ISMAIL HASAN METAREUM
Berpartai dengan Wawasan
(Serial Media Dakwah No. 184,
Shafar 1409/Oktober 1989, halaman 46-51)
PERAWAKANNYA relatif tinggi, tegap, berkulit kuning bersih dengan wajah
serius tetapi ramah. Begitulah sedikit gambaran dari orang yang sekarang sering
disebut Buya, Ismail Hasan Metareum,
60 tahun, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan
(DPP-PPP) yang baru, hasil Muktamar II di Ancol, Jakarta, 28-31 Agustus 1989.
Ia asli Aceh, dilahirkan di desa Metareum (Mila), Pidie, pada 4 April 1929,
dari kalangan yang taat beribadah. Ayahnya, Tengku Bin Hasan, adalah ulama Aceh
yang ikut berperang melawan Belanda, aktif berdakwah, dan punya pesantren.
Tak heran jika Ismail Hasan tumbuh menjadi seorang yang “alim” walaupun
dalam usia dewasanya ia lebih banyak berkecimpung di dunia politik. Sejak masih
remaja, Ismail sudah aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi. Umurnya baru
belasan tahun ketika ia menjadi anggota Persatuan Pelajar Islam Indonesia
(Perpiindo) yang berpusat di Banda Aceh. Ia juga menjadi anggota Lasykar
Mujahidin Aceh. Pada 1947, Ismail menjadi Kepala Staf Komando III Resimen
Tentara Pelajar Islam Divisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Komando Sumatera
di Aceh.
Ismail Hasan hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Tamat SMA pada 1952, Ismail masuk Fakulktas Hukum
Universitas Indonesia (FH-UI), dan mulailah ia menimba pengalaman berorganisasi
dan berpolitik di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sempat menjadi Ketua Umum
Pengurus Besar HMI (1957-1960), menyandang gelar Sarjana Hukum dari FH-UI pada
1964, karir politiknya mulai bersinar ketika ia ikut andil dalam pembentukan
PPP. Sebelum itu, di masa awal Orde Baru, ia bersama Bung Hatta dan Deliar Noer
berniat mendirikan partai baru: Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Niat
itu urung diwujudkan karena tidak disetujui oleh pemerintah Orde Baru.
Karir politik Ismail mulai menanjak di jajaran nasional ketika ia menjadi
salah seorang Ketua DPP PPP di bawah kepemimpinan Ketua Umum, H.J. Naro.
Bersama rekan-rekannya seperti Hartono Mardjono, M. Husnie Thamrin, Aisyah
Aminy, dan Faisal Baasir; Ismail berhasil menghentikan ambisi Naro untuk
menjadi Ketua Umum lagi pada Muktamar II PPP di Ancol sebulan yang lalu.
Muktamar Ancol mengantarkan Ismail
menjadi Ketua Umum partai politik berlambang Bintang itu.
Ismail menikah dengan gadis sedesanya, Maryani, pada 1959. Pasangan itu dikaruniai
5 orang anak: Ratna Zahara, Nazaruddin, Hilman, Mustafa Fakhri, dan
Taufiqurrahman.
Aktivitas Ismail sekarang, di samping sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dan Ketua Umum DPP-PPP, juga sebagai Dekan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Rabu pagi, 13 September lalu, di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua Umum
DPP-PPP, Buya Ismail Hasan Metareum menerima wartawan Media Dakwah, Mohammad Syah Agusdin dan Lukman Hakiem di kantor DPP
PPP, Jalan Diponegoro 60, Jakarta Pusat. Kami berbincang selama dua setengah
jam. Inilah petikannya:
Dapatkah menceritakan masa kecil
Buya?
Saya dilahirkan dari keluarga ulama, atau “setengah ulama”-lah. Ayah saya
dulu ikut berjuang melawan Belanda, ketika Belanda menyerang Aceh. Ketika
Sultan Aceh ditangkap, ayah saya berpendapat Aceh sudah dijajah Belanda. Guna
menghindarkan diri dari penangkapan oleh Belanda, beliau hijrah ke Penang,
Malaysia. Di sana ada sekumpulan ulama Aceh, baik yang sengaja datang untuk menambah
ilmu, maupun yang lari dari kejaran Belanda.
Di Penang, ayah saya sekaligus memperdalam ilmu agama. Akan tetapi, berbeda
dengan teman-temannya yang lain, setelah suasana dirasakan aman, beliau kembali
ke Aceh. Tidak terus ke Makkah untuk memperdalam ilmu. Di kampungnya, Metareum,
Mila, Pidie; beliau mendirikan pesantren.
Jadi, sejak kecil saya hidup di lingkungan pesantren.
Nama ayah Buya?
Tengku Bin Hasan. Tengku itu gelar ulama di Aceh. Nama aslinya Muhammad
Hasan. Suatu ketika beliau pernah diminta mewakili ulebalang. Sejak itu beliau dipanggil Tengku Bin.
Teman ayah saya ketika belajar di Penang banyak yang kemudian menjadi ulama
terkenal di Aceh, antara lain Tengku Mohammad Daud Beure-eh.
Karena saya hidup di pesantren, saya harus pandai mengatur waktu. Kapan
untuk mengaji, dan kapan untuk bermain. Ya, bermain seperti anak kecil umumnya.
Berkelahi di pinggir sungai, dan sebagainya.
Selain pendidikan di Pesantren?
Mula-mula saya sekolah di Sekolah Rakyat (SR) yang didirikan oleh
pemerintah kolonial Belanda, selama 5 tahun. Zaman itu, anak-anak sudah mulai
disekolahkan di sekolah Belanda. Sebelumnya mereka yang sekolah di sekolah
Belanda dianggap kafir, karena Belanda di mata orang Aceh itu kafir. Bersama
adik-adik, saya sekolah umum sekaligus mengaji di Pesantren.
Setamat SR, saya diminta Kepala Sekolah mengikuti ujian masuk Sekolah Guru.
Saya sendiri sebetulnya tidak mau, tetapi karena didesak terus akhirnya saya
ikut juga. Kebetulan di antara sekian banyak peserta dari seluruh Aceh, saya
lulus dengan rangking pertama. Tetapi saya tidak melanjutkan ke Sekolah Guru.
Saya lebih tertarik mengaji.
Selanjutnya saya masuk Madrasah, yakni sekolah agama dengan sistem
klasikal. Pada permulaan zaman Jepang, saya sudah duduk di kelas tujuh. Sesudah
itu saya masuk Sekolah Menengah Islam (SMI) yang pelajarannya 60% agama, 40%
umum.
Tamat dari SMI saya pindah ke Jakarta, dan masuk SMA Negeri 3. Tamat SMA
tahun 1952, saya masuk FH-UI.
Buya anak keberapa?
Saya anak kempat. Saya enam bersaudara. Tiga wanita, tiga pria. Saya di
tengah. Tiga kakak saya, semuanya perempuan. Dua adik saya, semuanya laki-laki.
Pengalaman di zaman revolusi?
Bersama beberapa teman, di zaman revolusi saya mendirikan Persatuan Pelajar
Islam Indonesia (Perpiindo), berpusat di Banda Aceh. Waktu itu hubungan dengan
pusat pemerintahan di Yogyakarta, kurang lancar.
Pada 1947, sesudah Daud Beure-eh diangkat menjadi Gubernur Militer, kami
mendirikan Tentara Pelajar Islam (TPI). Berbeda dengan Tentara Pelajar lain
yang para anggotanya berpendidikan SMP ke atas, TPI menerima anggota yang masih
sekolah di Sekolah Dasar (SD). Karena saat itu Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih
terbatas, sedang SMA baru saja berdiri. Lagi pula, meskipun masih duduk di SD,
para pelajar itu usianya sudah 15-an tahun. TPI benar-benar meliputi seluruh
Aceh karena di seluruh Aceh ketika itu sudah ada SD Islam Negeri.
Ketika itu kebetulan saya menjadi salah seorang Kepala Staf salah satu
Resimen. Malah kemudian saya ditempatkan sebagai Pengawas Tentara Pelajar,
gabungan TPI dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang bertugas
menyuplai angkatan perang yang membutuhkan tenaga muda.
Itu semua berlangsung antara 1947 hingga akhir 1949.
Pangkat Buya saat itu?
Tidak pakai pangkat. Kami sengaja tidak memakai pangkat, karena kami ingin
sama rata. Tetapi pada waktu-waktu tertentu diangkat seorang opsir piket. Pada
1948, ketika Presiden Sukarno datang ke Aceh, saya bertugas sebagai opsir piket
dari lapangan terbang sampai ke kota.
Pada 1950, setelah di Jakarta, saya mengurus demobilisasi pelajar yang oleh
Pemerintah Republik Indonesia diberi kesempatan untuk mendapat bea siswa atau
kemungkinan fasilitas masuk sekolah.
Pengalaman paling mengesankan?
Mungkin ada satu. Saya ini sangat suka mengganggu penari Sedati (salah satu tarian khas Aceh –red). Bahkan orang mengenal saya sebagai
orang yang anti-Sedati. Yang sangat
mengesankan, dan tidak bisa dilupakan, saya diajak oleh Menteri Luar Negeri Mr.
Achmad Soebardjo untuk memperkenalkan kesenian Aceh di Departemen Luar Negeri
dan di Istana. Kebetulan bersama beberapa teman, antara lain Abu Bakar Aceh dan
Hadi Thayeb, saya turut mendirikan Taman Iskandar Muda, organisasi teman-teman
yang berasal dari Aceh. Sebagai Sekretaris I Taman Iskandar Muda, saya
mengorganisir kegiatan tersebut.
Lucunya, ketika berita saya mengorganisir Sedati di Jakarta, disampaikan seorang teman di kampung, orang-orang
kampung memarahi si pembawa berita. Dia dianggap memitnah. Mana mungkin Ismail
yang di Aceh terkenal anti-Sedati, di
Jakarta malah mengorganisir Sedati.
Siapa pembawa berita itu?
Isa Bugis
Isa Bugis?
Ya. Isa Bugis yang terkenal itu. Dia itu daerah asalnya satu kewedanaan
dengan saya. Namanya Isa. Pak Bugis itu nama ayahnya.
Isa Bugis sendiri bercerita biasa-biasa saja. Tidak ada keanehan apa-apa
dalam ceritanya, karena dia sendiri ikut menari Sedati. Tetapi orang-orang di kampung justru marah. Isa Bugis
dianggap memitnah.
Kenapa Buya anti-Sedati?
Di Aceh itu kan pernah terjadi pertentangan keras antara kaum ulama dengan
kaum bangsawan. Dan kaum ulama kalah pengaruh. Kaum bangsawan itu sangat senang
kepada Sedati.
Yang berbahaya justru efek sampingnya. Itu sebabnya para ulama tidak
senang. Nah, saya ini hidup di lingkungan ulama, karena itu saya juga tidak
senang kepada Sedati, bahkan anti.
Lucunya, di Jakarta saya justru mengorganisir Sedati.
Pengalaman sebagai mahasiswa?
Hanya setahun saya belajar penuh. Sesudah itu tidak lagi. Apalagi ketika
ada peristiwa tertembaknya seorang penduduk oleh tentara, saya jadi seperti
dukun. Dari pukul 07.00 sampai pukul 23.00 saya tidak pernah keluar kamar. Kalau
teman-teman ada perlu dengan saya, mereka datang ke kamar.
Anehnya, mereka yang datang ke Ustadz El-Ibrahimy, oleh beliau justru
diminta menemui saya.
Lalu Buya aktif di HMI?
Mula-mula saya tidak suka kepada HMI. Ketika mula-mula masuk perguruan
tinggi,para mahasiswa dikumpulkan untuk mendengarkan ceramah Bung Karno yang
mengeritik keras tokoh-tokoh Islam. Bagi saya, kritik keras itu sama dengan
caci-maki.
Saya hampir membenci HMI, karena Bung Karno mengatakan bahwa dia diminta
oleh Ketua Umum PB-HMI, Saudara Dahlan Ranuwihardjo, untuk memberikan ceramah
tentang Islam dan Nasionalisme. Kesan saya jadi lain. HMI kok begitu? Kok
mengundang orang untuk mencaci-maki tokoh-tokoh Islam.
Tapi Buya akhirnya masuk HMI juga.
Tahun 1953, Deliar Noer menjadi Ketua Umum PB-HMI menggantikan Dahlan
Ranuwihadjo. Ketika dia baru menyusun pengurus, dia menemui saya dan bertanya
apakah saya sudah masuk HMI atau belum. Saya jawab, saya tidak mau masuk HMI
yang mengundang Bung Karno untuk mencaci-maki tokoh-tokoh Islam. Tetapi Deliar
justru mengajak saya masuk. Ia mengatakan, jika ingin memerbaiki HMI, masuklah.
Perbaikilah dari dalam.
Saya tetap keras menolak, dan Deliar tetap juga kukuh mendesak. Tiga kali
Deliar mendatangi saya, tiga kali pula saya menolak. Tetapi akhirnya saya
berpikir juga. Deliar Noer, Ketua Umum PB-HMI, secara ikhlas datang meminta
saya masuk HMI, masak saya harus berkeras menolak. Akhirnya saya masuk HMI.
Sebulan sesudah jadi anggota, dalam rapat anggota, saya terpilih menjadi
Wakil Ketua HMI Cabang Jakarta. Ketuanya Saudara Amir Radjab Batubara.
Belum sampai setahun saya di Cabang Jakarta, Deliar sakit dan masuk rumah
sakit; sementara wakilnya, Saudara Ushuluddin Hutagalung, sering ke luar
negeri. Dalam sakit, melalui surat, Deliar meminta saya datang ke rumah sakit.
Ternyata Deliar meminta saya membantunya di PB-HMI.
Buya menerima permintaan itu?
Ya, tetapi dengan syarat harus diadakan konferensi sebelum kongres. Deliar
setuju, dan menyerahkan pelaksanaan teknisnya kepada saya. Akhirnya
diselenggarakan konferensi di Kaliurang, Yogyakarta.
Kenapa harus Konferensi?
Periode Deliar Noer ketika itu sudah berjalan separuh. Ada suara-suara yang
menginginkan PB-HMI dipindahkan ke Yogya. Dan karena kepengurusan Deliar agak
tersendat-sendat, saya ingin ada penyegaran, supaya mereka yang tidak puas
dapat menyalurkan suaranya di forum resmi.
Tetapi ada satu hal yang saya anggap penting, yaitu kita menghadapi
pemilihan umum (Pemilu) 1955. Apakah kongres akan diselenggarakan sebelum atau
sesudah pemilu, kita belum tahu. Yang pasti, sebelum pemilu HMI harus sudah
merumuskan sikapnya dengan jelas.
Atas permintaan teman-teman, saya membuat makalah untuk Konferensi di
Kaliurang itu. Dalam makalah itu antara lain saya kemukakan bahwa di dalam
pemilihan umum anggota HMI harus aktif membantu partai politik Islam. Namun
demikian, jika ada pengurus HMI yang dicalonkan sebagai anggota DPR atau
Konstituante oleh salah satu partai, ia harus melepaskan jabatannya di HMI. Ini
untuk menjaga supaya HMI tetap independen dalam melangkah.
Usul saya itu diterima menjadi keputusan Konferensi.
Keputusan itu berbeda jauh dengan
sikap PB-HMI sebelumnya. Apakah tidak menimbulkan gejolak di HMI?
Tidak ada gejolak apa-apa. Keputusan Konferensi itu malah disambut gembira.
Yang ada reaksi justru ketika sebagai Ketua Umum PB-HMI saya mengumumkan
diselenggarakannya pendidikan kader.
Saya terpilih dalam Kongres HMI di Medan. Sebelumnya, pada periode Amir
Radjab Batubara, saya menjadi Wakil Ketua. Di masa itu juga saya menjadi Ketua
Badan Pekerja Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia
(Porpisi).
Kabarnya Kongres HMI di Medan ketika
itu agak ricuh?
Tidak. Hanya mungkin ketika itu sudah lebih banyak cabang. Jauh lebih
banyak daripada Kongres Bandung. Memang ada persoalan, yaitu ketika HMI
menempatkan diri seperti Majelis Fatwa dengan mengharamkan dansa. Melarang
anggota HMI berdansa, oke. Tetapi menyatakan dansa haram, apa hubungannya
dengan HMI? Saya ingat, di situ memang masalahnya.
Saya kira itu juga menyangkut masalah kultur. Teman-teman yang di Sumatera
berbeda dengan yang di Jawa. Teman-teman di Jawa sudah menempatkan diri secara
benar menurut organisasi. Di Sumatera, karena baru tumbuh, masih banyak
menyerap pandangan dari luar. Pengaruh dari luar itu dibawa ke dalam HMI. Bukan
tugas HMI menyatakan dansa itu haram.
Apa gagasan utama Buya sebagai Ketua
Umum PB-HMI?
Yang paling pokok ialah pendidikan kader. Saya beranggapan, kita harus
mengadakan pelatihan terhadap anggota atau calon anggota HMI untuk menyamakan
pandangan.
Di HMI itu ada yang berasal dari sekolah umum, ada yang berasal dari sekolah
agama. Mereka itu harus disatukan pandangannya. Kita sungguh-sungguh memikirkan
ini, karena kita melihat perbedaan antara partai-partai Islam saat itu bermula
dari perbedaan sudut pandang.
Saya melihat mendesaknya diselenggarakan pendidikan kader. Tetapi istilah
kursus kader saat itu sangat ditakuti para mahasiswa, terutama mahasiswa
sekolah umum. Istilah kader selalu diasosiasikan dengan partai politik. Oleh
karena itu saya namakan Pendidikan Dasar. Setahun sesudah HMI rutin
menyelenggarakan Pendidikan Dasar, Pemerintah mengubah Sekolah Rakyat menjadi
Sekolah Dasar.
Begitu pentingkah penyamaan
pandangan?
Ya. Ada sedikit anekdot. Saya kadang suka juga berkelakar. Saudara Norman
Razak itu kurang mengerti agama, tetapi saya menyebutnya “kiai”. Di Konferensi Pendidikan
Kader muncul masalah mengenai agama. Untuk meredakan suasana yang tegang karena
diskusi yang hangat, saya kemudian berkata: “Baiklah, mari kita tanya Kiai kita
ini, Kiai Norman.” Dan Saudara Norman memberi penjelasan dengan semangat,
tetapi penjelasannya itu ternyata salah. Akhirnya saya sendiri kesulitan untuk
meluruskannya kembali.
Sejak saya masih Wakil Ketua Umum, PB-HMI sudah sering mengirimkan anggota
HMI ke Aloka, India, untuk mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan. Banyak
yang kita kirim, antara lain Mahbub Djunaidi, dan Aisyah Aminy.
Sebutan Buya, konon muncul saat
memimpin HMI.
Begini, kami kemudian mencoba memeraktikkan hasil Pendidikan Kader itu
dengan menyelenggarakan kemah kerja (work
camp) di Baros, Sukabumi. Mahbub Djunaidi adalah penanggung jawab kegiatan
tersebut. Nah, saya ingin mengoreksi tulisan Mahbub di Kompas, 10 September 1989. Pertama,
tahunnya bukan 1956 tapi 1958. Kedua,
tentang penyebutan Buya kepada saya. Mahbub itu pelanjut, bukan pencetus.
Yang pertama sekali menyebut Buya kepada saya adalah teman-teman putri di
PB-HMI. Saya ini tidak pernah berkelakar dengan teman-teman putri. Orang
Jakarta bilang saya ini “alim”. Saya ini tidak pernah “nyambung” kalau diajak
berkelakar oleh teman-teman putri.
Karena itu mereka lalu memanggil saya dengan sebutan Buya. Jadi, bukan Mahbub
yang pertama kali menyebut saya Buya. Mahbub memerebutkan seseorang, itu benar.
Bahkan dia kemudian mengantarkan gadis itu ke Solo.
Istri saya pernah menanyakan hal ini kepada (novelis, wartawan –red) Titi Said. Dan jawabannya seperti
yang saya kemukakan tadi. Titi Said menjelaskan, karena teman-teman putri tidak bisa mengganggu saya,
maka mereka panggil saya Buya. Titi Said itu sudah aktif di PB-HMI bersama saya
sejak periode Deliar Noer.
Periode Buya di HMI itu bertepatan
dengan pecahnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta
(PRRI/Permesta).
Betul. Pada 1958 itu ada demonstrasi mahasiswa ke rumah Bung Hatta dan
Perdana Menteri Djuanda. Professor Bahder Djohan ketika itu mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatan Presiden (sekarang Rektor –red) UI jika Pemerintah mengambil tindakan keras terhadap
pergolakan daerah. Saya ikut demonstrasi itu, tapi saya tidak bicara.
Sesudah PRRI diproklamirkan, kita menyelenggarakan rapat PB-HMI. Kita
memutuskan untuk membekukan cabang-cabang di daerah-daerah yang dikuasai PRRI.
Ini untuk menghindari keterlibatan HMI secara organisatoris dalam kegiatan
PRRI.
Pada periode itu pula Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan
membentuk DPR Gotong Royong yang semua anggotanya diangkat oleh Presiden.
PB-HMI membuat pernyataan yang meminta agar keputusan Presiden membubarkan DPR
dan membentuk DPR-GR ditinjau kembali. Pernyataan itu dimuat sebagai berita
utama di harian Abadi dan Duta Masjarakat.[1] HMI melihat
pembentukan DPR-GR itu akan menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saya
ingat waktu itu, Liga Demokrasi[2] pun hanya meminta
penangguhan pelantikan DPR-GR. Jadi, PB-HMI lebh maju.
Ada yang kemudian memerotes. Katanya HMI bukan organisasi politik, kok
berpolitik? Kita jawab, HMI memang tidak berpolitik praktis. Tetapi HMI tidak
akan berdiam diri, tidak akan bertopang dagu melihat masalah-masalah yang
menyangkut agama, bangsa, dan negara.
Bagaimana reaksi Bung Karno?
Beberapa waktu sesudah itu, Dahlan Ranuwihardjo diutus oleh Roeslan
Abdulgani yang diperintah oleh Bung Karno menemui saya. Ia meminta agar PB-HMI
memberikan 10 nama guna didudukkan di DPR-GR. Lima dari daerah, lima dari PB.
Permintaan itu saya tolak. Dan ketika dibawa ke rapat PB-HMI, permintaan itu
pun tetap ditolak.
Secara organisatoris HMI tidak mungkin mengirimkan orang-orangnya untuk
menjadi anggota DPR-GR. Namun kita tidak akan menghalangi jika ada anggota atau
alumni yang mau menjadi anggota DPR-GR.
Ketika keputusan PB-HMI itu disampaikan oleh Norman Razak kepada Mas Dahlan,
dia tampak marah. “Buya itu Masyumis.” Kata Mas Dahlan kepada Norman. Padahal
sesungguhnya Mas Dahlan itulah yang anggota Masyumi. Mas Dahlan itu anggota PB
Serikat Tani Islam Indonesia (STII). Saya, bukan.
Hubungan Buya dengan Dahlan
selanjutnya?
Baik. Kami selalu melakukan diskusi politik bersama, walaupun ketika kita
membuat kesimpulan, apalagi yang menyangkut Bung Karno, kami tidak pernah
ketemu. Ketika PRRI memproklamirkan diri, saya menginap di rumahnya. Belakangan,
ketika ada teman-teman yang mengadukan nasibnya di daerah ke Mas Dahlan, ia
selalu menganjurkan teman-teman itu menemui saya, padahal Ketua Fraksi
Persatuan Pembangunan (FPP) waktu itu Drs. Sudardji. “Saya hanya kenal Ismail,”
kata Mas Dahlan kepada teman-teman.
Buya juga aktif di Legiun Veteran?
Ya. Mula-mula saya dimasukkan dalam Pengurus Daerah Jakarta Raya. Kemudian
ketika Pak M. Sarbini menjadi Ketua Legiun Veteran Pusat, saya diminta menjadi
anggota Paripurna Pusat. Sesudah itu saya menjadi Pengurus Pusat. Sampai timbul
persoalan-persoalan politik, saya tidak ikut lagi.
Karena itukah banyak yang menilai
Buya dekat dengan ABRI.
Saya kira bukan.
Sejak kapan pandangan politik Buya,
tumbuh?
Sejak saya di Perpiindo. Menjelang agresi Belanda, Desember 1948, feeling politik saya juga sudah tumbuh.
Dan ketika saya datang di Jakarta, apalagi waktu mendengar Bung Karno
mencaci-maki tokoh-tokoh Islam, pandangan politik saya makin mengkristal.
Mungkin benar, para pemimpin Islam itu punya kekurangan. Akan tetapi
membicarakan kekurangan itu secara subjektif dan terbuka, tidak objektif
membedakan nasionalisme dan Islam, saya prihatin.
Bagaimana Buya melihat umat Islam
dalam hubungannya dengan politik?
Saya menganggap kita sudah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas itu
sejak 1945. Sejak 1945, tokoh-tokoh Islam sudah menerima Pancasila. Di Aceh,
saya mengenal Pancasila dari tokoh-tokoh Islam. Pada tahun 1952, Mohammad
Natsir berpidato tentang Pancasila di Pakistan. Saya membaca pidato Pak Natsir
itu dengan penuh minat. Namun akibat pecahnya peristiwa Darul Islam (DI) telah
timbul salah paham di kalangan lain terhadap Islam.
Peristiwa DI melahirkan anggapan seolah-olah Pancasila itu bukan milik umat
Islam.
Tentang Konsituante, apa pendapat
Buya?
Itu kesempatan legal untuk mencari filsafat negara. Konstituante memang
diberi hak untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Karena itu para anggota
Konstituante mencari dan mengemukakan apa yang menurut pahamnya benar. Hak-hak
anggota Konstituante itu dijamin oleh konstitusi.
Cuma, lagi-lagi akibatnya kemudian menjadi kurang baik. Barangkali karena
sebelumnya telah pecah peristiwa DI. Padahal pada akhir persidangan
Konstituante itu, Pancasila sudah secara kongkrit dimajukan dalam usulan-usulan
mereka, walaupun dengan penambahan tertentu.
Bagaimana cara menghilangkan kesan
negatif itu?
Kembali kepada konsensus semula. Ketika Proklamasi Kemerdekaan, dasar
negara kita adalah Pancasila. Negara Republik Indonesia adalah Negara
Pancasila. Yang kita perjuangkan dengan seluruh jiwa raga adalah Negara
Pancasila. Yang mati dalam perjuangan membela negara Indonesia, kita anggap
mati syahid. Perjuangan umat Islam di masa revolusi kemerdekaan itu
dilaksanakan dengan penuh keyakinan kepada Islam, tanpa mempersoalkan dasar
negara Pancasila.
Dengan dasar negara Pancasila, umat Islam berjuang. Umat Islam
berjuang dengan keyakinan kalau gugur
dalam perjuangan, pasti syahid.
Kalau itu dikembalikan sekarang, kita berjuang dengan niat beribadah kepada
Allah subhanahu wa ta’ala tanpa
mengutak-atik konsensus nasional, saya kira tidak ada masalah. Konsensus
nasional itu sesuai dengan kondisi masyarakat kita yang majemuk. Dan
kemajemukan itu sejak dulu hingga kini, sama.
Dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, saya kira tidak ada persoalan dengan dasar negara.
Kalau begitu, masuk partai apa saja
sama?
Tergantung niatnya.
Buya ikut membidani kelahiran PPP?
Saya adalah Wakil Ketua Panitia Pembentukan PPP dari unsur Partai Muslimin
Indonesia. Ketuanya Pak Nuddin Lubis dari unsur Partai Nahdlatul Ulama. Saya ditunjuk
oleh Ketua Umum Partai Muslimin, H.M.S. Mintaredja, untuk menjadi Wakil Ketua
Panitia, padahal saya bukan anggota Pimpinan Pusat Partai Muslimin. Saya sering
menyebut diri sebagai anggota ranting.
Sejak awal saya memang tidak mau duduk di Pimpinan Pusat Partai Muslimin.
Ada 13 orang yang menolak duduk. Karena itulah dalam Surat Keputusan Presiden
No. 77/1970 tentang Pengesahan Pimpinan Pusat Partai Muslimin Indonesia, banyak
nama yang ditip-ex (dihapus --red). Sesudah Partai Muslimin menjadi
Muslimin Indonesia, baru saya duduk dalam kepengurusan pusat.
Bagaimana Buya melihat PPP sekarang?
Saya melihat PPP ini punya basis yang kuat. Keyakinan orang kepada PPP yang
tadinya berasas Islam, itulah basisnya. Sekarang, apa pun adanya PPP, orang
melihat PPP sebagai partai yang sudah punya hubungan dengan mereka. Hubungan
lama itu tidak bisa dihapuskan.
Saya juga melihat, pengaruh mereka yang memimpin partai, tetap besar.
Karena itu menurut saya, PPP ini partai yang mempunyai akar. Tinggal
mengembangkan. Dari segi historis, itu yang saya lihat.
Masa depan PPP?
Yang terpokok kita harus mengembangkan wawasan. Sesudah kita menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas, kita dudukkanlah itu pada proporsi yang
sewajarnya. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, tidaklah mengganggu keyakinan agama masing-masing
pribadi.
Jika ini kita dudukkan secara wajar, saya tidak melihat ada hambatan bagi
partai untuk mengembangkan diri.
Bagaimana jika dikaitkan dengan
gagasan keterbukaan partai?
Sejak dulu kita sudah terbuka. Dalam Anggaran Dasar PPP dinyatakan: “Setiap warga negara yang sudah memenuhi
syarat, dapat menjadi anggota partai.” Ini kan terbuka. Dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga PPP, tidak ada keharusan Muslim. Saya ini kebetulan
selain sebagai Wakil Ketua Panitia Pembentukan PPP, juga Ketua Sub-Tim AD/ART.
Sejak semula AD/ART PPP itu sudah begitu. Tidak ada syarat harus Muslim.
Cuma karena PPP ini hasil fusi empat partai politik Islam, mereka itulah
yang dulu menjadi anggota. Orang lain kemudian menganggap PPP ini partai Islam.
Ini sejarah. Apa bisa kita menghapus sejarah. Bagaimana mungkin mau menghapus
sejarah. Apa mau membentuk partai baru.
Selain soal wawasan?
Wawasan itu faktor utama. Sesudah itu barulah kita memperkembangkan
aktivitas sesuai AD/ART. Memperkembangkan ini barangkali banyak variasinya,
banyak bidangnya. Kalau itu dikelola dengan baik, saya yakin partai yang sudah
berakar ini akan betul-betul menjadi partai yang kuat.
Kuat bukan dalam arti banyaknya anggota di DPR saja, tetapi kuat dalam arti
kita mampu menggalang persatuan dan betul-betul mengarahkan para anggota dan
aktivitasnya untuk membangun negara.
Kalau kita sudah berbakti kepada negara, pasti kita akan merasakan
nikmatnya hidup bernegara.
Bagaimana dengan target 100 kursi di
DPR?
Itu kan saya sekadar melihat masa lalu. Dulu bisa dapat sekian, kenapa
sekarang tidak.
Tentang unsur-unsur dalam PPP?
Saya ingin berpartai sesuai dengan undang-undang. Artinya, keanggotaan
partai ini bersifat pribadi. Kita tidak mengenal onderbouw. Partai ini harus mandiri, tidak bergantung kepada
pihak-pihak di luar partai.
Dalam hubungan dengan bekas partai-partai politik pendiri dan
organisasi-organisasi lain, saya ingin agar hubungan itu baik. Tidak ada
ketegangan antara PPP dengan mereka. Ada pun di perjalanan, mari kita atur
bersama. Yang kita pentingkan adalah kualitas.
Jika sekarang ada kesan PPP bergantung kepada orang lain, itu karena
perkaderan kita belum berjalan secara wajar. Kalau perkaderan sudah berjalan
wajar, kriteria keanggotaan akan jelas.
Tahun berapa Buya menikah?
Kami menikah tahun 1959, tapi saya baru membawa istri saya ke Jakarta pada
tahun 1961.
Kapan pertama kali bertemu?
Sesudah menikah di kamar pengantin. Saya ingat, Mahbub Djunaidi
berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, mendengar cerita itu dari istri saya.
“Bagaimana Buya ini? Sudah keliling dunia, ketemu istri pertama kali kok di
kamar pengantin.”
Mau apa lagi. Orang tua kami tentu memilih yang terbaik bagi kami berdua.[]
[1] Duta Masjarakat memuat
pernyataan PB-HMI itu pada 6 April 1960. Di bawah judul “Surat Terbuka H.M.I.”,
Duta Masjarakat memberitakan sebagai
berikut (dengan penyesuaian ejaan): “Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam telah
mengirimkan surat terbuka yang ditujukan kepada pimpinan partai-partai Islam.
Pokok dari surat terbuka yang ditandatangani oleh Ketua Umumnya Ismail Hasan
Metareum dan Act. Sekjen Nursal adalah meminta kepada segenap partai Islam di
Indonesia untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh cara pembentukan DPRGR dan
anggauta-anggautanya serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi perkembangan
hukum di Indonesia dan perjoangan umat Islam. Agar kembali meninjau perimbangan
perwakilan umat Islam di dalam DPRGR, baik yang langsung maupun yang tidak,
serta mendesak kepada PYM Presiden untuk meninjau kembali keputusannya yang
telah memberikan kesempatan bagi kaum komunis dengan jalan menunjuk wakil-wakil
komunis dan fellow-travellers dalam
jumlah yang sangat besar. Dasar dari surat terbuka ini antara lain ialah adanya
kenyataan bahwa di dalam DPRGR golongan Islam sangat dirugikan dan golongan
komunis mendapat keuntungan besar dan juga pembentukannya tidak memperlihatkan
ukuran keadilan, yaitu terpeliharanya sebagian golongan baik besar maupun kecil
dan hilangnya sebagian golongan.”
[2] Liga Demokrasi dibentuk di Jakarta pada 24 Maret 1960 oleh 15 tokoh dari
berbagai partai politik dan organisasi: I.J. Kasimo (Katolik), K.H. Faqih Usman
(Masyumi), A.M. Tambunan (Parkindo), Sugirman (IPKI), Hamara Effendy (IPKI),
Subadio Sastrosatomo (PSI), K.H.M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Hamid
Algadrie (PSI), Imron Rosjadi (Ketua Umum GP. Anshor), Dachlan Ibrahim (IPKI),
Anwar Harjono (Masyumi), J.R. Koot (Parkindo), Mohamad Roem (Masyumi), Haji
J.C. Princen (IPKI), dan Ir. Abdul Kadir (IPKI). Tujuan Liga Demokrasi ialah
untuk “Membela Negara, Bangsa, Agama, dan Demokrasi.”