Pemikiran M. Natsir dan Kontribusinya
dalam Pembangunan Negara Kesatuan[1]
Oleh:
A.M. Fatwa[2]
Bagi Natsir,
perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah para pemimpin pada saat taraf
perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Natsir percaya, di dalam keadaan
yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besar beragama
Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan
mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.
Setelah Mosi Integral berhasil, saya dipercaya jadi perdana menteri, satu
hal yang semula tidak saya pikirkan. Saya juga heran. Asa Bafagih, wartawan
harian Merdeka, bertanya kepada
(Presiden) Sukarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Sukarno,
“Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk
menyelamatkan Republik melalui konstitusi.”
I
Mohammad Natsir (1908-1993) adalah seorang intelektual
yang, dalam kata-katanya sendiri, “diisap politik”[3] Sejak muda, ia telah menuliskan berbagai
pikiran tajamnya. Sejak
masih sebagai pelajar sekolah menengah Algemeene
Middlebare School (Sekolah Menengah Atas) Natsir telah aktif menulis di
majalah bulanan Pembela Islam dan An-Noer (Het Licht, majalah bulanan yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
JIB). Dalam usia 23 tahun pada 1931 terbit dua bukunya: Komt tot het Gebed dan Muhammad als Profeet. Pada 1932 terbit Gouden Regels uit den Qur’an. Pada 1933
keluar bukunya De Islamietische Vrouw en
haar Recht. Dan pada 1934 muncul bukunya Het Vasten. Semua karya Natsir di masa ini ditulis dalam bahasa
Belanda karena ditujukan terutama kepada para pemuda yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB).[4]
Pada 1936 untuk pertama kalinya terbit karya Natsir dalam bahasa Indonesia yang
ditulisnya bersama Prof. C.P. Kemal Schoemaker, berjudul Cultuur Islam. Antara 1936-1941, Natsir aktif menulis dalam majalah
Pandji Islam, Pedoman Masjarakat, dan Al-Manar –tiga
majalah yang terbit sebelum perang dan tersebar ke seluruh Indonesia.
Tema tulisan Natsir mencakup banyak hal. Dia
menulis soal-soal kebudayaan, filsafat, pendidikan, politik, dan agama. Akan
tetapi, dari keseluruhan tema yang menjadi objek tulisannya, terlihat sangat
jelas kepedulian utama Natsir adalah agama, dalam hal ini terutama sekali
hubungan antara agama (Islam) dengan negara. Bagi Natsir, yang sering orang
lupakan jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah bahwa dalam
pengertian Islam yang dinamakan agama itu bukanlah semata-mata peribadatan
dalam istilah sehari-hari itu saja seperti shalat dan puasa itu, akan tetapi
yang dinamakan “Agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi semua
kaidah-kaidah, hudud-hudud
(batas-batas), dalam mu’amalah
(pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh
Islam itu.[5]
Oleh karena Natsir sangat intens mengkaji dan
menawarkan gagasan persatuan agama dengan negara, ditambah dengan sikap
politiknya yang sangat transparan menawarkan Islam sebagai dasar negara di
Majelis Konstituante –lembaga negara yang dibentuk melalui pemilihan umum 1955
untuk menyusun konstitusi—[6] nama Natsir dilekatkan
kepada cita-cita pembentukan Negara Islam, bahkan distigmakan sebagai tokoh
yang anti-Pancasila.
II
Islam
sebagai tolok ukur,[7]
itulah arus utama (mainstream) dalam
pemikiran Natsir mengenai persatuan agama dengan negara.
Natsir berpendapat, memang Rasulullah tidak
perlu menyuruh mendirikan negara. Dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri,
dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan
manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Dengan nada retorik,
Natsir menegaskan, di zaman unta dan pohon korma, ada negara; di zaman kapal
terbang, ada negara. Tentang ada negara yang terarur, dan ada yang kurang
terarut, menurut Natsir, adalah soal biasa. Akan tetapi, bagaimana pun
kedua-duanya adalah negara. Dengan, atau tidak dengan Islam! Yang dibawa oleh
Nabi Muhammad, lanjut Natsir, ialah beberapa patokan untuk mengatur negara,
supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya
untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun di dalam negara itu, untuk
keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan kesentosaan
umum.[8]
Merujuk kepada Q. S. Al-Dzariyat ayat 56,
Natsir mengatakan bahwa cita-cita seorang Muslim ialah menjadi hamba Allah
dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di
akhirat. Untuk mencapai tujuan itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan
yang harus berlaku saat kita berhubungan dengan Tuhan, dan ketika berhubungan
dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan
mu’amalah sesame makhluk, menurut Natsir ada garis-garis besar berupa kaidah
yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak
serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang terakhir ini, kata
Natsir, tidak lebih tidak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan
urusan kenegaraan.[9]
Bagi Natsir, negara bukanlah tujuan. Negara
hanyalah alat. Tujuannya, dalam kata-kata Natsir ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan
dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai
anggota dari masyarakat.[10]
Sampai di sini, jelas bagi kita, Islam
sebagai tolok ukur yang digagas dan diperjuangkan oleh Natsir bukan sekadar
berlakunya secara formal Islam sebagai dasar negara. Yang lebih ditekankan oleh
Natsir ialah berlakunya nilai-nilai Islam di dalam kehidupan berpribadi,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan tujuan dan cita-cita
seorang Muslim.
Natsir berpendapat, suatu negeri yang
pemerintahannya tidak memedulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan
dungu, tidak mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar tidak
tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala- kepala (negara dan
pemerintahannya) menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau
memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu
sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan takhyul dan khurafat
merajalela, sebagaimana keadaaan Turki di zaman sultan-sultannya yang terakhir,
maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintah Islam.[11]
Terhadap pemerintahan semacam itu, Natsir
mengingatkan pengertian demokrasi di dalam Islam yang memberikan hak kepada
kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang zalim.
Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat
untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan, jikalau perlu. Dalam rangka ini, Natsir
mengutip hadits riwayat Nasai sebagai berikut: “Pernah orang bertanya kepada
Rasulullah, apakah yang sebaik-baik jihad? Dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan
barang yang hak terhadap sultan yang zalim.”[12]
Dengan pendirian seperti itu, Natsir tidak
canggung membela Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Dalam pidato berjudul
“Sumbangan Islam Bagi Perdamaian Dunia” di Karachi, Pakistan, pada 9 April
1952, Natsir antara lain berkata: “Pakistan adalah negara Islam. Hal itu pasti,
baik oleh kenyataan penduduknya maupun oleh gerak-gerik haluan negaranya. Dan
saya katakan Indonesia juga adalah negara Islam, oleh kenyataan bahwa Islam
diakui sebagai agama dan panutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak
disebutkan dalam konstitusi bahwa Islam itu adalah agama negara. Indonesia
tidak memisahkan agama dari (masalah) kenegaraan. Dengan tegas Indonesia
menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila,
kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila
oleh negara dan bangsa Indonesia.”[13]
Hampir setahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei
1953, dalam Kuliah Umum di Universitas Indonesia, berjudul “Negara Nasional dan
Cita-cita Islam” yang diselenggarakan atas permintaan Ketua Umum Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), A. Dahlan Ranuwihardjo, Presiden Soekarno saat
menguraikan kedudukan Pancasila dan Islam secara khusus menyinggung pidato
Natsir itu: “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan
lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad
Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International
Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan
satu sama lain.kan sama satu sama lain.”[14]
Pada tahun berikutnya, di majalah Hikmah 29
Mei 1954, Natsir menurunkan tulisan berjudul “Apakah Pancasila Bertentangan
dengan Ajaran Al-Qur’an?” Bagi Natsir,
perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah para pemimpin pada saat taraf
perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Natsir percaya, di dalam keadaan
yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besar beragama
Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan
mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam. Dengan nada retorik, Natsir bertanya,
bagaimana mungkin Al-Qur’an:
1.
….yang
memancarkan tauhid, dapat apriori
bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa?
2.
….yang
ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adalah ijtima’iyah bisa apriori
bertentangan dengan Keadilan Sosial?
3.
….yang
justeru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad (diktatur) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar masyarakat
dalam susunan pemerintahan, dapat apriori
bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat?
4.
….yang
menegakkan istilah islahu bainan nas (damai antara manusia) sebagai dasar-dasar
yang pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dapat apriori bertentangan dengan apa yang disebur Perikemanusiaan?
5.
….yang
mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, apriori dapat dikatakan bertentangan
dengan Kebangsaan?[15]
Dalam
tulisannya itu, Natsir mengkonstatir mulai terdengar pendapat-pendapat yang
menempatkan Al-Qur’an di satu fihak dan Pancasila di fihak lain dalam suasana antagonisme. Seolah-olah antara tujuan
Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata
dan tak “kenal damai” dan tidak dapat disesuaikan. Dengan nada yang sangat kuat
sebagai seorang pemimpin, Natsir
menulis: “Dengan sepenuh-penuh keyakinan sebagai seorang Muslim yang berdiri
atas kalimah syahadat, dan lantaran itu sebagai patriot yang cinta kepada tanah
air dan bangsa, saya berseru supaya jangan terburu-buru memberikan suatu
kualifikasi dan keputusan, apabila vonis dan keputusan itu semata-mata
didasarkan atas istilah-istilah yang oleh masing-masing pemakainya diberi tafsiran
sendiri-sendiri, sebab bukanlah dengan cara demikian kita seharusnya memandang
pokok persoalannya.”[16]
Natsir sangat yakin dalam pangkuan Al-Qur’an,
Pancasila akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori bertentangan tetapi tidak pula identik. Natsir yakin, di
atas tanah dan iklim Islam-lah, Pancasila akan hidup subur. Sebab iman dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu tidak dapat ditumbuhkan dengan
semata-mata hanya mencantumkan kata-kata dan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa
itu saja di dalam perumusan Pancasila.
Berlainan soalnya, kata Natsir, apabila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekadar buah bibir. Bagi orang-orang yang
jiwanya sebenarnya skeptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang ini,
dalam ayunan langkahnya yang pertama
saja Pancasila sudah lumpuh. Apabila sila yang pertama itu, yang
hakikatnya urat-tunggal bagi sila-sila berikutnya sudah tumbang, maka seluruh
akan hampa dan amorph, tidak
mempunyai bentuk yang tentu. Yang
tinggal adalah kerangka Pancasila yang mudah sekali dipergunakan untuk penutup
tiap-tiap langkah perbuatan yang tanpa
sila, tidak berkesusilaan sama sekali.[17]
III
Pertanyaan
yang selalu muncul, mengapakah dalam pidato di Majelis Konstituante, Natsir
“berubah haluan” dan mengusulkan Islam –bukan Pancasila—sebagai dasar negara?
Pakar ilmu politik terkemuka, Deliar Noer, berpendapat
bahwa pidato Natsir di Majelis Konstituante pada 1957 yang mengusulkan Islam
sebagai dasar negara bukanlah perubahan sikap Natsir terhadap Pancasila. Bagi
Deliar, pidato Natsir di Pakistan dan tulisannya di Majalah Hikmah, yang sudah dikutip di atas,
adalah pandangan Natsir mengenai Pancasila dihubungkan dengan Qur’an, sehingga
tafsir sila-silanya juga dikaitkan dengan ajaran Qur’an. Dalam konstituante,
Natsir melihat Pancasila sebagai ajaran atau tafsiran yang dikemukakan oleh
para anggota Konstituante yang sekuler. Natsir juga merujuk terutama kepada
pidato Soekarno pada rapat Gerakan Pembela Pancasila di Istana Jakarta pada
tanggal 17 Juni 1954 yang memberi kesan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan ciptaan manusia.[18]
Pada pidato di Konstituante, Natsir mengutip
sangat panjang pidato Soekarno di depan Gerakan Pembela Pancasila. Seakan
menunjukkan kegelisahannya terhadap tafsir sekularistik Soekarno terhadap Pancasila,
Natsir mengutip tidak kurang dari 12 paragrap pidato Soekarno itu.
Dalam pidatonya itu, Soekarno menguraikan
eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dari sudut dinamika masyarakat yang terus berubah sepanjang masa.
Kita ikuti uraian Soekarno sebagai berikut: “Ketuhanan (Ketuhanan di sini saya
pakai di dalam arti religieusiteit),
itu memang sudah hidup di dalam kalbunyabangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh,
beratus-ratus, beribu-ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat
Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit.[19] Apa sebab? Ialah karena
bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, taraf
pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, tentu religieus….”[20]
Di bagian lain, Soekarno berkata: “Dulu,
tatkala manusia hidup di dalam rimba saya di bawah pohon-pohon dan gua-gua, dia
mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir, atau sungai. Dulu, tatkala
manusia hidup di dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa
binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah
kepada binatang. Dulu, tatkala manusia hidup di dalam taraf agrarian, terutama
sekali dulu, dia pun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala
manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui
kepada Tuhan lagi…..”[21]
Jika kesimpulan dari pidato Soekarno itu
secara sederhana ialah seseorang yang masih berada dalam taraf kehidupan
agraris memerlukan Tuhan tetapi kalau dia sudah menjadi industrialis tidak
perlu lagi Tuhan, pertanyaan Natsir kemudian, di manakah gerangan hendak
ditempatkan wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan.
Pertanyaan itu, kata Natsir, mengandung jawabnya sendiri: “Bagi seorang
sekularis, soal Ketuhanan sampai kepada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada
hubungannya dengan wahyu. Baginya soal Ketuhanan adalah soal ciptaan manusia
yang berganti-ganti.”[22]
Berbeda dengan Soekarno yang merelatifkan
eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berbeda juga dengan
anggota Konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Roeslan Abdulgani
yang menerangkan bahwa pokok utama dari sila-sila dalam Pancasila adalah sila
kebangsaan sebagai reaksi terhadap kolonialisme;[23] bagi Natsir sila Ketuhanan
Yang Maha Esa harus menjadi point of
refrence, titik tempat memulangkan
segala sesuatu. Bagi Natsir, Pancasila yang tidak menjadikan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai point of reference
sebagaimana difahami oleh para pendukungnya di Konstituante, bagaimana akan
mendapat tenaga penggerak jiwa bagi rakyat Indonesia yang sudah memiliki
ideology agama yang tegas-tegas dan meliputi jiwanya itu. Dalam kalimat lugas,
Natsir menyimpulkannya sebagai “tragis Pancasila yang sekuler, tanpa agama.”[24]
Pendirian Natsir yang menginginkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi point of
reference, ternyata tidak sendirian. Pendirian Natsir, sejalan dengan
pandangan Wakil Presiden (1945-1956) Mohammad Hatta yang dalam beberapa
kesempatan selalu menekankan bahwa Pancasila terdiri atas dua lapis fundamen,
yaitu fundamen moral dan fundamen politik.[25]
Menurut Bung Hatta, “Dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk
menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah
kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang
memimpin tadi. Dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat
menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke
jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.”[26]
Sehubungan dengan tafsir Hatta terhadap
Pancasila, Ahmad Syafii Maarif menulis: “…. Pancasila Hatta lebih masuk akal,
dibenarkan sejarah daripada tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh seorang
sekularis, agnostic, atau apalagi oleh seorang komunis. Sepanjang sumber-sumber
yang diketahui, belum ditemukan suatu keberatan dari kelompok-kelompok aliran
politik di Indonesia terhadap tafsiran Hatta tentang Pancasila. Maka dari sudut
penglihatan ini, sekiranya tafsiran Hatta tentang Pancasila dapat diakui dan
disetujui pada masa yang akan dating, ia akan berhenti menjadi isyu
controversial, baik di muka umum maupun dalam pembicaraan terbatas.”[27]
Dalam persidangan di Majelis Konstituante,
hasrat Natsir menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai point of reference ternyata juga tidak
tanpa teman. Di dalam perdebatan di Konstituante itu, Arnold Mononutu, anggota
Konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan beragama Nasrani, dengan
lantang menafsirkan Pancasila menurut iman Kristiani. Mononutu yang menolak
mengakui Pancasila sebagai hasil “penggalian” dari masyarakat Indonesia,
menafsirkan sila demi sila dari Pancasila dengan memakai ayat-ayat dari Kitab
Injil. Bagi Mononutu, Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran
langsung dari Injil. Dengan tegas Mononutu antara lain menerangkan: “Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa
Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis
belaka.” Substansi kalimat itu diulangi oleh Mononutu: “Pancasila tanpa
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ideologi materialistik semata-mata yang
secara prinsipil kami tidak dapat menerimanya.”[28]
Dengan sukacita Natsir menyambut penegasan
Mononutu: “Dalam saya mengikuti permulaan pidato beliau dengan perasaan
terhadu, saya memahamkan pada permulaan pidatonya ada usaha yang
sungguh-sungguh dari Saudara Arnold Mononutu untuk mendesekularisasikan
Pancasila.” Di bagian lain, Natsir berkata:
“Bukankah ini berarti, (kalau sudah demikian), di sinilah kita sampai
pada satu titik pertemuan, antara umat Kristen dan umat Islam, yakni sama-sama
hendak mencari dasar negara yang bersumberkan wahyu Ilahi? Baik yang melalui
Injil ataupun melalui Qur’an. Dengan demikian akan terdapatlah kiranya
kenyataan, baik golongan Saudara Mononutu dan golongan kami mendapat
persesuaian dalam satu hal esensil, yakni sama-sama menolak faham sekularisme
sebagai falsafah negara….”[29]
IV
Dengan
Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1945, Majelis Konstituante dibubarkan, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 –yang pada Pembukaannya termaktub
rumusan butir-butir Pancasila—dinyatakan berlaku kembali. Dalam konsiderans
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu terdapat kalimat: “Bahwa kami berkeyakinan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiawai Undang-Undang Dasar 1945
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”[30]
Terlalu naïf jika kenyataan dibubarkannya
Konstituante ditafsirkan sebagai bukti gagalnya perjuangan partai-partai
politik Islam (Nahdlatul Ulama, Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan
Partai Islam PERTI) yang di dalam Konstituante bergabung dalam Fraksi Islam[31], menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Sebab, kepedulian utama dari keseluruhan gagasan menjadikan Islam
sebagai dasar negara, sesungguhnya adalah hasrat untuk mendesekularisasikan
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan dasar negara yang membuka diri
terhadap “intervensi” wahyu.
Bahwa untuk mencapai kepedulian utama itu
digunakan tema besar Islam sebagai dasar negara, tentulah tidak dapat
dilepaskan kaitannya dari fungsi Konstituante sebagai lembaga negara yang
memiliki kewenangan penuh untuk menyusun konstitusi yang definitive. Fungsi
itu, kata Natsir, hanya dapat dipenuhi “apabila ia mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk menjelajah, membahas, membanding fikiran-fikiran yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Tegasnya, untuk melakukan orientasi yang
sungguh-sungguh, agar hasil yang hendak dicapai nanti benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan bagi rakyat dan keturunan kita di masa mendatang.”[32]
Bagi kalangan politisi berbasis agama, debat
di Konstituante adalah sukses gemilang. Suara lantang Natsir telah membangunkan
kalangan bukan sekuler untuk mencari pijakan Ilahiat bagi Pancasila. Dengan kebangkitan
kalangan bukan sekuler di konstituante itulah, gagasan memeras Pancasila
menjadi Ekasila, yakni Gotong-Royong tanpa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, atau
mengganti sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Kebebasan Beragama seperti
disuarakan oleh kalangan komunis,[33] gagal total.
Sulit
dibayangkan apa yang terjadi kini jika Konstituante dulu tidak melakukan
tugasnya “menjelajah, membahas, membanding fikiran-fikiran yang hidup dalam
masyarakat Indonesia,” jika Konstituante tidak mengkonfrontasikan ide-ide dalam
pemikiran-pemikiran.” Mungkin, seperti dikatakan Natsir, yang kita dapat
hanyalah “toleransi, dan bukan konstitusi.”[34]
Dari sudut ini dapatlah dikatakan bahwa
konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sejatinya lebih dari sekadar kompromi antara
pendukung Pembukaan UUD 1945 versi 22 Juni 1945 dan Pembukaan UUD 1945 versi 18
Agustus 1945, merupakan keberhasilan
upaya mendesekularisasikan dasar negara Pancasila.
Atas pertanyaan anggota DPR-RI, Anwar Harjono
(Masyumi) dan K.H. Ahmad Sjaichu (NU) mengenai makna konsiderans Dekrit 5 Juli
1945, Perdana Menteri Djuanda dengan surat kepada Ketua DPR-RI No. 0761/59,
tertanggal 25 Maret 1959 antara lain mengatakan bahwa:
1.
Walaupun
Piagam Jakarta itu tidak merupakan bagian Undang-Undang Dasar 1945, di
antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945, tetapi naskah itu sebagai dokumen
historis besar artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia dan bagi bahan
penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi bagian daripada
Konstitusi Proklamasi, dan
2.
Pengakuan
adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan
pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengaruh
termaksud tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga
mengenai Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus
menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan. Yaitu bahwa dengan
demikian kepada perkataan “Ketuhanan” dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945
dapat diberikan arti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk
menjalankan syari’atnya, sehingga atas dasar itudapat diciptakan
perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat disesuaikan dengan
syari’at Islam.[35]
Mengomentari
konsideran tersebut, Ahmad Syafii Maarif menulis: “Tercantumnya konsideransi
sangat penting ini jelas merupakan kompromi politik lagi antara pendukung dasar
negara Pancasila dan dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana
konsideransi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan memang seharusnya
demikian, maka sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk
melaksanakan syari’ah bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah
barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan
Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, di samping tidak punya makna,
juga bersifat a historis….”[36]
V
Di
samping kontribusinya di bidang pemikiran, terutama dalam memberi ruh agama
terhadap konstitusi yang sedang disusun, Natsir juga dicatat karena peran
cerdas dan gemilangnya di dalam memulihkan bentuk negara dari Republik
Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
melalui pidatonya di Parlemen RIS pada 3 April 1950 yang kemudian dikenal
dengan nama “Mosi Integral Natsir”.
Setelah melalui
proses yang panjang, melalui perundingan demi perundingan yang diwarnai dengan
dua kali agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, akhirnya pada 23
Agustus sampai dengan 2 November 1949 terselenggara Konferensi Meja Bundar
(KMB) antara pemerintah Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia di Den Haag.
KMB menghasilkan kesepakakatan sebagai berikut:
1.
Kedua
belah fihak (Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia) setuju membentuk Uni yang
longgar antara Negeri Belanda dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis,
2.
Soekarno
dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan antara
1949-1950, Hatta akan menjadi Perdana Menteri RIS,
3.
Belanda
masih akan mempertahankan Irian Barat (sekarang Papua) dan tidak ikut RIS
sampai ada perundingan lebih lanjut, dan
4.
Pemerintah
RIS harus menanggung hutang Belanda sebesar 4,3 miliar gulden.[37]
Pada
29 Desember 1949 Belanda secara resmi mengakui (Belanda menggunakan istilah:
menyerahkan) kedaulatan RIS, kecuali Irian Barat. Dalam RIS, tergabunglah 16
Negara Bagian, termasuk Republik Indonesia di Yogyakarta. Karena Irian tidak
termasuk yang diserahkan itulah maka Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dan
Menteri Penerangan Mohammad Natsir menolak KMB dan tidak mau masuk cabinet RIS.
Natsir kemudian berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di Parlemen RIS.
Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering,
pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur mencetuskan resolusi untuk melepaskan diri
dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung dengan Negara Bagian Republik
Indonesia di Yogyakarta. Pada 30 Januari, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara
Bagian Pasundan mengeluarkan resolusi yang sama. Selain di dua daerah tersebut,
pada awal Januari di banyak daerah telah muncul suara-suara yang menghendaki
bergabung dengan Negara bagian Republik Indonesia. Di Negara Bagian Sumatera
Timur malah terjadi demonstrasi yang memaksa polisi turun tangan mengatasinya.
Sebagai Ketua Fraksi
Masyumi, Natsir mencermati keadaan yang berkembang. Dia yakin, jika hal itu
dibiarkan, bisa berakibat tidak baik untuk negara yang baru merebut
kemerdekaannya ini. Natsir pun menemui para Ketua Fraksi untuk mengetahui
fikiran apa yang sedang berkembang di parlemen. Natsir berdiskusi dengan para
pemimpin fraksi paling kiri melalui Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia
(PKI). Natsir juga berdiskusi dengan pemimpin fraksi yang sangat kanan,
Sahetapy Engel dari Biijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO).
Dari pertukaran
fikiran itu, Natsir menyimpulkan bahwa negara-negara bagian itu mau membubarkan
diri untuk bersatu dengan Republik Indonesia di Yogya, asal jangan disuruh
bubar. Sepanjang dua setengah bulan, Natsir melakukan lobby yang diakuinya tidak mudah, terlebih-lebih dengan
negara-negara bagian di luar Jawa seperti negara bagian di Sumatera dan Madura.
Setelah semuanya dirasa mantap, Natsir mengajukan Mosi Integral yang menurut
pengakuannya, dibuat “kabur-kabur….” Mosi Integral dibikin kabur, karena kita
tengah menghadapi Belanda. “Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi.
Belanda tidak boleh tahu, mau ke mana perginya rencana itu,” kata Natsir.[38]
Mosi Integral Natsir
diterima baik oleh pemerintah. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, mengumumkan
bahwa pemerintah akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan pendekatannya yang luwes,
Natsir berhasil memulihkan negara federal RIS ke NKRI tanpa satu orang pun yang
dipermalukan, jujga tanpa setetes darah pun yang tumpah.
Komite persiapan yang
terdiri dari semua Negara Bagian, dibentuk. Komite ini mempersiapkan rancangan
Undang-Undang Dasar Sementara yang mengusulkan sistem kabinet parlementer.
Masyumi yang diwakili oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersikukuh pada kabinet
presidensil. Akan tetapi, dua partai besar pada saat itu, Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tegas mendukung sistem
kabinet parlementer. Karena kalah suara, Masyumi pun, dalam kalimat Mohamad
Roem, “harus meletakkan dirinya pada sistem kabinet parlementer.”[39]
Atas peranannya yang signifikan itulah.
Natsir ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Menteri Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Natsir tercatat dalam sejarah sebagai orang
pertama yang menjadi Perdana Menteri NKRI. Mengenang peristiwa itu, Natsir berkata: “Setelah Mosi Integral berhasil, saya dipercaya jadi perdana menteri, satu
hal yang semula tidak saya pikirkan. Saya juga heran. Asa Bafagih, wartawan
harian Merdeka, bertanya kepada
(Presiden) Sukarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Sukarno, ‘Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk
menyelamatkan Republik melalui konstitusi’.”[40]
Soekarno
tertarik kepada Natsir dan bersikukuh memintanya menyusun kabinet walau tanpa
dukungan PNI, karena menurutnya proses pengembalian kepada negara kesatuan
telah dilaksanakan Natsir dengan cara yang bermartabat dan menyenangkan. Hal
lain, karena Natsir dan partainya mendukung sistem kabinet presidensil,
Soekarno menduga Natsir akan toleran kepada kehendaknya untuk berpidato pada
saat Perdana Menteri Natsir menyampaikan kebijakan kabinetnya. Soekarno
mengira, Natsir akan bersikap sesuai dengan sikap partainya saat membahas
rancangan UUD Sementara.
Soekarno
kecele. Natsir ternyata berpendapat, sebagai Perdana Menteri dalam sistem
kabinet parlementer seperti diatur oleh UUD Sementara, dia harus menetapkan
politik pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan Presiden. Menurut Roem,
inilah awal dari akhir bulan madu yang singkat antara Soekarno dengan Mohammad
Natsir.[41]
VI
Esai ini secara sederhana telah
mencoba menguraikan pemikiran Mohammad Natsir sebagai sumbangannya untuk
NKRI. Mengakhiri uraian ini, beberapa
catatan ingin saya sampaikan:
1.
Proses
perumusan dasar negara Pancasila, bukanlah proses instan, sekali jadi. Di dalam
proses tersebut ada dialog tajam dan bermutu tinggi yang turut member warna
kepada Pancasila. Oleh karena itu mengklaim Pancasila seolah-olah milik
golongan tertentu, dan telah jadi pada saat pertama kali disebutkan namanya ke
publik, adalah klaim yang tidak memiliki dasar argumentasi dan basis sejarah yang
kuat.
2.
Masih
saja terdengar ungkapan bahwa negara kita ini bukan negara sekuler, juga bukan
negara agama. Ungkapan ini mengesankan seolah-olah negara kita adalah negara
bukan-bukan. Bukan ini, dan bukan itu. Padahal konstitusi kita, sejak pembukaan
sampai batang tubuh jelas-jelas mengatakan bahwa “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Seluruh komponen bangsa tidak boleh enggan atau ragu
untuk menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, demokrasi yang kita laksanakan pun
haruslah demokrasi yang ber-Ketuhanan.
3.
Banyak
orang berkata, NKRI adalah harga mati. Pertanyaannya, ketika menyatakan itu,
adakah yang masih mengingat bagaimana proses menjadi NKRI itu dilakukan. Membaca
ulang proses pulihnya NKRI itu kini makin penting dan mendesak, agar di dalam
mempertahankan dan merawat NKRI kita tidak pernah kehilangan cara-cara yang
bermartabat, penuh toleransi, dan menyenangkan.
4.
Kita
boleh berbeda pendapat pada saat proses pengambilan keputusan sedang
berlangsung, akan tetapi ketika keputusan telah diambil tidak boleh lagi ada
ruang bagi pendapat pribadi yang berbeda dengan keputusan yang telah diambil
itu. Dan yang tidak kalah pentingnya, betapapun sulitnya, seorang pemimpin
wajib mengambil keputusan dan memastikan terlaksananya keputusan tersebut.
5.
Dalam
rangka pembentukan karakter bangsa, sudahn saatnya kita menyimak lebih seksama
perjalanan hidup bangsa ini dan para tokohnya. Kecenderungan untuk selalu
mencatat perbedaan di antara para pemimpin bangsa di masa lalu, ternyata harus
dikoreksi. Para pendahulu kita biasa berbeda pendapat tajam dan keras, tetapi
mereka tidak pernah kehilangan kehangatan dalam hubungan pribnadi dan
kekeluargaan.
Jakarta, 2 Rajab 1403
24 Mei 2012
[1] Makalah
disampaikan pada Kajian Ilmiah Sosial Politik Islam (KISPI), “Konsepsi Negara dalam Islam dan
Kontribusinya untuk Indonesia”, Badan Otonom Forum Studi Islam Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 02 Rajab 1433/23 Mei 2012.
[2] DR (HC)
A.M. Fatwa adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(2009-2014).
[3] “Mohammad
Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah” dalam Memoar
Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti,
1993, halaman 85. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah,
Jakarta, Media Da’wah dan Panitia Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir
Pemikiran dan Perjuangannya, 2008, halaman 13.
[4] Jong
Islamieten Bond (JIB) berdiri pada 1 Januari 1925 sesudah usul tokoh Jong Java,
Sjamsuridjal, agar kepada para anggota Jong Java yang beragama Islam diberikan
kursus agama Islam, ditolak.
[5] M.
Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta,
Yayasan Bulan Bintang Abadi dan Media Da’wah, Cetakan Keempat, 2008, halaman
533.
[6] Pidato
lengkap M. Natsir di
Majelis Konstituante
bertajuk “Islam sebagai Dasar Negara” lihat M. Natsir, Capita Selecta 3, Jakarta, PT Abadi, Panitia Peringatan Refleksi
Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya, dan Yayasan Capita Selecta, Cetakan Pertama,
2008, halaman 81-142.
[7] Lihat
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.
[8] M.
Natsir, Capita Selecta 1, halaman
541.
[10] M.
Natsir, Capita Selecta 1, halaman
540. Cetak miring asli.
[11] M.
Natsir, Capita Selecta 1, halaman
535.
[12] M.
Natsir, Capita Selecta 1, halaman
536.
[13] M.
Natsir, Capita Selecta 2, Jakarta,
PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, Cetakan Kedua, 2008, halaman 86-87.
[14] Iman
Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso (editor), Bung
Karno, Islam, Pancasila, dan NKRI, Jakarta, Komunitas Nasionalis Relijius
Indonesia, 2006, halaman 218.
[15] M.
Natsir, Capita Selecta 2, halaman
208-209.
[16] M.
Natsir, Capita Selecta 2, halaman
210.
[17] M.
Natsir, Capita Selecta 2, halaman
211.
[18] Deliar
Noer, Partai Islam di Pentas Nasional
1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka Utama
Grafiti, Cetakan Pertama, 1987, halaman 133.
[19] Anehnya,
meskipun Soekarno mengaku yang pertama kali dia temukan ialah Ketuhanan dalam
arti religieusiteit, tetapi pada
pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno menempatkan sila Ketuhanan
pada urutan terakhir. Bahkan ketika dia memeras Pancasila menjadi Ekasila, yang
ada tinggal gotong royong. Sila Ketuhanan ikut terperas, dan hilang.
[20] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman
104.
[21] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman
107.
[22] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman
109.
[23] Seperti
dikutip oleh Natsir dalam Pandangan Umum Babak II Sidang Pleno Konstituante.
Lihat M. Natsir, Agama dan Negara dalam
Prespektif Islam, Jakarta, Media Da’wah, 2001, halaman 243.
[24] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman
118.
[25] Mohammad
Hatta mengemukakan pendiriannya itu antara lain dalam Amanat kepada Konferensi
Golongan Tionghoa di Yogyakarta, 17 September 1946; Khutbah Idul Fitri di
Bukittinggi, 18 Agustus 1947, tulisan di Mimbar Indonesia pada tahun 1948, dan
Amanat kepada Kongres Kesatuan Pemuda Kristen Indonesia di Jakarta, 22 Juni
1952. Lihat Mohammad Hatta, Kumpulan
Karangan Jilid IV, Jakarta-Amsterdam-Surabaya, Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1954.
[26] Mohammad
Hatta, Kumpulan Karangan Jilid IV,
halaman 167.
[27] Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES,
1985, halaman 154.
[30] Lukman
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan
Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, SH, Jakarta, Media Da’wah, 1993,
halaman 189.
[31]
Bersatunya partai politik Islam di Konstituante dalam Fraksi Islam mendapat
sambutan hangat di kalangan umat di seluruh daerah. Fraksi Islam, mula-mula
dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo (Masyumi). Ketika Kasman ditangkap pada 5
September 1958, Ketua
Fraksi Islam di Konstituante dipimpin oleh K.H. Masjkur (NU). Kepemimpinan K.H.
Masjkur berakhir sampai Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Lihat,
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, halaman
389.
[32] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman
84-85.
[33] Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, halaman 143.
[34] M.
Natsir, Capita Selecta 3, halaman 86.
[35] Lukman
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan
Persatuan, halaman 182-184.
Teknis penulisan, disesuaikan untuk kepentingan makalah ini.
[36] Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi tentang Percaturan di Konstituante, halaman 181.
[37] M.
Natsir, Mohamad Roem, dan Yusril Ihza Mahendra, Mosi Integral Natsir dari RIS ke NKRI Prestasi Tertinggi Parlemen yang
Dilupakan
Sejarah, Jakarta, Media Da’wah dan Panitia Peringatan Refleksi
Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya, 2008, halaman vii-viii.
[38] Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua,
3, halaman 94. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah,
halaman 31.
[39] M.
Natsir, Mohamad Roem, Yusril Ihza Mahendra, Mosi
Integral Natsir dari RIS ke NKRI, halaman 31-32.
[40] Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua,
halaman 95. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah,
halaman 33-34.
[41] M. Natsir,
Mohamad Roem, Yusril Ihza Mahendra, Mosi
Integral Natsir dari RIS ke NKRI, halaman 40.