AM Fatwa
Ketua Umum Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Jika tidak ada aral melintang, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bekerja sama dengan Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) pada Kamis, 17 Maret, akan mendiskusikan hal yang sangat penting, yaitu bagian dari masa lalu perjalanan negara/bangsa Indonesia yang sampai hari ini masih belum tuntas kita dudukkan: Dewan Perjuangan di Sumatra dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, yang pada 15 Februari 1958 menjelma menjadi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dipimpin oleh Mr Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.
Sesudah peristiwa PRRI dinyatakan tuntas dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No 375 Tahun 1961 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada para Pengikut Gerakan DI/TII di daerah Aceh, gerakan-gerakan RPI/PRRI di daerah Sumatra Utara, Tapanuli, Sumatra Tengah, dan daerah Sumatra Selatan, yang memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Sampai hari ini status PRRI sebagai pergolakan daerah atau pemberontakan yang mengkhianati negara ternyata masih sangat penting dan menentukan di dalam menentukan apakah seseorang yang terlibat di dalamnya, termasuk Mr Sjafruddin Prawiranegara, berhak mendapat gelar pahlawan nasional atau tidak?
Menuju Dewan Perjuangan
Sesungguhnya PRRI lahir dari kerumitan persoalan negara muda Republik Indonesia. Pada 24 November 1956, reuni eks Divisi Banteng (yang kemudian menjadi Dewan Banteng) di Padang, Sumatra Tengah (kini Sumatra Barat), memberi perhatian serius terhadap otonomi luas dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pokok-pokok Perjuangan Dewan Banteng yang diumumkan seusai reuni, antara lain, menuntut: "... pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang wajar, layak, dan adil."
Reuni eks Divisi Banteng juga: "Menuntut serta memperjuangkan diadakannya suatu Dewan Perwakilan Daerah-daerah (Senat) di samping DPR (Parlemen) yang akan dapat menjamin langsung kepentingan daerah-daerah dalam wilayah Republik Indonesia."
Hal yang sama juga disuarakan di Sulawesi melalui Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang dikeluarkan di Makassar pada 2 Maret 1957. Pada rumusan butir B, Tingkat Pemerintah Pusat (Nasional), dapat dibaca rumusan: "1. Supaya dihilangkan/dihapuskan dengan segera sistem sentralisme yang statis formal dan merupakan biang keladi birokrasi, korupsi, dan stagnasi pembangunan daerah. "2. Mengembalikan dinamika, inisiatif, dan kewibawaan melalui desentralisasi hak dan kekuasaan dengan jalan sebagai berikut: Otonomi luas kepada daerah, 70 persen dari anggota Dewan Nasional yang dimaksud oleh konsepsi Bung Karno, harus dari wakil-wakil Daerah Otonomi Tingkat I, untuk akhirnya mendapat status Majelis Tingkat (Senat) di samping DPR (Parlemen) ...."
Piagam Palembang, 8 September 1957, merumuskan tuntutan yang mencakup lima hal: (1) Pemulihan Dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) Penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) Pembentukan Senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) Melaksanakan otonomi daerah, dan (5) Melarang komunisme di Indonesia. Sayangnya, tuntutan daerah itu tidak digubris oleh pemerintah pusat. Dengan berbagai fragmen yang mendahuluinya, pada 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan mengumumkan Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara.
Butir (3) piagam tersebut berbunyi sebagai berikut: "Memberantas korupsi dan birokrasi disebabkan oleh sentralisme yang telah melewati batas, yang menjadi penghalang bagi pembangunan yang adil dan merata antara daerah-daerah Indonesia, serta perkembangan bakat potensi dan tanggung jawabnya, baik di lapangan ekonomi, keuangan, dan ketatanegaraan."
Ketika tuntutan diabaikan, pada 15 Februari 1958 lahirlah PRRI yang mengakomodasikan aspirasi daerah-daerah di Sumatra dan Sulawesi dengan menggabungkan Pokok-pokok Perjuangan Dewan Banteng dan Permesta.
Melampaui zamannya
Tidak ada gunanya menangisi susu yang sudah tumpah. Kita sudah hafal bagaimana akhir cerita pada episode ini. PRRI kalah. Sebagai pihak yang kalah, berbagai atribut negatif pun disandangkan kepada PRRI dan tokoh-tokohnya. Akan tetapi, PRRI, seperti dikatakan oleh Prof Dr Salim Said, bukanlah gerakan separatis.
Pendiri PRRI adalah pendiri Republik ini, seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Soemtro Djojohadikusumo. Tentara PRRI adalah juga para perintis Tentara Nasional Indonesia (TNI) seperti Maludin Simbolon, Dahlan Djambek, Akil Prawiradiredja, Barlian, Zulkifli Lubis, Alex Kawilarang, Ventje Sumual, dan Warouw.
PRRI datang dengan gagasan besar yang melampaui zamannya. Dan, karena itu, sangat sulit dipahami oleh mereka yang tidak punya perspektif. Diperlukan waktu tujuh tahun sebelum komunisme, yang ditolak PRRI, hancur me lalui Gerakan 30 September 1965.
Ketimbang menghujat PRRI, sudah sepantasnya para anggota DPD (yang diam-diam suka menyebut dirinya Senator, seperti digagas oleh PRRI) menyampaikan tahniah kepada para pendahulu kita itu dan terus berjuang agar DPD benar-benar menjadi DPD seperti yang digagas dan diperjuangkan oleh PRRI. Tentu saja, ini diperlukan untuk kepentingan daerah.
Pembangunan nasional adalah totalitas pembangunan daerah. Dengan paradigma ini, keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh keberhasilan pembangun an di daerah, bukan sebalik nya. Dengan seminar ini, panitia ingin mengajak semua komponen bangsa untuk jujur terhadap sejarah bangsa.
Jika karena kalah PRRI dan tokoh-tokohnya dianggap pengkhianat, bagaimana kita harus menilai Kelompok Petisi 50 yang sejak 1980 sampai Presiden Soeharto meletakkan jabatan, terus-menerus mengkritik tajam rezim Orde Baru. Bagaimana pula kita harus menyikapi aksi demonstrasi para mahasiswa dan berbagai komponen masyarakat yang menuntut Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid-presiden Republik Indonesia yang sah dan konstitusional-mundur dari jabatannya. Pengkhianatkah mereka?
Dalam melihat peristiwa-peristiwa yang dianggap krusial dalam perjalanan bangsa, janganlah terpaku pada pandangan kacamata kuda. Marilah kita melihat masa lalu itu dengan bergerak ke tiga arah: Pertama, mengungkap fakta-fakta objektifnya. Kedua, melihat secara cermat dan perinci akar masalahnya. Dan ketiga, menarik relevansinya ke masa kini, jika mungkin malah ke masa depan yang jauh.
(-)