Jejak Hayat Prawoto
Mangkusasmito (1910-1970)
Ketua Umum (Terakhir) Partai Islam
Masyumi
“Tiap-tiap pembawa cita-cita yang besar tentu akan
menghadapi perlawanan. Tidak bisa lain dari begitu. Dan perlawanan itulah yang
menjadi pupuk untuk kesuburan cita-cita.”[1]
PRAWOTO MANGKUSASMITO adalah Ketua Umum Pimpinan
Pusat Partai Islam Masyumi yang terpilih pada tahun 1959 dalam Muktamar IX Masyumi
di
Yogyakarta. Dia dilahirkan di Tirto, Grabag, Magelang, Jawa
Tengah, pada tanggal 4 Januari 1910,
sebagai putra pertama dari pasangan suami-istri Supardjo Mangkusasmito dan
Suendah. Ayahanda Prawoto adalah seorang mantri candu yang pada masa itu
bertugas mengawasi praktik penjualan candu. Pasangan suami-istri ini juga
memiliki anak bernama Sogondo. Adik Prawoto itu lahir pada 1914.
Saat Prawoto berusia
10 tahun, pasangan Supardjo
Mangkusasmito-Suendah bercerai.[2]
Setelah perceraian tersebut, pada 1923 Supardjo menikah lagi dengan seorang
perempuan bernama Sulbijah. Sulbijah inilah yang merawat Prawoto hingga dia
menginjak usia remaja. Ibu kandung Prawoto, Suendah, juga menikah lagi. Dari
pernikahan kedua ini, Suendah dikaruniai dua anak laki-laki, masing-masing
bernama Hadi Santoso, dan Hadi Soesilo.[3]
Sejak kecil, Prawoto
terbiasa hidup mandiri. Ia terbiasa menyelesaikan persoalan hidupnya sendiri.
Mulai umur 17 tahun, Prawoto sudah dilepas hidup di luar lingkungan orang tua
sendiri, dan bersekolah tanpa biaya dari orang tua. Dalam surat kepada
putrinya, Prawoto mengaku banyak juga persoalan-persoalan dan pertentangan batin
yang harus dia selesaikan sendiri. Dalam keadaan seperti itu, Prawoto “lari” ke
buku. “Oleh karena itu, maka arti lektur yang baik, Bapak benar-benar sangat
hargai, dan selama ini terus menerus menjadi pikiran Bapak bagaimana dapat
memberikan bacaan yang cukup dan baik untuk adik-adikmu,” tulis Prawoto dalam
surat tanggal 1 Mei 1964.[4]
Dalam usia 7 tahun, pada
1917 Prawoto memasuki pendidikan dasar Hollands
Inlandsche School (HIS) dan dilanjutkan ke jenjang menengah pertama Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO).
Pendidikan itu diselesaikannya pada Mei 1928. Saat belajar di MULO, Prawoto
berkenalan antara lain dengan Jusuf Wibisono,[5] Wilopo,[6]
dan Mohammad Sardjan.[7]
Setelah menamatkan
pendidikan MULO, Prawoto melanjutkan pendidikannya ke Algemene Midddelbare School (AMS) bagian B di Yogyakarta, dan diselesaikannya
pada tahun 1931. Pada tanggal 20 Oktober 1932 Prawoto menikah dengan seorang
gadis bernama Rabingah, putri pasangan suami-istri Sudjiman Hardjotaruno dan
Rubinem, pemilik tempat. Prawoto indekost
selama belajar di AMS. Sebagai pemilik rumah kost dan sebagai ayah Rabingah,
sikap Hardjotaruno terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum
terikat pernikahan, sangat keras. Dia tidak suka melihat Prawoto dan Rabingah
“pacaran”. Maka, meskipun pendidikan
Rabingah baru taraf MULO dan Prawoto baru tamat AMS, Hardjotaruno tidak
ragu membawa kedua sejoli itu ke depan penghulu.[8]
Setelah menikah, kedua
pasangan belia itu kembali kepada kesibukan masing-masing. Rabingah melanjutkan
pendidikannya, dan Prawoto mencari nafkah dengan mengajar di sekolah
MULO-Netral di Kebumen.[9]
Aktivitas ini dilalui Prawoto sampai 1935. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan
melanjutkan pendidikan di Recht Hoge School (RHS). Untuk membiayai
pendidikannya di RHS, antara 1935-1942,
Prawoto menjadi guru pada sekolah Muhammadiyah. Biaya pendidikan Prawoto
di RHS, juga disokong oleh Rabingah yang sementara itu telah bekerja di Department van Neiverheid dengan gaji
cukup tinggi.[10]
Putri sulung Prawoto, Sri Sjamsiar menyebut pernikahan kedua orang tuanya
pada 1932 sebagai “nikah gantung”, karena sesudah menikah mereka tidak langsung
bergaul layaknya pasangan suami-istri.[11] Kesaksian Sri Sjamsiar dikuatkan oleh fakta baru sebelas tahun kemudian
pasangan suami-istri Prawoto Mangkusasmito-Rabingah dikarunia keturunan. Dari perkawinan ini Prawoto
mendapatkan 4 orang anak: Sri Sjamsiar (1943), Arif Budiman (1946), Nuruddin
Ahmad (1949), dan Ahmad Basuki (1952).[12]
Perjodohan Prawoto dengan
Rabingah sangat bahagia sekali, dan bolehlah dikatakan bahwa kariernya sebagai
pemimpin umat sejalan dengan perjodohan yang bahagia itu.
Terhalang oleh pendudukan
Jepang, Prawoto gagal menyelesaikan studinya. Menjelang ujian akhir untuk
meraih gelar Mister in de Rechten
(Mr) --bersama dengan Kasman Singodimedjo dan Mohamad Roem-- kesehatan Prawoto
terganggu. Prawoto pun meminta izin agar
ujiannya dapat ditangguhkan sampai kesehatannya pulih. Izin penundaan ujian
akhir diperoleh, tetapi takdir berbicara lain. Menjelang Prawoto mengikuti
ujian akhir, Jepang masuk di Indonesia. Masuknya Jepang mengakibatkan banyak
kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan, terganggu. RHS ditutup oleh tentara
pendudukan Jepang, Prawoto pun batal memperoleh gelar Mister in de Rechten.
Di masa pendudukan Jepang,
Prawoto bekerja sebagai pegawai kantor Kadaster di Jakarta.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dari tahun 1946 sampai tahun 1949, Prawoto menjadi
anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP),[13] dan kemudian pada zaman negara
federal, Republik
Indonesia Serikat (RIS)[14]
tahun 1949-1950 terpilih menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP.
Seperti diketahui, Aturan
Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya ditulis UUD 1945 –ed)
mengamanatkan: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini,
segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.”
Komite Nasional yang
kemudian lebih dikenal dengan nama KNIP, pertama kali dipimpin oleh Mr. Kasman
Singodimedjo sebagai Ketua, dengan Wakil-wakil Ketua Mr. Latuharhary, dan Prof.
Soetardjo, serta Sekretaris S. Mangunsarkoro.[15] Dalam kedudukannya sebagai
Badan Eksekutif yang membantu Presiden menurut Ketentuan Peralihan tersebut di
atas, pada 29 Agustus 1945 KNIP mengesahkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945, dan menyiarkannya secara lengkap di berbagai surat kabar di masa itu,
termasuk di Asia Raja yang dipimpin
oleh Sukardjo Wirjopranoto dan di Tjahaja
yang dipimpin oleh Oto Iskandardinata. Teks UUD 1945 beserta Penjelasannya yang
dimuat di Berita Republik Indonesia II
tanggal 15 Februari 1946, menurut RM. A.B. Kusuma, hanya pemuatan
ulang,
bukan pemuatan resmi.[16]
Jika pada 18 Agustus 1945,
UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
beranggotakan 27 orang, maka KNIP di bawah kepemimpinan Kasman Singodimedjo
yang beranggotakan 137 orang, menyempurnakan pengesahan konstitusi tersebut.
Demikian penting kedudukan
Komite Nasional di masa itu, sehingga hampir seluruh kebijakan yang akan
diambil oleh Presiden selalu didiskusikan lebih dulu dengan KNIP. Setelah
kebijakan Presiden disepakati oleh KNIP, selanjutnya KNIP-lah yang menyampaikan
dan menjelaskan kebijakan itu kepada seluruh rakyat Indonesia. Ketika pada 5
Oktober 1945 Pemerintah memutuskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) menggantikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin oleh Kasman
Singodimedjo; KNIP mengeluarkan Maklumat tentang Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat.
Maklumat itu ditandatangani oleh Kasman Singodimedjo selaku Ketua KNIP.
Pantaslah
jika di masa sekitar Proklamasi Kemerdekaan, menurut Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, adalah
lazim kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman dalam satu tarikan nafas. “Hanya
dengan pimpinan Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo rakyat dapat digerakkan
secara massal, dan kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan
merupakan suatu gerakan yang hanya setengah-setengah saja.”[17]
Pada 16 Oktober 1945, berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia No. X (baca: eks –ed), Komite Nasional meningkat posisinya
menjadi Badan Legislatif yang berarti semua undang-undang harus mendapat
persetujuan bersama Presiden dan KNIP. Dengan meningkatnya peranan KNIP, dibentuklah
sebuah badan yang lebih kecil yang tetap bekerja sehari-hari dengan mandat dari
KNIP. Badan itu dinamakan Badan Pekerja KNIP yang bersidang sekurang-kurangnya
setiap sepuluh hari sekali. Sedangkan KNIP bersidang sedikitnya sekali dalam
satu tahun.
KNIP dan Badan Pekerja KNIP
yang meskipun bersifat transisional, ternyata efektif memerankan fungsinya.
Dalam kasus Perjanjian Linggajati, misalnya, KNIP tampil elegan “menghadapi”
Pemerintah. Dan mengiringi terbentuknya RIS, KNIP yang hanya efektif untuk
(negara bagian) Republik Indonesia di Yogyakarta[18]
mampu memainkan peranan yang justru sangat bermanfaat bagi kepentingan
perjuangan dan kelak memudahkan proses peralihan dari RIS ke Negara Kesatuan
RI.
Para pejuang yang rata-rata
masih berusia di bawah 50 tahun itu dengan piawai memainkan peranan politiknya
masing-masing. Ketika oleh Konferensi Meja Bundar (KMB) negara Republik
Indonesia disepakati harus berbentuk negara serikat (federal), dan
Republik Proklamasi berubah menjadi satu dari 16 negara bagian, Republik
Indonesia merelakan Ir. Sukarno untuk menjadi Presiden RIS, dan Drs. Mohammad
Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Karena terjadi kekosongan jabatan Presiden
RI, maka Ketua KNIP yang sekaligus Ketua BP-KNIP, Mr. Assaat didaulat menjadi
Pemangku Jabatan (Acting) Presiden
RI. Kursi yang ditinggalkan oleh Assaat itulah yang kemudian diisi oleh
Prawoto. Dalam perubahan serba cepat itu, Prawoto telah menunjukkan
eksistensinya sebagai salah seorang pejuang Republik di lingkaran inti.
Kelak, ketika M. Natsir
mengajukan Mosi Integral di Parlemen RIS sebagai respons atas berbagai unjuk
rasa di berbagai daerah yang menuntut
pembubaran RIS dan pemulihan NKRI, faktor Sukarno-Hatta dijadikan modal utama
untuk mempermudah semua proses perubahan dan RIS ke NKRI. “Dalam sejarah,” kata
Natsir, “jangan kita lupakan faktor pribadi.” Menurut Natsir, mutu pribadi
menunjukkan “siapa itu” Sukarno-Hatta. Natsir yakin tidak akan ada di antara
negara bagian yang bisa mengatakan “tidak” kalau RI Yogyakarta mengajukan nama Sukarno-Hatta
untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan RI. “Di sinilah,”
kata Natsir, “fungsi Sukarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan,
dan untuk mempersatukan kembali.”[19]
Selama clash (agresi Belanda --ed)
II pada saat ibukota Yogyakarta diserang dan diduduki oleh tentara Belanda pada
pagi buta 19 Desember 1948, Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah menteri
ditawan; Prawoto ikut bergerilya di luar kota bersama R. Pandji Suroso, I.J.
Kasimo, Zainul Arifin, dan Kasman Singodimedjo, serta menjadi anggota
Komisariat Pemerintah Pusat (Pemerintah Darurat Republik Indonesia/PDRI) di
Jawa. Seperti diketahui, segera sesudah Yogyakarta diduduki
oleh tentara Belanda, Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersama
sejumlah tokoh di Sumatera Tengah, membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI).[20]
Keterlibatan Prawoto dalam
gerilya itu, dicatat oleh Jenderal Mayor T.B. Simatupang yang pada saat itu
menjabat sebagai Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Menurut Simatupang, di
Ngawen, Salatiga, Jawa Tengah, dia mengadakan pembicaraan panjang dengan
Menteri Kasimo yang tinggal di Ngawen bersama Jenderal Mayor Suhardjo, Prawoto
Mangkusasmito, R,P, Suroso, dan Zainul Arifin.[21]
Tentang Prawoto
Mangkusasmito, Simatupang mencatat sebagai berikut:
“Saudara Prawoto adalah
orang yang sangat tenang. Saya tidak dapat membayangkan bahwa dia pernah marah,
gusar, atau tergesa-gesa. Waktu kami membicarakan sikap rakyat dalam perang
rakyat ini, dia berkata: ‘Rakyat menerima perang ini seperti dia menerima suatu
bencana alam, yakni sebagai sesuatu hal yang tidak dapat ditolak, tetapi yang
seperti halnya dengan bencana alam, pada waktunya akan berakhir pula.’ Saya
bertanya kepada diri saya: ‘Apakah ini juga merupakan sikap dari Saudara Prawoto
sendiri?’.”[22]
Pada tahun 1950, Prawoto menjadi penasihat
delegasi Indonesia yang pertama di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pernah
menjadi anggota Panitia Negara untuk meninjau kedudukan kepolisian. Juga
sebagai Wakil Ketua Panitia Negara untuk meninjau kembali hasil-hasil KMB.
Dengan lahirnya kembali Negara Kesatuan (Republik Indonesia –ed), Prawoto menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia (DPRS-RI} dan memimpin Fraksi
Masyumi dalam lembaga tersebut. Pada tahun 1952 memimpin delegasi parlementer
ke Pakistan. Kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet
Wilopo-Prawoto (2 April 1952-31 Juli 1953).
Menjelang pemilihan umum
yang pertama di Indonesia, Prawoto diangkat menjadi Wakil Ketua Panitia Pemilu,
dalam mana duduk antara lain: Mr. Tambunan, Zainul Arifin, Hadikusumo, dan I
Made Sugito sebagai anggota.
Pemilihan umum di bawah
undang-undang yang ultra demokratis itu menyebabkan semua golongan, partai,
organisasi, bahkan perseorangan berhak menjadi peserta pemilihan umum. Demikian
bebasnya untuk menjadi peserta pemilihan umum, sehingga jumlah peserta di tiap
provinsi tidak sama. Jumlah peserta pemilihan umum paling banyak ada di Jawa
Tengah yaitu 45, di Jawa Barat 43, dan di Nusa Tenggara Barat 19 peserta.[23] Akan tetapi, rakyat
Indonesia yang baru 10 tahun merdeka, ternyata sudah cukup cerdas untuk
menyeleksi orang, organisasi, golongan, dan partai politik yang akan mereka
percayai menjadi wakil mereka di parlemen dan konsituante.
Pemilihan umum yang
terselenggara di bawah pemerintahan Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap
(Masyumi) itu menghasilkan partai, golongan dan perseorangan yang memperoleh
kursi sebagai berikut:
1. Partai Nasional Indonesia
(PNI), 57 kursi.
2. Partai Masyumi, 57 kursi
3. Partai Nahdlatul Ulama
(Partai NU), 49 kursi,
4. Partai Komunis Indonesia
(PKI), 39 kursi.
5. Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), 8 kursi.
6. Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), 8 kursi.
7. Partai Katolik, 6 kursi.
8. Partai Sosialis Indonesia
(PSI), 5 kursi.
9. Partai Islam PERTI, 4
kursi.
10. Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), 4 kursi.
11. Enam partai masing-masing
mendapat 2 kursi.
12. Dua belas partai
masing-masing mendapat 1 kursi.
13. Calon perseorangan yaitu
seorang guru kebatinan dari Kediri, Jawa Timur, R. Soedjono Prawirosudarsono
mendapat 1 kursi.[24]
Sesudah pemilihan umum tahun 1955, Prawoto
terpilih menjadi Wakil Ketua I Konstituante sampai lembaga tertinggi hasil
pemilihan umum itu dibubarkan oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit tanggal 5 Juli 1959.
Ketua Konstituante adalah Mr. Wilopo (PNI). Wakil-wakil Ketua yang lain ialah:
Fatchurrahman Kafrawi (Partai NU), Leimena (Partai Kristen Indonesia), Sakirman
(Partai Komunis Indonesia), dan Hidajat Ratu Aminah (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia).[25]
Seperti dicatat Roem,
Kabinet Ali Sastroamidjojo-Mohamad Roem-Idham Chalid yang terbentuk sesudah
Pemilihan Umum 1955 yang didukung oleh tiga partai besar (PNI, Masyumi, dan NU)
serta diperkuat oleh Parkindo dan Partai Katolik sejatinya telah mencerminkan 80% jumlah kursi
parlemen pilihan rakyat. Dengan oposisi militan dari PKI, diharapkan
pemerintahan akan berjalan stabil dan dinamis. Tetapi sejarah mencatat, kabinet
tidak berjalan lancar.
Presiden Sukarno, meskipun
mengesahkan Kabinet Ali-Roem-Idham,
tetap pada pendiriannya agar PKI dimasukkan ke dalam kabinet. Pendirian Bung
Karno itu disambut dan dimanfaatkan sesuai selera PKI. Berbagai unjuk rasa yang
dimobilisasi oleh PKI terjadi di mana-mana, dan itu cukup mengganggu stabilitas
pemerintahan.
Sejak menyampaikan
keinginannya agar PKI dimasukkan ke dalam kabinet, Presiden Sukarno gencar
mengampanyekan “Konsepsi Presiden” mengenai kembali ke UUD 1945 dalam rangka
pelaksanaan “Demokrasi Terpimpin”. Gagasannya itu dimulai dengan pendapat bahwa
kabinet berkaki empat akan lebih kuat dibandingkan dengan kabinet berkaki tiga.
Bung Karno menghendaki dibentuknya sebuah kabinet yang disebutnya sebagai
“Kabinet Gotong Royong” dengan meniadakan oposisi. Semua partai dan golongan
yang memiliki 10-12 kursi di parlemen, harus dimasukkan ke dalam kabinet.
Selain mengusulkan
dibentuknya Kabinet Gotong Royong, Presiden Sukarno juga mengusulkan
pembentukan Dewan Nasional yang para anggotanya terdiri atas wakil-wakil buruh,
petani, intelektual, pengusaha nasional, pendeta Protestan, pendeta Katolik,
ulama Islam, Angkatan 1945, pemuda, daerah, ketiga Kepala Staf Angkatan
Bersenjata, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan beberapa menteri yang
penting. Presiden Sukarno akan memimpin langsung Dewan Nasional yang bertugas
memberi nasihat kepada kabinet, diminta atau tidak diminta. Menurut Sukarno,
Dewan Nasional merupakan pencerminan masyarakat, dan kabinet merupakan
pencerminan parlemen. Pertanyaannya, parlemen yang para anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang demokratis, apakah tidak
mencerminkan masyarakat?[26]
Hasil Pemilihan Umum 1955
tidak bertahan lama. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Majelis Konstituante
dibubarkan, dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Setelah itu, dengan
Penetapan Presiden (Penpres) No. 3 Tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat hasil
Pemilihan Umum 1955 dibubarkan.[27]
Episode berikutnya sudah kita ketahui bersama. Mula-mula dikeluarkan Penpres
No. 7 Tahun 1959 yang mengatur sistem kepartaian dalam rangka penyederhanaan
sistem. Pada Pasal 9 Penpres tersebut terdapat rumusan bahwa Presiden setelah
mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai “yang sedang
melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam
pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu
tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”[28]
Meskipun tidak dinyatakan
secara terbuka, Penpres ini niscaya terkait dengan pergolakan daerah pada akhir
dasawarsa 1950-an yang melahirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi.
Beberapa tokoh partai politik turut serta dalam pergolakan tersebut, antara
lain M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap dari
Masyumi, serta Soemitro Djojohadikoesomo dari PSI.[29]
Perkembangan politik di
tanah air sejak Presiden Sukarno mencanangkan konsepsinya tentang Demokrasi
Terpimpin, berkembang dan berubah sangat cepat. Kalangan politisi sipil dan
militer di daerah menolak pembentukan Kabinet Karya dan menuntut agar Kabinet
Karya dibubarkan. Mereka menuntut Kabinet Karya diganti dengan Kabinet Mohammad
Hatta-Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta menolak Konsepsi Presiden yang
ditengarai memberi angin kepada kaum komunis. Ketika tuntutan daerah itu ditolak,
lahirlah PRRI dan Permesta.
Masyumi sendiri menyatakan,
baik pembentukan Kabinet Karya --di mana Presiden Sukarno
menunjuk Ir. Sukarno sebagai warga negara menjadi formatur kabinet-- maupun PRRI, sama-sama tidak
konstitusional. Sikap Masyumi yang sangat tegas itu rupanya tidak memuaskan
selera politik rezim Sukarno yang mendesak supaya Masyumi mengutuk
anggota-anggotanya yang terlibat dalam PRRI. Desakan itu tentu saja tidak dapat
dipenuhi oleh Masyumi yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang
konstitusi. “Tidak menjadi kebiasaan Masyumi untuk kutuk mengutuk,” ujar
anggota PP Masyumi hasil Muktamar IX, Anwar Harjono.[30]
Masyumi, kata Wakil Ketua
III PP Masyumi hasil Muktamar IX, Mohamad Roem, tidak mau mengutuk anggotanya,
karena anggota-anggota itu tidak bersalah terhadap Masyumi, dan andaikata
Masyumi mau mengambil tindakan harus diselidiki dulu apa yang salah (melanggar
Masyumi). Jadi karena kita tidak mau (mengutuk anggotanya –ed), maka Sukarno membubarkan Masyumi. PSI, kata Roem, mau menyalahkan
Soemitro Djojohadikoesoemo dan
mengeluarkan dia dari PSI, akan tetapi keputusan itu dirahasiakan. Tidak urung
PSI dibubarkan juga, sedang hubungan Soemitro dengan kawan-kawan PSI sudah
pecah sampai sekarang. Lebih lanjut Roem mencatat:
“Tentang Masyumi dalam hal
ini ada spekulasi lagi, yang alhamdulillah ternyata benar. Andaikata
Masyumi mengutuk Natsir, Burhan, Sjafruddin, dan lain-lain, maka tentu antara
kita akan ada perpecahan. Akan tetapi kita memilih jalan yang hak, meskipun
Masyumi dibubarkan dan pemimpin-pemimpinnya masuk penjara selama 4 tahun 4
bulan.”[31]
Pilihan sikap Masyumi yang menolak mengutuk
anggotanya, dua dasawarsa kemudian dipuji oleh Nurcholish Madjid:
“Dan seandainya pimpinan
Masyumi dulu memecat dan mengutuk rekan-rekannya yang terlibat dalam PRRI itu,
dapar dipastikan tamatlah riwayat Masyumi, baik pada dataran politik praktis
maupun dataran etis filosofis, dan musnahlah sisa-sisa terakhir perjuangan
menegakkan kultur politik yang sehat itu dalam skalanya yang besar dan fundamental.
Syukur, alhamdulillah, hal itu tidak terjadi.”[32]
Mengenai munculnya klausul “yang sedang melakukan pemberontakan” di
dalam Penpres No, 7/1957, Jenderal A.H. Nasution yang pada saat Penpres
tersebut dikeluarkan menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, atas pertanyaan Ahmad
Syafii Maarif menuturkan:
“Sebelumnya
oleh AD telah dibekukan partai-partai yang ikut berontak di Sumatera dan
Sulawesi (Masyumi, PSI, IPKI, dan Parkindo). Kemudian, Presiden dengan bantuan
DPA membuat Penetapan Presiden tentang partai-partai, yang semula memuat pasal,
bahwa partai-partai yang pimpinannya ikut berontak, akan dibubarkan oleh
Presiden, tapi baru setelah mendapat pertimbangan oleh Mahkamah Agung. Pada
waktu akan memfinalkannya (menandatangani), oleh Presiden diubah jadi yang
“sedang berontak”, sehingga PKI selamat dari pembubaran.Karena itu,
partai-partai tadi saja yang terkena, kecuali yang pimpinan formilnya resmi
menyalahkan pemberontakan. Saya undang almarhum Prawoto untuk mempertimbangkan
itu, tapi dengan alasan-alasan yang dapat saya pahami, ketua Masyumi itu tidak
dapat memenuhi, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat memberikan pertimbangan
lain....”[33]
Mengomentari jawaban Jenderal Nasution, Maarif menulis:
“Dari
jawaban yang diberikan A.H. Nasution, kita dapat membayangkan betapa tidak
mudahnya situasi yang dihadapi baik oleh KSAD maupun Prawoto sebagai Ketua Umum
Masyumi. Pada waktu itu, Masyumi sedang berada dalam posisi yang sangat sulit.
Senjata konstitusional dan negara hukum yang senantiasa dipakai Masyumi untuk mempertahankan
eksistensinya, sama sekali tidak ampuh berhadapan dengan senjata pamungkas
‘logika revolusi’ Sukarno yang terkenal itu. Dalam perspektif ini, saya agak
ragu, apakah Masyumi akan selamat seandainya Prawoto bersedia menyalahkan
secara formal pemberontakan daerah itu....”[34]
Demikianlah, pada pukul 05.20, tanggal 17
Agustus 1960, PP Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden No.
2730/TU/60 yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan. Surat itu
berbunyi: “Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami
untuk menyampaikan Keputusan Presiden (Nomor 200/1960), bahwa Partai Masyumi
harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17
Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar.
Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak,
partai Masyumi akan diumumkan sebagai ‘partai terlarang’.”[35]
Sikap dan tindakan Sukarno
terhadap Masyumi dan PSI pada tahun 1960 itu, berbeda sama sekali dengan sikapnya
terhadap PKI sesudah Gerakan 30 September 1965 yang memakan korban gugurnya
enam jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Meskipun tahu
bahwa orang-orang komunis terlibat dalam Gerakan 30 Setember 1965,[36] dan meskipun
tuntutan agar PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang marak
disuarakan oleh berbagai pihak, Presiden Sukarno bergeming. Dia menolak
tuntutan pembubaran PKI.
Mengapa Bung Karno pada
1960 dengan enteng membubarkan Masyumi dan PSI sembari pada 1965 berkeras tidak
mau membubarkan PKI? Kita simak percakapan Bernhard Dahm dengan Presiden
Sukarno berikut ini:
“Mengapa Anda tidak
membubarkan PKI?” tanya saya kepada Sukarno ketika saya berkunjung ke
Indonesia, beberapa minggu sebelum ia dipecat.
“Kita tidak dapat menghukum
suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang,” jawabnya.
“Saya katakan padanya bahwa
ia telah dapat melakukannya dalam 1960, ketika ia melarang Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dengan alasan bahwa mereka tidak menghukum
anggota-anggota mereka yang telah terlibat dalam Pemerintah Revolusioner RI
(PRRI), yang dalam 1958 mengangkat senjata terhadap Republik.
“’Masyumi dan PSI,’
jawabnya, ‘telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI
merupakan pelopor kekuatan-kekuatan revolusi. Kami membutuhkannya bagi
pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur’.”[37]
Ketika Kepres No. 200/1960 keluar, pimpinan
partai Masyumi segera merundingkan bagaimana baiknya menyahuti Kepres tersebut.
“Almarhum Pak Prawoto Masngkusasmito bukan saja memusyawarahkannya dengan kita
yang di pucuk pimpinan partai, tetapi juga memanggil teman-teman dari berbagai
daerah untuk dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya
mengatasi keadaan,” kenang Anwar Harjono mengenai saat-saat paling suram dalam
kehidupan partai Masyumi.[38]
Menurut Harjono, kalau
Kepres No. 200/1960 didiamkan, resikonya sangat besar. Masyumi akan menjadi
partai terlarang. Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat
mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan Masyumi tidak mustahil akan
dirampas. “Jangan lupa,” kata Harjono, “perintah pembubaran Masyumi itu
sesungguhnya merupakan antiklimaks dari klimaks diproklamasikannya PRRI di
Sumatera. Jadi, proses perintah pembubaran Masyumi itu berlangsung lama dan
sistematis.”[39]
Masyumi akhirnya memang
memenuhi perintah Kepres No. 200/1960. Akan tetapi, seraya memenuhi perintah
tersebut, Masyumi mengadukan perbuatan pemerintah itu ke pengadilan, dengan
menunjuk Mr. Mohamad Roem sebagai pengacara Masyumi. “Secara politis kita
memang dikalahkan, tetapi hati nurani hukum kita tetap tidak bisa membenarkan,”
kata Harjono yang pada saat Masyumi membubarkan diri bertugas sebagai juru
bicara Masyumi.[40]
Tidak berhenti pada
perintah pembubaran partai, pada tanggal 16 Januari 1962 oleh rezim Sukarno,
Prawoto dijebloskan ke dalam tahanan bersama-sama dengan tokoh-tokoh politik
lainnya seperti Mr. Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, K.H.M. Isa Anshary, E.Z.
Muttaqin Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gede Agung, Sultan
Hamid, dan Mochtar Lubis. Mereka ditempatkan di Rumah Tahanan Militer (RTM)
Madiun (Jawa Timur), Jakarta, dan terakhir di Wisma Keagungan bersama-sama
dengan Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap, sampai
dibebaskan oleh pemerintah Orde Baru pada tangal 17 Mei 1966. Ada juga
yang ditahan sendiri-sendiri seperti Hamka, Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono,
dan Kasman Singodimedjo. Dari kalangan NU yang ditahan ialah Imron Rosjadi.[41]
Dalam situasi yang sangat
tidak mudah, pimpinan Masyumi di bawah kepemimpinan Ketua Umum Prawoto
Mangkusasmito, seperti dikatakan oleh Roem di atas, telah memilih jalan yang
hak, meskipun Masyumi dibubarkan dan pemimpin-pemimpinnya masuk penjara selama
4 tahun 4 bulan.
Di dalam memberi penilaian
terhadap pribadi Prawoto Mangkusasmito dapatlah dikatakan, Prawoto termasuk
salah seorang pemimpin Masyumi yang paling berat menghadapi persoalan. Bukankah
kepadanya akhirnya harus dipikulkan tanggung jawab amanat umat dalam partai,
sampai titik kebijaksanaan yang menentukan. Di dalam menghadapi arus kekuasaan
totaliter Sukarno/Aidit, demi untuk keselamatan ideologi, aqidah, dan khittah,
tak tergeser setapak pun pendiriannya, sampai-sampai kepada pengorbanan yang
sebesar-besarnya ialah dibubarkannya Masyumi. Ia seorang diri mengambil
tanggung jawab sepenuhnya, sesudah partainya dibubarkan.
Patut dicatat, Prawoto
Mangkusasmito sangat mensyukuri nikmat Allah dengan sikapnya yang teguh itu,
karena dengan itu, partainya luput dari tanggung jawab sejarah atas kemerosotan
negara dalam berbagai macam bidang, khususnya bidang ekonomi dan akhlak yang
menjurus ke arah terjerumusnya negara ke “Lubang Buaya” dalam peristiwa berdarah G.30.S/PKI..
***
Dalam lapangan pendidikan, Prawoto pernah
menjadi Sekretaris II Pengurus Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) dan seterusnya menjadi anggota pengurusnya.
Pernah menjadi kurator Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan turut
mendirikan serta memimpin beberapa Yayasan di lapangan pendidikan dan
pengetahuan Islam. Misalnya sebagai pendiri dan Ketua Umum (pertama –ed) Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI)[42] sampai tahun 1962,
dan lain-lain.
Pada akhir 1944,[43] Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi),[44]
gabungan organisasi Islam di zaman Jepang sebagai pengganti Majelis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), membuat dua keputusan: pertama,
membentuk barisan Mujahidin dengan nama Hizbullah. Kedua, mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi
Islam (STI). Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, Masyumi mengundang
para ulama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kalangan swasta dan pemerintah
untuk lebih mengkongkritkan rencana pembentukan STI. Pada pertemuan tersebut
hadir utusan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Besar Muhammadiyah,
Pengurus Besar Persatuan Umat Islam, Pengurus Besar Persatuan Umat Islam
Indonesia, kalangan cendekiawan Muslim, dan
Kantor Urusan Agama Dai Nippon. Musyawarah memutuskan membentuk Panitia
Perencana STI yang diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.[45]
Demikianlah, setelah segala
persiapan dianggap cukup memadai, pada 27 Rajab 1364 bertepatan dengan 8 Juli
1945, STI resmi dibuka di Jakarta. Susunan organisasi STI yang terbentuk
pertama kali ialah sebagai berikut: (1) Pengurus Badan Wakaf STI dengan Ketua
Said Wiratmana Hasan dan Sekretaris Kartosoedarmo, (2) Dewan Pengurus/Kurator
STI dengan Ketua Drs. Mohammad Hatta dan Sekretaris Mohammad Natsir, (3) Senat
STI dengan Rektor Magnificus K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, dan (4) Staf
Sekretariat dengan Sekretaris Mohammad Natsir, Wakil Sekretaris Prawoto
Mangkusasmito, dan Bendahara A. Zainuddin.[46]
Pada upacara peresmian STI
di Gedung Masyumi, Jalan Teuku Umar (dulu van
Heutz Boulevard) No. 1 –gedung ini pernah menjadi Kantor Imigrasi Jakarta
Pusat—hadir sejumlah pembesar Jepang, pimpinan Jakarta Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta), serta
sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Ir. Sukarno. Rektor STI, K.H. Abdul
Kahar Mudzakkir menyampaikan pidato ilmiah tentang “Pentingnya Pendidikan
Islam”’
Meskipun ketika STI
didirikan telah ada perguruan tinggi lain seperti Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi
Hukum) Jakarta, dan Geneeskundige Hoge
School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta; tetapi karena ketiga
perguruan tinggi itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka
pelaksanaan politik balas budi, kiranya hanya STI yang dapat disebut sebagai
perguruan tinggi nasional pertama dan tertua di Indonesia. Berbeda dengan
perguruan tinggi yang sudah berdiri sebelumnya, STI sungguh-sungguh lahir dari
gagasan murni para pemimpin umat Islam sebagai persembahan kepada bangsa
Indonesia.
Menurut Adnan Sjamni, salah
seorang mahasiswa STI angkatan pertama, STI adalah suatu fenomena tersendiri.
Ketika semua sekolah memasukkan bahasa dan kebudayaan Jepang sebagai mata
pelajaran wajib, di STI justru tidak ada kedua mata kuliah tersebut. Para
mahasiswa STI cuma diberi pelajaran umum dan agama saja. Pengantar Ekonomi
diberikan oleh Drs. Mohammad Hatta, Bahasa Arab oleh K.H. Abdul Kahar
Mudzakkir, Sosiologi oleh H.M. Rasjidi, B.A. Hampir semua pakar dan intelektual
Indonesia yang ada pada waktu itu terjun memberi kuliah di STI. STI adalah
pilihan tempat menuntut ilmu bagi mereka yang ingin melepaskan diri dari
pengaruh Jepang. Soeroto Koento yang hilang di Karawang dan Soebianto
Djojohadikoesoemo yang gugur di Lengkong, Tangerang, adalah mahasiswa
anti-Jepang yang berhenti dari Sekolah Tinggi Kedokteran dan masuk STI.[47]
Tepat 41 hari sesudah STI
berdiri, terjadilah peristiwa paling penting dalam sejarah bangsa Indonesia,
yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pada awal 1946, pusat
pemerintahan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu dipindahkan dari
Jakarta ke Yogyakarta. Sebagai anak kandung revolusi, STI pun ikut hijrah ke
Yogyakarta. Pada Dies Natalis ke-3 STI, 27 Rajab 1367/10 Maret 1948, Sekolah
Tinggi Islam resmi diubah menjadi Universitet (kemudian Universitas) Islam
Indonesia, dan tetap berkedudukan di Yogyakarta.
Dalam hubungan ini, sangat
terkenal pesan dan harapan Presiden Sukarno kepada UII: “Dirikanlah pergedungan
Universitas Islam Indonesia dengan corak nasional yang dijiwai Islam, dan
hendaknya merupakan pergedungan universitas yang terbesar di Asia Tenggara.”[48]
Oleh karena pemerintah
sangat memerlukan tenaga-tenaga ahli agama Islam untuk mengisi berbagai jabatan
di Kementerian Agama, dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 yang
ditandatangani oleh Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat,
Fakultas Agama UII diambil alih oleh pemerintah. Fakultas Agama UII yang
diambil alih itulah yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN).
Pasti bukan suatu kebetulan
jika ternyata di masa-masa awal, Prawoto
tercatat pernah menjadi pengurus di STI dan di masa berikutnya menjadi anggota
Dewan Kurator PTAIN yang merupakan anak
kandung STI/UII. PTAIN kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), dan Univesitas Islam Negeri (UIN).
Adapun Fakultas Pendidikan
UII yang pada 1951 diambil alih oleh Universitas Negeri Gadjah Mada, berkembang
menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, dan sekarang
menjadi Universitas Negeri Yogyakarta.
***
Di dalam pergerakan dan kepartaian, aktivitas
Prawoto dimulai sejak muda. Ketika belajar di AMS Yogyakarta, ia menjadi
anggota Jong Java. Jong Java berdiri pada 1918 sebagai
kelanjutan dari organisasi Tri Koro
Dharmo yang berdiri pada 1915. Seperti Prawoto, banyak pelajar beragama
Islam yang menjadi aktivis Jong Java.
Seiring dengan berdirinya Jong Java, berdiri pula berbagai organisasi
kedaerahan seperti Jong Celebes, dan Jong Sumatranen Bond. Bahkan organisasi
yang ruang lingkupnya lebih sempit pun muncul, misalnya Jong Bagelen,[49]
atau Koetoardjosche Studerenden Bond
(Perkumpulan Pelajar Kutoarjo).[50]
Problem yang dirasakan oleh
bermunculannya beragam organisasi daerah itu ialah renggangnya hubungan di
antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Problem lain yang
dihadapi oleh murid-murid MULO dan AMS yang beragama Islam ialah mengenai
pendidikan agama bagi mereka. Sebagai pelajar MULO dan AMS mereka tidak punya
banyak waktu untuk belajar di madrasah atau sekolah agama, sementara di MULO
dan AMS jangankan diberi pelajaran agama, guru mereka yang kebanyakan orang
Belanda justru acap kali melontarkan kata-kata sinis terhadap umat dan ajaran
Islam.
Aktivis Jong
Java seperti Kasman Singodimedjo, Gus Muso (Ki Musa Al-Machfoed), dan
Suhodo, berkeyakinan kerenggangan bahkan perpecahan antara organisasi
pemuda-pelajar itu dapat diperbaiki melalui ajaran Islam. Mengapa Islam? Karena
Islam adalah agama yang dianut oleh rakyat di seluruh Nusantara. Ketua Hoofd-Bestuur Jong Java, Raden Sjamsuridjal, sependapat dengan pandangan Kasman
dan kawan-kawan. Maka, pada Kongres ke-7 Jong
Java, 27-31 Desember 1924, yang juga dihadiri oleh sejumlah pemuka agama,
seorang pastor Katolik, seorang pendeta Protestan, seorang pemuka teosofi, dan
H. Agus Salim sebagai pemuka/ulama Islam; Sjamsuridjal mengusulkan kepada
Kongres supaya Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java.[51]
Menurut Deliar Noer,[52] ada dua
pertimbangan dari usul Sjamsuridjal itu. Pertama,
sebagai calon pemimpin masyarakat para anggota Jong Java hendaklah memahami masyarakat yang akan dipimpinnya
dengan mengenal sikap, kecenderungan, serta keyakinan masyarakat itu, serta
dengan lebih bergaul dengan mereka. Kedua segi ini, menurut Sjamsuridjal dan
kawan-kawan, hanya dapat dikembangkan apabila mereka lebih pula mengenal agama
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat itu, yaitu Islam.
Di samping pertimbangan
yang bersifat pragmatis, Syam pun berpendapat bahwa usul itu wajar saja dan
dapat dipertanggungjawabkan karena pendeta-pendeta Katolik dan Protestan telah
juga mengadakan kursus pelajaran agama mereka untuk anggota-anggota peminat
dari Jong Java. Malah pihak teosofi[53] pun memperoleh
kesempatan yang bebas mencari pengikut dari lingkungan Jong Java.
Usul yang wajar dan dapat
dipertanggungjawabkan itu ternyata mendapat tantangan besar dari peserta
Kongres ke-7 Jong Java. Dalam dua kali
pemungutan suara, pendapat yang setuju dan menolak Islam dijadikan pelajaran
bagi anggota Jong Java sama kuat.
Karena dalam dua kali pemungutan suara posisinya imbang, maka sesuai ketentuan
organisasi, keputusan akhir untuk menerima atau menolak diserahkan sepenuhnya
kepada Ketua Hoofd-Bestuur. Sebagai
orang yang mengusulkan supaya Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java, Sjamsuridjal merasa tidak
etis jika dia memenangkan usulnya sendiri. Oleh karena itu Sjamsuridjal
menyatakan usulnya tidak diterima oleh Kongres. Bersamaan dengan itu, tokoh
yang pada awal 1950-an menjadi Walikota Jakarta
ini, meletakkan jabatan sebagai Ketua Hoofd-Bestuur
Jong Java.
Dalam kekecewaan karena
usulnya mendapat tantangan dari Kongres Jong
Java, menjelang tengah malam para pemuda Islam itu berpapasan dengan H.
Agus Salim yang sedang dalam perjalanan pulang dari Kongres. Kepada Salim, para
pemuda Islam itu mencurahkan isi hatinya, dan Salim –pemimpin Sarekat Islam
yang telah lama menaruh minat terhadap persoalan generasi muda-- menghibur
mereka, menentramkan hati mereka, dan memberi semangat supaya para pemuda itu
tidak patah hati. Pada saat itulah tercetus gagasan mendirikan organisasi
sebagai wadah kegiatan para pemuda Islam. Maka lahirlah organisasi pemuda
terpelajar Islam bernama Jong Islamieten
Bond, disingkat JIB.[54]
Mohamad Roem menyebut penolakan Kongres Jong
Java terhadap usul Sjamsuridjal merupakan blessing in disguise (rahmat
yang tersembunyi),
karena apabila usul itu diterima, kemungkinan organisasi kaum muda terpelajar
Islam tidak akan pernah muncul.[55]
Akan tetapi, sesungguhnya
pada tengah malam itu sudah terbit kemauan yang lebih besar dari sekadar
pertimbangan praktis mendirikan organisasi baru. Kemauan yang lebih besar itu
tercermin dalam keyakinan para pemuda itu terhadap Islam yang kemudian
dirumuskan dalam semacam brosur atau sirkuler yang mereka edarkan kepada
peminat, dan calon peminat JIB.
Brosur atau sirkuler yang
diedarkan pada bulan Januari 1925, selain memuat kedua pertimbangan yang
disampaikan Sjamsuridjal di Kongres ke-7 Jong
Java, juga ditambah rumusan:
“tak seorang pun yang akan
mungkin bekerja dengan sepenuh hati untuk meningkatkan taraf rakyat umumnya
bila ia tidak mempunyai respek, apalagi simpati kepada agama rakyat ini....
agama yang merupakan faktor paling penting dalam semangat serta sifat bangsa
kita.”[56]
Sirkuler itu juga mengakui bahwa banyak
pemuda terpelajar yang telah memperoleh:
“banyak pandangan palsu dan
salah tentang Islam.... dari sekolah, buku teks, dan buku-buku perpustakaan
serta dari kawan pelindung dan penasihat yang ‘bermurah hati,’ dengan akibat
bahwa kedudukan Islam yang semula tinggi di daerah ini digerogoti.”[57]
Demikianlah, maka JIB yang lahir pada 1
Januari 1925, merumuskan tujuannya sebagai berikut:
1.
Meningkatkan perkembangan
jasmaniah dan rohaniah para anggota dengan cara pendidikan dan aktivitas diri
sendiri.
2.
Menanam dan menumbuhkan
rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan antara golongan-golongan intelektuil
yang terdiri dari berbagai-bagai suku bangsa.
3.
Menumbuhkan dan meningkatkan
pendekatan antara golongan intelektuil dengan rakyat.
4.
Mempelajari Islam,
5. Menumbuhkan dan mengembangkan simpati
terhadap Islam dan penganutnya di samping toleransi positif terhadap
pihak-pihak yang berkeyakinan lain.[58]
Tentang usaha-usaha yang akan dilakukan, JIB
menjabarkan sebagai berikut: (1). Bagian olahraga dan kesenian, (2). Rapat-rapat
dan diskusi, (3). Pertemuan-pertemuan deklamasi, (4). Kursus-kursus, (5)
Darmawisata, (6). Penerbitan majalah, buku, dan brosur, (7). Mendirikan
perpustakaan, (8). Selanjutnya semua usaha yang diizinkan dan bermanfaat bagi
perkumpulan.[59]
Tidak lama sesudah berdiri,
JIB mendirikan organisasi kepanduan dengan nama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij, Kepanduan Kebangsaan Indonesia). Menurut Deliar Noer, inilah
untuk pertama kali, bukan saja di kalangan Islam, melainkan dalam kalangan mana
pun juga di Indonesia, perkataan nationaal
Indonesische (kebangsaan Indonesia) dipergunakan secara resmi oleh suatu
organisasi.[60] Pilihan nama
Kepanduan Kebangsaan Indonesia ini mencerminkan pandangan para pendiri Natipij, dan pendiri JIB, bahwa
kebangsaan Indonesia itu merupakan suatu pengertian yang lumrah dan wajar, dan
bahwa paham kedaerahan atau kesukuan seharusnya dikesampingkan saja. Menurut
JIB, bangsa Indonesia sudah merupakan suatu kesatuan, sungguh pun ada daerah
dan suku di dalamnya.[61]
Di tengah maraknya
organisasi kedaerahan dan kesukuan, pandangan JIB mengenai kebangsaan Indonesia
sungguh sangat penting. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika muncul
gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda, JIB merupakan pendukung utama
kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu. Meskipun mendukung penuh Kongres
Pemuda dan ikrar yang dilahirkannya, namun JIB menolak keputusan Kongres Pemuda
yang melebur berbagai organisasi pemuda ke dalam wadah bernama Indonesia Muda.
JIB tidak menyetujui peleburan organisasi dan tetap berdiri di luar organisasi
hasil fusi, Indonesia Muda.[62]
Salah satu jasa besar JIB
bagi perkembangan kaum intelektual muda Muslim ialah diterbitkannya majalah
yang juga diedarkan ke kalangan luar JIB. Majalah yang diterbitkan sejak Maret
1925 itu diberi nama An-Noer atau Het Licht dengan motto yang ditulis di
kulit depan berasal dari Qur’an, surat At-Taubah ayat 32: “Mereka ingin
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tapi Allah
tidak mengizinkan kemauan mereka, melainkan lebih mencemerlangkan cahaya-Nya,
walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.”
Majalah yang dipimpin oleh
Jusuf Wibisono ini memuat artikel mengenai masalah-masalah keagamaan,
persoalan-persoalan perjuangan, dan keorganisasian. Dapat dikatakan, An-Noer atau Het Licht merupakan media untuk intelectual
exercising terutama bagi pada anggota JIB.
Anggota JIB adalah para
pemuda dan pemudi[63]
yang beragama Islam yang sudah berumur 14 tahun dan belum mencapai umur 30 tahun. Para anggota JIB
umumnya mereka yang duduk di bangku sekolah menengah (MULO, AMS), sekolah guru,
atau yang sederajat seperti School tot
Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA), bahkan belakangan ada juga yang
sudah menjadi mahasiswa. Karena para anggota JIB berasal dari kalangan pelajar,
maka JIB hanya bisa dijumpai di kota-kota besar. Pada tahun 1930-an, jumlah
anggota JIB mencapai 4000 orang.[64]
H. Agus Salim yang menjadi
saksi sekaligus penyemangat para pemuda pemerakarsa pembentukan JIB, tetaplah
menjadi tempat bertanya para aktivis JIB. Mohamad Roem, seperti dikutip oleh
Ridwan Saidi, menyebut Agus Salim sebagai “Bapak Spiritualisme” bagi organisasi
pemuda Islam itu, sebagai seorang “Bapak” yang mengawal spirit atau ruhani
generasi yang lebih muda. Salim mendidik, bukan mendikte. Ia mengilhami bukan
memberi petunjuk, ia mendorong, bukan memerintahkan, ia memperluas ufuk
pandangan generasi yang lebih muda lewat transformasi pengetahuan, tetapi Salim
tidak melihat generasi muda sebagai tanah liat yang dapat sesukanya dibentuk,
ia membimbing dalam proses penalaran, tapi tidak menyediakan kesimpulan atau
“jawab” atas sesuatu pertanyaan.[65]
Sebagai aktivis JIB,
Prawoto menyebut Agus Salim sebagai seorang briljant
intelect. Luas pengetahuan umum dan agamanya. Menguasai beberapa bahasa
asing. Daya penarik Salim yang terbesar, kata Prawoto, ialah kepada golongan
cerdik pandai. Jalan pikiran dan politiknya kerapkali sukar dimengerti dan
diikuti oleh massa, yang lebih banyak mempergunakan rasa sentimen dalam arti
yang baik daripada mempergunakan pikiran.[66]
Peranan JIB mulai memudar
memasuki awal dasawarsa 1940-an, dan benar-benar berakhir bersamaan dengan
masuknya Jepang yang melarang semua organisasi, kecuali yang dibentuk oleh
Jepang. Selama masa yang relatif singkat
itu, JIB dipimpin oleh R. Sjamsuridjal (1925-1926), Wiwoho Purbohadidjojo
(1926-1930), Kasman Singodimedjo (1930-1935), M. Arifaini (1935-1936), dan
Sunarjo Mangunpuspito (1935-1942).
Meskipun hanya berkiprah selama 17 tahun, akan
tetapi JIB telah berhasil melahirkan para patriot yang kelak memiliki peran
signifikan di dalam proses pertumbuhan negara-bangsa Indonesia. Selain Prawoto
Mangkusasmito, dari JIB lahir tokoh seperti Kasman Singodimedjo, Mohammad
Natsir, Jusuf Wibisono, dan Mohamad Roem.
Beberapa aktivis JIB juga
bertemu jodohnya dengan aktivis JIBDA. Mereka antara lain Kasman Singodimedjo
dengan Soepinah Isti Kasiati, Mohamad Roem dengan Markisah Dahlia, dan Mohammad
Natsir dengan Nur Nahar.[67]
Di masa penjajahan Belanda,
sebelum Jepang masuk, ada dua organisasi Islam untuk kalangan muda Muslim yang
sangat berperan di dalam membina sikap dan keyakinan mereka terhadap Islam.
Selain JIB yang sudah diuraikan di atas, organisasi yang satu lagi adalah Studenten Islam Studie-club (SIS). Jika
JIB didirikan pada 1925, maka SIS berdiri pada 1933.
Menurut Deliar Noer, kedua
organisasi tersebut banyak sedikitnya telah berhasil menghambat sebagian
pelajar dan mahasiswa Indonesia yang beragama Islam lari dari agama mereka.
Dalam rangka kebijaksanaan pemerintah Belanda yang mendasarkan sikapnya pada
nasihat yang diberikan oleh Christian Snouck Hurgronje, JIB dan SIS telah
berusaha menentang kebijaksanaan ini: kebijaksanaan untuk melakukan “emansipasi”
generasi muda Islam Indonesia dari agamanya, “emansipasi” yang berarti “lari”
dari atau “merasa asing” terhadap Islam.[68]
Meskipun kedua organisasi
ini berasal dari rumpun yang sama, yaitu kalangan pemuda Islam terpelajar, akan
tetapi terdapat aksentuasi gerak yang berbeda. Jika JIB, selain melakukan
proses perkaderan, peningkatan pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam,
juga melakukan kegiatan kemasyarakatan seperti mendirikan Hollandsch Inlandssche School (HIS) pada tahun 1930 di Tanah
Tinggi, Jakarta; SIS lebih menekankan kepada pendalaman ajaran Islam secara
kritis dan tidak menggarap kegiatan kemasyarakatan.
Adalah dua aktivis JIB yang sudah kuliah di RHS,
Jusuf Wibisono dan Mohamad Roem, yang berdiskusi mengenai perlunya sebuah
organisasi di tingkat sekolah tinggi (istilah perguruan tinggi pada waktu itu)
yang berorientasi kepada Islam. Menurut Wibisono dan Roem, cita-cita JIB perlu
diteruskan di level sekolah tinggi, dan JIB yang telah “bermasyarakat” mungkin
tak dapat menampung kegiatan intelectual
exercising bagi pelajar-pelajar perguruan tinggi. Sedang cita-cita untuk
mensantrikan kaum intelek niscayalah tidak dapat diabaikan.[69]
Setelah melalui rangkaian
diskusi dengan teman-temannya, pada 1933 Jusuf Wibisono menyampaikan pidato
menandai berdirinya Studenten Islam
Studie-club (SIS) di depan sejumlah mahasiswa RHS dan GHS, Jakarta. Dalam
pidatonya, Wibisono menekankan perlunya kaum terpelajar mempelajari Islam
secara kritis.
Dalam aktivitasnya, SIS
tidak hanya merangkul kalangan “Islam-Santri” saja, tetapi juga kalangan
“Islam-Abangan”. Salah seorang kalangan “Islam-Abangan” yang tertarik menjadi
anggota SIS ialah Ny. Harustiati Subandrio.[70]
Sebagai
organisasi yang hendak menampung hasrat debat ilmiah para anggotanya tentang
Islam, SIS menerbitkan majalah Moeslemse
Revielle. Tulisan-tulisan yang
dimuat di majalah ini memang mengundang para pembacanya untuk berpikir. Prawoto
yang juga aktif di SIS, dipercaya untuk mengelola perpustakaan SIS dan menjadi
redaktur Moeslemse Revielle. Karena aktivitasnya itu, Prawoto
terpilih menjadi Ketua SIS. Dan itu adalah jabatan Ketua SIS yang terakhir,
karena sebagaimana JIB, SIS pun dibubarkan oleh tentara pendudukan Jepang.
Menurut Ridwan Saidi,
“sembilan tahun SIS berjuang, dan sembilan tahun pula Moslemse Reveille bertahan sebagai majalah, suatu prestasi
intelektual yang kudu dicatat.”[71]
Berkiprah di JIB dan SIS
serta menjadi redaktur Moslemse Reveille
yang mengajak pembacanya berpikir, tentulah memberi pengaruh di dalam
pembentukan kepribadian Prawoto. Prawoto tumbuh menjadi seorang politisi yang
tajam dalam analisa politik, dan obyektif dalam menilai permasalahan seperti
tercermin dalam berbagai tulisan dan pidato Prawoto.
Dalam pandangan Tamar
Djaja, Prawoto adalah penganjur politik, ahli dalam mengupas soal-soal secara
mendalam dan terperinci.[72]
Sedang dalam penilaian Deliar Noer, Prawoto yang terlatih dalam ilmu hukum pada
masa sebelum Perang Pasifik pemikirannya lebih didasarkan pada pertimbangan
hukum. Dalam ulasannya, Prawoto sering merujuk kepada konstitusi yang menurut
pendapatnya harus ditegakkan sampai ia dinyatakan tidak berlaku secara hukum.[73]
Aktivitas Prawoto di JIB
dan SIS membawanya ke ranah politik. Di SIS, Prawoto berkenalan dengan Dr. Soekiman Wirjosandjojo.
Perkenalan itu membawa Prawoto aktif dalam Partai Islam Indonesia (PII) sampai
dia menjadi anggota Pengurus Besar saat Soekiman menjadi Ketua Umum PII pada
1940.[74]
Kongres Umat Islam Indonesia di gedung
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, 1-2 Dzulhijjah 1364 bertepatan
dengan 7-8 November 1945, memutuskan untuk mendirikan Partai Masyumi. Menurut
dr. Abu Hanifah, seperti diceritakan oleh Soebagijo I.N., pada Kongres
tersebut dia mengusulkan nama untuk
partai politik yang akan dibentuk itu, “Partai Rakyat Muslimin”, sebagaimana di
Belanda ada Partai Rakyat Katolik bernama Katholicke
Volks Party (KVP). Oleh peserta Kongres, usul itu tidak disetujui. Nama
Masyumi dianggap sudah tenar. Maka ditetapkanlah nama partai yang dibentuk itu
Masyumi. Partai Islam Masyumi. Tapi bukan lagi singkatan dari Majelis Syuro
Muslimin Indonesia seperti di zaman Jepang.[75]
Prawoto duduk dalam
Pimpinan Pusat Partai Masyumi, semenjak partai ini didirikan dengan ikrar umat
Islam Indonesia sebagai satu-satunya alat perjuangan Umat Islam Indonesia,
yaitu sebagai Sekretaris II Pengurus Besar. Susunan lengkap kepengurusan Partai
Masyumi pada saat didirikan ialah sebagai berikut:
A.
Majelis Syuro (Dewan
Partai)
1. Hadratus Syaikh K.H. Hasjim
Asj’ari, Ketua Umum;
2. Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muda I;
3. K.H. A. Wahid Hasjim, Ketua
Muda II;
4. Mr. Kasman Singodimedjo,
Ketua Muda III.
Anggota-anggota:
1. R.H. M. Adnan;
2. H. Agus Salim;
3. K.H. Abdul Wahab;
4. K.H. Abdul Halim;
5. K.H. Sanusi;
6. Syaikh Djamil Djambek;
7. Dan beberapa puluh Kiai
serta pemuka-pemuka Islam lainnya.
B.
Pengurus Besar
1. Dr. Soekiman Wirjosandjojo,
Ketua;
2. Abikusno Tjokrosujoso,
Ketua Muda I;
3. Wali Alfatah, Ketua Muda
II;
4. Harsono Tjokroaminoto,
Sekretaris I;
5. Prawoto Mangkusasmito,
Sekretaris II;
6. Mr. R.A. Kasmat, Bendahari
Pimpinan Bagian
Bagian
Penerangan: Wali Alfatah;
Bagian
Barisan Sabilillah dan Hizbullah:
1. K.H. Masjkur;
2. W. Wondoamiseno;
3. H. Hasjim;
4. Sulio Adikusumo.
Bagian
Keuangan
1. Mr. R.A. Kasmat;
2. R. Prawiro Juwono;
3. H. Hamid BKN.
Bagian
Pemuda
1. Mhd. Mawardi;
2. Harsono Tjokroaminoto.
Anggota-anggota:
1. K.H. M. Dahlan;
2. H.M.F. Ma’ruf;
3. Junus Anis;
4. K.H. Faqih Usman;
5. K.H. Fatchurrachman;
6. Dr. Abu Hanifah;
7. Mohammad Natsir;
8. S.M. Kartosuwirjo;
9. Anwar Tjokroaminoto;
10. Dr. Samsuddin
11. Mr. Mohamad Roem.[76]
Dalam susunan Pimpinan Pusat Masyumi 1951
yang dipimpin oleh M. Natsir sebagai Ketua, Prawoto diberi amanah sebagai Wakil
Ketua I.[77] Dalam susunan
Pimpinan Pusat Masyumi 1954 hasil Muktamar VII di Surabaya, Prawoto diberi
amanah menjadi Sekretaris Umum.[78]
Dalam susunan Pimpinan Pusat Masyumi 1956, hasil Muktamar VIII di Bandung,
Prawoto duduk sebagai Wakil Ketua II.[79]
Dalam Muktamar IX, 1959, di Yogyakarta Prawoto terpilih menjadi Ketua Umum
Pimpinan Pusat Masyumi. Berbeda dengan kepengurusan sebelumnya, Pimpinan Pusat
hasil Muktamar IX ini dilengkapi dengan Pengurus Harian oleh karena gawatnya
keadaan ketika itu, terutama dalam hubungan dengan pemerintah. Susunan Pengurus
Harian PP Masyumi terdiri atas Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman
Wirjosandjojo, K.H. Faqih Usman, Mr. Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, Anwar
Harjono, H. Hasan Basri, dan Osman Raliby.[80]:
***
Setelah keluar dari tahanan rezim Sukarno,
perjuangan Prawoto diarahkan kepada usaha merehabilitasi Masyumi.
Sesungguhnya ide untuk mengisi kekosongan akibat bubarnya Masyumi, tidak
terbatas pada ikhtiar merehabilitasi Masyumi
saja.
Sebelum muncul gagasan merehabilitasi Masyumi, telah muncul ide dari kalangan Muhammadiyah
untuk mendirikan Partai Islam Indonesia. Gagasan ini tidak disetujui oleh
Muhammadiyah. Muhammadiyah justru mendukung penuh perjuangan merehabilitasi
partai Masyumi. Muncul juga gagasan mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia
(PDII) yang diprakarsai oleh Bung Hatta dengan dukungan sejumlah alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) seperti Deliar
Noer, Ismail Hasan Metareum, Ustadz Abus Salam Djaelani, Mohammad Daud Ali,
Norman Razak, Sulastomo, dan Habibah Daud.[81]
Usaha ini kandas, karena tidak disetujui oleh pemerintah.
Secara formal dibentuk
Panitia Rehabilitasi Masyumi yang diketuai oleh Drs. Sjarif Usman, dengan
dukungan semua organisasi kemasyarakatan Islam yang belum berafiliasi kepada
sesuatu partai politik.[82]
Setelah ikhtiar merehabilitasi Masyumi gagal, karena Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai
politik Masyumi, Prawoto meretas jalan menuju pembentukan partai politik baru,
Partai Muslimin Indonesia, sebagai wadah perjuangan Keluarga Besar Masyumi yang
menurut pemimpin Orde Baru, Jenderal Soeharto, tetap dijamin hak-hak
demokrasinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Untuk memperlancar proses
pembentukan Partai Muslimin, dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan Partai
Muslimin Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai Panitia Tujuh, karena
terdiri dari tujuh orang, masing-masing: K.H. Faqih Usman (Ketua), Anwar
Harjono (Wakil Ketua), Agus Sudono (Sekretaris), Ny. Sjamsuridjal (Anggota), H.
Marzuki Jatim (anggota), H. Hasan Basri (anggota), dan E.Z. Muttaqin (anggota).[83]
Sekali lagi ikhtiar
mewujudkan wadah politik pengganti partai Masyumi, kandas. Pada saat-saat
terakhir pembentukan Partai Muslimin, terdapat force majeur (keadaan yang berada di luar kekuasaan) yang
menyebabkan Partai Muslimin tidak lagi menjadi sebuah karya bersama Panitia
Tujuh dan para pendukung rehabilitasi Masyumi. Presiden Soeharto menolak
tampilnya tokoh-tokoh Masyumi, yang paling moderat sekalipun, dalam
kepemimpinan Partai Muslimin.
Menghadapi kenyataan
gagalnya rehabilitasi Masyumi dan tidak berhasilnya menjadikan Muktamar I
Partai Muslimin di Malang, 1-7 November 1968, sebagai rehabilitasi Masyumi
secara de facto, tidak menyebabkan
Prawoto dan para pemimpin Masyumi berputus asa, surut ke belakang, dan duduk
berpangku tangan.
Pada halal bi halal Idul
Fitri di akhir Februari 1967, lahir gagasan untuk membentuk organisasi yang
bergerak di bidang dakwah. Nama yang dipilih ialah Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia disingkat Dewan Dakwah. Pertanyaannya, mungkinkah organisasi yang
akan dibentuk itu mendapat izin dari pemerintah. Apakah pemerintah tidak akan
mencurigai Dewan Dakwah sebagai usaha lain yang sifatnya sama dengan
rehabilitasi Masyumi? Apalagi Dewan Dakwah direncanakan akan dipimpin oleh M.
Natsir.
Dengan pertimbangan
demikian, diputuskan biarlah Dewan Dakwah tidak usah terlalu besar. Dipilihlah
bentuk yayasan yang legalisasinya cukup dengan akte notaris.
Dalam sebuah wawancara, M.
Natsir mengibaratkan Dewan Dakwah sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang
ditempatkan di belakang rumah, dalam suatu tempat yang dirancang khusus di
bawah tanah supaya tidak menimbulkan kebisingan. Dengan fungsi seperti itu, Dewan
Dakwah diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan
polusi yang bersifat politis.[84]
Seperti tertera dalam Akta
Notaris Sjahrim Abdul Manan, Nomor 4 tanggal 9 Mei 1967, Dewan Dakwah didirikan
oleh sepuluh orang, yaitu: (1) Mohammad Natsir, (2) Dr. H.M. Rasjidi, (3) H.M.
Daud Datuk Palimo Kayo, (4) K.H. Taufiqurrahman, (5) H. Hasan Basri, (6)
Prawoto Mangkusasmito, (7) Nawawi Duski, (8) Abdul Hamid, (9) H. Abdul Malik
Ahmad, dan (10) Buchari Tamam. Adapun pengurus Dewan Dakwah pada saat pertama
kali dibentuk ialah:
Ketua : Mohammad Natsir
Wakil Ketua : Dr. H.M. Rasjidi
Sekretaris : Buchari Tamam
Sekretaris II : Nawawi Duski
Bendahara : H. Hasan Basri
Anggota : H.A. Malik Ahmad
Anggota : K.H. Taufiqurrahman
Anggota : Mochtar Lintang
Anggota : H. Zainal Abidin Ahmad
Anggota : Prawoto Mangkusasmito
Anggota : H.M. Daud Datuk Palimo Kayo
Anggota : Prof. Osman Raliby
Anggota : Abdul Hamid.[85]
Di dalam hening, Prawoto terus bekerja untuk
umat. Selain bersama teman-teman seperjuangan aktif menghidupkan “mesin diesel”
Dewan Dakwah, Prawoto pun meluangkan banyak waktu dan tenaganya untuk berdakwah bi lisanil hal (dakwah dengan
karya nyata) dengan membina masyarakat petani dan buruh, yang menurut
pendapatnya merupakan potensi umat yang terbesar tetapi selama ini terabaikan.
Untuk itu, Prawoto menyediakan dirinya menjadi penasihat aktif dari Sarekat
Tani Islam Indonesia (STII) dan Kongres Buruh Indonesia Merdeka (KBIM).
Riwayat hidup Prawoto
mencerminkan kecintaannya kepada kaum mustadh’afin
pada umumnya, dan kaum tani pada khususnya. Prawoto yang lahir di desa Tirto,
Grabag, Magelang, wafat pada 24 Juli 1970 di desa terpencil Temuguruh, 25 kilometer dari Banyuwangi, Jawa Timur, saat sedang bersilaturahmi dengan para petani yang tergabung dalam STII.
Tidak terlalu sulit untuk
menggambarkan betapa besar rasa tanggung jawab Prawoto Mangkusasmito sebagai
pemimpin terhadap negara dan bangsanya. Bukankah Prawoto pemimpin yang sangat
menonjol dan tekun mencita-citakan tegaknya negara hukum dan demokrasi, yang
telah menghayati sejarah perjuangan sampai akhir hayatnya? Pada akhir masa
hidupnya, Prawoto selalu menekankan perlu adanya regenerasi di kalangan
pimpinan perjuangan umat, dan menganjurkan dibinanya karakter pemimpin-pemimpin bangsa dan negara
kita.
Sayang, sikap hidup yang
demikian itu belum dimengerti oleh mereka yang berkuasa, dan juga oleh
sementara umat Islam sendiri.
Untuk menggambarkan
bagaimana besarnya rasa tanggung jawab Prawoto Mangkusasmito terhadap umat,
dapatlah dilihat dari salah satu suratnya yang
ditujukan kepada kawan-kawan seperjuangan tanggal 24 Agustus 1959. Antara lain
dikatakan:
“Oleh Muktamar Masyumi yang
ke IX di Yogyakarta yang baru lalu fraksi kita di dalam Konstituante melalui
pimpinan partai diberi tugas dua macam:
A.
Putusan Kabinet tertanggal
19 Februari 1959 (kembali ke UUD 1945 tanpa perubahan) supaya ditolak.
B.
Bersama-sama dengan
fraksi-fraksi Islam dan fraksi lain-lainnya mengusahakan perbaikan-perbaikan
supaya
I.
Tercapainya satu UU baru
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut ajaran Islam
II.
Terdapat perumusan mengenai
susunan badan penjaga UUD yang kokoh dan badan pengubah UUD yang mencerminkan
perimbangan yang sebenarnya.
“Dengan bantuan Saudara,
maka tugas sub A telah kita tunaikan sebaik-baiknya bersama-sama dengan fraksi-fraksi
Islam dan beberapa golongan lain yang sependapat dengan kita. Tercapailah suatu
saat yang sangat mengharukan di dalam perjuangan umat Islam dan yang kami yakin
akan dapat menjadi kenang-kenangan bagi kita sekalian yang telah turut
mengikutinya.
“Adapun tugas sub B
terpaksa tidak kita tunaikan, karena terpotong di jalan ke arah itu, dengan
keluarganya Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, yang antara lain
membubarkan Konstituante. Demikian maka kiranya lepaslah pertanggungan jawab
fraksi Masyumi di dalam Konstituante dari tugas yang dipikulkan padanya dengan
keputusan Muktamar yang kami kemukakan di atas.
“Ini tidaklah berarti bahwa
terlepaslah pula kita dari kewajiban setiap orang Muslim untuk secara
berorganisasi atau sendiri-sendiri berjuang terus menuju cita-cita kita,
seperti yang telah diperingatkan oleh Ketua Majelis Syura Masyumi Pusat di
dalam pernyataanya menyongsong peringatan hari Proklamasi yang ke XIV yang
disiarkan pada 17 Agustus yang baru lalu.”
Untuk menggambarkan bagaimana keteguhan
hatinya menggariskan tiap-tiap langkah kebijaksanaanya kepada kaidah-kaidah
Islamiyah, maka renungkanlah uraian Prawoto di bawah ini:
“Jangan tinggalkan tuntunan
agama! Ada pun cara yang dipergunakan, dengan tidak hendak memberikan contoh
satu persatu, kerap kali menimbulkan pertanyaan kepada orang-orang yang tidak
mudah silau karena kemilaunya kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara: “Zijn wij wel op de goede
weg? (Apa betul kita sudah berada
pada jalan yang baik?)
“Dipandang dari sudut
partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu
kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan
yang bersifat sementara itu, dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan
ketentuan-ketentuan yang terang nasnya di dalam agama? Saya yakin, tidak! Jika
demikian, maka kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna,
malah menyesatkan perkataan agama yang telah kita tempelkan pada papan nama
kita. Gerangan demikianlah yang diperingatkan pujangga politikus Syaikh
Muhammad Abduh dengan perkataannya yang bersayap la’natullah
‘ala siyasah (Laknat Allah atas politik).
“Marilah kita membuktikan,
bahwa kita dapat berpolitik dalam arti untuk menegakkan hak dan kebenaran, li
i’lai kalimatillah, dalam tiap-tiap tindakan
yang dilakukan.”
Alangkah tinggi moral politik Prawoto
Mangkusasmito dibanding dengan kejahatan yang sering kita lihat di mana orang
kadang-kadang tidak lagi mengindahkan norma-norma yang patut di dalam mengejar
kemenangan politik, tega merobek-robek hak-hak dalam kebenaran yang dituntut
oleh pihak lain.
Misi Prawoto inilah yang
belum diselesaikan di zaman kita sekarang ini, dan merupakan peninggalan yang
wajib diteruskan oleh generasi muda Islam di masa yang akan datang.
Kiranya pembawaan pribadi yang
demikian itulah, yang mendorong Prawoto Mangkusasmito menggugat Negara Republik
Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah RI di Jakarta,
beralamatkan Medan Merdeka Utara no. 17 atas tindakannya membubarkan Masyumi.
***
Hampir semua yang mengenal Prawoto, terkesan
oleh kesederhanaannya. Pemimpin koran Indonesia Raya yang diberangus oleh
rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru, Mochtar Lubis,
memiliki gambaran khas tentang Prawoto. “Jenggot[86]
dan kumisnya, peci, kacamata, dan kain sarung yang paling suka dipakainya
setiap hari,” kata Lubis, “memberi kesan khas pribadi Prawoto Mangkusasmito.” Seperti Mochtar Lubis,
Mohamad Roem, memiliki gambaran yang sama: “.... kita telah mengenal Pak
Prawoto dengan jenggotrnya yang setengah putih dan dengan peci dan
kadang-kadang berkain sarung. Untuk saya, gambaran Pak Prawoto yang akan saya
simpan selama hidup saya, sugah sempurna, tidak kurang suatu apa pun.”
Kesederhanaan itu juga
dituturkan oleh Sri Sjamsiar Prawoto Issom, putri sulung Prawoto:
”Menjelang pembubaran Masyumi, suatu hari saya diminta Bapak (Prawoto –ed) untuk menisik kerah baju koko
putih beliau. Saya bertanya untuk apa? Beliau menjawab untuk ke Istana.
Keesokan harinya Presiden Sukarno memanggil
pimpinan Partai Masyumi (hadir Ketua Umum dan Sekjen Masyumi, Prawoto
Mangkusasmito dan M. Yunan Nasution) dan Partai Sosialis Indonesia/PSI
(hadir Sutan Sjahrir, Soebadio
Sastrosatomo, dan seorang lagi). Semua yang hadir di Istana saat itu mengenakan
stelan resmi jas, dasi dan bersepatu, kecuali Pak Prawoto yang hadir sederhana
dengan sarung, baju koko tua, berpici
dan bersandal kulit…” [87]
Selain sederhana,
Prawoto juga dikenal sebagai seorang yang teliti, disiplin menepati janji,
berjiwa besar dan menghargai jasa pendahulu, serta taat kepada hukum.
Ketelitian Prawoto, terutama dalam urusan tulis menulis, diceritakan oleh Sri
Sjamsiar: ”Sebagai anak kecil, kadang saya diminta tolong Bapak membaca draft
tulisannya, lalu Bapak yang mengoreksi kata demi kata, kalimat demi kalimat,
dan tanda bacanya.”[88]
Mengenai disiplin menepati janji, diungkapkan mantan sekretaris pribadi
Prawoto, Ramlan Mardjoned[89] dengan merujuk kepada kehadiran Prawoto memberi ceramah di depan aktivis
HMI Cabang Ciputat, 12 Februari 1969. Kepada utusan yang datang meminta Prawoto
memberikan ceramah dalam rangka Dies Natalis XII HMI, Prawoto menyatakan
bersedia dengan satu syarat, yaitu agar acara dimulai tepat pada waktu yang
telah ditentukan. Bagi Prawoto, keterlambatan sudah menjadi kebiasaan buruk
masyarakat Indonesia sejak masyarakat biasa sampai ke acara resmi kenegaraan.
Di akhir hayatnya, ketika
Prawoto hendak pergi ke Banyuwangi, Jawa
Timur, dia memeriksakan kesehatannya kepada dokter yang juga kawan
seperjuangannya, Dr. Ali Akbar. Diketahui saat itu tekanan
darahnya mencapai 170. Dr. Ali Akbar menyarankan supaya Prawoto membatalkan
rencana perjalanannya ke Banyuwangi. Tetapi kalau Prawoto harus memilih antara
janji kepada rakyat atau kepentingan sendiri, dia tidak akan memilih
kepentingan sendiri. Dia akan berjalan juga, walaupun dokter telah menasihatkan
jangan meneruskan perjalanan.
Tentang kebesaran jiwa dan pandai menghargai jasa pendahulu, Mardjoned
menunjuk pidato Prawoto saat terpilih menjadi Ketua Umum Masyumi. Dalam pidato
singkat padat itu, Prawoto memberikan penghargaan yang layak kepada dua
pendahulunya sebagai Ketua Umum Masyumi, yaitu Soekiman Wirjosandjojo dan
Mohammad Natsir. Kepada Soekiman yang disebutnya sebagai ”paman pendidikku” di
lapangan politik, Prawoto merasa kekurangan kata-kata untuk menyatakan terima
kasih atas keikhlasan Soekiman menyertai Prawoto dan kawan-kawan di dalam
pimpinan Masyumi hasil Muktamar IX.. Seperti diketahui, Soekiman yang merupakan
Ketua Umum Masyumi saat partai ini dididirikan, dan orang yang mengenalkan
Prawoto ke dunia politik melalui PII, rela menjadi ”bawahan” Prawoto dengan
bersedia menjadi Wakil Ketua I PP Masyumi.
Kepada Natsir, Prawoto mengatakan: ”di tempat mana pun kau berada, akan
tetap menjadi ’abang rohaniku’ dan percayalah bahwa di sudut hati adikmu tetap
tersedia tempat untukmu.”
Tentang ketaatan kepada hukum, Mardjoned merujuk kepada peristiwa bubarnya
Partai Masyumi. Karena diperintahkan oleh Keputusan Presiden, Prawoto menaati
keputusan itu. Akan tetapi, karena merasa keputusan itu tidak adil, pada waktu
yang bersamaan Prawoto menggugat perintah pembubaran Masyumi itu ke pengadilan.
Keteguhan Prawoto memegang prinsip disertai kesediaannya mendengar pendapat
orang lain, keteguhannya memperjuangkan keyakinan sembari tetap membuka ruang
untuk diskusi mencari titik temu, dan persahabatannya yang tulus kepada kawan
dan lawan politiknya sering dijadikan contoh mengenai mutiara politik yang kini
semakin langka. Kisah pertemanan para politisi di masa awal kemerdekaan, yang
secara ideologis berbeda, memang sangat manis untuk dikenang dan menarik untuk
diteladani. Mereka bisa berdebat panas di dalam forum, tapi sesudah itu mereka
dapat santai bersama-sama minum kopi seraya ngobrol soal keadaan keluarga
masing-masing.
Saking menariknya cerita pertemanan tulus Prawoto dengan berbagai kalangan,
muncul cerita –yang entah dari mana sumbernya— seakan-akan untuk membeli rumah
di Jalan Kertosono No. 4, Menteng, Prawoto dibantu oleh kawan dan lawan
politiknya. Di antara cerita yang beredar, dan sangat populer, karena
disampaikan oleh seorang tokoh nasional ialah bahwa tokoh Partai Katolik, I.J. Kasimo, yang
mengetahui Prawoto belum punya rumah tinggal di Jakarta, berinisiatif
mengumpulkan dana dari teman-teman politsi lintaspartai. Dana yang terkumpul
itu kemudian diserahkan kepada Prawoto untuk dibelikan rumah.
Cerita tentang rumah Prawoto itu muncul, niscaya sama sekali bukan untuk
menjatuhkan martabat Prawoto, melainkan sebagai decak kagum terhadap
kepiawaian para pendahulu kita mengelola
perbedaan pendapat --yang sering kali sangat tajam-- secara cerdas dan dewasa.
Bagaimanakah sejatinya kisah tentang rumah Prawoto itu? Sri Sjamsiar
memberi penjelasan sebagai berikut:
1. Awalnya rumah-rumah bekas tempat tinggal orang Belanda setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1950, statusnya VB,
termasuk rumah di Jalan Kertosono No. 4, yang ditinggali oleh keluarga Prawoto
sejak 1952;
2. Karena kesibukan Prawoto, Ny. Rabingah Prawoto menelusuri siapa sebenarnya
pemilik rumah di Jalan Kertosono 4 tersebut.
3. Setelah ditelusuri, ternyata pemilik rumah tersebut adalah seorang
biarawati, Zuster Tan Kin Liang yang tinggal di Maastrich, Belanda.
4. Setelah mengetahui pemilik rumah tersebut seorang biarawati, Ny. Rabingah
Prawoto meminta bantuan Ketua Partai Katolik, I.J. Kasimo, untuk menghubungi
Zuster Tan Kin Liang.
5. Mengapa meminta tplpng kepada I.J. Kasimo? Karena Ny. Rabingah Prawoto adalah sepupu Ny. Mudjirah Kasimo
dari garis ayah. Ny. Mudjirah adalah putri Prawirotaruno yang merupakan kakak
kandung Sudjiman Hardjotaruno, ayah Ny. Rabingah. Prawirotaruno dan Sudjiman
Hardjotaruno adalah putra Padmowinangun dari Pakualaman, Yogyakarta. Selain
sepupu, semasa kecil, Ny. Rabingah dan Ny. Mudjirah adalah teman bermain yang
akrab. Keakraban itu terjaga sampai mereka dewasa dan berumah tangga.
6. Rumah itu dibeli pada tanggal 20 Maret 1959 dengan akta Notaris Raden Mr.
Soewandi No. 50/1959.
7. Pasangan suami istri Prawoto Mangkusasmito-Rabingah berupaya keras membeli
rumah tersebut dengan melepas beberapa harta milik pribadi, termasuk mobil merk
Chevrolet warna hijau.[90]
Prawoto yang sederhana, bukanlah Prawoto yang
berpikir sederhana. Prawoto juga berpikir antisipatif. Jauh sebelum populer
istilah pembangunan, sebelum 1960 Prawoto sudah mempergunakan istilah tersebut
untuk dua lembaga yang ia dirikan. Sekitar tahun 1956/1957, Prawoto mendirikan
Lembaga Pesantren Pembangunan yang direncanakan di atas tanah seluas 8000 meter
persegi di Kebayoran Lama. Melalui proses yang panjang dan menjlimet, tanah
tersebut oleh keluarga berhasil ditukar dengan tanah seluas 2 hektar di daerah
Parung, Bogor. Pada 2011 tanah tersebut diwakafkan kepada Pondok Pesantren
Darul Muttaqin.[91]
Membangun pesantren di
tengah kota, ternyata telah lama menjadi obsesi
Prawoto. Ketika Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, masih dalam
proses pembangunan, Prawoto meminta agar di sekitar masjid tersebut dibangun
pesantren yang akan menjadi rumah tinggal kiai dan para santri. Prawoto meminta supaya
arsitektur bangunan rumah kiai dan pondok santri bercorak kedaerahan, sehingga
mencerminkan keindonesiaan. Arsitektur bangunan yang diimpikan Prawoto itu
kira-kira seperti arsitektur Taman Mini Indonesia Indah sekarang.[92]
Pada 1957, ketika iklim
politik makin menyesakkan, Prawoto sudah berpikir untuk mengelola dan menyelamatkan aset partai
Masyumi yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam rangka itu, Prawoto membentuk
Yayasan Pembangunan Umat (YPU) yang bermarkas di Masjid Al-Furqan, Jalan Kramat
Raya 45. Ketika Dewan Dakwah berdiri, aset gedung YPU di Jalan Kramat Raya 45,
juga di berbagai daerah, dialihkan menjadi aset Dewan Dakwah.[93]
Prawoto yang sederhana
meninggal dunia di tempat yang sederhana, jauh dari keramaian ibukota, dan
berwasiat agar dimakamkan di samping makam sahabat yang ia hormati, K.H. Faqih
Usman.
Ketika melepas jenazah
Prawoto pada 25 Juli 1970 di pemakaman Blok P, Jakarta Selatan, Mohamad Roem
antara lain berkata:
“Alhamdulillah, kita
semuanya sudah mengantarkan Pak Prawoto ke tempatnya yang terakhir di samping
(makam) Pak Faqih Usman. Kalau kita mengantarkan Pak Prawoto tidak ke Taman
Makam Pahlawan, tetapi Saudara ingin melihat Pak Prawoto sebagai Pahlawan,
tidak ada suatu hal yang menghalangi. Sebab Pahlawan itu bukan ditentukan oleh
tempat di mana dia dimakamkan, tetapi pahlawan itu ditentukan oleh
jasa-jasanya.... Bagi saya, Pak Prawoto Pahlawan Negara dan Agama kita.”[94]
Wasiat Prawoto telah dilaksanakan dengan
sebaik-baikinya oleh keluarga dan para sahabat Prawoto, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala ternyata masih punya rencana lain untuk Prawoto. Dua puluh lima tahun sesudah Prawoto
wafat, dalam rangka 50 tahun Indonesia merdeka, pada Hari Pahlawan 1995,
pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada mantan Wakil Perdana
Mentreri dan mantan Wakil Ketua Konstituante itu.
Dua tahun kemudian,
pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
merencanakan membangun kantor Walikota Jakarta Selatan. Lokasi yang dipilih
ialah kompleks pemakaman Blok P, tempat jenazah Prawoto dimakamkan. Semua
kerangka jenazah, kecuali kerangka jenazah Ade Irma Suryani Nasution –puteri
kecil Jenderal A.H. Nasution yang menjadi korban kebiadaban G.30.S/PKI-- harus
dipindah ke tempat lain.
Keluarga dan handai tolan
risau juga. Setelah 27 tahun “beristirahat” di Blok P, mau ke mana makam dipindahkan,
ke tempat yang relatif aman dari penggusuran berdalih pembangunan? Maka Bintang
Mahaputera ternyata menjadi semacam karcis untuk memindahkan makam Prawoto dari
Blok P ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Wakil
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA-RI), Drs. H. M. Chalil
Badawi, memimpin upacara pemakaman kembali kerangka jenazah Prawoto
Mangkusasmito di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata. Peristiwa pada 1997 itu, terjadi semata-mata
karena kekuasaan Allah subhanahu wa
ta’ala.[]
Naskah
awal ditulis oleh S.U. Bajasut untuk
buku Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan
Prawoto Mangkusasmito (1972)
Ditulis ulang oleh Lukman Hakiem dalam rangka penerbitan
ulang buku Alam Pikiran dan Jejak
Perjuangan Prawoto Mangkusasmito (2013)
[1] Pesan Prawoto Mangkusasmito Surat-surat Almarhum dari Penjara kepada Putri
(a)nya, Jakarta, Keluarga Bintang Bulan, 1971, surat tanggal 15 Oktober 1962, halaman 3.
[2] Ibid, surat tanggal 1 Mei 1964, halaman
18. Pada surat tanggal 6 Juni 1964, halaman 20, Prawoto menyebut perceraian
Embah Roko (Supardjo Mangkusasmito --ed)
dengan Bunda Bapak (Suendah --ed)
terjadi saat dia baru berusia 9,5 tahun.
[3] Rizal Zulkarnain,
“Pemikiran dan Perjuangan Politik Prawoto Mangkusasmito 1956-1970”’ Skripsi
untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2005, halaman 18.
[5] Sejak periode
1949 sampai periode 1956, menjadi salah seorang Pimpinan Pusat Masyumi. Duduk
dalam Kabinet Sjahrir III (1946-1947), dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Sesudah
Masyumi membubarkan diri, Jusuf Wibisono masuk dan berkiprah di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
[6] Tokoh Partai
Nasional Indonesia (PNI). Duduk dalam Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), Kabinet
Hatta (1950), Kabinet Sukiman (1951-1952), Perdana Menteri (1952-1953), Ketua
Majelis Konsituante (1956-1959),
Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1968-1978).
[7] Pimpinan Pusat
Masyumi periode 1952, dan 1954. Duduk dalam Kabinet Wilopo (1952-1953), Anggota
Majelis Konstituante (1956-1959).
[13] Ketika
Kabinet Sjahrir II terbentuk, tiga anggota BP-KNIP: M. Natsir, Sjafruddin
Prawiranegara, dan Jusuf Wibisono diangkat menjadi Menteri Penerangan, Menteri
Muda Keuangan, dan Menteri Muda Kemakmuran. Karena jabatan di BP-KNIP tidak
boleh dirangkap, ketiganya diganti oleh Sigit, Prawoto Mangkusasmito, dan
Boerhanoeddin Harahap. Lihat Badruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi, Jakarta, Bulan Bintang,
1989, halaman 21.
[14] Istilah negara
federal Republik Indonesia Serikat sesungguhnya telah muncul sejak Perjanjian
Linggajati yang diparaf pada 15 November 1946. Dalam Pasal 2 Perjanjian
Linggajati disebutkan bahwa Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia
bersetuju untuk bekerjasama dalam pembentukan sebuah negara merdeka dan
berdaulat atas dasar federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat yang akan
terdiri atas negara-negara Republik Indonesia, Kalimantan, dan Indonesia Timur,
tanpa mengurangi hak sesuatu daerah bagian untuk membentuk satu negara bagian
tersendiri. Lihat Mohamad Roem, “Peralihan ke Negara Kesatuan” dalam Mohammad Natsir dkk, Mosi Integral Natsir dari RIS ke NKRI
Prestasi Tertinggi Parlemen yang Dilupakan Sejarah, Jakarta, Panitia
Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir Pemikiran dan Perjuangannya dan
Media Dakwah, 2008, halaman 18.
[15] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu
Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta, NV. Bulan Bintang, 1982,
halaman 139.
[16] RM.
A.B. Kusuma, “Gelar Pahlawan Nasional”, dalam Lukman Hakiem (editor), Dari Muhammadiyah untuk Indonesia Pemikiran
dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan K.H. Abdul Kahar
Mudzakkir, Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013, catatan kaki nomor
14, halaman 290.
[18] Dalam struktur
negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Konferensi Meja
Bundar (KMB), terdapat 16 negara bagian, jauh lebih banyak dari tiga negara
bagian yang disebut dalam Perjanjian Linggajati. Republik Indonesia yang beribu
kota di Yogyakarta, berubah menjadi negara bagian, sama dengan 15 negara bagian
lainnya. Jumlah negara bagian itu akan lebih banyak lagi andaikata van
Roijen-Roem Statement tidak menghentikan pengakuan atau pembentukan
negara-negara bagian itu. Lihat Mohamad Roem, “Peralihan ke Negara Kesatuan”
dalam op cit, halaman 19.
[20] Lihat antara lain Amrin Imran dkk, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam Perang Kemerdekaan,
Jakarta, Citra Pendidikan, 2003.
[21] Djend. Maj. T.B.
Simatupang, Laporan dari Banaran Kisah
Pengalaman Seorang Pradjurit Selama Perang Kemerdekaan, Jakarta, PT.
Pembangunan, 1961, halaman 80.
[25] Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959,
Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995, halaman 38.
[26] Untuk kajian
lebih lanjut mengenai Demokrasi Terpimpin, lihatlah Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,
Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987, halaman 349-424. Juga, Dr. Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori
Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta, Gema Insani
Press, 1996.
[27] Dr. Anwar
Harjono, S.H., Perjalanan Politik Bangsa
Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan, Jakarta, Gema Insani Press, 1997,
halaman 130.
[28] Deliar, Noer, op cit, halaman 384. Lihat juga Ir.
Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi Djilid
Kedua, Jakarta, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965, halaman
411.
[29] Tentang PRRI dan
Permesta, lihat Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (Penyunting), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa
dalam Pusaran Sejarah, Jakarta, Harian Republika dan Panitia Satu Abad Mr.
Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011), 2011,
halaman 83-218. Lihat juga Ventje H.N. Sumual, Memoar, Jakarta, Bina Insani, 2011.
[30] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan
Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H., Jakarta, Media Da’wah, 1993 halaman 203.
[31] Laksmi Pamuntjak
dkk (Penyunting), Tidak Ada Negara Islam
Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta, Penerbit
Djambatan, 1997, halaman 67
[36] Dalam Pidato
Pertanggungjawaban kepada MPRS berjudul Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara, Presiden
Sukarno menilai Gerakan 30 September terjadi karena: 1. Keblingernya
pemimpin-pemimpin PKI, 2. Lihainya Nekolim, dan 3. Adanya oknum yang tidak
benar. Lihat Manai Sophian, Kehormatan
Bagi yang Berhak, Jakarta, Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994,
halaman 16.
[41] Tentang gelombang
penangkapan oleh rezim Sukarno, lihatlah antara lain M. Yunan Nasution, Kenang-kenangan di Belakang Tirai Besi di
Zaman Rezim Orla, Jakarta, Bulan Bintang, 1967; Soemarso Soemarsono, Pengalaman dari Tiga Penjara, Jakarta,
Yayasan Bunga Revolusi, 1971; dan Mochtar Lubis, Catatan Subversif, Jakarta, Sinar Harapan, 1980.
[42]
Didirikan pada bulan Mei 192. Selain Prawoto Mangkusasmito, pendiri yang lain
ialah Mr. Mohammad Roem, Mr. Jusuf Wibisono, Mr. Sindian Djajadiningrat, Ismael
Hassan, Yusdi Gazhali, Wartomo, Djamilus Nurut, dan
Hariri Hady. YAPI sekarang dipimpin oleh Hariri Hady, satu-satunya pendiri yang
masih hidup. Lihat Hariri Hady, “Hutang
yang Belum Terbayar” dalam Lukman Hakiem, Enam
Puluh Tahun YPI Al-Azhar 7 April 1952-7 April 2012, Jakarta, Yayasan
Pesantren Islam Al-Azhar, 2012, halaman 138.
[43] Dalam Dahlan
Thaib, S.H. dan Mahfud, MD, S.H., 5 Windu
UII Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
1945-1984, Team Pelaksana Penerbitan Buku 5 Windu UII, tanpa kota, tanpa
tahun, halaman 12, disebutkan bahwa musyawarah Masyumi itu terjadi pada awal
1945. Akan tetapi, harian Sinar Matahari,
23 November 1944, justru memberitakan bahwa pelantikan Panitia Pembentukan STI
dilakukan pada tanggal 20 November 1944. Berdasarkan Sinar Matahari, logisnya musyawarah Masyumi yang memutuskan untuk
membentuk Hizbullah dan mendirikan STI serta beberapa langkah lanjutannya,
terjadi beberapa waktu sebelum 20 November 1944.
[44] Harap bedakan
dengan Partai Politik Islam Masyumi yang berdiri sebagai hasil Kongres Umat
Islam di Yogyakarta, 7-8 November 1945.
[45] Lukman
Hakiem, opcit, halaman 42-43.
[47] H. Adnan Sjamni,
“Kita Tidak Menonjolkan Diri”’ dalam Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik Bakti Sekolah
Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia kepada Republik, Jakarta, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997, halaman 112.
[48] Drs. H. Amir
Hamzah WS (Penyunting), Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot Dr. Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974), Surabaya,
Usaha Nasional dan YP2LPM, 1984, halaman 309.
[49] Drs. H. Ridwan
Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika
Politik Bangsa 1925-1984, Jakarta, CV. Rajawali, 1984, halaman 27.
[51] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, ibid,
halaman 27. Menurut Deliar Nloer, “Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda
Islam)” dalam Panitya Buku “Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang-Perunding,
Jakarta, Bulan Bintang, 1978, catatan kaki nomor 4, halaman 243, yang hadir
pada Kongres ke-7 Jong Java dari
kalangan tokoh agama, selain H. Agus Salim ialah pendeta van Andel (Protestan),
pendeta van Rijkevoorstel (Katolik),dan Ir. Fournier (teosofi).
[52] Deliar Noer dalam
Panitya Buku “Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, ibid, halaman 241-242.
[53] Perkumpulan
teosofi yang didirikan di New York pada tahun 1875, mempunyai pusat di Adyar,
India, dipimpin oleh Dr. Anne Besant. Perkumpulan ini bermaksud membentuk suatu
kelompok umat manusia yang menekankan hubungan kemanusiaan tanpa membedakan
ras, kepercayaan, kasta, seks, dan warna kulit.Perkumpulan ini mendorong studi
perbandingan tentang agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Perkumpulan ini
didirikan di Indonesia pada 1905 sebagai cabang dari perkumpulan tersebut di
Belanda.
[54] Panitia
Peringatan 75 Tahun Kasman, op cit,
halaman 27-28. Mengenai kesepakatan antara para pemuda yang meninggalkan arena
Kongres ke-7 Jong Java dan pertemuan
dengan H. Agus Salim di suatu persimpangan jalan di Yogyakarta pada malam tahun
baru 1925, didengar langsung oleh Deliar Noer dari Sjamsuridjal. Menurut Deliar
Noer, dalam rangkaian ceramahnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun
1953, ketika menceritakan berdirinya JIB, H. Agus Salim juga menyebutkan
kesepakatan pemuda-pemuda Islam pada malam tahun baru 1925 di Yogyakarta itu.
Lihat Deliar Noer, dalam Panitya Buku “Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem
70 Tahun”, op cit, catatan kaki nomor 2, halaman 243.
[56] Het Licht Th. I No. 10, Desember 1925, dan Th. V/1929, halaman
195, seperti dikutip Deliar Noer dalam Panitya Buku “Peringatan Mohammad
Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, op cit, catatan kaki nomor 5, halaman 243.
[57] Het Licht Th. I No. 10, Desember 1925, dan
Th. V/1929, halaman 195, seperti dikutip Deliar Noer dalam Panitya Buku
“Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, ibid, catatan kaki nomor 6,
halaman 243.
[60] Di luar tanah
air, penggunaan nama Indonesia pertama kali digunakan oleh para mahasiswa
pribumi di Negeri Belanda yang berhimpun dalam De Indische Vereeniging. Pada 1922 nama perhimpunan diubah menjadi De Indonesische Vereeniging. Pada awal 1923,
saat dipimpin oleh R. Iwa Koesoema Soemantri, De Indonesische Vereeniging diterjemahkan menjadi Perhimpoenan
Indonesia. Ketika Soekiman Wirjosandjojo mengetuai organisasi ini sifat eksklusif organisasi ini makin kental
karena nama De Indonesische Vereeniging
resmi ditinggalkan dan diganti menjadi Perhimponen Indonesia. Lihat Sartono
Kartodirdjo, Sejak Indische sampai
Indonesia, Jakarta, Penebit Buku Kompas, 2005, halaman xi-xii, dan 6.
[61] Deliar Noer dalam Panitya Buku “Peringatan Mohammad
Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, op cit, halaman 251.
[66] Pesan Prawoto Mangkusasmito Surat-surat Almarhum dari Penjara kepada Putri
(a)nya,halaman 42-43.
[68] Deliar Noer dalam Panitya Buku “Peringatan Mohammad
Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun”, op cit, halaman 240.
[72] Tamar Djaja,
“Prawoto Mangkusasmito”, Abadi, 26
Juli 1970, seperti dikutip Rizal Zulkarnain, op cit, halaman 24.
[74] Partai Islam
Indonesia (PII) didirikan pada 1938 oleh Soekiman Wirjosandjojo bersama dengan
K.H. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, dan Wiwoho.
[75] Soebagijo I.N.
“Berjuang di Kalangan Pelajar”’ dalam Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, op cit, halaman 132. Menurut Harjono,
nama yang diusulkan ialah Masyumi dan Partai Rakyat Islam. Ketika Masyumi
disetujui sebagai nama partai, ditegaskan bahwa nama itu bukan lagi singkatan
dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia seperti pada Masyumi zaman Jepang,
melainkan sebagai kata benda (isim).
Lihat Lukman Hakiem, Perjalanan..., halaman 88. Deliar Noer, op cit, halaman 47 juga menyebut nama
yang diusulkan Masyumi dan Partai Rakyat Islam. Menurut Deliar Noer, nama
Masyumi yang bukan singkatan itu diterima dengan 52:50 suara.
[76] H. Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan
Karangan Tersiar, Jakarta, Panitya Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid
Hasjim, 1957, halaman 351-352. Menurut Deliar Noer, op cit, halaman 101, Bagian Penerangan dijabat oleh Wali Alfatah
dan A. Gaffar Ismail.
[77] Deliar
Noer, ibid, halaman 102.
[78] Menurut Deliar
Noer, Prawoto menjadi Sekretaris Umum berdasar pemilihan oleh anggota PP
Masyumi. Mulai 1958, Sekretaris Umum dipilih oleh Muktamar. Lihat Deliar Noer, ibid, halaman 103-104.
[80] Deliar Noer, ibid, halaman 104-105. Susunan PP
Masyumi hasil Muktamar IX, lihat Bagian III buku ini.
[81] Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik,
Jakarta, LP3ES, 1990, halaman 633. Rencana Dasar, Program, dan Struktur Partai
Demokrasi Islam Indonesia (PDII), dengan Pengantar yang ditulis oleh Mohammad
Hatta, dimuat sebagai lampiran buku tersebut.
[82] Dr. Anwar
Harjono, S.H., Indonesia Kita Pemikiran
Berwawasan Iman-Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, halaman 181.
[85] Lukman Hakiem,
“Tiga Windu Dewan Dakwah: Mesin Diesel yang Menghidupkan” dalam Media Dakwah No. 201 Sya’ban 1411/Maret
1991, halaman 38.
[86] Jenggot
melekat dan identik dengan diri Prawoto, sejak dia bergerilya pasca Agresi
Militer II Belanda, 19 Desember 1948. Lihat “Sambutan Wakil Keluarga dalam
Peringatan Satu Abad Prawoto Mangkusasmito”, diselenggarakan oleh Yayasan
Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI), Jakarta, 6 Januari 2012.
[87] Ibid.
[88] Ibid.
[89]
Kesaksian Ramlan Mardjoned diambil dari
naskah yang ditulisnya, “Etika Politik”.
[90] Catatan
Tambahan dalam “Sambutan....” op cit.
[91] Ibid.
[92] Hariri
Hady, “Hutang yang Belum Terbayar” dalam Lukman Hakiem, Enam Puluh Tahun, halaman 139.
[93]
“Sambutan”, op cit. Juga Ramlan
Mardjoned, op cit.
[94] Lihat
bagian lain buku ini.