadap peranan Roem dalam peristiwa tersebut:
“Hanya sekali dia (Roem –pen) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas
permintaan Soekarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden, karena sedang
dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang
lazim disebut ‘persetujuan Roem-van Roijen’ (Mei 1949).
“Dia berani berbicara seolah-olah tidak ada PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Padahal PDRI pada waktu itu adalah
satu-satunya Pemerintah yang sah.
“Tetapi saya yakin, bahwa Roem hanya menjalankan apa yang
dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk kepentingan nusa dan bangsa, dan
sedikit pun tidak ada niat padanya untuk menyeleweng dan meninggalkan PDRI.
PDRI waktu itu memang sukar dihubungi, sebab masih ada di tempat
persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau memang
sungguh-sungguh diusakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI
mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di Sumatera
dan Jawa, serta di luar negeri.
Tetapi, karena saya yakin tentang integritas dari Roem
dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem dengan van Roijen, kami
tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan inilah yang akhirnya
membawa kemenangan!”
Integritas Roem,
menyebabkannya mampu menilai sesuatu secara objektif. Itulah yang terjadi pada akhir
1980 hingga awal 1981.
Pada 15 September 1980, Kompas
memuat tulisan H. Rosihan Anwar berjudul “Perbedaan Analisa Politik antara
Sukarno dengan Hatta.” Inti tulisan Rosihan ialah bahwa Sukarno melalui apa
yang disebut dengan “Surat-surat dari Sukamiskin” pernah meminta ampun kepada
pemerintah kolonial Belanda. Sukarno adalah pemimpin
yang gampang menyerah.
Tidak syak lagi, tulisan Rosihan segera menimbulkan kegemparan. Tanggapan
pun bermunculan dari H. Mahbub Djunaidi (Kompas
7 Oktober 1980, “Itu Mah Pamali, Itu Mah Mustahil,” kata Ibu Inggit), Ayip
Bakar (Kompas, 7 Oktober 1980, “Di
Sini Tertutup, Di Sana Ditelanjangi’), dan Anwar Luthan (“Antara Taktik dan
Azas dalam Politik”). Dalam kegemparan itu, muncul tanggapan Mohamad Roem
berjudul “Surat-surat” dari Penjara Sukamiskin (Kompas, 25 Januari 1981). Tanggapan Roem tampaknya merupakan
tanggapan yang paling menghentak Rosihan. Terbukti, Rosihan segera merespons
tulisan Roem (Kompas, 14 Februari 1981,
“Surat-surat Ir. Sukarno kepada ‘Procureur-General’ Hindia-Belanda”). Respons Rosihan, dijawab lagi oleh Roem (Kompas, 23 Februari 1981, “Surat-surat” dari Penjara Sukamiskin
Perkembangan Suatu Polemik).
Tulisan Roem yang membantah tuduhan Rosihan, dan meragukan keaslian dokumen
yang diyakini kebenarannya oleh Rosihan menjadi tinggi sekali bobotnya,
lantaran Roem, jika bukan lawan politik, pastilah bukan orang yang dapat
dikategorikan sebagai pendukung Soekarno.
Roem yang oleh rezim Soekarno selama empat tahun dijebloskan ke penjara
tanpa diadili dan tanpa sebab yang jelas, lewat dua tulisannya dengan penuh
keyakinan justru tampil membela Bung Karno dari tuduhan Rosihan.
Perbedaan pendapat di masa lalu, kekeliruan langkah seseorang di masa dia
berkuasa, sama sekali tidak menyebabkan Roem kehilangan objektivitas. Roem
telah member teladan tentang betapa kebenaran sejarah tidak boleh diselimuti
oleh dendam, luka lama, atau kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat
sesaat.
III
Sebagai orang yang sejak muda telah berkecimpung di dalam pergerakan Islam,
meskipun di pemerintahan tidak pernah menempati posisi yang “berbau” agama, dan
di partai pun dalam kalimat M. Natsir: “Walaupun saudara Roem tidak menonjol
sebagai Ketua atau Sekretaris Jenderal dalam partai, tetapi Roem tetap Roem,
artinya kita tidak dapat meninggalkan Roem dalam menghadapi hal-hal yang
penting.’”
Dan Roem sendiri tidak pernah abai melihat isu-isu penting menyangkut Islam.
Pada akhir 1973,
pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang hendak
memberlakukan pokok-pokok dari undang-undang perkawinan yang berlaku untuk
orang-orang Eropa , dan dalam garis besarnya berlaku bagi orang Indonesia yang
beragama Kristen, kepada orang Indonesia yang beragama Islam dan penganut lain
agama. Menurut
RUU Perkawinan, perkawinan sah menurut hukum kalau diselenggarakan di hadapan
petugas yang berwenang, kemudian dapat diadakan upacara menurut agama
masing-masing.
Selain soal
keabsahan perkawinan, yang
juga sensitive di dalam RUU itu antara lain soal
poligami. Dan Roem tidak sungkan membahas soal yang menurutnya bukan Cuma soal
laki-laki saja. “Kalau tidak ada wanita yang bersedia dimadu, orang laki-laki
tidak mungkin berpoligami,” kata Roem. Soalnya ialah, peradaban yang satu
membiarkan yang tidak legal berjalan terus dengan segala akibatnya, peradaban
yang lain berusaha menampung akibatnya dengan sebaik-baiknya.
Bagi Roem,
pilihan yang tersedia dalam soal ini hanya dua: poligami atau pergundikan.
Dipandang dari satu sudut, maka poligami merupakan suatu perlindungan untuk
wanita. Masih terbuka alternative untuk menjadi isteri yang sah, dilindungi
oleh hukum. Kalau tidak, hanya terbuka kedudukan sebagai simpanan dengan
memikul kewajiban tetapi tidak mempunyai tuntutan hukum. Poligami, kata Roem,
juga memberi jaminan kepada anak-anak yang lahir dari perhubungan itu. Jika
tidak dibuka kemungkinan poligami, maka konsekuensinya sangat besar bagi wanita
dan anak-anak yang lahir dari perhubungan semacam itu.
Sesudah melalui perdebatan
panas hingga didudukinya ruang rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik
oleh para demonstran, RUU Perkawinan akhirnya disahkan dan diundangkan menjadi
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang ini secara
tegas mengatakan bahwa pada dasarnya pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,
dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dengan demikian, maka syarat-syarat
untuk melakukan poligami diatur secara ketat. Meskipun pengetatan itu cenderung
kepada penolakan, Roem tidak keberatan. Mengutip pendapat pakar hukum
terkemuka, Prof. Dr. Hazairin, Roem menekankan pentingnya undang-undang lain
untuk mendukung tercapainya tujuan perkawinan menurut Undang-undang No. 1/1974
sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang wanita sebagai isteri dan seorang
laki-laki sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Roem mengingatkan,
di dalam masyarakat ada orang yang beristri dua, bahkan lebih. Ada juga orang
yang beristeri Cuma satu, tetapi memelihara seorang perempuan tanpa ikatan
perkawinan. Menurut Islam, perbuatan yang terakhir itu, zina dan berdosa. Oleh
karena itu, Undang-undang Perkawinan harus dibantu dengan undang-undang yang
melarang dengan ancaman hukum tiap hubungan kelamin antara seorang perempuan
dan laki-laki yang tidak sah menurut Undang-undang Perkawinan. Semua hubungan
di luar Undang-undang Perkawinan, harus dilarang.
Sesudah Undang-undang
Perkawinan berumur 38 tahun, hingga kini undang-undang pendukung Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 seperti diusulkan Hazairin dan Roem, belum ada juga.
Jangan-jangan para pemangku kepentingan, malah tidak pernah memikirkan hal ini.
Pandangan Roem mengenai posisi Islam dengan negara, juga menarik dicermati.
Pada bulan
November 1982, muncul tulisan Roem berjudul: “Saya Menerima Pancasila karena
Saya Orang Islam” (Panji Masyarakat
No. 378/Tahaun XXIV, 4 Syafar 1403-21 Nopember 1982).
Roem memulai
tulisannya dengan mengutip tulisan H. Agus Salim di majalah Hikmah, 21 Juni 1953, sebagai berikut:
“Sebagai salah
seorang yang turut serta membuat rencana pernyataan kemerdekaan sebagai
pendahuluan (preambule) rencana Undang-Undang Dasar kita yang pertama di dalam
Majelis Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) di masa
akhir-akhir kekuasaan Jepang saya ingat betul, bahwa di masa itu tidak ada di
antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa itu kita maksudkan ‘Aqidah’ kepercayaan agama dengan kekuatan
keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh
daripada rahman Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya dengan semata-mata
kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya.”
Dalam tulisannya
itu Roem bercerita bahwa saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia, dirinya sudah berusia 37 tahun. Muslim yang dewasa serta
mempunyai pengalaman hidup. Roem tahu, seorang Muslim mutlak mengakui keesaan
Allah seperti tercantum dalam dua kalimat syahadat. Roem juga tahu, ada
rancangan Undang-Undang Dasar yang dalam preambulenya memuat tujuh kata: “….dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Roem juga tahu,
sebelum Undang-Undang Dasar itu disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan,
tujuh kata itu dihapus.
Sebagai Muslim, Roem
menyayangkan penghapusan tujuh kata itu. Akan tetapi, karena sudah menjadi
hasil musyawarah dari para pemimpin, terutama Bung Hatta dan Ki Bagus
Hadikusumo, Roem tidak terus menerus menyayangkan, karena menurut Bung Hatta
penghapusan itu untuk persatuan bangsa, terutama umat Kristen dan umat Islam.
Keyakinan tentang
Tuhan Yang Maha Esa itu, dengan amandemen Ki Bagus, menurut Roem adalah sesuatu
yang tidak statis, melainkan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan
masing-masing orang. Oleh karena itu, meskipun bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai agama dan aliran, semuanya diikat oleh suatu ikatan yang kuat, yaitu
Pancasila. Dalam rangka ini, Roem mengutip Tafsir Asas Masyumi, sebagai
berikut:
“Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, dan telah dipertahankan
kedaulatannya dengan usaha bersama-sama pula sampai tercapai pengakuan dunia
atas kedaulatan itu pada tanggal 27 Desember 1949, adalah karunia Ilahi atas
jihad perjuangan bangsa Indonesia atas dasar Pancasila, kata persamaan antara
segenap golongan.”
Bagi Roem,
seorang Kristen yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang
Pancasilais. Orang Islam yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang
Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan
Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menurut agama identik dengan
Pancasila falsafah negara. “Saya menerima Pancasila, terutama sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, karena saya adalah orang Islam, yang mendapat ajaran dari Nabi
tentang Ketuhanan,” kata Roem.
Ketika Dr. M.
Amien Rais dalam wawancara dengan Panji
Masyarakat No. 376, 14 Muharam 1403/1 Nopember 1982, mengatakan “Tidak ada
negara Islam…. Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan
negara Islam,” Roem meresponsnya dengan menurunkan tulisan berjudul “Tidak Ada
Negara Islam” (Panji Masyarakat, No.
386, 28 Rabiul Akhir 1403/11 Februari 1983).
Roem membenarkan
pendapat Amien. “Tidak saja ia benar, akan tetapi ia juga bijaksana, karena di
Indonesia ini kata istilah itu, lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit
orang yang tidak menyukai, malah ada yang alergis mendengar kata istilah itu,”
tulis Roem seraya menambahkan bahwa dirinya tidak akan mengecek bahwa perkataan
negara Islam itu betul-betul tidak ada di dalam al-Quran dan al-Sunnah. “Yang
pernah saya cek,” Roem melanjutkan, “dalam statute dan anggaran dasar Masyumi,
kata istilah itu tidak ada.”
Meskipun demikian, Roem
mempertanyakan maksud pernyataan Amien. “Dalam pada itu, apa sebenarnya yang
dimaksud oleh Dr. Amien Rais itu? Sekadar namanya saja atau lebih dari nama,
yang tidak ada.” Dalam hubungan ini, Roem berpendapat memang tidak ada negara
Islam dalam nama, namun secara substansi, ada. Lebih lanjut, mari kita simak
pendapat Roem:
“Pada akhir hayat Nabi, pada saat surat Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah
tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun dan di bawah pimpinan Nabi sendiri, yang
tidfak diberi nama khusus oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai cirri-ciri
sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna. Yang menjadi
pemimpin, tidak memakai gelar atau titel tersendiri, adalah Nabi Muhammad
Rasulullah, seorang yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Saya rasa selama tidak
lebih dari tiga bulan itu, di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic
State tidak dalam nama (what is in a name), melainkan dalam substance, dalam
hakikatnya.”
Dalam
perkembangan berikutnya, dari Chicago, Amerika Serikat, Nurcholish Madjid merespon
tulisan tersebut dengan berkirim surat kepada Roem. Korespondensi Nurcholis
dengan Roem itu kemudian dibukukan dengan judul Tidak Ada Negara Islam Surat-Surat Politik Nurcholish
Madjid-Mohamad Roem.
Judul buku itu dikritik oleh Rushdy Hosein (Syarif Hidayatullah
Edisi 12/XV-2003): “Judul buku itu menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan
keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, Roem mengakui pernah ada negara
Islam, meski tidak dinamakan negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin
oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
IV
Ketika Mohamad Roem wafat pada 24 September
1983, Kompas menurunkan tajuk rencana.
Antara lain ditulis dalam tajuk rencana itu: “Mohamad Roem tidak akan dikenang
karena kecemerlangan otak dan persepsinya tentang pemikiran-pemikiran
kenegaraan dan kemasyarakatan. Yang kuat pada pribadinya adalah integritas,
kesantunan, keikhlasan, persaudaraan, keimanan…. Ia tokoh politik Islam. Semua orang tahu dan
semua pihak menerima dan menghargainya…. Karena pandangannya yang luas,
kesantunan dan komitmennya kepada kebersamaan bangsa dan negara yang kokoh, ia
tumbuh melampaui batas-batas partainya. Dalam pengabdian politiknya, sering ia
menjadi jembatan, penggerak tercapainya konsensus dan karena itu, ia pun berkembang dan diterima sebagai figur nasional. ”
Di bagian lain, Kompas menulis:
“Ia seorang dsemokrat sejati. Kita bisa berbeda pendapat dengan almarhum,
bahkan dalam soal-soal prinsipil sekali pun, tetapi sekaligus kita merasa aman,
bahwa pendirian kita akan tetap ia hormati dan bahwa di atas segalanya, kita
akan tetap dihargai sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat.
Dalam sebuah tulisan yang disebut “Bahan Tajuk Rencana Kompas 26 September 1983”, diungkapkan: “Impresi yang
diitinggalkannya pada masyarakat adalah ketangguhan dalam sikap, demokrat dalam prilaku, integritas tinggi, ramah tamah dan lembut, menghormati
pendirian yang berbeda, antikekerasan. Dengan demikian, ia menimbulkan hormat
kepada kawan maupun lawan politik.”
Saya mengiyakan semua yang ditulis Kompas
itu.