Menjadi Indonesia[1]
(Beberapa Sketsa Peristiwa)
Oleh: Lukman Hakiem
1
Di masa penjajahan, kata “Indonesia” belum dikenal.
Wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini, dikenal dengan nama
Hindia Belanda. Hampir-hampir dilupakan sejarah, yang pertama kali menggunakan
“Indonesia” sebagai nama organisasi ialah organisasi para mahasiswa Hindia
Belanda yang sedang menuntut ilmu di Negeri Belanda, Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia-Belanda, PHB).
Pada 1920-an, terjadi peristiwa yang sangat revolusioner,
yaitu perubahan nama organisasi para mahasiswa pribumi itu menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan
Indonesia, PI). Tidak berhenti sampai di situ, pada mahasiswa pribumi itu
mengubah nama majalah organisasinya dari Hindia
Poetera menjadi Indonesia Merdeka,
memperkenalkan semboyan “Indonesia Merdeka, Sekarang!”, serta mengumumkan
Manifesto Politik yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya
kemerdekaan Indonesia yang demokratis.
Menurut Taufik Abdullah (2005: xii-xiii), peristiwa itu
sekaligus mengatakan tiga hal yang fundamental: (1) adanya sebuah bangsa
bernama Indonesia, (2) adanya sebuah negeri yang bernama Indonesia, dan (3)
bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya.
Para mahasiswa aktivis PI di Negeri Belanda itulah yang
sesungguhnya merupakan pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang
radikal.
Ketika peristiwa revolusioner itu terjadi, Ketua PHB pada
1923 ialah Soekiman Wirjosandjojo (1896-1974). Di masa kepemimpinan Soekiman,
PHB memperingati hari ulang tahun ke-15. Pada kesempatan itulah diterbitkan
Buku Peringatan yang isinya mencerminkan semangat yang menjiwai perubahan nama
PHB menjadi PI. PI juga mendeklarasikan Dasar-dasar Perhimpunan Indonesia yang
pada pokoknya menekankan ideologi kesatuan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sesudah pada 1925 para mahasiswa pribumi di Negeri
Belanda menggunakan nama Indonesia untuk nama organisasinya, pada kongres tahun
1926 kata Indonesia dipergunakan oleh organisasi Indonesia Muda. Sekitar tahun
itu juga Jong Islamieten Bond (JIB) melekatkan
kata Indonesia pada nama organisasi kepanduan yang dibentuknya, Nationale Indonesische Padvendrij
(Natipij). Tiga tahun kemudian Kongres Pemuda Indonesia 1928 berikrar berbangsa
dan bertanah air yang satu serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dr. Soekiman Wirjosandjojo kelak menjadi aktivis Partai
Sarekat Islam Indonesia, salah seorang penggagas pembentukan Sekolah Tinggi
Islam (STI, kini Universitas Islam Indonesia), aktivis Muhammadiyah, mendirikan
dan memimpin Partai Islam Indonesia (PII), anggota Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha
Persiapan Kemerdekaan) yang merumuskan konstitusi dan dasar negara, Ketua Umum
(pertama) Partai Politik Islam Masyumi, dan Perdana Menteri Republik
Indonesia.
2
Ke Mesir pada pertengahan 1920-an, datang seorang pemuda
bernama Abdul Kahar Moedzakkir (1907-1973) untuk belajar di Universitas
Al-Azhar, kemudian di Universitas Darul Ulum. Selama berada di Mesir,
Moedzakkir tidak hanya belajar, melalui berbagai tulisannya di Al-Ahram, Al-Fatayat, dan Al-Hayat,
dia aktif memperkenalkan kepada publik di Mesir khususnya, dan Timur Tengah
umumnya, tentang bangsa Indonesia yang sedang berjuang melepaskan diri dari
penjajahan Belanda.
Berkat aktivitasnya itu, Moedzakir populer di kalangan
aktivis Mesir. Pada 1936, Moedzakkir diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayid
Amin al-Husaini, untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina,
mewakili Asia Tenggara. Setelah berkomunikasi dengan Partai Sarekat Islam
Indonesia di Tanah Air, Mudzakkir yang baru berusia 24 tahun berangkat
menghadiri muktamar. Kehadiran Moedzakkir dalam suatu konferensi internasional,
tidak syak lagi merupakan tantangan terbuka terhadap seluruh struktur kekuasaan
pemerintah kolonial yang pada saat itu, seperti diklaim oleh Perdana Menteri
Belanda Colyn, kekuasaan Belanda di Hindia-Belanda kokoh seperti gunung.
Moedzakkir hadir bukan saja sebagai peserta muktamar
termuda, tetapi juga terpilih menjadi sekretaris muktamar mendampingi Mufti
Besar Palestina. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Moedzakkir untuk
memperkenalkan kondisi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sekaligus meminta dukungan muktamar untuk perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan.
Seperti dicatat M. Rasjidi (1986:47), pada periode
1930-an di Mesir dan Timur Tengah publik bersimpati kepada Indonesia karena
aktivitas Moedzakkir yang merupakan lambang atau personifikasi Indonesia di
Timur Tengah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta besar Indonesia
di Mesir, Moedzakkir telah menjalankan “tugas-tugas diplomatik” memperkenalkan
Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Pada 1933, Moedzakkir turut serta membentuk Perhimpunan
Indonesia Raya (PIR) di Mesir, yang merupakan jaringan dari Perhimpunan
Indonesia di Belanda, dan terpilih menjadi ketua. PIR di bawah kepemimpinan
Moedzakkir mendirikan kantor berita Indonesia
Raya. Tuntutan Indonesia merdeka disiarkan oleh kantor berita tersebut.
Tidak syak lagi, aktivitas Moedzakkir selama di Mesir,
kelak mempermudah ikhtiar Menteri Muda Luar Negeri H. Agus Salim dan
kawan-kawan untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari
Mesir yang terwujud dengan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan
Indonesia-Mesir pada 10 Juni 1947.
Setelah Mesir, pada 29 Juni 1947 giliran pemerintah
Libanon mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada 24 November 1947, Raja Abdul Aziz
al Su’ud menyerahkan surat pengakuan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kemerdekaan
Indonesia kepada Ketua Delegasi Diplomasi RI, H.M. Rasjidi.
Abdul Kahar Moedzakkir kelak tercatat sebagai anggota Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai; salah
seorang anggota Panitia Sembilan perumus Rencana Pernyataan Kemedekaan, Piagam
Jakarta, yang merupakan cikal bakal Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; salah seorang penggagas pembentukan STI dan beberapa
tahun menjadi rektor STI; aktivis Muhammadiyah; aktivis Partai Masyumi; dan
anggota Majelis Konstituante Republik Indonesia.
3
Untuk mempercepat proses pembahasan Rancangan Pernyataan
Kemerdekaan dan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, di luar prosedur
resmi, Ir. Sukarno (1901-1970) menunjuk sembilan anggota Dokuritsu
Zjunbi Tjoosakai menjadi anggota Panitia Kecil terdiri dari sembilan orang.
Dari Panitia Sembilan itu pada 22 Juni 1945 lahir Piagam Jakarta yang di
dalamnya terdapat rumusan: “.... dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya....”
Betapapun Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan
meyakinkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi
Tjoosakai agar menerima rumusan itu sebagai kompromi terbaik antara
golongan Islam dengan golongan Kebangsaan, pro dan kontra terhadap rumusan itu
tetap muncul.
Mula-mula Latuharhary menyatakan keberatannya atas
rumusan itu. Keberatan Latuharhary dijawab oleh H. Agus Salim (1884-1954) dan
K.H.A. Wahid Hasjim (1914-1953). Wahid Hasjim mengatakan kepada Latuharhary dan
pihak-pihak yang keberatan terhadap rumusan tersebut bahwa inilah rumusan hasil
kompromi yang bisa dicapai. Jika ada yang menyebut rumusan tersebut terlalu
tajam, menurut Wahid Hasjim, ada juga yang berpendapat sebaliknya. Bahkan ada
yang bertanya kepada Wahid Hasjim, dengan rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban
mnjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” apakah orang Islam sudah
boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang didirikan ini?
Jika Latuharhary cs keberatan dengan keseluruhan rumusan,
Ketua PP Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) justru meminta agar
kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus, sehingga rumusan dalam Piagam
Jakarta itu berbunyi: “.... dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam....”
Demikian kerasnya perdebatan, Abdul Kahar Moedzakkir yang
mendukung Ki Bagus, sampai memukul meja.
Ki Bagus sendiri memulai salah satu pembicaraannya dengan kalimat: “Saya
berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak,” dan ketua rapat Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat menawarkan voting untuk masalah tersebut.
Di tengah suasana rapat yang panas dan nyaris berujung
pada jalan buntu, Ajengan Ahmad Sanusi (1888-1954) tampil bijak. Seraya menolak
voting, dia mengharap “supaya permusyawaratan berjalan dengan tenang, dengan
memancarkan pikiran ke sebelah kanan dan kiri, ke luar dan kembali.” Sanusi
mengingatkan rapat agar jangan mengambil keputusan dangan tergopoh-gopoh.
Sesudah mengingatkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai agar berlindung kepada Tuhan
masing-masing, Sanusi mengusulkan kepada ketua rapat agar suasana
permusyawaratan didinginkan dulu. Usul Sanusi diterima oleh Radjiman, dan rapat
malam itu ditunda.
Sesudah rapat ditunda sesuai saran Sanusi, malam itu
Sukarno melakukan pendekatan kepada para anggota Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai dari kalangan Kebangsaan dan Islam. Dengan
pendekatan yang dilakukan Sukarno hingga “hampir datang waktu subuh,” hasil
kerja Panitia Sembilan pun keesokan harinya “Dengan suatu bulat diterima
Undang-Undang Dasar ini.”
Jasa Ajengan Sanusi mendinginkan suasana, sehingga
rancangan Pembukaan UUD dapat disyahkan, niscaya tidak boleh dicoret dari
sejarah.
4
Rancangan Undang-Undang Dasar hasil kerja Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai pada 18
Agustus 1945 ternyata dimentahkan lagi. Berdalih kalangan Kristen di Indonesia
Timur mengancam akan memisahkan diri dari Republik Indonesia yang sehari
sebelumnya baru diproklamasikan kemerdekaannnya, Mohammad Hatta mendesak
kalangan Islam agar besedia mencoret anak kalimat: “... dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Situasi pada pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang
dimulanya rapat Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI) itu
sungguh-sungguh sangat krusial. Menurut Prawoto Mangkusasmito (1972:320),
ketika seluruh eksponen non-Islam menghendaki penghapusan anak kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sejarah telah
meletakkan seluruh beban psikologis itu di pundak Ki Bagus Hadikusumo.
Dari 27 anggota PPKI, hanya terdapat 3 orang saja
eksponen perjuangan Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H.A. Wahid Hasjim, dan
Mr. Kasman Singodimedjo. Pada lobbi menjelang rapat 18 Agustus itu, menurut
Prawoto, K.H.A. Wahid Hasjim tidak ada, karena masih dalam perjalanan di Jawa
Timur; sedangkan Kasman sebagai anggota tambahan, baru pagi itu mendapat
undangan untuk menghadiri rapat PPKI sehingga belum mengetahui sama sekali
duduk persoalan yang hendak diperbincangkan. Seperti dikatakan di atas, praktis
seluruh tekanan psikologis mengenai berhasil atau tidaknya PPKI menetapkan UUD,
diletakkan di pundak Ki Bagus sebagai satu-satunya eksponen Islam yang hadir
pada saat itu dan mengerti seluruh duduk persoalan yang sedang dibicarakan.
Ketika Ki Bagus akhirnya setuju rumusan “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan
rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, antara lain karena dilobbi oleh Kasman
Singodimedjo (1904-1982), muluslah pengesahan UUD oleh PPKI. Ki Bagus
menyetujui perubahan itu, karena dia berkeyakinan Ketuhanan Yang Maha Esa itu
ialah tauhid.
Tafsir Ki Bagus terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa,
diiyakan oleh H. Agus Salim (Majalah Hikmah,
21 Juni 1953). Menurut Salim, sebagai salah seorang yang turut serta membuat
rencana pernyataan kemerdekaan sebagai pendahuluan (preambule) rencana Undang-Undang Dasar kita yang pertama dalam
Majelis Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu
Zjunbi Tjosakai) di masa akhir-akhir kekuasaan Jepang, dia ingat betul,
bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa
dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan “Aqidah”
kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah
air itu suatu hak yang diperoleh daripada rahman Tuhan Yang Maha Esa dengan
ketentuan-Nya, dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut
kehendak-Nya.
5
Kemerdekaan telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,
tetapi pemerintah kolonial Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka,
para pemimpin muda negara belia Indonesia bersiasat membawa persoalan Indonesia
ke forum internasional. Siasat itu didasari kenyataan, pemerintah Republik
Indonesia mempunyai kekuasaan de facto
yang ditaati oleh rakyat sedangkan Belanda datang lagi ke Indonesia untuk
memulihkan kekuasaan de jure-nya.
Meskipun enggan, pada akhirnya pemerintah Belanda datang
menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir (1909-1966). Dan Sjahrir serta para
pemimpin RI lainnya dengan cerdik menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu
bertindak sebagaimana layaknya pemimpin dari suatu negara yang merdeka dan
berdaulat.
Dalam proses diplomasi itu mau tidak mau kita mesti
mencatat salah seorang bintang cemerlang yang sejak perundingan Linggajati di
Jawa Barat sampai Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, terus menerus
terlibat. Orang tersebut ialah Mr. Mohamad Roem (1908-1983), aktivis Jong Islamieten Bond yang saat diminta
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menjadi anggota delegasi perundingan
RI, ragu dan merasa perlu meminta pendapat H. Agus Salim. Jawaban Salim lugas:
“Itu bukan suatu problem. Terima, Roem.”
Meskipun Masyumi, tempat Roem berkhidmat, menolak politik
perundingan, setelah berkonsultasi dengan Ketua Umum Masyumi, Soekiman
Wirjosandjojo, Roem aktif dalam berbagai proses perundingan dengan Belanda. Masyumi
menolak berunding dengan Belanda, karena tidak percaya Belanda akan menaati
hasil perundingan, tetapi Masyumi mempersilahkan kader-kadernya secara pribadi
berkiprah dalam ikhtiar bersama mempertahankan kemerdekaan.
Keyakinan Masyumi bahwa Belanda tidak akan taat,
terbukti. Perjanjian Linggajati dilanggar oleh Belanda. Akan tetapi, Perjanjian
Linggajati adalah perjanjian internasional. Pelanggaran terhadap perjanjian itu
oleh Belanda, secara internasional telah meningkatkan isu Indonesia.
Perundingan dengan Belanda bukanlah untuk memecahkan persoalan Indonesia secara
langsung. Siasat berunding dengan Belanda adalah pembuka jalan untuk mencapai
penyelesaian yang lebih terjamin.
Roem, bukan hanya terlibat dalam berbagai perundingan.
Namanya bahkan terabadikan dalam sebuah dokumen Roem-Roijen Statement (7 Mei 1949) yang memulihkan para pemimpin RI
pada kedudukannya yang bermartabat di ibukota Yogyakarta, dan membuka jalan
bagi terselengaranya KMB serta berujung pada pengakuan (Belanda menyebutnya: penyerahan) kedaulatan RI pada 27 Desember
1949.
6
Pada 19 Desember 1948 pagi-pagi sekali, tentara Belanda
menyerang dan berhasil menduduki ibukota RI, Yogyakarta. Presiden, Wakil
Presiden, dan sejumlah menteri ditawan serta diasingkan ke Sumatera. Pada
saat-saat kritis itu, para pemimpin RI tidak kehilangan kejernihan berpikir.
Presiden dan Wakil Presiden mengirim mandat melalui kawat antara lain kepada
Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1986) untuk membentuk
pemerintahan darurat.
Dalam situasi negara terancam bubar, tanpa mengetahui
telegram yang dikirim kepadanya, mendengar ibukota diduduki oleh Belanda,
Sjafruddin yang sedang berada di Bukittinggi segera berkoordinasi dengan para
pejuang di Sumatera dan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sjafruddin menjadi ketuanya.
Melalui alat komunikasi mobile, berpindah-pindah tempat,
Sjafruddin menyuarakan eksistensi RI ke seluruh penjuru dunia. Pidato
Sjafruddin dan makumat-maklumat PDRI sampai ke New Delhi, India; dan markas
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, serta berhasil mementahkan klaim
Belanda bahwa negara RI sudah hilang dari peta dunia.
Gaung PDRI telah mengilhami pemimpin India untuk
mengumpulkan para pemimpin Asia guna memberi dukungan bagi perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia.
Di dalam negeri, eksistensi PDRI diakui dan dipatuhi oleh
aparat sipil dan militer. Jenderal Soedirman yang memimpin gerilya di Jawa, mendeklarasikan
dirinya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI. Sedangkan aparat
pemerintahan sipil menyatakan diri sebagai Komisaris PDRI di Pulau Jawa.
Tanpa langkah berani Sjafruddin membentuk dan memimpin
PDRI, bisa dipastikan umur negara RI berlangsung singkat saja, yaitu dari 17
Agustus 1945 sampai 19 Desember 1948. Sjafruddin dengan PDRI-nya telah
menyelamatkan eksistensi Republik.
Yang menarik, meskipun tokoh-tokoh PDRI dan Panglima
Soedirman menolak Roem-Roijen Statement,
karena dilakukan dengan mengabaikan eksistensi PDRI --secara juridis selama
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berada dalam tawanan
Belanda, Presiden RI yang disebut Ketua PDRI adalah Sjafruddin Prawiranegara--
dengan jiwa besar Sjafruddin mengembalikan mandat pembentukan pemerintah
darurat (yang tidak pernah dia terima) kepada Presiden Sukarno.
Dalam suatu sidang kabinet di Yogyakarta pada 13 Juli
1949, Sjafruddin menyampaikan kalimat pendek yang sarat makna: “PDRI tidak
mempunyai pendapat tentang ‘Pernyataan Roem-van Roijen’, tetapi segala akibat
yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Bagi Taufik Abdullah (2011:64) kalimat pendek dan
sederhana Ketua PDRI itu bukan saja telah merumuskan hasil putusan anggota
PDRI, tetapi juga memperlihatkan dengan sangat jelas corak pilihan yang diambil
setelah suasana dilematis diatasi. Sikap Sjafruddin yang disampaikan dengan
kaimat pendek dan sederhana, bagi Taufik Abdullah, adalah sebuah sejarah
tentang the ethics of power.
7
Sesuai dengan hasil KMB, dibentuklah negara Republik
Indonesia Serikat (RIS). Mengiringi
terbentuknya RIS, parlemen sementara Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang hanya efektif untuk (negara
bagian) Republik Indonesia di Yogyakarta[2] mampu memainkan peranan
yang justru sangat bermanfaat bagi kepentingan perjuangan dan kelak memudahkan
proses peralihan dari RIS ke Negara Kesatuan RI.
Para pejuang yang rata-rata masih berusia di
bawah 50 tahun itu dengan cerdas memainkan peranan politiknya masing-masing.
Ketika oleh KMB, negara Republik Indonesia disepakati harus berbentuk negara serikat (federal), dan
Republik Proklamasi berubah menjadi satu dari 16 negara bagian, Republik
Indonesia merelakan Ir. Sukarno untuk menjadi Presiden RIS, dan Drs. Mohammad
Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Karena terjadi kekosongan jabatan Presiden
RI, maka Ketua KNIP yang sekaligus Ketua Badan Pekerja-KNIP, Mr. Assaat
didaulat menjadi Pemangku Jabatan (Acting)
Presiden RI. Kursi yang ditinggalkan oleh Assaat itu kemudian diisi oleh
Prawoto Mangkusasmito (1910-1970). Dalam perubahan serba cepat itu, Prawoto
telah menunjukkan eksistensinya sebagai salah seorang pejuang Republik di
lingkaran inti.
Kelak, ketika Mohammad Natsir (1908-1993)
pada 3 April 1950 mengajukan Mosi Integral di Parlemen RIS sebagai respons atas
banyak unjuk rasa di berbagai daerah yang
menuntut pembubaran RIS dan pemulihan NKRI, faktor Sukarno-Hatta
dijadikan modal utama untuk mempermudah semua proses perubahan dan RIS ke NKRI.
“Dalam sejarah,” kata Natsir, “jangan kita lupakan faktor pribadi.” Menurut
Natsir, mutu pribadi menunjukkan “siapa itu Sukarno-Hatta.” Natsir yakin tidak akan ada di
antara negara bagian yang bisa mengatakan “tidak” kalau RI Yogyakarta
mengajukan nama Sukarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara
Kesatuan RI. “Di sinilah,” kata Natsir, “fungsi Sukarno-Hatta untuk
mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.”
Natsir berhasil meyakinkan berbagai kalangan
bukan saja untuk mendukung Mosi Integral yang dia ajukan di parlemen RIS,
tetapi juga sukses meyakinkan kalangan yang lebih luas untuk meninggalkan RIS
dan kembali ke Negara Kesatuan RI. Selama dua setengah bulan, Natsir
berkeliling ke berbagai negara bagian, melobbi mereka untuk mau beralih dari
RIS ke negara kesatuan. Natsir mengakui, usahanya tidak mudah, tetapi dengan
ketekunan, usaha itu akhirnya berhasil. Peralihan dari RIS ke NKRI yang
diarsiteki oleh Natsir terjadi tanpa pertumpahan darah, juga tanpa satu
golongan atau satu orang pun yang kehilangan muka.
Atas keberhasilannya memulihkan Negara
Kesatuan, Presiden Sukarno menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri NKRI. Ketika
mengajukan Mosi Integral dan berkeliling negara bagian guna memulihkan negara
kesatuan, Natsir tidak pernah berpikir untuk menjadi Perdana Menteri. Suatu
hari, sesudah terbentuk negara kesatuan, wartawan harian Merdeka, Asa Bafagih, bertanya kepada Presiden Sukarno mengenai
siapa yang akan dia tunjuk menjadi Perdana Menteri. Bung Karno menjawab
pertanyaan Bafagih dengan lugas: “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi? Dia punya konsepsi untuk
menyelamatkan Republik melalui konstitusi.”
Kelak, ketika diselenggarakan pemilihan umum
pertama sesudah 10 tahun Indonesia merdeka, Perdana Menteri Mr. Boerhanoeddin
Harahap (1917-1987) tercatat sebagai kepala pemerintahan yang berhasil
menyelnggarakan pemilihan umum yang bukan hanya demokratis tetapi juga sunyi
dari dari berbagai prilaku anarkis.
Sampai sekarang, Pemilihan Umum 1955 dicatat
sebagai pemilihan umum terbaik, terbersih, terjujur, dan paling adil sepanjang
sejarah RI. Padahal, Pemilu 1955 diselenggarakan di bawah payung undang-undang
pemilihan umum yang ultra-demokratis, dan di tengah keberbagaian ideologi yang
seringkali bertentangan secara diametral.
8
Sejarah mencatat dengan tinta emas, peranan
signifikan tokoh-tokoh umat Islam di bukan saja dalam proses merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga dalam proses menjadi Indonesia. Para
pendahulu kita itu tidak pernah menarik garis pemisah antara eksistensi dirinya
sebagai Muslim dengan statusnya sebagai warga bangsa.
Bahwa di dalam proses pembetukan
negara-bangsa ini terdapat gagasan-gagasan yang berbeda, misalnya mengenai
dasar dan struktur negara, tidak perlu kita cepat-cepat memberi kualifikasi
kepada yang berbeda itu sebagai pengkhianat bangsa atau tidak setia kepada
Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam proses, semua ide memang harus
dikonfrontasikan agar dengan demikian dapat ditmukan kesepakatan bersama yang
kukuh dan dapat dipertanggungjawabkan kepada generasi-generasi yang datang
kemudian.
Jika berbagai pendapat yang bwerbeda itu
tidak dikonfrontasikan, maka yang akan didapat paling banter cuma toleransi.
Toleransi tanpa konfrontasi, tanpa memahami gagasan masing-masing, hanyalah
upaya mengelak dari persoalan. Dan tokoh-tokoh pendiri negara ini dengan
caranya masing-masing telah mengemukakan pendapatnya denvan jujur dan terus
terang.
Menurut Mr. Mohamad Roem (“Saya Menerima Pancasila karena
Saya Orang Islam”, Panji Masyarakat
No. 378/Tahun XXIV, 4 Syafar 1403-21 November 1982), saat Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia, dirinya sudah berusia 37 tahun. Muslim yang dewasa serta mempunyai
pengalaman hidup. Dia tahu, seorang Muslim mutlak mengakui keesaan Allah
seperti tercantum dalam dua kalimat syahadat. Dia juga tahu, ada rancangan Undang-Undang
Dasar yang dalam Preambulenya memuat
tujuh kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Dia juga tahu, sebelum Undang-Undang Dasar itu disyahkan,
oleh PPKI tujuh kata itu dihapus.
Sebagai Muslim, Roem menyayangkan penghapusan tujuh kata
itu. Akan tetapi, karena sudah menjadi hasil musyawarah dari para pemimpin,
terutama Bung Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo, Roem tidak mau terus menerus
menyayangkan, karena menurut Bung Hatta penghapusan itu demi persatuan bangsa,
terutama umat Kristen dan umat Islam. Keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Esa itu dengan
amandemen Ki Bagus, adalah sesuatu yang tidak statis melainkan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sesuai
dengan masing-masing orang. Oleh karena itu, meskipun bangsa Indonesia terdiri
dari berbagai agama dan aliran, semuanya diikat oleh suatu ikatan yang kuat,
yaitu Pancasila.
Dalam rangka ini, Roem meminta perhatian terhadap rumusan
Tafsir Asas Masyumi sebagai berikut: “Republik
Indonesia yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 dan telah dipertahankan kedaulatannya dengan usaha bersama-sama pula
sampai tercapai pengakuan dunia atas kedaulatan itu pada tanggal 27 Desember
1949, adalah karunia Ilahi atas jihad perjuangan bangsa Indonesia atas dasar
Pancasila, kata persamaan antara segenap golongan.”
Menurut Roem, seorang
Kristen yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais.
Orang Islam yang taat kepada agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais.
Tidak perlu membedakaan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar
negara. Pancasia menurut agama, identik dengan Pancasila falsafah negara.
Dengan penuh keyakinan, Roem berkata dalam tulisannya: “Saya menerima
Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah orang
Islam yang mendapat ajaran dari Nabi tentang Ketuhanan.”
Sedangkan bagi M.
Natsir (Majalah Hikmah, 29 Mei 1954),
perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah pada pemimpin pada saat taraf
perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Di dalam keadaan yang demikian,
para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besar beragama Islam, pastilah
tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata
bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.
Dengan peranan para pendahulu kita seperti itu, umat
Islam tidak perlu enggan mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negara kita,
milik kita, yang berarti tanggung jawab besarnya terletak di punggung kita,
sebab kita mayoritas di negeri ini.
Umat Islam tidak boleh menjadi umat pinggiran. Jadilah
umat yang aktif berkiprah di tengah-tengah berbagai problem negara-bangsa
Republik Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Sukabumi, 9 Rabi’ul Awal 1435
11 Januari 2014
[1] Bahan diskusi:
“Peranan Umat Islam dalam Kepemimpinan Nasional Indonesia” disampaikan dalam
Pelatihan Leadership Berbasis UUDNRI 1945, HAM, dan Kearifan Lokal
terselenggara atas kerjasama Pusat Studi Hukum Lokal, Centre for Laws Development Studies Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan
Fortum Silaturahmi Bani Ahmad Qoyidhi, Cihampelas, Bandung Barat, 12
Januari 2014.
[2] Dalam struktur
negara federal RIS berdasarkan KMB, terdapat 16 negara bagian, jauh lebih
banyak dari tiga negara bagian yang disebut dalam Perjanjian Linggajati.
Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta, berubah menjadi negara
bagian, sama dengan 15 negara bagian lainnya. Jumlah negara bagian itu akan
lebih banyak lagi andaikata van Roijen-Roem Statement tidak menghentikan pengakuan
atau pembentukan negara-negara bagian itu.