Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

23 Februari 2012

Membaca HMI

Oleh : Lukman HAkiem

Pada suatu hari, seorang teman mengirim pesan di dinding jejaring sosial, facebook saya: “HMI (Himpunan Mahasiswa Islam),” kata sang teman, “jadi beban sejarah bangsa karena hal yang paling mendasar telah gagalnya NDP (Nilai Dasar Perjuangan) membentuk jiwa kader untuk mewujudkan tujuan HMI.” Agak lama saya merenungkan pesan kawan di dunia maya itu, sampai kawan tadi kembali mengirim pesan agak panjang yang di ujungnya berbunyi sebagai berikut: “.... sebagian dari alumni HMI menjadi beban sejarah bangsa....”

Entah ada hubungannya dengan gonjang-ganjing di dunia politik akhir-akhir ini –yang menyeret-nyeret nama salah seorang bekas Ketua Umum Pengurus Besar HMI, Anas Urbaningrum—atau tidak, saya menangkap nada getir dan pesimisme pada dua pesan yang dikirim oleh kawan tadi. Oleh karena itu, saya jawab pesan tersebut dengan nada optimis. “Jangan pernah pesimis,” saya memberi penekanan. “Yakinlah masih jauh lebih banyak kader HMI yang baik, yang bekerja dan berprestasi dalam diam, tanpa hingar-bingar puji atau caci, tanpa publikasi. Jika dari ribuan atau bahkan jutaan kader HMI ada sepuluh atau seratus orang yang tidak baik dan terkespos, jangan disimpulkan HMI telah gagal dan jadi beban sejarah.”

Di bagian lain saya tulis pesan mengenai pemahaman saya terhadap NDP, sebagai berikut: “Prinsip dasar NDP itu ‘al-haqqu min rabbikum’. Di luar al-Haq, semuanya nisbi.” Dan kawan tadi merespon dengan kalimat: “Wakafaa billahi syahiidaa. Hanya Allah yang menjadi saksi untuk kader-kader yang bergerak dalam kesunyian tapi tetap memegang idealisme. Insya Allah.” Saya menangkap kembalinya optimisme dalam kalimat kawan tersebut. Alhamdulillah.

Gagasan Awal Pembentukan HMI

Dialog singkat di atas menggesa saya untuk mengorek memori lama mengenai HMI. Dalam rangka itu, pertama-tama yang harus disebut pastilah seorang tokoh bernama Lafran Pane. Nama Lafran Pane, tidak dapat dipisahkan dari HMI. Bahkan pada periode-periode permulaan, namanya identik dengan HMI. Itu bukan lantaran Lafran ingin mendominasi HMI, melainkan karena dialah “aktor intelektual” berdirinya HMI di Yogyakarta.

Sejak semula, Lafran Pane tidak pernah berfikir untuk mengangkangi jabatan Ketua Umum PB HMI. Dia justru berfikir untuk segera menyerahkan jabatan itu kepada orang yang bukan mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI, kini Universitas Islam Indonesia). Dan keinginan itu terpenuhi ketika Lafran bertemu dengan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Mohammad Sjafaat Mintaredja. Sesudah berdiskusi beberapa saat, Lafran menyerahkan kepemimpinan HMI kepada Mintaredja. Secara formal, kepemimpinan Mintaredja dikukuhkan oleh Kongres I HMI di Yogyakarta, 30 November 1947. Masuknya Mintaredja, menandai meluasnya dukungan terhadap HMI dengan turut bergabungnya para mahasiswa non-STI seperti Ahmad Tirtosudiro, Ushuluddin Hutagalung, M. Sanusi, dan lain-lain.

Sebagai mahasiswa STI, Lafran gelisah melihat calon-calon intelektual Muslim tidak bangga dengan identitasnya. Dalam kalimat Lafran sendiri: “Banyak orang-orang terutama kaum terpelajar, biar pun menganut agama Islam, malu mengakui terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan bahwa agama ini tidak sesuai dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama ini.” Meskipun kalimat tersebut diucapkan Lafran pada tahun 1949, dua tahun setelah dia memprakarsai pembentukan HMI, sejak awal kalimat tersebut sungguh-sungguh mencerminkan keperihatinan Lafran.

Meskipun Lafran tidak berasal dari lingkungan keluarga yang berideologi Islam, akan tetapi persentuhannya dengan Islam sudah dimulai sejak masa pendidikan awal dan kian intensif ketika dia berkuliah di STI. Di STI itulah Lafran bersentuhan langsung dengan tokoh-tokoh utama pergerakan Islam dan kalangan “nasionalis Islami” seperti dr. Soekiman Wirjosandjojo, dan K.H. Abdul Kahar Muzakkir.

Persentuhan itulah yang kemudian mewarnai analisis Lafran tentang keadaan umat Islam di Indonesia yang secara ringkas dia kategorikan menjadi tiga: Pertama, golongan yang mempraktikkan Islam persis seperti dilaksanakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di jazirah arab pada pertengahan abad ke-6 dan awal abad ke-7 tanpa melihat konteks sejarah dan relevansinya dengan zaman yang terus berubah. Golongan ini bahkan nyaris mengidentikkan Islam dengan Arab. Kedua, golongan yang terpengaruh oleh pemikiran mistik yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini hanya untuk akhirat belaka. Mereka menganggap tidak perlu memikirkan kehidupan dunia.

Bagi golongan ini, penderitaan dan kemiskinan adalah jalan untuk bersatu dengan Tuhan. Ketiga, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman selaras dengan wujud dan hakikat Islam. Mereka berusaha supaya ajaran Islam benar-benar dapat dipraktikkan di dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Di antara tiga golongan itu, Lafran memilih berfihak kepada golongan ketiga. Bagi Lafran, golongan inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam yang bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia lain, satu masyarakat dengan (masyarakat) lain, dari yang paling kecil, yaitu masyarakat keluarga, sampai ke masyarakat yang besar, seperti masyarakat negara. Lafran yakin, Islam adalah satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan dalam masyarakat dan bukan hasil ciptaan manusia pada suatu waktu, tapi adalah kebutuhan yang diturunkan Tuhan, langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.

Keislaman dan Keindonesiaan

Dalam renungannya mengenai sikap dan keadaan kaum Muslim, khususnya calon intelektual Muslim, Lafran sampai kepada kesimpulan mengenai perlunya mendirikan organisasi mahasiswa Islam untuk meneguhkan identitas keislaman dalam rangka mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

Mengambil waktu mata kuliah tafsir, atas izin Husein Yahya yang mengampu mata kuliah tersebut, di ruang kuliah STI, kepada sekitar 20 mahasiswa STI yang hadir pada saat itu, Lafran mengemukakan gagasan penting dan mendesaknya mendirikan organisasi untuk para mahasiswa Islam. Perdebatan hangat di ruang kuliah yang disaksikan oleh Husein Yahya itu akhirnya menyepakati berdirinya sebuah organisasi bernama HMI.

Hari bersejarah yang kini dikenang sebagai hari kelahiran HMI itu adalah hari Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 bertepatan dengan 5 Februari 1947. Gedung tempat kuliah para mahasiswa STI itu sampai hari ini masih kukuh berdiri di Jalan Senopati No. 30 Yogyakarta, meskipun sekarang bukan bagian dari STI/UII lagi.

Konsisten pada pemikirannya, tujuan HMI ketika pertama kali dirumuskan oleh Lafran Pane sebagai berikut:
1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dan
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam .
Dua rumusan tujuan itu, meskipun lahir dari pikiran Larfran Pane, sesungguhnya merefleksikan wawasan keislaman dan kebangsaan yang bagi HMI merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Tiga puluh delapan tahun kemudian, dalam forum Kongres XV HMI di Medan , ketika muncul gagasan politik menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan kemasyarakatan yang mengesankan seolah-olah asas agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha) dan asas yang lain bertentangan dengan dasar negara Pancasila, merujuk kepada rumusan awal tujuan HMI, Lafran Pane muncul dengan pernyataan bahwa HMI nasionalis dulu baru Islam.
Pernyataan Lafran Pane itu haruslah difahami sebagai si tawar si dingin di tengah perdebatan panas tetapi tidak produktif di sekitar keinginan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi ormas dan orpol itu. Bagi siapa saja yang mengikuti jejak sejarah HMI, perdebatan seperti itu sesungguhnya tidak perlu ada.

Perumusan tujuan HMI seperti di atas, tentulah tidak dapat dilepaskan dari konteks pentas utama sejarah saat HMI didirikan. Pentas sejarah pada saat itu ialah mempertahankan kemerdekaan.
Ajaran Islam yang antara lain berisi prinsip-prinsip persamaan, kebebasan, dan keadilan; tentu saja menolak segala bentuk penindasan dan penjajahan. Maka, tekad HMI untuk lebih dulu mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia adalah sesuatu yang sangat masuk akal. Di bumi Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat itulah HMI menyatakan tekad kuatnya untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.

HMI yang dinamis dan progresif, terus menerus merumuskan jati dirinya. Rumusan tujuan pun beberapa kali mengalami perumusan ulang. Dan rumusan tujuan: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala”, sama sekali tidak bergeser dari benang hijau sejarah perjuangan HMI. Kualitas insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam dimaksudkan agar kader-kader HMI bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur di negeri ini. Itu berarti, kader-kader HMI tidak boleh, tidak akan, dan tidak pernah tertarik, untuk mempertentangkan jatidirinya sebagai Muslim dan jatidirinya sebagai warganegara Indonesia.

Ketika menafsirkan kualitas insan yang bernafaskan Islam, insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, Tafsir Tujuan HMI dengan bahasa yang sangat kuat memberi rumusan sebagai berikut: “Ajaran Islam telah berhasil membentuk ‘unity personality’ dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warganegara dan dirinya sebagai Muslim. Kualitas insan ini telah mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia dan sebaliknya.”

Dan, Tafsir Tujuan menutup sarahnya terhadap rumusan tujuan HMI dalam rangkaian kalimat yang penuh harapan terhadap masa depan: “Insan cita HMI pada suatu waktu akan merupakan ‘intelectual community’ atau kelompok intelegensi yang mampu merealisasi cita-cita umat dan bangsa dalam suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat adil makmur yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala).”
Organisasi Kader yang Independen

Jasa besar Lafran Pane untuk bangsa ini adalah prakarsanya melahirkan HMI. Generasi yang datang kemudian, seperti Deliar Noer dan Nurcholish Madjid memperkuat HMI dengan memberi warna intelektual. Deliar Noer datang dengan gagasan membina para anggota HMI agar menjadi “intelektual-ulama, ulama-intelektual”, sedangkan Nurcholish Madjid harus dikenang karena jasanya merumuskan “ideologi” HMI berupa Tafsir Asas HMI yang disebut Nilai Dasar Perjuangan (NDP).

Menurut NDP yang terdiri atas delapan Bab itu, “Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu ber-Iman, ber-Ilmu, dan ber-Amal.” Kesimpulan yang sederhana dan terdengar klise, akan tetapi sesungguhnya betapa sangat berat kesimpulan yang sangat sederhama itu. Tugas setiap kader HMI yang telah mengkaji dan memahami NDP untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang beriman, berilmu, dan beramal. Dan hanya dengan itulah, keberadaan HMI dan kader-kadernya akan tetap relevan sepanjang zaman.
Ketika banyak organisasi, termasuk organisasi kemahasiswaan, menyediakan dirinya menjadi organisasi payung dari sesuatu organisasi politik, Lafran dengan sekuat tenaga mempertahankan HMI agar tetap independen. Dan Lafran, meskipun harus menerima kritik dan cemooh, berhasil meyakinkan banyak fihak mengenai perlunya HMI tetap pada independensinya. Dengan sifatnya yang independen, dan ranah pergerakannya di bidang perkaderan, HMI adalah aset yang harus dirawat dan terus diaktualisasikan.

Keteguhan Lafran Pane mempertahankan independensi HMI, dilanjutkan –dengan tidak kurang gigihnya-- oleh Ketua Umum PB HMI periode 1957-1960. Ismail Hasan Metareum. Di tengah tekanan politik sangat kuat untuk mendukung apa pun yang dikatakan oleh Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, Ismail Hasan Metareum berhasil mempertahankan independensi HMI dengan menolak tawaran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno.

Tidak berarti Metareum menghalangi hak berpolitik para anggota HMI. Ia mempersilahkan para anggota HMI untuk menerima atau menolak tawaran menjadi anggota DPRGR baik di pusat maupun di daerah. Akan tetapi Metareum tegas melarang keikutsertaan para pengurus HMI di segala tingkatan di ranah politik.

Sikap teguh Ismail Hasan Metareum menjaga independensi HMI itulah yang kelak mengilhami lahirnya Tafsir Independensi HMI. Dalam dokumen organisasi itu dengan tegas dirumuskan sifat independensi HMI sebagai berikut: “Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir, pola sikap, dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk ‘independensi etis HMI’, sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk ‘independensi organisatoris HMI’.”

Ketimbang ikut arus politik Bung Karno, Ismail Hasan Metareum memilih memusatkan pemikiran dan aktivitasnya kepada perkaderan HMI. Dia utus beberapa kader HMI, antara lain Aisyah Aminy, untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan mahasiswa di luar negeri yang hasilnya kelak diadopsi oleh HMI melalui pelatihan formal yang disebut Pendidikan Dasar.

Pendidikan Dasar yang diperkenalkan dan dilaksanakan pertama kali oleh PB HMI periode Ismail Hasan Metareum inilah yang kemudian dikembangkan oleh HMI menjadi berbagai model pelatihan formal, nonformal, dan informal. Berbagai pelatihan yang seolah tiada hentinya dilaksanakan oleh HMI itulah yang kemudian menjadi ciri khas HMI sebagai organisasi kader. Demikian banyak kader yang disiapkan oleh HMI, sampai-sampai Menteri Agama (1983-1993) Munawir Sjadzali menyebut HMI sebagai “organisasi pemasok pejabat.”

HMI yang teguh kepada wawasan keislaman dan kebangsan, tetap independen, dan tekun melaksanakan perkaderan itulah yang insya Allah akan terus bertahan sepanjang masa.

Jika banyak kader HMI acap mengumandangkan salah satu kalimat dari Hymne HMI: “yakin usaha sampai,” disingkat yakusa; saya ingin mengingatkan, seperti tertulis juga dalam Hymne HMI, syarat untuk yakusa mestilah “turut Qur’an dan Hadits (sebagai) jalan keselamatan.”
Atas dasar ini, kita boleh tetap optimis terhadap masa depan HMI sebagai modal; dasar bagi umat dan bangsa.

Wallahu a’lam.