Jejak
Politisi Muslim dalam Proses Pembentukan NKRI
Oleh: Lukman Hakiem
Babak Baru Kehidupan
Umat Islam
Setelah lama berada dalam
cengkeraman penjajah Barat, di penghujung abad XIX dan awal abad XX muncul
kesadaran emansipatoris di kalangan bangsa terjajah ini. Kesadaran secara tersendiri atau bersama-sama yang ditandai
oleh: pertama, cita-cita suatu pengelompokan
orang-orang tertentu menuju penjabaran diri dan perkembangan batin; kedua, berusaha agar diakui sebagai
bagian masyarakat sepenuhnya dan dengan demikian memiliki peluang dan hak yang
sama seperti golongan istimewa dalam masyarakat; dan ketiga mengusahakan pemutusan hubungan dengan golongan yang
berkuasa. Nasionalisme biasanya merujuk kepada pertanda ketiga.
Bersamaan dengan munculnya kesadaran
emansipatoris itu, masuk dan berkembang pula gagasan pembaruan Islam di
Indonesia. Menurut Korver gagasan pembaruan Islam
masuk melalui tiga cara. Pertama,
melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia.
Sekitar tahun 1900, jumlah masyarakat Arab di
Indonesia kurang lebih delapan belas ribu orang. Melalui perkawinannya dengan
wanita Indonesia, juga lantaran ikatan keagamaan, hubungan orang Arab dengan
kaum pribumi Indonesia terjalin sangat baik. Bahkan nyaris tanpa sekat.
Meskipun demikian, orang-orang Arab pada awal abad XX itu tetap tidak dapat
melepaskan ikatan batin mereka dengan tanah leluhur di Timur Tengah. Melalui
ikatan batin yang sangat manusiawi itulah pelbagai suratkabar dan majalah dari
Timur Tengah masuk ke Indonesia. Masyarakat Arab di Indonesia juga mendirikan
lembaga pendidikan Jamiat Khair di Jakarta pada 1905 yang pengelolaannya dilaksanakan
secara modern dan sistematis. Jamiat Khair terbuka untuk seluruh kaum Muslim,
termasuk Muslim pribumi.
Di kalangan pribumi, reformisme Islam
pertama-tama mendapat pengikutnya di Minangkabau, Sumatera Barat. Inilah cara kedua reformisme Islam masuk ke Indonesia. Salah seorang tokoh
reformisme Islam di Minangkabau ialah Syaikh Muhammad Taher bin Muhammad
Jalaluddin Al-Azhari yang menghabiskan sebagian besar usianya di Singapura dan
Timur Tengah. Melalui persahabatannya dengan hartawan berkebangsaan Arab, Taher
menerbitkan majalah Al-Imam. Majalah
yang terbit pada 1905-1910 ini mendesak umat Islam agar tidak kalah dalam
bersaing dengan orang-orang Barat.
Ketiga, cita-cita reformasi
Islam masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh Sarekat Islam (SI) dan Persyarikatan
Muhammadiyah.
Jika SI memilih perjuangan di jalan politik, maka Muhammadiyah membatasi
lapangan perkhidmatannya di bidang-bidang
dakwah, sosial, dan pendidikan.
Aktivitas kedua organisasi itu ternyata
saling melengkapi satu sama lain. Ketika Muhammadiyah dengan kiprahnya di
bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan telah berhasil menumbuhkan kesadaran
intelektual di kalangan kaum Muslim; maka SI yang berkiprah di bidang politik, mengembangkan
dan menyalurkan kesadaran yang telah ditumbuhkan oleh Muhammadiyah itu. Berkat
pembinaan “Dwitunggal SI-Muhammadiyah”, tumbuhlah rasa persatuan
dan kesatuan di kalangan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan Budi Utomo yang cakupan
geraknya terbatas hanya di Jawa dan Madura dan programnya pun terbatas untuk
kepentingan penduduk Jawa dan Madura, SI justru mengikat dan
mempersatukan penduduk dari kepulauan yang tersebar di seluruh wilayah
Nusantara. Seorang H. Agus Salim (1884-1954) yang berasal dari Minangkabau,
tidak pernah melihat dan memperlakukan H.Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934)
yang orang Jawa, sebagai orang Jawa. Begitu pun sebaliknya. Asal-usul
keturunan, tanah kelahiran, dan bahasa mereka memang berbeda; akan tetapi rasa
persatuan dan persaudaraan mereka, satu. Mereka sama-sama merasa terikat oleh
aqidah yang sama, yakni aqidah Islam.
Bila dibandingkan dengan keanggotaan Budi
Utomo yang membatasi pada golongan priyayi, sejarawan Bonnie Triyana mencatat,
SI jauh lebih menimbulkan minat rakyat untuk bergabung. Di bawah kendali Tjokroaminoto,
mulai tahun 1916 kongres-kongres SI disebut “kongres nasional”. Penamaan itu
bukan hanya menunjukkan semakin banyaknya cabang SI di berbagai daerah di
Hindia Belanda, tapi juga pertanda menguatnya kesadaran nasional di kalangan
pemimpin SI dengan keanggotaan SI dipersatukan oleh Islam, tiada peduli status,
pangkat, dan usia.
Demikianlah sumbangan besar yang diberikan
oleh Dwitunggal SI-Muhammadiyah dalam proses pembentukan negara-bangsa
Indonesia, jauh sebelum lahir partai-partai seperti Partai Nasional Indonesia
(PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dapat dikatakan, inilah babak baru dalam
kehidupan umat Islam, sekaligus dalam kehidupan kebangsaan Indonesia.
Kuntowidjojo (1943-2005) menyebut hal ini sebagai gejala baru mulai berhasilnya
anak-anak kaum ulama memasuki sekolah-sekolah Belanda yang dibuka sebagai
pelaksanaan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad XX.
Dari sinilah selanjutnya lahir kelompok baru di kalangan kaum Muslim, yaitu
kelompok intelektual Muslim. Menurut pakar sejarah yang juga menulis karya
sastra itu, kelahiran mereka memberi corak baru dalam gerakan melawan kolonial.
Kaum ulama mulai menyadari pentingnya organisasi. Maka lahirlah pada periode
ini Sarekat Dagang Islam (SDI) --yang kemudian menjadi SI-- yang tidak saja
didukung oleh kelompok ulama tradisional, tetapi juga oleh para ambtenar Belanda, pedagang kecil dan
menengah, kaum aristokrat, dan kaum buruh.
Sesudah Sarekat Islam dan Muhammadiyah,
berturut-turut berdiri Al-Irsyad Al-Islamiyah (1914) di Jakarta, Perikatan Umat
Islam (1917) di Majalengka, Persatuan Islam (1923) di Bandung, Nahdlatul Ulama
(1926) di Surabaya, Al Ittihadiyatul Islamiyah (1931) di Sukabumi, dan lain-lain.
Reformasi Pendidikan
Semua organisasi Islam itu sama bercita-cita
meningkatkan kualitas kaum Muslim di Tanah Air. Dalam muktamar
organisasi-organisasi itu berkumandang perlunya umat Islam di Indonesia
memperbaiki kualitas lembaga pendidikannya, juga perlunya kaum Muslim memiliki
lembaga pendidikan yang memberikan secara seimbang ilmu-ilmu keagamaan, ilmu
pengetahuan, dan keterampilan.
Pada 1917, pendiri Perikatan Umat Islam, K.H,
Abdul Halim (1887-1962) mendirikan lembaga pendidikan yang berlokasi di atas
gunung dan di tengah hutan belantara. Lembaga pendidikan itu diberi nama Santi Ashrama. Mengapa di tempat sunyi?
Menurut Kiai Halim, tempat yang tenang di luar kota merupakan tempat yang
ideal. Kota, katanya, telah diracuni atau sering diracuni dengan
kebiasaan-kebiasaan yang immoral ataupun amoral. Sedangkan tempat-tempat di
luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan
inspirasi-inspirasi yang baik.
Kiai Halim melengkapi para peserta didiknya
bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan
umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan,
perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing. Kiai Halim
sampai pada langkah itu setelah melihat, lulusan sekolah pemerintah
menggantungkan diri pada lapangan pekerjaan yang disediakan di lingkungan
pemerintah, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sedangkan lulusan madrasah atau pesantren biasanya menjadi guru agama atau
kembali ke lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu Kiai Halim
berpendapat, seorang lulusan yang baik adalah seorang yang berkemampuan untuk
memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan
yang diperlukan.
Dalam muktamar seperempat abad Muhammadiyah
di Jakarta pada 1936, organisasi ini memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi
Islam dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri. Pada tahun 1938,
Muhammadiyah telah memiliki 31 perpustakaan umum, dan 1.774 sekolah.
Gagasan meningkatkan kualitas umat Islam
melalui reformasi pendidikan, juga masuk ke pondok pesantren. Dalam kaitan ini
penting untuk dicatat keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak di
desa Cukir, kurang lebih 8 kilometer sebelah tenggara kota Jombang, Jawa Timur.
Pondok ini didirikan oleh Hadratus Syaikh K.H. Muhammad Hasjim Asj’ari
(1871-1947) pada tahun 1899 dan diakui resmi oleh pemerintah Belanda pada 6
Februari 1906.
Salah seorang putra Hadratus Syaikh yakni
K.H.A. Wahid Hasjim (1914-1953), meskipun sejak dini telah digembleng oleh
ayahandanya dengan pendidikan Islam, tetapi sang putra pun diperbolehkan
belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam usia belia, Wahid Hasjim telah
berlangganan Penjebar Semangat, Daulat
Ra’jat, Pandji Poestaka, Ummul Quro, Shautul Hijaz al Lata’if al Musyawarah,
Kullu Syain wal Dun-ya, dan Al
Itsnain. Majalah-majalah berbahasa Indonesia yang dilanggananinya
diterbitkan oleh kelompok nasionalis; sedangkan majalah-majalah berbahasa Arab
semuanya berasal dari Timur Tengah. Dari contoh bacaan di atas terlihat betapa
sejak masa mudanya, Wahid Hasjim sudah membuka cakrawala pandangnya sedemikian
luas.
Pada 1934, Wahid Hasjim melaksanakan gagasan
pembaruannya dengan membuka Madrasah Nidhomiyah di Pondok Pesantren Tebuireng.
70% dari keseluruhan mata pelajaran di Madrasah Nidhomiyah merupakan
pengetahuan umum. Di Tebuireng itu pula Wahid Hasjim membuka perpustakaan yang
selain berisi 1000 judul buku (kebanyakan buku-buku tentang agama Islam), juga
berisi majalah dan suratkabar Pandji
Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatoel Oelama, Adil, Noeroel
Islam, Al-Munawarah, Pandji Poestaka, Poestaka Timoer, Poedjangga Baroe, dan Penjebar Semangat.
Perhimpoenan Indonesia
Ketika kesadaran politik umat sudah makin
meluas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa, pada 1925 para mahasiswa kita di
Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische
Vereeniging menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia). Peristiwa ini jelas bukan sekadar
pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih
tegas dari perjuangan organisasi itu, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara
Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah, inilah untuk pertama kali nama
Indonesia secara resmi dilekatkan pada nama suatu organisasi.
Selain mengubah nama organisasi, para
mahasiswa itu mengeluarkan Manifesto
Politik yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan
Indonesia yang demokratis. Nama majalah organisasi pun diganti dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka dan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!”
diperkenalkan, meskipun masih dalam bahasa Belanda.
Dalam catatan pakar sejarah, Taufik Abdullah,
peristiwa sederhana ini sekaligus mengatakan tiga hal yang fundamental: pertama, adanya sebuah bangsa bernama
Indonesia, kedua, adanya sebuah
negeri bernama Indonesia, dan ketiga,
bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya. Begitulah kalau sejarah pergerakan
kebangsaan dikaji lebih teliti, maka kelihatanlah bahwa mahasiswa yang
bergabung dalam Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya
bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.
Kebetulan atau tidak, ketika Indische Vereeniging berubah nama
menjadi Perhimpoenan Indonesia, ketua organisasi tersebut adalah Soekiman
Wirjosandjojo yang sekembalinya di tanah air dikenal sebagai salah seorang
tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Ketua Partai Islam Indonesia
(PII), anggota Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai), Ketua Umum
pertama partai politik Islam legendaris, Masjumi, dan Perdana Menteri Republik
Indonesia (1951-1952). Sampai Masjumi membubarkan diri pada 1960, Soekiman
adalahWakil Ketua Umum Masjumi.
Sesudah peristiwa heroik pada 1925 itu, pada
1926 dalam kongresnya yang pertama nama Indonesia dilekatkan pada nama
organisasi Indonesia Moeda. Nama Indonesia dikuatkan lagi dua tahun kemudian
pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan yang dengan
tegas diberi nama Nationale Indonesische
Padvindery (Natipy). Bukan Nationale Islamitische Padvindery
seperti ditulis di beberapa buku sejarah.
Menjadi Indonesia
Dalam kaitan ini, ada peristiwa yang
cenderung dilupakan, yakni Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) di
Semarang, 4 Oktober 1934, berbunyi sebagai berikut:
1. Tanah air peranakan
Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah
negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana);
2.
Karenanya
mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi);
3.
Memenuhi
kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Dari
prespektif hari ini, barangkali terasa aneh ada sumpah pemuda tetapi memakai
embel-embel keturunan Arab. Akan tetapi, dari prespektif dekade-dekade awal
abad XX, ketika di antara orang-orang Arab yang lahir di Hadramaut (wullaiti) dan orang-orang Arab keturunan
Hadramaut yang lahir dan beribu Indonesia (muwallad),
atau antara kaum sayyid dan bukan sayyid, antara kelompok al-Rabithah dan al-Irsyad, tidak pernah bisa bertemu, hidup ekslusif, dan tidak
merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, lahirnya SPIKA bukan saja terasa
relevan, tetapi bahkan merupakan keniscayaan dalam proses pergerakan
kebangsaan. Berdasarkan SPIKA itulah didirikan Partai Arab Indonesia (PAI).
Sumpah pemuda Indonesia keturunan Arab dan
lahirnya PAI segera menimbulkan reaksi pro dan kontra. Pemerintah kolonial
Belanda mengambil sikap waspada. Bagaimanapun, menurut strata hukum yang
berlaku pada masa itu, orang Arab dikategorikan sebagai orang Timur Asing, dan
karena itu derajatnya setingkat di bawah orang Belanda dan Eropa serta
setingkat di atas orang pribumi yang secara merendahkan, oleh Belanda disebut inlander. Dengan SPIKA dan PAI,warga
keturunan Arab telah memilih tempatnya di antara rakyat Indonesia asli.
Pilihan untuk menjadi Indonesia menunjukkan
aktivis SPIKA dan PAI adalah kelompok radikal, progresif-revolusioner, dan siap
menghadapi segala resiko. Jika sikap itu menular kepada yang lain, bisa diduga
apa yang akan terjadi di ranah pergerakan kebangsaan. Inilahn yang menyebabkan
pemerintah kolonial Belanda mewaspadai SPIKA dan PAI.
Kaum pergerakan nasional yang merasa mendapat
kawan, bersukacita dengan dicetuskannya SPIKA dan lahirnya PAI. Di tengah sikap
keras pemerintah kolonial Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan para
aktivis politik serta membubarkan partai politik berhaluan radikal, SPIKA dan
PAI merupakan darah segar bagi pergerakan nasional.
Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan
nasional di seluruh Tanah Air, memberitakan dan mempropagandakan kelahiran
SPIKA dan PAI sebagai gerakan yang sangat progresif. Tidak heran jika para
tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader
PAI, sehingga dalam waktu singkat PAI diterima menjadi anggota Gabungan Partai
Politik Indonesia (GAPPI) karena PAI yang berasas Islam pada Pasal II Anggaran
Dasarnya, merumuskan:
a.
bahwa
Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah Tanah Airnya, yang kepadanya
mereka mempunyai kewajiban;
b.
bahwa
kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya wajib
diutamakan.
Pada Pasal III, PAI
merumuskan tujuan dan usahanya sebagai berikut:
1.
Mendidik
peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada
Tanah Air dan masyarakatnya.
2.
Bekerja
dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial,
yang menuju keselamatan rakyat dan Tanah Air Indonesia.
PAI
juga diterima menjadi anggota Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang
merupakan federasi dari semua partai dan perkumpulan Islam, karena PAI yang
nasionalistis itu berasaskan Islam. Tidak banyak partai yang diterima sekaligus
sebagai anggota GAPPI dan MIAI. Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Inilah
pengakuan bahwa warga keturunan Arab di Indonesia diterima dan diakui secara
utuh sebagai putera Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, seluruh partai
politik, termasuk PAI dibubarkan. Dan ketika Indonesia merdeka, PAI tidak
didirikan lagi. Jika di masa penjajahan, warga keturunan Arab merasa perlu
menegaskan jati diri keindonesiaannya, di alam kemerdekaan pimpinan dan para
anggota PAI menolak politik “kegolongan yang berdasarkan minoritas.” Oleh sikap
demikiran inilah, PAI tidak dihidupkan lagi.
Konsisten pada sikap tersebut, sejak awal
kemerdekaan bekas pimpinan dan anggota PAI masuk ke dalam berbagai badan
perjuangan dan partai politik menurut alirannya masing-masing. Bekas aktikvis
PAI Mr. Hamid Algadri menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP), kelak berkiprah di Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan bekas
Ketua PAI, AR. Baswedan, menjadi Menteri Muda Penerangan yang kelak menjadi
anggota Delegasi Diplomatik Republik Indonesia ke Timur Tengah untuk mencari
dukungan internasional bagi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Baswedan
berkiprah di Partai Masyumi.
Wajib Hukumnya Melawan Belanda
Di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan,
persatuan umat Islam sebagai penduduk mayoritas kembali ditunjukkan. Tanpa
keraguan sedikitpun, para ulama mengeluarkan fatwa bahwa berjuang melawan
Belanda, wajib hukumnya. Gugur dalam perjuangan membela agama dan negara,
difatwakan sebagai mati syahid. Tidak kurang dari lima fatwa tentang hukum
wajib melawan Belanda dikeluarkan oleh para ulama dan pemimpin Islam. Hal itu
menunjukkan, para pemimpin Islam satu kata dalam sikap menghadapi Belanda yang
hendak kembali menjajah Indonesia.
1.
Pada
Konferensi Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura di Surabaya (21-22 Oktober 1945),
K.H.M. Hasjim Asj’ari memfatwakan wajib hukumnya melawan Belanda.
2.
Pada
29 Oktober 1945, Pimpinan Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa bahwa mati dalam
memperjuangkan agama dan negara adalah mati syahid.
3.
Bulan
November 1945, tiga puluh ulama di daerah Yogyakarta mengeluarkan fatwa bahwa
adalah merupakan fardhu ‘ain (kewajiban
perseorangan) untuk memerangi orang-orang kafir yang menghambat usaha
kemerdekaan.
4.
Pada
5-9 Desember 1945, Kongres Ummat Islam se-Sumatera di Bukittinggi mengeluarkan
fatwa wajib hukumnya melawan Belanda.
5.
Pada
Kongres Masyumi di Kediri, 10 Februari 1946, K.H. A. Wahab Chasbullah
menyampaikan fatwa Ketua Majelis Syuro Masyumi, K.H.M. Hasjim Asj’ari bahwa
melawan Belanda hukumnya wajib.
Dalam
pada itu, Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta
selain bersepakat membentuk Partai Politik Islam Masyumi, mengukuhkan Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII) sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam
lapangan politik; Hizbullah sebagai satu-satunya gerakan pemuda Islam dalam
lapangan militer; juga sepakat membentuk badan perjuangan dengan nama
Sabilillah yang dikukuhkan sebagai satu-satunya lapangan gerakan umat Islam
dalam militer dan perlawanan. Anggota Sabilillah adalah para ulama yang berusia
35 tahun ke atas.
Untuk memperkuat barisan perjuangan umat
Islam, pada 26 Oktober 1946, dalam sebuah Maklumat Bersama yang ditandangani
oleh K.H. Masjkur (Panglima Markas Tertinggi Sabilillah), Zainul Arifin
(Panglima Markas Tertinggi Hizbullah), dan R.H. Benjamin (Ketua Umum Pucuk
Pimpinan GPII); dibentuklah Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia. Para
penandatangan Maklumat Bersama menjadi Ketua Dewan Mobilisasi dibantu oleh
Anwar Harjono sebagai Sekretaris Umum. Dewan Mobilisasi bermarkas di Malang,
Jawa Timur.
Sukarno-Hatta-Kasman: Pemimpin di Masa Krisis
Perjalanan sejarah perjuangan bangsa kita
memang tidak pernah sepi dari peranan tokoh-tokoh pejuang Muslim. Mereka, dalam
istilah Jenderal TNI (Purn) Dr. A.H. Nasution, adalah para pemimpin di
masa-masa kritis. “Dapat saja kemudian posisi berubah, bahkan menurun, namun
perlu kita sadari, bahwa untuk tampil jadi pemimpin pada saat-saat genting,
pada saat berbahaya itu, pada saat masih banyak tokoh yang ragu-ragu dan yang
masih banyak pula yang belum dapat atau belum mau menampilkan diri, pastilah
diperlukan kepemimpinan yang bersifat pelopor,” kata Pak Nas, dalam tulisan menyambut
75 tahun Mr. Kasman Singodimedjo (1904-1982).
Menurut Pak Nas, ketampilan ikut memimpin
negara atau tentara pada saat yang amat kritik itu, tidak akan datang dari
“pemimpin-pemimpin rutin”. Tugas pemimpin di masa-masa kritik adalah pasti jauh
lebih berbahaya dan adalah bersifat lebih menentukan bagi nasib bangsa,
dibanding dengan seperti misalnya masa tahun-tahun Orde Baru, di mana negara
dan tentara telah tegak terkonsolidasi. Dalam rangka ini Pak Nas mencatat, di
masa sekitar Proklamasi Kemerdekaan, “lazim kami di kalangan pemuda menyebut
Sukarno-Hatta-Kasman, di mana Pak Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang
terdepan ketika itu....”
Memang, peran Kasman di tahap-tahap awal
konsolidasi militer kita, sangat besar, atau sekurang-kurangnya tidak layak
dilupakan. Kasman berturut-turut pernah menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) Pembela Tanah Air (PETA) di Jakarta.
Dalam posisi inilah Kasman dicatat oleh Jenderal Nasution sebagai salah satu
dari tokoh nasional yang amat berpengaruh. “Hanya dengan pimpinan
Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo, rakyat dapat digerakkan secara massal, dan
kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu
gerakan yang hanya setengah-setengah saja.”
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Kasman sempat
menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menjadi Kepala
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal Tentara Nasional
Indonesia (TNI), menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menjadi
Jaksa Agung Republik Indonesia, dan sesudah reorganisasi Tentara Republik
Indonesia (TRI), Pak Kasman dilantik menjadi Kepala Kehakiman Militer.
Nama Kasman dicatat sejarah, karena pada pagi
hari tanggal 18 Agustus 1945 dialah yang berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo
(1890-1954) untuk menerima saran Mohammad Hatta (1902-1980) menghapus anak
kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dari rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi
pemeluknya”, dan menukarnya dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sila
pertama dari Pancasila, dasar negara kita.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Seorang sarjana Perancis, Remy Madinier,
dalam studinya mengenai Partai Masyumi, mencatat bahwa pada
episode terakhir perjuangan kemerdekaan yang begitu dramatis, di tubuh Masyumi
mencuat sosok kenegarawanan dari tiga tokoh pemimpinnya serta menempatkan mereka
di jajaran terdepan sebagai calon-calon pemimpin pemerintahan. Ketiganya ialah Mr.
Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh
Masyumi itu telah memainkan peranan yang sangat penting dan signifikan.
Sejarah negara ini mungkin akan lain jalannya
jika tidak muncul inisiatif Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara
(1911-1989) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera segera sesudah Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan
beberapa menteri ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948.
Mendengar peristiwa Agresi Militer II Belanda
itu, Sjafruddin yang sedang berada di Sumatera segera mengumpulkan beberapa
tokoh untuk membahas perkembangan situasi. Tanpa mengetahui bahwa Presiden dan
Wakil Presiden telah mengirim kawat kepadanya untuk membentuk suatu
pemerintahan darurat, Sjafruddin dan kawan-kawan memproklamirkan berdirinya
PDRI, terhitung sejak 22 Desember 1948. Sjafruddin yang dipilih menjadi Ketua
PDRI, sengaja tidak menggunakan sebutan Presiden untuk jabatannya. Hal itu,
menurut pengakuannya sendiri, “disebabkan karena saya belum mengetahui adanya
mandat Presiden Sukarno dan karena didorong oleh rasa keprihatinan dan
kerendahan hati....”
Sejarah mencatat betapa efektifnya kekuasaan
PDRI. Itu dapat dibuktikan oleh tiga hal. Pertama,
dipatuhinya segala perintah PDRI oleh para pemimpin di Jawa –termasuk oleh
Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kedua,
betapa keras usaha Belanda menghantam PDRI, sampai-sampai Belanda melansir
ejekan bahwa PDRI tidak lain dari Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Ketiga, pesan-pesan yang disampaikan oleh radio PDRI dapat diterima
dengan baik di luar negeri, termasuk di New Delhi, dan mengilhami pemimpin
India, Jawaharlal Nehru untuk menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia guna
mendukung Indonesia. Konferensi dihadiri oleh wakil-wakil dari Afganistan, Australia,
Saudi Arabia,Myanmar, Ethiopia, Irak, Mesir, Libanon, Pakistan, Filipina,
Srilangka, dan Yaman sebagai peserta. Adapun wakil-wakil dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRT),Nepal, Selandia Baru, dan Thailand hadir sebagai peninjau.
Perjalanan bangsa Indonesia juga mungkin akan
lain jadinya jika Sjafruddin selaku Ketua
PDRI tidak bersedia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Bung Karno dan Bung
Hatta, sesudah Sukarno-Hatta “meninggalkan” PDRI dalam perundingan yang
melahirkan Persetujuan Roem-van Roijen, 7 Mei 1949. Tentang hal ini, baik kita simak
penilaian Sjafruddin terhadap Mr. Mohamad Roem sebagai berikut:
“Hanya sekali dia (Roem) ‘menyeleweng’. Yakni
tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Sukarno –yang waktu itu bukan
menjabat Presiden karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van
Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Pernyataan Roem-van Roijen’
(Mei 1949). Dia berani berbicara, seolah-olah tidak ada PDRI. Padahal PDRI pada
waktu itu adalah satu-satunya pemerintah yang sah. Tetapi saya yakin, bahwa
Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk
kepentingan nusa dan bangsa, dan sedikit pun tidak ada niat padanya untuk
meninggalkan PDRI. PDRI pada waktu itu memang sulit dihubungi, sebab masih ada
di tempat persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau
memang sungguh-sungguh diusahakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI
mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di
Sumatera, dan Jawa, serta luar negeri. Tetapi karena saya yakin tentang
integritas dari Roem dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem
dengan van Roijen, kami tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan
inilah yang akhirnya membawa kemenangan!”
Pernyataan Roem-van Roijen
Konferensi Inter-Asia di India mendesak
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar melakukan berbagai upaya memulihkan
pemerintahan Republik Indonesia. Antara lain karena desakan itu, lahir Resolusi
Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1049 yang pada pokoknya meminta Belanda
menghentikan agresi milter, membebaskan para pemimpin Republik, dan kembali ke
meja perundingan.
Belanda yang semakin terjepit posisinya,
masih berusaha mengelak dari kewajiban memenuhi Resolusi DK-PBB. Wakil
Tertinggi Ratu Belanda di Indonesia, Dr. Beel, mengusulkan agar para pemimpin
RI yang sudah kumpul sebagai tawanan di Bangka terbang ke Den Haag guna
menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB). Usul Beel itu ditolak. Para pemimpin
RI menuntut supaya sebelum dilaksanakan KMB, kedudukan pemerintah RI lebih dulu
dipulihkan. Sikap para pemimpin RI didukung oleh para pemimpin yang tidak
ditawan oleh Belanda seperti Dr. Darmasetiawan, Dr. Halim, dan M. Natsir.
Setelah tidak mampu mengelak dari tekanan
dunia internasional, akhirnya pada 14 April 1949 diselenggarakan perundingan
antara Belanda dengan Indonesia di Jakarta. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr.
J.H. van Roijen. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohamad Roem (1908-1983).
Perundingan yang berakhir pada 7 Mei 1949 itu
menghasilkan Pernyataan Roem-van Roijen sebagai sebuah “Pernyataan permulaan
mengenai kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.”
Atas dasar Pernyataan Roem-van Roijen,
tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta serta para pemimpin RI dibebaskan dan dikembalikan ke
Yogyakarta, dan itu berarti pemerintahan RI berfungsi kembali seperti sedia
kala.
Sebagai salah satu episode dari bagian akhir
revolusi kemerdekaan sebelum KMB yang melahirkan pengakuan Belanda dan dunia
internasional secara utuh dan menyeluruh atas kemerdekaan Negara Republik
Indonesia (Serikat), Pernyataan Roem-van Roijen adalah dokumen bersejarah yang
sangat penting bagi kelanjutan eksistensi RI. Bagi Roem, Pernyataan itu telah
menempatkan tokoh kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, itu dalam deretan
nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama
pribadinya.
Yogya Kembali, Yogya Menanti
Pernyataan Roem-van Roijen ternyata
menyisakan masalah di kalangan pemimpin dan pejuang PDRI sebagai pemegang
kendali pemerintahan yang riil saat para pemimpin pemerintahan ditawan oleh
Belanda. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, merasa ditinggalkan. Panglima
Besar Jenderal Soedirman yang dalam keadaan sakit memimpin gerilya, tidak
terima dengan penggunaan istilah “pengikut Republik yang bersenjata” dalam
Pernyataan Roem-van Roijen. Bagi Soedirman, penggunaan istilah itu seolah-olah
menganggap Angkatan Perang RI sebagai gerombolan bersenjata.
Kemarahan kedua pemimpin perjuangan itu,
tentu menggelisahkan. Jenderal T.B. Simatupang mencatat, setelah Yogyakarta
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kini Yogyakarta menunggu kedatangan Sjafruddin
Prawiranegara dan Jenderal Soedirman.
Kedatangan Sjafruddin dan Soedirman bagi para
pemimpin yang sudah berada di Yogya, sangat krusial. Bukan saja untuk
kelanjutan proses perjuangan, tetapi bahkan bagi keutuhan RI. Bukankah keduanya
yang memimpin perjuangan, bahkan memimpin negara, ketika Sukarno dan Hatta
ditawan Belanda. Dan sekarang “Yogya telah kembali”, tetapi kembalinya Yogya
bukan karena keputusan mereka. “Yogya kembali”adalah hasil perundingan antara
Belanda dengan utusan yang diangkat oleh pejabat yang secara formal tidak lagi
berkuasa.
Akan tetapi, Sjafruddin dan Soedirman
ternyata kembali juga ke Yogya. Kedua pemimpin telah menunjukkan kualitas dan
integritas pribadinya dengan berani meninggalkan kepentingan subjektif, dan
memilih nilai yang lebih tinggi, yaitu memenangkan perjuangan bersama.
Sjafruddin dan Soedirman kembali ke Yogya demi keutuhan perjuangan.
Pembentukan PDRI, Pernyataan Roem-van Roijen,
dan Yogya kembali, memperlihatkan dengan jelas corak pilihan yang diambil oleh
para pemimpin pendahulu kita setelah suasana dilematis teratasi, yakni sebuah
ikhtiar menegakkan etika kekuasaan (the
ethics of power).
Dengan sekali lagi mengutip Taufik Abdullah,
ikhtiar menegakkan etika kekuasaan itu tercermin dalam kalimat pendek Ketua
PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dalam sidang kabinet pada 13 Juli 1949: “PDRI
tidak mempunyai pendapat tentang Pernyataan Roem-van Roijen, akan tetapi segala
akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.” Kalimat seperti itu,
hanya mungkin diucapkan oleh seorang yang berjiwa negarawan.
Mosi Integral Natsir
Pada 29 Desember 1949, Belanda secara resmi
mengakui (Belanda menggunakan istilah menyerahkan) kedaulatan RIS, kecuali
Irian Barat. Dalam RIS tergabunglah 16 negara bagian, termasuk negara bagian
Republik Indonesia di Yogyakarta. Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering,
pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur mengeluarkan
resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung
dengan Negara Bagian RI di Yogyakarta. Pada 30 Januari 1950, DPRD Kabupaten
Sukabumi di Negara Bagian Pasundan
mengeluarkan resolusi yang sama. Resolusi serupa juga datang dari DPRD
Sulawesi Selatan, dan DPRD Jakarta. Selain di empat daerah tersebut,
suara-suara yang menghendaki bergabung dengan RI, terdengar di banyak tempat.
Di Negara Bagian Sumatera Timur malah terjadi demonstrasi besar yang
menyebabkan polisi harus turun tangan.
Resolusi dan demonstrasi itu, biarpun baik
niatnya, dalam pandangan Mohammad Natsir (1908-1993), dapat menyebabkan
tergerogotinya eksistensi Indonesia. Natsir berpendapat, diperlukan suasana
tenang dan penyelesaian menyeluruh (integral) untuk keluar dari kemelut yang
dapat meledakkan sesuatu yang tidak terduga itu.
Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS,
Natsir membicarakan masalah itu dengan ketua fraksi paling kiri, Ir. Sakirman
dari Partai Komunis Indonesia (PKI); dan dengan ketua fraksi paling kanan,
Sahetapy Engel dari Bijeenkomst voor
Federale Overleg (BFO = Majelis Permusyawaratan Federal).
Situasi waktu itu memang cukup panas. Negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta, dan menjadi
kebanggaan 70 juta rakyatnya, sejak lahirnya RIS telah merosot derajatnya
menjadi negara bagian dengan penduduk sekitar 3 juta di Yogyakarta, dan
statusnya pun sama dengan negara-negara bagian lainnya.
Setelah
beberapa bulan berkeliling Indonesia untuk menemui tokoh-tokoh dan para
pemimpin negara bagian, serta dari hasil diskusinya, termasuk dengan Sakirman
dan Engel, Natsir menyimpulkan dua hal:
1.
Para
kepala negara-negara bagian dan tokoh-tokohnya tidak dapat menerima pembubaran
negaranya, untuk alasan apapun. Mereka berpendapat, mereka mempunyai status
yang sama dengan RI di Yogya, sebagai negara bagian yang menurut Konstitusi RIS
adalah negara federal, dan
2.
Perundingan
tersulit terjadi di Yogyakarta. Di sana masih banyak yang berkeinginan kembali
ke negara kesatuan sesuai dengan Proklamasi. Orang-orang RI di Yogya yang
merasa sebagai perintis dan modal perjuangan, merasa heran jika mereka harus
membubarkan diri bersama-sama dengan BFO ciptaan van Mook.
Kepada
tokoh-tokoh RI di Yogyakarta, Natsir mengajukan dua pilihan: pertama, memerangi negara-negara bagian
itu sampai mereka menyerah dan bersedia membentuk negara kesatuan; kedua, meminta negara-negara bagian itu
untuk bersama kita sendiri membubarkan diri dan mendirikan kembali negara
kesatuan.
Setelah berdiskusi dan menyerap aspirasi yang
berkembang, Natsir mengajukan Mosi Integral, yang populer dengan nama Mosi
Integral Natsir. Ketika berbicara di Parlemen RIS, 3 April 1950, Natsir tidak merasa perlu bicara soal federalisme
atau unitarisme. Bagi Natsir, mereka
yang menyokong Mosi Integral tidak perlu disebut unitaris. Dan mereka yang
menolak Mosi Integral pun tidak perlu disebut federalis. Karena persoalan yang
terletak di hadapan kita, kata Natsir, tidak ada hubungannya dengan bentuk
struktur negara federalis atau unitaris, melainkan bagaimana kita
menginventarisir hasil perjuangan bersama guna kepentingan bersama pula di masa
depan.
Berkat kearifan Natsir di dalam menyusun Mosi Integral, mosi itu diterima secara
aklamasi oleh Parlemen RIS. Pemerintah juga menerima dengan baik Mosi Integral
Natsir. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta menyatakan bahwa dia akan
menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapi.
Dengan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman, proses
kembali ke NKRI berlangsung mulus dalam suasana damai. Tidak ada setetes darah
pun yang ditumpahkan, dan tidak ada seorang pun yang merasa dipermalukan.
Jejak Politisi Muslim
Pembentukan nasionalisme, proses menjadi
Indonesia, perjuangan melanjutkan eksisitensi RI melalui PDRI, Pernyataan
Roem-van Roijen, dan Mosi Integral Natsir yang mengembalikan negara Republik
Indonesia dari bentuk negara federal (RIS) ke negara kesatuan (NKRI), bukan
saja merupakan episode terakhir dari revolusi kemerdekaan, tetapi juga
menyajikan fakta tidak terbantahkan bahwa di saat-saat paling kritis bagi
eksistensi RI, para politisi Muslim telah memberikan peran yang sangat
signifikan.
Betapa tidak mudah menjadi Indonesia. Para
pendahulu kita dengan caranya masing-masing telah meretas jalan ke arah
pembentukan negara-bangsa Indonesia. Di antara yang telah memberi peran cukup
signifikan ialah para pemimpin dan politisi Muslim. Oleh karena itu, umat Islam
memiliki tanggung jawab sangat besar untuk melanjutkan peran sejarah para
pendahulu kita: merawat NKRI ini sebaik-baiknya. Yang tidak kalah pentingnya,
sesungguhnya sejak dahulu tidak pernah ada masalah antara Islam dengan
kebangsaan. Kita dapat menjadi Muslim yang taat yang dengan riang gembira
menyanyikan Indonesia Tanah Airku.
Maka kepada mereka yang tiba-tiba sangat
bersemangat berbicara mengenai NKRI sebagai harga mati, marilah kita baca
sejarah dengan hati jernih, jujur, dan benar.
Wa
Allahu ‘alam bi al shawab.[]
Sukabumi, 13 November 2016
13 Shafar 1438