Oleh: Lukman Hakiem
Sekretaris Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Menemukan Kembali Indonesia yang Hilang
Pengantar Penyunting
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah
MR. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA (28 Februari 1911-15 Februari1989) adalah Presiden yakni Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kedua Republik Indonesia setelah Ir. Soekarno –yang menjadi Presiden Republik Indonesia sejak 18 Agustus1945— menyerah dan ditawan oleh tentara kolonial Belanda yang melakukan agresi II pada 19 Desember 1948. Statement ini bukanlah statement subjektif-emosional dari penyunting buku ini. Statement ini mengacu kepada pendapat guru besar hukum tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H..
Dalam kalimat lugas dan terang benderang, Prof. Jimly mengatakan, “secara hukum tidak perlu ada keraguan bagi kita untuk menyatakan bahwa Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan tanggal 13 Juli 1949 adalah kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Dalam sistem UUD 1945, kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu tiada lain adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Tidak Kehilangan Akal Sehat
Pada 19 Desember 1948 itu, Belanda melancarkan agresinya yang kedua terhadap negara Republik Indonesia yang baru berumur tiga tahun beberapa bulan. Agresi II itu dilakukan setelah secara sefihak Belanda menyatakan tidak terikat lagi kepada hasil Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Januari 1948.
Pada saat mencekam itu, dwitunggal Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta tidak kehilangan akal sehatnya. Di tengah deru pesawat terbang Belanda yang menyerang ibukota Yogyakarta, segara dilakukan sidang kabinet yang memutuskan pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Alasan untuk tetap tinggal di dalam kota antara lain karena untuk berangkat ke luar kota diperlukan pasukan pengawal sebanyak dua batalion. Pasukan sebesar itu tidak tersedia di dalam kota.
Alasan kedua, dengan tetap tinggal di dalam kota, para pamimpin Republik Indonesia masih dapat melakukan berbagai upaya diplomasi. Kabinet menyadari, dengan tetap tinggal di dalam kota pimpinan negara akan ditawan oleh Belanda, akan tetapi itu lebih baik daripada tertawan di luar kota ketika memimpin perang.
Keputusan sidang kabinet itu pada pertengahan 1970-an menjadi perdebatan hangat antara Mohammad Hatta dengan sejarawan militer, Nugroho Notosoesanto.
Keputusan penting lain yang diambil ialah memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yang ketika itu sudah berada di Bukittinggi, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatrera. Mandat yang lain diberikan kepada dr. Sudarsono, LN. Palar, dan AA. Maramis di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan darurat jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera tidak berhasil.
Sjafruddin yang tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat, sore tanggal 19 Desember 1948 segera sesudah mendengar siaran radio mengenai didudukinya ibukota Yogyakarta dan ditawannya para pemimpin Republik, menemui pimpinan Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera (Kompempus), Mr. Teuku Muhammad Hasan, guna menyampaikan pendapatnya tentang kemungkinan terjadinya kevakuman pemerintahan yang akan menimbulkan dampak negatif baik di dalam maupun di luar negeri, dan karena itu perlu segera dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam bahaya..
Sebagai seorang ahli hukum, pada mulanya T.M. Hasan mempersoalkan segi juridis dari gagasan Sjafruddin, apalagi Sjafruddin dan para pemimpin Republik di Sumatera tidak ada seorang pun yang memegang mandat untuk membentuk pemerintah. Namun tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan telah mengatasi aspek hukum itu. Maka pada 19 Desember 1948 sore, tercapai kesepakatan antara Sjafruddin dan TM. Hasan untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat. Disepakati pula, bahwa pemerintahan darurat itu akan dipimpin oleh Sjafruddin dan TM. Hasan sebagai wakilnya.
Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban. Walaupun usia Sjafruddin lebih muda dari TM. Hasan, tetapi dia berani mengambil tanggung jawab perjuangan menyelamatkan Republik Indonesia, dengan segala resikonya.
Merujuk kembali pendapat Prof. Jimly seperti dimuat di buku ini, kita mesti adil di dalam memberi penilaian hukum kepada sesuatu peristiwa. Pada masa awal setelah kemerdekaan, kondisi negara dan pemerintahan Republik Indonesia masih belum stabil dan sistem administrasinya belum tertib, banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang tidak mendapat dukungan sistem administrasi negara yang memadai sehingga penilaian terhadapnya di kemudian hari sering menimbulkan perdebatan hukum. Apalagi, di mata orang-orang yang memahami hukum dengan cara yang sangat kaku dan mengutamakan orientasi berpikir yang bersifat ‘rule-driven’, serba peraturan tertulis, serba prosedural, maka niscaya ketiadaan dukungan administrasi yang tertib itu menimbulkan tafsir yang sangat kaku, termasuk dalam memahami status Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI. Misalnya, bagi mereka yang berpikir harfiah tidak mudah untuk menerima pengertian bahwa Ketua PDRI adalah sebutan darurat dari jabatan Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Menurut Prof. Jimly, dalam keadaan darurat, tidak perlu dipersoalkan apakah ada atau tidak surat mandat tertulis dari Soekarno kepada Sjafruddin untuk mengambil alih pemerintahan sementara dalam keadaan darurat. Juga tidak perlu dipersoalkan apakah Mr. Mohamad Roem mewakili pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno atau pemerintahan yang dipimpin Sjafruddin. Yang penting, Roem dipahami sebagai mewakili pemerintahan Republik Indonesia. Secara juridis, selama Soekarno dan Hatta berada dalam tahanan, Presiden RI yang disebut dengan istilah Ketua PDRI dipegang oleh Sjafruddin Prawiranegara yang baru diserahterimakan kembali kepada Soekarno selaku Presiden pada tanggal 13 Juli 1948.
Dilupakan Bangsanya
Keberanian Sjafruddin membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), bukan saja telah membuktikan bahwa Republik Indonesia tidak pernah bubar hanya karena Soekarno-Hatta dan para pemimpin lain ditangkap, tetapi juga dengan sikap sangat keras dan gigih PDRI telah memperkuat posisi Roem ketika harus berunding dengan van Roijen.
Ironisnya, peristiwa historik yang amat penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan eksistensi Republik Indonesia ini, selama puluhan tahun telah dilupakan oleh hampir seluruh anak bangsa. Sjafruddin Prawiranegara sebagai sutradara dan aktor utama PDRI, selama berpuluh tahun bagai telah diharamkan untuk ditampilkan dalam bingkai sejarah bangsa. Bahkan sekadar sketsanya sekalipun!
Masalah politik rupanya menjadi penghalang utama untuk melahirkan kesadaran berbangsa yang tulus dan kesadaran mengingat sejarah bangsa yang otentik ini, sehingga terhadap PDRI bukan saja bangsa ini terlambat memberi pengakuan, tetapi juga sampai sekarang pemerintah belum mau memeringati dan secara terbuka bersama seluruh anak bangsa mengingat serta mencatat PDRI dengan tinta emas sebagai satu tahap yang sangat menentukan dalam perjuangan bangsa kita.
Dapat diduga, di masa Orde Lama nama Sjafruddin Prawiranegara tidak boleh dimunculkan, karena keikutsertaannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Republik Persatuan Indonesia (RPI). Di masa Orde Baru, nama Sjafruddin dicoret dari buku sejarah karena suaranya yang lantang mengeritik berbagai kebijakan pemerintah, terutama keikutsertaannya dalam Kelompok Petisi 50, sebuah pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto yang ditandatangani oleh 50 orang politisi sipil dan senior militer.
“Bicara tentang Sjafruddin Prawiranegara, kita tidak bisa tidak bicara tentang dua hal: PDRI dan PRRI,” ujar pakar ilmu politik Dr. Salim Said. Pada yang pertama jelas jasa Sjafruddin menyelamatkan Republik Indonesia yang pemimpinnya sudah ditahan oleh Belanda. Sedang PRRI haruslah dilihat sebagai usaha menyelamatkan RI yang terancam oleh komunisme.
PRRI bukanlah gerakan separatis, melainkan gerakan alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh komunisme dan “petualangan” politik Presiden Soekarno.
PRRI kalah, dan selanjutnya diperlukan waktu beberapa tahun sebelum akhirnya ancaman Partai Komunis Indonesia (PKI) serta “petualangan” politik Presiden Soekarno hancur lewat Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965.
PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia, sedangkan PRRI justeru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme.
Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi Republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
PRRI dimaksudkan untuk menegakkan kembali Republik Indonesia sebagai “Negara hukum dan kebangsaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di mana kedaulatan mengurus rumah tangga negara berdasarkan Perikemanusiaan dan Musyawarah berada di tangan rakyat, guna mencapai Keadilan Sosial dan Kemakmuran rakyat lahir dan batin.”
Bagi guru besar Cornell University, Amerika Serikat, George McT Kahin, Sjafruddin bersama dua koleganya, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, harus dihargai karena telah memberikan sumbangan penting kepada pemeliharaan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Sjafruddin, Natsir, dan Burhanuddin telah melakukan satu perjuangan yang akhirnya berhasil di kalangan dalam PRRI untuk menghalang-halangi mereka yang lebih menyukai pemisahan Sumatera dari Indonesia dan menjadi negara sendiri.
Sjafruddin dan dua koleganya bersikeras terhadap jalan seperti itu, walaupun harus mengabaikan dukungan negara adidaya, Amerika Serikat. Maka, demikian Kahin, untuk sebagian besar karena trio tokoh Masyumi itulah perjuangan PRRI tercegah menjadi gerakan sparatis, dan tetap dilakukan dalam batas-batas ikatan kesatuan Indonesia.
Yang paling krusial dari dekade pergolakan daerah ini, yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut sebagai kemelut sejarah, ialah berkembangnya PRRI menjadi RPI. Seperti diketahui, Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden RPI.
Salah seorang tokoh PRRI, Permesta, dan RPI, Ventje H.N. Sumual di dalam Memoar-nya yang terbit pada Juli 2011 mencatat, “Keberadaan dan hakikat RPI sebagai pengembangan dari PRRI adalah satu hal yang paling banyak disalahpahami, sehingga banyak menimbulkan pertentangan di kalangan pendukung PRRI sendiri. Paling banyak disalahmengerti, baik oleh umumnya pelaku sejarah di masa itu, tak kecuali di kalangan para pemimpin PRRI hingga di semua tingkatan. Juga kemudian di antara para sejarawan hingga sekarang.”
Sumual menepis anggapan bahwa RPI dibentuk semata-mata karena kepentingan bersifat praktis dari para pemimpin PRRI yang mencoba bertahan, dengan menambah kekuatan dari kelompok pemberontak lain. Dalam kalimat singkat padat, Sumual menegaskan: “.... RPI adalah tatanegara alternatif, bukan negara alternatif.”
Sjafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan seperjuangannya pada dekade pergolakan daerah, bagai telah membakar dirinya sendiri. Apa yang dia lakukan bersama teman-temannya di dekade pergolakan daerah, karena kalah, lalu ramai-ramai disalahkan, diberi berbagai stigma. Akan tetapi sejarah ternyata membuktikan apa yang diperjuangkan Sjafruddin dan teman-temannya, benar adanya. Hampir lima dekade kemudian, semua hal yang diperjuangkan Sjafruddin dan teman-temannya secara sadar dan terencana, diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meminjam ungkapan Fendy E.W. Parengkuan di buku ini, PRRI dan Permesta, “dihukum oleh sejarah karena ‘berani mendahului sejarah’. Masih adakah di antara kita sekarang yang sudi mengapresiasi nilai-nilai dan semangat kepeloporan mereka? Inikah saatnya bagi kita membuat keputusan bersejarah untuk tidak lagi melakukan stigmatisasi terhadap (PRRI dan) Permesta, mulai dari lembaran hidup hingga ke lembaran buku-buku sejarah yang dipelajari oleh anak-anak kita? Mungkin inilah waktunya untuk membuktikan bahwa kita sudah cerdas sebagai bangsa berbudaya adiluhung dan berpekerti luhur.”
Tentang Buku Ini
Sebagian terbesar isi buku ini berasal dari tulisan para ahli di bidangnya masing-masing yang dibuat khusus atas permintaan Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) yang selama rentang waktu Februari sampai Juni 2011 melakukan 12 seminar di berbagai daerah dengan berbagai tema, mulai tema Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Otonomi Daerah, sampai Ekonomi.
Tidak semua tulisan berasal dari makalah. Kata Sambutan Wakil Presiden Boediono di buku ini adalah hasil transkrip teman-teman di Sekretariat Wakil Presiden RI, yang kemudian disisir oleh penyunting, sedangkan tulisan (almarhum) H. Rosihan Anwar adalah gabungan dari tulisannya di tabloid Cek & Ricek dan kesaksian lisannya untuk film testimoni “Mengenang Presiden RI yang Terlupakan”. Pesan Pak Rosihan dalam tulisan ini amat sangat jelas: “Kalau mau mengakui Sjafruddin sebagai Presiden boleh, kalau tidak boleh juga. Tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu membantah atau mengecilkan peranan orang seperti Sjafruddin Prawiranegara dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.”
Tulisan Prof. Dr. Taufik Abdullah, “Kisah PDRI Sebuah Refleksi Sejarah” berasal dari makalah yang disajikan dalam diskusi bertajuk “Peran Yogyakarta dan Bukittinggi sebagai Dua Pilar Sejarah Perjuangan di Masa Krisis (PDRI 1948-1949)” yang diselenggarakan di Bukittinggi pada 29-30 April 2002.
Tulisan yang lebih tua lagi adalah tulisan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, “Prolog PRRI dan Keterlibatan Natsir-Sjafruddin” berasal tulisannya dalam H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais (ed), Pak Natsir 80 Tahun Buku Pertama Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, Jakarta: Media Dakwah dan LIPPM, 1988.
Dengan tema yang relatif beragam, penyunting mencoba membagi kumpulan tulisan ini menjadi enam bagian yang tiap bagian bicara dalam satu tema tertentu (I. PDRI, Insiatif Lokal, dan Relevansinya untuk Indonesia Kini dan Esok; II. Dekade Pergolakan Daerah; III. Mendamaikan Daerah dengan Pusat; IV. Jejak Hayat dan Pemikiran; V. Di Sekitar Ekonomi Islam; dan VI. Mempertimbangkan Sjafruddin). Keenam Bagian itu diapit oleh satu Prolog dan satu Epilog. Dengan lampiran yang relatif banyak, penyunting berharap buku ini juga bernilai informatif, karena beberapa dokumen lama seperti Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang menandai bermulanya pergolakan daerah pada dekade 1950-an, disajikan apa adanya. Biarlah generasi abad XXI membaca jejak hayat pendahulunya sebagaimana adanya.
Pada saat buku ini dipersiapkan, terbit buku Memoar Ventje H.N. Sumual yang memuat banyak fakta sejarah penting pada dekade pergolakan daerah yang dialaminya, dilakukannya, digagasnya, diprakarsainya, atau yang sekadar disaksikan dan direnungkannya. Memoar yang mengungkap sangat banyak mata rantai sejarah yang selama ini terselubung, bersama buku ini, tanpa disengaja ternyata saling melengkapi.
Apabila Memoar Ventje H.N. Sumual mengungkap banyak hal berdasarkan pandangan subjektif Sumual, buku ini mengungkap banyak hal berdasarkan pandangan objektif para penulisnya. Bukankah penulisan sejarah berdiri persis di persimpangan jalan antara subjektifitas dan objektifitas?
Penyunting berharap, dengan segala kekurangannya, buku ini tetap memiliki nilai limpah, yaitu sebagai rujukan untuk melangkah ke masa depan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Penyunting menggarisbawahi pesan Sri Sultan Hamengku Buwono X di buku ini yang menekankan pentingnya “menemukan kembali ‘Indonesia’ yang hilang. Indonesia dengan sederet tokoh pergerakan yang visioner dan menjalin hubungan antartokoh yang demikian erat. Indonesia yang bisa menjadi rumah narasi bagi bangsa yang demikian majemuk. Tokoh-tokoh pergerakan saat itu sangat mengedepankan diplomasi. Mereka ramah, mudah bergaul, berani berdebat dengan siapa pun, dan memiliki persahabatan yang kuat sekali. Suasana etika moral bermartabat di antara tokoh bangsa waktu itu begitu terasa. Di sidang berdebat hebat, tapi di luar itu mereka bersahabat. Para tokoh pergerakan itu merupakan guru-guru keluhuran bangsa. Selayaknya jika generasi penerus bangsa ini belajar dari mereka.”
Mudah-mudahan demikianlah hendaknya.
Jakarta, Ramadhan 1432/Agustus 2011
Lukman Hakiem
Mohammad Noer