Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. A.
Kahar Muzakkir,
dan Kasman Singodimedjo
Trio Kader Muhammadiyah yang Berjasa Merumuskan Undang-Undang Dasar
Oleh: Lukman Hakiem
Ketua PP Persaudaraan
Muslimin Indonesia
I
Ketika semakin jelas
bakal kalah dalam perang melawan sekutu, Jepang meningkatkan citranya sebagai
pelindung dan cahaya Asia. Pada awal September 1944, Jepang berjanji akan
memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Untuk menunjukkan kesungguhan
janjinya itu, pada 1 Maret 1945, Jepang membentuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan
Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan, popular juga dengan
sebutan Badan Penjelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan, BPUPK) dengan anggota sebanyak 60 orang ditambah 6 orang
anggota tambahan, dan 7 orang wakil Pemerintah Militer Jepang sebagai anggota
istimewa.
Ketika melantik anggota BPUPK, yang
pada 7 Agustus 1945 berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia (Saikoo Sikikan) melemparkan pertanyaan penting kepada BPUPK:
“Filsafat apa yang nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?” Menurut Saikoo Sikikan, usaha untuk mendirikan
negara merdeka yang baru bukanlah usaha yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak
dengan jalan mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan seksama dan
teliti segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pembelaan, dan soal-soal yang
menjadi dasar negara.
Terlepas dari maksud politis Jepang
membentuk Badan ini, bagi kaum pergerakan yang sejak lama telah memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, pembentukan BPUPK membawa rahmat yang tersembunyi, yakni
terbukanya kesempatan emas untuk mendiskusikan hal-hal mendasar mengenai masa
depan negara yang akan dibentuk, terutama dalam hal apakah negara yang akan
dibentuk itu akan bersifat netral terhadap agama, atau tidak memisahkan antara
urusan negara dengan urusan agama.
Jika merunut sejarah perkembangan
hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara, maka berbagai fakta
menunjukkan bahwa relijiusitas telah menyatu dan menjadi jati diri bangsa ini.
Di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara
Barat, yang mengalami proses Islamisasi sekitar pertengahan abad ke-16, system
pemerintahannya member kedudukan terhormat kepada ajaran dan hukum Islam.
Setiap keputusan pemerintahan Kesultanan Bima tidak boleh dilaksanakan sebelum
mendapat pertimbangan hukum syara’, apakah isinya sesuai atau bertentangan
dengan hukum Islam. Ini tercermin dalam ungkapan: “syara’ na katenggo kuma hukum –syara’ harus dikuatkan oleh hukum
Islam.”
Para penguasa di Nusantara, dengan
kesadaran penuh mempergunakan idiom-idiom Islam pada dirinya. Sultan, Sayyidin, dan Khalfatullah
melekat menjadi sebutan para penguasa di Nusantara.
Bahkan, meskipun kemudian berbagai
bangsa Barat datang untuk menaklukkan
dan menjajah berbagai kerajaan di Nusantara, akan tetapi mereka tidak mampu
menghilangkan Islam dari jiwa penduduk di kepulauan Nusantara. Islam tetap
menjiwai, dilaksanakan, dan menjadi jati diri penduduk di kepulauan ini.
Sepanjang catatan yang ada, sampai
sebelum 1882, pemerintah kolonial Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan
Agama Islam di masyarakat kepulauan Nusantara.
Pada September 1801 pemerintah
Hindia-Belanda memerintahkan kepada seluruh Bupati agar terhadap urusan-urusan
agama orang Jawa tidak dilakukan gangguan, sedangkan kepada para pemuka agama
Islam diberikan keleluasaan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam
bidang perkawinan dan kewarisan. Pada tahun 1820, melalui Stanblad No. 22 pasal 13, ditentukan bahwa para Bupati
wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya
para pemuka dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang
Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu.
Berturut-turut sesudah itu, keluar Stbl No. 58 tahun 1835 dan Stbl. No. 2 tahun
1855 yang mendukung pelaksanaan hukum Islam oleh orang-orang Islam sendiri,
melalui cara-cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pada tahun 1882, Pengadilan Agama di
Jawa-Madura, diresmikan. Peresmian itu berlangsung sesudah berkembang pendapat
di kalangan orang-orang Belanda sendiri bahwa hukum yang berlaku bagi
orang-orang bumiputera di Hindia-Belanda adalah undang-undang agama mereka
sendiri, yakni hukum Islam. Inilah teori hukum yang terkenal dengan nama Receptio in Complexu yang sejak tahun
1885 telah memperoleh landasan perundang-undangan Hindia-Belanda melalui Stbl.
No. 2 Tahun 1855.
Dalam hubungan ini, menarik untuk
menyimak nota Ketua Komisi Penyesuaian Undang-undang Belanda dengan Keadaan
Istimewa di Hindia-Belanda, Mr. Scholten van oud Harlem, kepada pemerintah
Belanda pada 1838 sebagai berikut: “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama
orang bumiputera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu
dapat tinggtal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat
mereka.” Pendapat Harlem didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg
yang mengatakan bahwa orang-orang bumiputera yang beragama Islam telah
melakukan resepsi terhadap hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai
kesatuan.
Perubahan mulai terjadi ketika
seorang ahli hukum adat, Cornelis van Vollenhoven mengeritik dan menyerang
teori Receptio in Complexu. Kritik
dan serangan van Vollenhoven didukung oleh Penasihat Pemerintah Hindia-Belanda
tentang Soal-soal Islam dan Anak Negeri, Christian Snouck Hurgronje. Menurut
keduanya, yang sesungguhnya berlaku di Hindia-Belanda bukanlah hukum Islam,
melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat itu memang masuk hukum Islam, tetapi
hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima sebagai hukum adat.
Pendapat kedua orang ini dikenal sebagai teori Receptie.
Sejak muncul teori inilah, di
kalangan masyarakat lahir dua kubu mengenai hubungan agama (dalam hal ini
Islam) dengan negara. Golongan-golongan dalam masyarakat yang diciptakan oleh
pemerintah kolonial
itu secara otomatis akan saling berhadapan jika dimunculkan
isu menyangkut kepentingan mereka.
II
Di zaman Jepang, pandangan utama
mengenai posisi agama dengan negara
tercermin pengelompokannya dalam Jawa
Hokokai, dan Madjelis Sjuro Muslimin
Indonesia (Masjumi).
Tentara pendudukan Jepang sendiri membagi anggota BPUPK menjadi lima
golongan, yakni “Golongan Pergerakan”, “Golongan Islam”, “Golongan Birokrat
(Kepala-kepala Jawatan)”, “Wakil Kerajaan (Kooti)”, “Pangreh Praja
(Residen/Wakil Residen, Bupati, dan Walikota)”, dan “Golongan Minortitas
(Peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab)”. Dengan pandangan seperti
itu, tidak heran dari 60 anggota BPUPK, hanya 11 orang yang beraspirasi atau berasal dari organisasi Islam. Mereka adalah:
Abikoesno Tjokrosoejoso (Syarikat Islam), H. Agus Salim (Syarikat Islam), Dr.
Soekiman Wirjosandjojo (Syarikat Islam/Muhammadiyah), K.H. Ahmad Sanoesi
(Al-Ittihadiyat al-Islamiyah), K.H. Abdoel Halim (Perikatan Umat Islam), Ki
Bagoes Hadikoesoemo (Muhammadiyah), K.H. Mas Mansoer (Muhammadiyah), K.H.
Abdoel Kahar Moezakir (Muhammadiyah/lulusan Universitas
Al-Azhar, Mesir), K.H. Masjkoer (Nahdlatul Ulama), K.H. A. Wahid Hasjim
(Nahdlatul Ulama), A.R. Baswedan (Partai Arab Indonesia), dan K.H. A. Fatah
Hasan (lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir).
Meskipun hahya 12 dari keseluruhan
anggota BPUPK, akan tetapi tokoh-tokoh dari kalangan Islam, cukup memberi warna
terhadap perumusan dasar dan konstitusi dari negara Indonesia yang akan
dibentuk.
Wakil-wakil kalangan Islam dan
mereka yang memiliki aspirasi Islam di BPUPK gigih berjuang agar dasar negara
dari negara Indonesia yang akan dibentuk itu adalah dasar negara yang tidak
menutup diri terhadap “intervensi” wahyu.
Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya,
sejak permulaan, yaitu dalam pidatonya pada sidang BPUK tanggal 31 Mei 1945 yang sepenuhnya
merujuk kepada ajaran Islam, dengan lantang mengingatkan pengaruh agama Islam
kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan mendalam sehingga berani menentang
imperialis Belanda. Ki Bagoes juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah
insaf, sudah luas pandangannya dan sudah lebar dadanya, suka bekerja
bersama-sama dengan siapa dan di mana saja, asal tidak tersinggung agamanya.
Patut diduga, lantaran keteguhannya
menyuarakan aspirasi Islam, maka ketika mula-mula dibentuk Panitia Kecil BPUPK
yang terdiri atas 8 anggota, karena itu boleh juga disebut Panitia Delapan, Ki Bagoes Hadikoesoemo dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Tujuh
anggota yang lain ialah: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin,
Mr. A.A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan
K.H. A. Wahid Hasjim. Tugas Panitia Kecil ini adalah mengumpulkan usul-usul
para anggota yang akan dibahas pada masa sidang yang akan
diselenggarakan pada bulan Juli 1945.
Mengenai dasar negara, Panitia Kecil
mencatat 7 usul, yaitu: 1. Kebangsaan dan Ketuhanan (11 pengusul), 2.
Kebangsaan dan Kerakyatan (2 pengusul), 3. Kebangsaan, Kerakyatan, dan
Kekeluargaan (4 pengusul), 5. Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian,
kecerdasan pikiran bangsa Indonesia bertakwa, berpegangan teguh pada tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa, Igama Negara ialah agama Islam (1 pengusul), 6.
Kebangsaan, Kerakyatan, dan Islam, dengan catatan agama Islam harus diakui
sebagai agama negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk
memeluk agama yang bukan Islam (3 pengusul), dan 7. Jiwa Asia Timur Raya (4
pengusul).
Melihat kenyataan usul-usul di atas,
tidak mengherankan jika dalam rumusan Panitia Sembilan (pengganti Panitia
Delapan) yang terdiri atas Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad
Yamin, Mr. A.A. Maramis, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. A.
Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan H. Agus Salim; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi dasar yang pertama dari
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Ketika pada 10 Juli 1945 hasil ini
dibawa sidang paripurna BPUPK, dan mendapat kritik dan sanggahan dari beberapa
anggota, Ir. Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan gigih mempertahankan rumusan
Pembukaan hukum dasar itu. Sesudah melalui perdebatan panjang, dalam rapat
BPUPK pada tanggal 16 Juli 1945, rancangan Preambule
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar diterima –dalam kata-kata Ketua BPUPK Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan
suara sebulat-bulatnya.” Preambule rumusan 22 Juni 1945 itulah
yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Sampai di sini, mau tidak mau, kita
harus mencatat peranan kader Muhammadiyah K.H. A. Kahar Muzakkir di dalam
merumuskan konstitusi negara dalam kedudukannya sebagai anggota Panitia
Sembilan. Sayangnya sampai sekarang dokumen perdebatan di Panitia Sembilan
belum ditemukan sehingga belum terpublikasikan.
III
Sesudah bersidang pada
16 Juli 1945, BPUPK “hilang”. Posisi BPUPK digantikan oleh
PPKI. Berbeda dengan BPUPK yang beranggotakan 60 orang ditambah 6 anggota
tambahan dan 7 wakil Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI hanya beranggotakan
27 orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, entah mengapa, baru
bersidang pada 18 Agustus 1945. Di PPKI, yang anggotanya hanya 21 orang plus 6 anggota tambahan
jumlah anggota yang berasal dari kalangan Islam makin merosot, yaitu hanya 4
orang. Keempatnya ialah Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. A. Wahid Hasjim, Mr.
Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah yang saat
itu lebih dikenal sebagai Daidantjo Jakarta),
dan Mr. T.M. Hasan (Ikhwanus Shafa Indonesia yang keanggotaannya
dalam PPKI lebih karena faktor ke-Sumatera-annya).
Kasman (sebagai anggota tambahan) dan Hasan (sebagai anggota tetap) adalah dua pendatang baru yang tidak ikut dan karena
itu tidak menghayati proses perumusan Undang-Undang Dasar di BPUPK.
Di tangan PPKI dengan format seperti
itulah, karya besar 60 + 6 anggota BPUPK berupa Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang dengan susah payah dan dengan penuh kesabaran dirancang,
diperdebatkan, dan pada 16 Juli 1945 dengan suara bulat disahkan dalam ramapat
besar BPUPK, hanya dalam hitungan jam, serta merta dianulir oleh 20 + 6 anggota PPKI.
Situasi pada pagi 18 Agustus 1945
itu, sungguh-sungguh sangat krusial. Lagi-lagi, beban berat itu diletakkan di
pundak kader Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Kasman Singodimedjo.
Menurut Prawoto Mangkusasmito,
ketika seluruh eksponen non-Islam menghendaki tidak ada klausul tujuh kata yang
menjadi inti dari Piagam Jakarta.Pada rapat 18 Agustus 1945 itu, menurut
Prawoto,
K.H. A. Wahid Hasjim tidak ada, karena masih dalam
perjalanan di Jawa Timur. Mr. Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan,
yang baru mendapat undangan rapat pada pagi hari itu, belum mengetahui sama
sekali persoalannya. Seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya
penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagoes Hadikoesoemo
sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI pada saat itu.
Tidak mudah meyakinkan Ki Bagoes
untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule
Undang-Undang Dasar. Sesudah Bung Hatta --yang konon pada sore 17 Agustus 1945
menerima opsir Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di
Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule Undang-Undang Dasar—gagal meyakinkan Ki Bagoes, dia
meminta T. M. Hasan untuk melobbi Ki Bagoes. Hasan ternyata juga tidak
mampu.melunakkan hati ki Bagoes.
Dalam situasi kritis itulah, Hatta
meminta Kasman untuk membujuk Ki Bagoes. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus,
Kasman meyakinkan Ki Bagoes untuk mau menerima usul perubahan. Kasman antara
lain mengingatkan Ki Bagoes bahwa karena
kemarin kemerdekaan sudah diproklamasikan, maka Undang-Undang Dasar
harus cepat ditetapkan supaya memperlancar roda pemerintahan. Kasman juga
mengingatkan Ki Bagoes bahwa bangsa Indonesia sekarang posisinya terjepit di
antara bala tentara Dai Nippon yang masih tongol-tongol
di bumi Indonesia dengan persenjataan moderennya; dan tentara Sekutu –termasuk
Belanda—yang tingil-tingil mau masuk
Indonesia, juga dengan persenjataan moderennya.
Di akhir pembicaraannya, Kasman
bertanya kepada Ki Bagoes apakah tidak bijaksana jika kitra sebagai umat Islam
yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud
demi kemenangan cita-cita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai
negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridhai Allah.
Entah karena dilobbi oleh sesama kader Muhammadiyah, atau karena kepiawaian Kasman melobbi dengan bahasa
Jawa halus, Ki Bagoes dapat menerima argument Kasman. Ki Bagoes setuju tujuh
kata dalam rancangan Preambule
Undang-Undang Dasar, Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan
diganti dengan kalimat Ketuhanan Yang
Maha Esa. Bersamaan dengan itu Ki Bagoes meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule Undang-Undang Dasar dihapus,
sehingga penulisannya dalam Preambule Undang-Undang Dasar menjadi: “…. Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.” Usul Ki Bagoes
disetujui.
IV
Dalam proses penyusunan konstitusi, terutama pada saat-saat kritis dalam
proses penetapan Undang-Undang Dasar, terbukti tiga tokoh Muhammadiyah telah
menorehkan peranan yang cukup signifikan. Anehnya, meskipun Ki Bagoes
Hadikoesoemo, K.H. A. Kahar Muzakkir, dan Mr. Kasman Singodimedjo memiliki
peran cukup signifikan dalam pembentukan Undang-Undang Dasar, sampai hari ini
pemerintah belum mengakui ketiga tokoh ini sebagai Pahlawan Nasional.
Yang lebih mengherankan
adalah Kasman Singodimedjo. Ketika pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto
memberikan Bintang Mahaputera kepada
sejumlah mantan anggota BPUPK dan PPKI , Kasman Singodimedjo dilewat.
Tidak syak lagi, ini pastilah karena sikap kritis Kasman kepada pemerintahan
Orde Baru dengan sejumlah statementnya dan terutama karena keikutsertaannya
dalam Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50). Padahal di masa awal kemerdekaan,
Kasman selalu terpilih menjadi orang pertama untuk memimpin perjuangan.
Setelah menjadi anggota
PPKI yang berhasil meyakinkan Ki Bagoes, Kasman kemudian menjadi orang pertama
yang menjabat Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP, parlemen sementara
sebelum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945). Sebelum terpilih menjadi Ketua KNIP, Kasman adalah Ketua Badan Keamanan
Rakyat (BKR, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia) , menggantikan Otto
Iskandardinata yang hilang di daerah Jawa Barat. Selepas dari jabatan Ketua
KNIP, Kasman diangkat menjadi Jaksa Agung. Ini pun jabatan rintisan, sebab
Jaksa Agung yang pertama (17 Agustus-6 November 1945), Mr. Gatot, yang tinggal
di Purwokerto, tidaklah efektif. Sebagai Jaksa Agung di masa permulaan, Kasman
melakukan penyusunan administrasi dan personalia, hubungan dengan berbagai
instansi baik vertikal maupun horisontal, juga mengeluarkan berbagai instruksi
kepada segenap jajaran kejaksaan.
Tugan perintisan kembali
dilakukan Kansam. Selepas dari jabatan Jaksa Agung, dia ditunjuk menjadi Kepala
Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan RI dengan
pangkat Jenderal Mayor. Setelah itu, Kasman diangkat menjadi Kepala Kehakiman
dan Pengadilan Militer pada Kementerian Pertahanan. Jabatan terakhir Kasman di
pemerintahan adalah sebagai Menteri Muda Kehakiman dalam Kabinet Amir
Sjarifuddin II.
Menurut Jenderal TNI A.H.
Nasution, di waktu sekitar Proklamasi, adalah lazim bagi kalangan pemuda
menyebut Sukarno-Hatta-Kasman di mana Kasman dirasakan sebagai tokoh militer
terdepan ketika itu. Menurut Nasution, hanya dengan pimpinan
Sukarno-Hatta-Kasman Singodimedjo rakyat dapat digerakkan secara missal, dan
kegiatan tanpa disertai ketiga pemimpin ini, dewasa itu akan merupakan suatu
gerakan yang hanya setengah-setengah saja.
Dengan jasa mereka yang begitu besar, ditambah kesaksian Jenderal Nasution
yang amat objektif terhadap Mr. Kasman Singodimedjo, belum layakkah Ki Bagoes,
Pak Kahar, dan Pak Kasman ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Pahlawan dalam
arti yang sebenar-benarnya.