Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

16 November 2014



ISMAIL HASAN METAREUM
Berpartai dengan Wawasan
(Serial Media Dakwah No. 184, Shafar 1409/Oktober 1989, halaman 46-51)

PERAWAKANNYA relatif tinggi, tegap, berkulit kuning bersih dengan wajah serius tetapi ramah. Begitulah sedikit gambaran dari orang yang sekarang sering disebut Buya, Ismail Hasan Metareum, 60 tahun, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP-PPP) yang baru, hasil Muktamar II di Ancol, Jakarta, 28-31 Agustus 1989. Ia asli Aceh, dilahirkan di desa Metareum (Mila), Pidie, pada 4 April 1929, dari kalangan yang taat beribadah. Ayahnya, Tengku Bin Hasan, adalah ulama Aceh yang ikut berperang melawan Belanda, aktif berdakwah, dan punya pesantren.
Tak heran jika Ismail Hasan tumbuh menjadi seorang yang “alim” walaupun dalam usia dewasanya ia lebih banyak berkecimpung di dunia politik. Sejak masih remaja, Ismail sudah aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi. Umurnya baru belasan tahun ketika ia menjadi anggota Persatuan Pelajar Islam Indonesia (Perpiindo) yang berpusat di Banda Aceh. Ia juga menjadi anggota Lasykar Mujahidin Aceh. Pada 1947, Ismail menjadi Kepala Staf Komando III Resimen Tentara Pelajar Islam Divisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Komando Sumatera di Aceh.
Ismail Hasan hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tamat SMA pada 1952, Ismail masuk Fakulktas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI), dan mulailah ia menimba pengalaman berorganisasi dan berpolitik di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sempat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI (1957-1960), menyandang gelar Sarjana Hukum dari FH-UI pada 1964, karir politiknya mulai bersinar ketika ia ikut andil dalam pembentukan PPP. Sebelum itu, di masa awal Orde Baru, ia bersama Bung Hatta dan Deliar Noer berniat mendirikan partai baru: Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Niat itu urung diwujudkan karena tidak disetujui oleh pemerintah Orde Baru.
Karir politik Ismail mulai menanjak di jajaran nasional ketika ia menjadi salah seorang Ketua DPP PPP di bawah kepemimpinan Ketua Umum, H.J. Naro. Bersama rekan-rekannya seperti Hartono Mardjono, M. Husnie Thamrin, Aisyah Aminy, dan Faisal Baasir; Ismail berhasil menghentikan ambisi Naro untuk menjadi Ketua Umum lagi pada Muktamar II PPP di Ancol sebulan yang lalu. Muktamar Ancol mengantarkan Ismail  menjadi Ketua Umum partai politik berlambang Bintang itu.
Ismail menikah dengan gadis sedesanya, Maryani, pada 1959. Pasangan itu dikaruniai 5 orang anak: Ratna Zahara, Nazaruddin, Hilman, Mustafa Fakhri, dan Taufiqurrahman.
Aktivitas Ismail sekarang, di samping sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dan Ketua Umum DPP-PPP, juga sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Rabu pagi, 13 September lalu, di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua Umum DPP-PPP, Buya Ismail Hasan Metareum menerima wartawan Media Dakwah, Mohammad Syah Agusdin dan Lukman Hakiem di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro 60, Jakarta Pusat. Kami berbincang selama dua setengah jam. Inilah petikannya:
Dapatkah menceritakan masa kecil Buya?
Saya dilahirkan dari keluarga ulama, atau “setengah ulama”-lah. Ayah saya dulu ikut berjuang melawan Belanda, ketika Belanda menyerang Aceh. Ketika Sultan Aceh ditangkap, ayah saya berpendapat Aceh sudah dijajah Belanda. Guna menghindarkan diri dari penangkapan oleh Belanda, beliau hijrah ke Penang, Malaysia. Di sana ada sekumpulan ulama Aceh, baik yang sengaja datang untuk menambah ilmu, maupun yang lari dari kejaran Belanda.
Di Penang, ayah saya sekaligus memperdalam ilmu agama. Akan tetapi, berbeda dengan teman-temannya yang lain, setelah suasana dirasakan aman, beliau kembali ke Aceh. Tidak terus ke Makkah untuk memperdalam ilmu. Di kampungnya, Metareum, Mila, Pidie; beliau mendirikan pesantren.
Jadi, sejak kecil saya hidup di lingkungan pesantren.
Nama ayah Buya?
Tengku Bin Hasan. Tengku itu gelar ulama di Aceh. Nama aslinya Muhammad Hasan. Suatu ketika beliau pernah diminta mewakili ulebalang. Sejak itu beliau dipanggil Tengku Bin.
Teman ayah saya ketika belajar di Penang banyak yang kemudian menjadi ulama terkenal di Aceh, antara lain Tengku Mohammad Daud Beure-eh.
Karena saya hidup di pesantren, saya harus pandai mengatur waktu. Kapan untuk mengaji, dan kapan untuk bermain. Ya, bermain seperti anak kecil umumnya. Berkelahi di pinggir sungai, dan sebagainya.
Selain pendidikan di Pesantren?
Mula-mula saya sekolah di Sekolah Rakyat (SR) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, selama 5 tahun. Zaman itu, anak-anak sudah mulai disekolahkan di sekolah Belanda. Sebelumnya mereka yang sekolah di sekolah Belanda dianggap kafir, karena Belanda di mata orang Aceh itu kafir. Bersama adik-adik, saya sekolah umum sekaligus mengaji di Pesantren.
Setamat SR, saya diminta Kepala Sekolah mengikuti ujian masuk Sekolah Guru. Saya sendiri sebetulnya tidak mau, tetapi karena didesak terus akhirnya saya ikut juga. Kebetulan di antara sekian banyak peserta dari seluruh Aceh, saya lulus dengan rangking pertama. Tetapi saya tidak melanjutkan ke Sekolah Guru. Saya lebih tertarik mengaji.
Selanjutnya saya masuk Madrasah, yakni sekolah agama dengan sistem klasikal. Pada permulaan zaman Jepang, saya sudah duduk di kelas tujuh. Sesudah itu saya masuk Sekolah Menengah Islam (SMI) yang pelajarannya 60% agama, 40% umum.
Tamat dari SMI saya pindah ke Jakarta, dan masuk SMA Negeri 3. Tamat SMA tahun 1952, saya masuk FH-UI.
Buya anak keberapa?
Saya anak kempat. Saya enam bersaudara. Tiga wanita, tiga pria. Saya di tengah. Tiga kakak saya, semuanya perempuan. Dua adik saya, semuanya laki-laki.
Pengalaman di zaman revolusi?
Bersama beberapa teman, di zaman revolusi saya mendirikan Persatuan Pelajar Islam Indonesia (Perpiindo), berpusat di Banda Aceh. Waktu itu hubungan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta, kurang lancar.
Pada 1947, sesudah Daud Beure-eh diangkat menjadi Gubernur Militer, kami mendirikan Tentara Pelajar Islam (TPI). Berbeda dengan Tentara Pelajar lain yang para anggotanya berpendidikan SMP ke atas, TPI menerima anggota yang masih sekolah di Sekolah Dasar (SD). Karena saat itu Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih terbatas, sedang SMA baru saja berdiri. Lagi pula, meskipun masih duduk di SD, para pelajar itu usianya sudah 15-an tahun. TPI benar-benar meliputi seluruh Aceh karena di seluruh Aceh ketika itu sudah ada SD Islam Negeri.
Ketika itu kebetulan saya menjadi salah seorang Kepala Staf salah satu Resimen. Malah kemudian saya ditempatkan sebagai Pengawas Tentara Pelajar, gabungan TPI dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang bertugas menyuplai angkatan perang yang membutuhkan tenaga muda.
Itu semua berlangsung antara 1947 hingga akhir 1949.
Pangkat Buya saat itu?
Tidak pakai pangkat. Kami sengaja tidak memakai pangkat, karena kami ingin sama rata. Tetapi pada waktu-waktu tertentu diangkat seorang opsir piket. Pada 1948, ketika Presiden Sukarno datang ke Aceh, saya bertugas sebagai opsir piket dari lapangan terbang sampai ke kota.
Pada 1950, setelah di Jakarta, saya mengurus demobilisasi pelajar yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diberi kesempatan untuk mendapat bea siswa atau kemungkinan fasilitas masuk sekolah.
Pengalaman paling mengesankan?
Mungkin ada satu. Saya ini sangat suka mengganggu penari Sedati (salah satu tarian khas Aceh –red). Bahkan orang mengenal saya sebagai orang yang anti-Sedati. Yang sangat mengesankan, dan tidak bisa dilupakan, saya diajak oleh Menteri Luar Negeri Mr. Achmad Soebardjo untuk memperkenalkan kesenian Aceh di Departemen Luar Negeri dan di Istana. Kebetulan bersama beberapa teman, antara lain Abu Bakar Aceh dan Hadi Thayeb, saya turut mendirikan Taman Iskandar Muda, organisasi teman-teman yang berasal dari Aceh. Sebagai Sekretaris I Taman Iskandar Muda, saya mengorganisir kegiatan tersebut.
Lucunya, ketika berita saya mengorganisir Sedati di Jakarta, disampaikan seorang teman di kampung, orang-orang kampung memarahi si pembawa berita. Dia dianggap memitnah. Mana mungkin Ismail yang di Aceh terkenal anti-Sedati, di Jakarta malah mengorganisir Sedati.
Siapa pembawa berita itu?
Isa Bugis
Isa Bugis?
Ya. Isa Bugis yang terkenal itu. Dia itu daerah asalnya satu kewedanaan dengan saya. Namanya Isa. Pak Bugis itu nama ayahnya.
Isa Bugis sendiri bercerita biasa-biasa saja. Tidak ada keanehan apa-apa dalam ceritanya, karena dia sendiri ikut menari Sedati. Tetapi orang-orang di kampung justru marah. Isa Bugis dianggap memitnah.
Kenapa Buya anti-Sedati?
Di Aceh itu kan pernah terjadi pertentangan keras antara kaum ulama dengan kaum bangsawan. Dan kaum ulama kalah pengaruh. Kaum bangsawan itu sangat senang kepada Sedati.
Yang berbahaya justru efek sampingnya. Itu sebabnya para ulama tidak senang. Nah, saya ini hidup di lingkungan ulama, karena itu saya juga tidak senang kepada Sedati, bahkan anti. Lucunya, di Jakarta saya justru mengorganisir Sedati.
Pengalaman sebagai mahasiswa?
Hanya setahun saya belajar penuh. Sesudah itu tidak lagi. Apalagi ketika ada peristiwa tertembaknya seorang penduduk oleh tentara, saya jadi seperti dukun. Dari pukul 07.00 sampai pukul 23.00 saya tidak pernah keluar kamar. Kalau teman-teman ada perlu dengan saya, mereka datang ke kamar.
Anehnya, mereka yang datang ke Ustadz El-Ibrahimy, oleh beliau justru diminta menemui saya.
Lalu Buya aktif di HMI?
Mula-mula saya tidak suka kepada HMI. Ketika mula-mula masuk perguruan tinggi,para mahasiswa dikumpulkan untuk mendengarkan ceramah Bung Karno yang mengeritik keras tokoh-tokoh Islam. Bagi saya, kritik keras itu sama dengan caci-maki.
Saya hampir membenci HMI, karena Bung Karno mengatakan bahwa dia diminta oleh Ketua Umum PB-HMI, Saudara Dahlan Ranuwihardjo, untuk memberikan ceramah tentang Islam dan Nasionalisme. Kesan saya jadi lain. HMI kok begitu? Kok mengundang orang untuk mencaci-maki tokoh-tokoh Islam.
Tapi Buya akhirnya masuk HMI juga.
Tahun 1953, Deliar Noer menjadi Ketua Umum PB-HMI menggantikan Dahlan Ranuwihadjo. Ketika dia baru menyusun pengurus, dia menemui saya dan bertanya apakah saya sudah masuk HMI atau belum. Saya jawab, saya tidak mau masuk HMI yang mengundang Bung Karno untuk mencaci-maki tokoh-tokoh Islam. Tetapi Deliar justru mengajak saya masuk. Ia mengatakan, jika ingin memerbaiki HMI, masuklah. Perbaikilah dari dalam.
Saya tetap keras menolak, dan Deliar tetap juga kukuh mendesak. Tiga kali Deliar mendatangi saya, tiga kali pula saya menolak. Tetapi akhirnya saya berpikir juga. Deliar Noer, Ketua Umum PB-HMI, secara ikhlas datang meminta saya masuk HMI, masak saya harus berkeras menolak. Akhirnya saya masuk HMI.
Sebulan sesudah jadi anggota, dalam rapat anggota, saya terpilih menjadi Wakil Ketua HMI Cabang Jakarta. Ketuanya Saudara Amir Radjab Batubara.
Belum sampai setahun saya di Cabang Jakarta, Deliar sakit dan masuk rumah sakit; sementara wakilnya, Saudara Ushuluddin Hutagalung, sering ke luar negeri. Dalam sakit, melalui surat, Deliar meminta saya datang ke rumah sakit. Ternyata Deliar meminta saya membantunya di PB-HMI.
Buya menerima permintaan itu?
Ya, tetapi dengan syarat harus diadakan konferensi sebelum kongres. Deliar setuju, dan menyerahkan pelaksanaan teknisnya kepada saya. Akhirnya diselenggarakan konferensi di Kaliurang, Yogyakarta.
Kenapa harus Konferensi?
Periode Deliar Noer ketika itu sudah berjalan separuh. Ada suara-suara yang menginginkan PB-HMI dipindahkan ke Yogya. Dan karena kepengurusan Deliar agak tersendat-sendat, saya ingin ada penyegaran, supaya mereka yang tidak puas dapat menyalurkan suaranya di forum resmi.
Tetapi ada satu hal yang saya anggap penting, yaitu kita menghadapi pemilihan umum (Pemilu) 1955. Apakah kongres akan diselenggarakan sebelum atau sesudah pemilu, kita belum tahu. Yang pasti, sebelum pemilu HMI harus sudah merumuskan sikapnya dengan jelas.
Atas permintaan teman-teman, saya membuat makalah untuk Konferensi di Kaliurang itu. Dalam makalah itu antara lain saya kemukakan bahwa di dalam pemilihan umum anggota HMI harus aktif membantu partai politik Islam. Namun demikian, jika ada pengurus HMI yang dicalonkan sebagai anggota DPR atau Konstituante oleh salah satu partai, ia harus melepaskan jabatannya di HMI. Ini untuk menjaga supaya HMI tetap independen dalam melangkah.
Usul saya itu diterima menjadi keputusan Konferensi.
Keputusan itu berbeda jauh dengan sikap PB-HMI sebelumnya. Apakah tidak menimbulkan gejolak di HMI?
Tidak ada gejolak apa-apa. Keputusan Konferensi itu malah disambut gembira. Yang ada reaksi justru ketika sebagai Ketua Umum PB-HMI saya mengumumkan diselenggarakannya pendidikan kader.
Saya terpilih dalam Kongres HMI di Medan. Sebelumnya, pada periode Amir Radjab Batubara, saya menjadi Wakil Ketua. Di masa itu juga saya menjadi Ketua Badan Pekerja Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (Porpisi).
Kabarnya Kongres HMI di Medan ketika itu agak ricuh?
Tidak. Hanya mungkin ketika itu sudah lebih banyak cabang. Jauh lebih banyak daripada Kongres Bandung. Memang ada persoalan, yaitu ketika HMI menempatkan diri seperti Majelis Fatwa dengan mengharamkan dansa. Melarang anggota HMI berdansa, oke. Tetapi menyatakan dansa haram, apa hubungannya dengan HMI? Saya ingat, di situ memang masalahnya.
Saya kira itu juga menyangkut masalah kultur. Teman-teman yang di Sumatera berbeda dengan yang di Jawa. Teman-teman di Jawa sudah menempatkan diri secara benar menurut organisasi. Di Sumatera, karena baru tumbuh, masih banyak menyerap pandangan dari luar. Pengaruh dari luar itu dibawa ke dalam HMI. Bukan tugas HMI menyatakan dansa itu haram.
Apa gagasan utama Buya sebagai Ketua Umum PB-HMI?
Yang paling pokok ialah pendidikan kader. Saya beranggapan, kita harus mengadakan pelatihan terhadap anggota atau calon anggota HMI untuk menyamakan pandangan.
Di HMI itu ada yang berasal dari sekolah umum, ada yang berasal dari sekolah agama. Mereka itu harus disatukan pandangannya. Kita sungguh-sungguh memikirkan ini, karena kita melihat perbedaan antara partai-partai Islam saat itu bermula dari perbedaan sudut pandang.
Saya melihat mendesaknya diselenggarakan pendidikan kader. Tetapi istilah kursus kader saat itu sangat ditakuti para mahasiswa, terutama mahasiswa sekolah umum. Istilah kader selalu diasosiasikan dengan partai politik. Oleh karena itu saya namakan Pendidikan Dasar. Setahun sesudah HMI rutin menyelenggarakan Pendidikan Dasar, Pemerintah mengubah Sekolah Rakyat menjadi Sekolah Dasar.
Begitu pentingkah penyamaan pandangan?
Ya. Ada sedikit anekdot. Saya kadang suka juga berkelakar. Saudara Norman Razak itu kurang mengerti agama, tetapi saya menyebutnya “kiai”. Di Konferensi Pendidikan Kader muncul masalah mengenai agama. Untuk meredakan suasana yang tegang karena diskusi yang hangat, saya kemudian berkata: “Baiklah, mari kita tanya Kiai kita ini, Kiai Norman.” Dan Saudara Norman memberi penjelasan dengan semangat, tetapi penjelasannya itu ternyata salah. Akhirnya saya sendiri kesulitan untuk meluruskannya kembali.
Sejak saya masih Wakil Ketua Umum, PB-HMI sudah sering mengirimkan anggota HMI ke Aloka, India, untuk mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan. Banyak yang kita kirim, antara lain Mahbub Djunaidi, dan Aisyah Aminy.
Sebutan Buya, konon muncul saat memimpin HMI.
Begini, kami kemudian mencoba memeraktikkan hasil Pendidikan Kader itu dengan menyelenggarakan kemah kerja (work camp) di Baros, Sukabumi. Mahbub Djunaidi adalah penanggung jawab kegiatan tersebut. Nah, saya ingin mengoreksi tulisan Mahbub di Kompas, 10 September 1989. Pertama, tahunnya bukan 1956 tapi 1958. Kedua, tentang penyebutan Buya kepada saya. Mahbub itu pelanjut, bukan pencetus.
Yang pertama sekali menyebut Buya kepada saya adalah teman-teman putri di PB-HMI. Saya ini tidak pernah berkelakar dengan teman-teman putri. Orang Jakarta bilang saya ini “alim”. Saya ini tidak pernah “nyambung” kalau diajak berkelakar oleh  teman-teman putri. Karena itu mereka lalu memanggil saya dengan sebutan Buya. Jadi, bukan Mahbub yang pertama kali menyebut saya Buya. Mahbub memerebutkan seseorang, itu benar. Bahkan dia kemudian mengantarkan gadis itu ke Solo.
Istri saya pernah menanyakan hal ini kepada (novelis, wartawan –red) Titi Said. Dan jawabannya seperti yang saya kemukakan tadi. Titi Said menjelaskan, karena  teman-teman putri tidak bisa mengganggu saya, maka mereka panggil saya Buya. Titi Said itu sudah aktif di PB-HMI bersama saya sejak periode Deliar Noer.
Periode Buya di HMI itu bertepatan dengan pecahnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta).
Betul. Pada 1958 itu ada demonstrasi mahasiswa ke rumah Bung Hatta dan Perdana Menteri Djuanda. Professor Bahder Djohan ketika itu mengancam akan mengundurkan diri dari jabatan Presiden (sekarang Rektor –red) UI jika Pemerintah mengambil tindakan keras terhadap pergolakan daerah. Saya ikut demonstrasi itu, tapi saya tidak bicara.  
Sesudah PRRI diproklamirkan, kita menyelenggarakan rapat PB-HMI. Kita memutuskan untuk membekukan cabang-cabang di daerah-daerah yang dikuasai PRRI. Ini untuk menghindari keterlibatan HMI secara organisatoris dalam kegiatan PRRI.
Pada periode itu pula Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong yang semua anggotanya diangkat oleh Presiden. PB-HMI membuat pernyataan yang meminta agar keputusan Presiden membubarkan DPR dan membentuk DPR-GR ditinjau kembali. Pernyataan itu dimuat sebagai berita utama di harian Abadi dan Duta Masjarakat.[1] HMI melihat pembentukan DPR-GR itu akan menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saya ingat waktu itu, Liga Demokrasi[2] pun hanya meminta penangguhan pelantikan DPR-GR. Jadi, PB-HMI lebh maju.
Ada yang kemudian memerotes. Katanya HMI bukan organisasi politik, kok berpolitik? Kita jawab, HMI memang tidak berpolitik praktis. Tetapi HMI tidak akan berdiam diri, tidak akan bertopang dagu melihat masalah-masalah yang menyangkut agama, bangsa, dan negara.
Bagaimana reaksi Bung Karno?
Beberapa waktu sesudah itu, Dahlan Ranuwihardjo diutus oleh Roeslan Abdulgani yang diperintah oleh Bung Karno menemui saya. Ia meminta agar PB-HMI memberikan 10 nama guna didudukkan di DPR-GR. Lima dari daerah, lima dari PB. Permintaan itu saya tolak. Dan ketika dibawa ke rapat PB-HMI, permintaan itu pun tetap ditolak.
Secara organisatoris HMI tidak mungkin mengirimkan orang-orangnya untuk menjadi anggota DPR-GR. Namun kita tidak akan menghalangi jika ada anggota atau alumni yang mau menjadi anggota DPR-GR.
Ketika keputusan PB-HMI itu disampaikan oleh Norman Razak kepada Mas Dahlan, dia tampak marah. “Buya itu Masyumis.” Kata Mas Dahlan kepada Norman. Padahal sesungguhnya Mas Dahlan itulah yang anggota Masyumi. Mas Dahlan itu anggota PB Serikat Tani Islam Indonesia (STII). Saya, bukan.
Hubungan Buya dengan Dahlan selanjutnya?
Baik. Kami selalu melakukan diskusi politik bersama, walaupun ketika kita membuat kesimpulan, apalagi yang menyangkut Bung Karno, kami tidak pernah ketemu. Ketika PRRI memproklamirkan diri, saya menginap di rumahnya. Belakangan, ketika ada teman-teman yang mengadukan nasibnya di daerah ke Mas Dahlan, ia selalu menganjurkan teman-teman itu menemui saya, padahal Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) waktu itu Drs. Sudardji. “Saya hanya kenal Ismail,” kata Mas Dahlan kepada teman-teman.
Buya juga aktif di Legiun Veteran?
Ya. Mula-mula saya dimasukkan dalam Pengurus Daerah Jakarta Raya. Kemudian ketika Pak M. Sarbini menjadi Ketua Legiun Veteran Pusat, saya diminta menjadi anggota Paripurna Pusat. Sesudah itu saya menjadi Pengurus Pusat. Sampai timbul persoalan-persoalan politik, saya tidak ikut lagi.
Karena itukah banyak yang menilai Buya dekat dengan ABRI.
Saya kira bukan.
Sejak kapan pandangan politik Buya, tumbuh?
Sejak saya di Perpiindo. Menjelang agresi Belanda, Desember 1948, feeling politik saya juga sudah tumbuh. Dan ketika saya datang di Jakarta, apalagi waktu mendengar Bung Karno mencaci-maki tokoh-tokoh Islam, pandangan politik saya makin mengkristal.
Mungkin benar, para pemimpin Islam itu punya kekurangan. Akan tetapi membicarakan kekurangan itu secara subjektif dan terbuka, tidak objektif membedakan nasionalisme dan Islam, saya prihatin.
Bagaimana Buya melihat umat Islam dalam hubungannya dengan politik?
Saya menganggap kita sudah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas itu sejak 1945. Sejak 1945, tokoh-tokoh Islam sudah menerima Pancasila. Di Aceh, saya mengenal Pancasila dari tokoh-tokoh Islam. Pada tahun 1952, Mohammad Natsir berpidato tentang Pancasila di Pakistan. Saya membaca pidato Pak Natsir itu dengan penuh minat. Namun akibat pecahnya peristiwa Darul Islam (DI) telah timbul salah paham di kalangan lain terhadap Islam.
Peristiwa DI melahirkan anggapan seolah-olah Pancasila itu bukan milik umat Islam.
Tentang Konsituante, apa pendapat Buya?
Itu kesempatan legal untuk mencari filsafat negara. Konstituante memang diberi hak untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Karena itu para anggota Konstituante mencari dan mengemukakan apa yang menurut pahamnya benar. Hak-hak anggota Konstituante itu dijamin oleh konstitusi.
Cuma, lagi-lagi akibatnya kemudian menjadi kurang baik. Barangkali karena sebelumnya telah pecah peristiwa DI. Padahal pada akhir persidangan Konstituante itu, Pancasila sudah secara kongkrit dimajukan dalam usulan-usulan mereka, walaupun dengan penambahan tertentu.
Bagaimana cara menghilangkan kesan negatif itu?
Kembali kepada konsensus semula. Ketika Proklamasi Kemerdekaan, dasar negara kita adalah Pancasila. Negara Republik Indonesia adalah Negara Pancasila. Yang kita perjuangkan dengan seluruh jiwa raga adalah Negara Pancasila. Yang mati dalam perjuangan membela negara Indonesia, kita anggap mati syahid. Perjuangan umat Islam di masa revolusi kemerdekaan itu dilaksanakan dengan penuh keyakinan kepada Islam, tanpa mempersoalkan dasar negara Pancasila.
Dengan dasar negara Pancasila, umat Islam berjuang. Umat Islam berjuang  dengan keyakinan kalau gugur dalam perjuangan, pasti syahid.
Kalau itu dikembalikan sekarang, kita berjuang dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa mengutak-atik konsensus nasional, saya kira tidak ada masalah. Konsensus nasional itu sesuai dengan kondisi masyarakat kita yang majemuk. Dan kemajemukan itu sejak dulu hingga kini, sama.
Dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, saya kira tidak ada persoalan dengan dasar negara.
Kalau begitu, masuk partai apa saja sama?
Tergantung niatnya.
Buya ikut membidani kelahiran PPP?
Saya adalah Wakil Ketua Panitia Pembentukan PPP dari unsur Partai Muslimin Indonesia. Ketuanya Pak Nuddin Lubis dari unsur Partai Nahdlatul Ulama. Saya ditunjuk oleh Ketua Umum Partai Muslimin, H.M.S. Mintaredja, untuk menjadi Wakil Ketua Panitia, padahal saya bukan anggota Pimpinan Pusat Partai Muslimin. Saya sering menyebut diri sebagai anggota ranting.
Sejak awal saya memang tidak mau duduk di Pimpinan Pusat Partai Muslimin. Ada 13 orang yang menolak duduk. Karena itulah dalam Surat Keputusan Presiden No. 77/1970 tentang Pengesahan Pimpinan Pusat Partai Muslimin Indonesia, banyak nama yang ditip-ex (dihapus --red). Sesudah Partai Muslimin menjadi Muslimin Indonesia, baru saya duduk dalam kepengurusan pusat.
Bagaimana Buya melihat PPP sekarang?
Saya melihat PPP ini punya basis yang kuat. Keyakinan orang kepada PPP yang tadinya berasas Islam, itulah basisnya. Sekarang, apa pun adanya PPP, orang melihat PPP sebagai partai yang sudah punya hubungan dengan mereka. Hubungan lama itu tidak bisa dihapuskan.
Saya juga melihat, pengaruh mereka yang memimpin partai, tetap besar. Karena itu menurut saya, PPP ini partai yang mempunyai akar. Tinggal mengembangkan. Dari segi historis, itu yang saya lihat.
Masa depan PPP?
Yang terpokok kita harus mengembangkan wawasan. Sesudah kita menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, kita dudukkanlah itu pada proporsi yang sewajarnya. Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tidaklah mengganggu keyakinan agama masing-masing pribadi.
Jika ini kita dudukkan secara wajar, saya tidak melihat ada hambatan bagi partai untuk mengembangkan diri.
Bagaimana jika dikaitkan dengan gagasan keterbukaan partai?
Sejak dulu kita sudah terbuka. Dalam Anggaran Dasar PPP dinyatakan: “Setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat, dapat menjadi anggota partai.” Ini kan terbuka. Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PPP, tidak ada keharusan Muslim. Saya ini kebetulan selain sebagai Wakil Ketua Panitia Pembentukan PPP, juga Ketua Sub-Tim AD/ART. Sejak semula AD/ART PPP itu sudah begitu. Tidak ada syarat harus Muslim.
Cuma karena PPP ini hasil fusi empat partai politik Islam, mereka itulah yang dulu menjadi anggota. Orang lain kemudian menganggap PPP ini partai Islam. Ini sejarah. Apa bisa kita menghapus sejarah. Bagaimana mungkin mau menghapus sejarah. Apa mau membentuk partai baru.
Selain soal wawasan?
Wawasan itu faktor utama. Sesudah itu barulah kita memperkembangkan aktivitas sesuai AD/ART. Memperkembangkan ini barangkali banyak variasinya, banyak bidangnya. Kalau itu dikelola dengan baik, saya yakin partai yang sudah berakar ini akan betul-betul menjadi partai yang kuat.
Kuat bukan dalam arti banyaknya anggota di DPR saja, tetapi kuat dalam arti kita mampu menggalang persatuan dan betul-betul mengarahkan para anggota dan aktivitasnya untuk membangun negara.
Kalau kita sudah berbakti kepada negara, pasti kita akan merasakan nikmatnya hidup bernegara.
Bagaimana dengan target 100 kursi di DPR?
Itu kan saya sekadar melihat masa lalu. Dulu bisa dapat sekian, kenapa sekarang tidak.
Tentang unsur-unsur dalam PPP?
Saya ingin berpartai sesuai dengan undang-undang. Artinya, keanggotaan partai ini bersifat pribadi. Kita tidak mengenal onderbouw. Partai ini harus mandiri, tidak bergantung kepada pihak-pihak di luar partai.
Dalam hubungan dengan bekas partai-partai politik pendiri dan organisasi-organisasi lain, saya ingin agar hubungan itu baik. Tidak ada ketegangan antara PPP dengan mereka. Ada pun di perjalanan, mari kita atur bersama. Yang kita pentingkan adalah kualitas.
Jika sekarang ada kesan PPP bergantung kepada orang lain, itu karena perkaderan kita belum berjalan secara wajar. Kalau perkaderan sudah berjalan wajar, kriteria keanggotaan akan jelas.
Tahun berapa Buya menikah?
Kami menikah tahun 1959, tapi saya baru membawa istri saya ke Jakarta pada tahun 1961.
Kapan pertama kali bertemu?
Sesudah menikah di kamar pengantin. Saya ingat, Mahbub Djunaidi berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat, mendengar cerita itu dari istri saya. “Bagaimana Buya ini? Sudah keliling dunia, ketemu istri pertama kali kok di kamar pengantin.”
Mau apa lagi. Orang tua kami tentu memilih yang terbaik bagi kami berdua.[]
  

  






[1] Duta Masjarakat memuat pernyataan PB-HMI itu pada 6 April 1960. Di bawah judul “Surat Terbuka H.M.I.”, Duta Masjarakat memberitakan sebagai berikut (dengan penyesuaian ejaan): “Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam telah mengirimkan surat terbuka yang ditujukan kepada pimpinan partai-partai Islam. Pokok dari surat terbuka yang ditandatangani oleh Ketua Umumnya Ismail Hasan Metareum dan Act. Sekjen Nursal adalah meminta kepada segenap partai Islam di Indonesia untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh cara pembentukan DPRGR dan anggauta-anggautanya serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi perkembangan hukum di Indonesia dan perjoangan umat Islam. Agar kembali meninjau perimbangan perwakilan umat Islam di dalam DPRGR, baik yang langsung maupun yang tidak, serta mendesak kepada PYM Presiden untuk meninjau kembali keputusannya yang telah memberikan kesempatan bagi kaum komunis dengan jalan menunjuk wakil-wakil komunis dan fellow-travellers dalam jumlah yang sangat besar. Dasar dari surat terbuka ini antara lain ialah adanya kenyataan bahwa di dalam DPRGR golongan Islam sangat dirugikan dan golongan komunis mendapat keuntungan besar dan juga pembentukannya tidak memperlihatkan ukuran keadilan, yaitu terpeliharanya sebagian golongan baik besar maupun kecil dan hilangnya sebagian golongan.”  
[2] Liga Demokrasi dibentuk di Jakarta pada 24 Maret 1960 oleh 15 tokoh dari berbagai partai politik dan organisasi: I.J. Kasimo (Katolik), K.H. Faqih Usman (Masyumi), A.M. Tambunan (Parkindo), Sugirman (IPKI), Hamara Effendy (IPKI), Subadio Sastrosatomo (PSI), K.H.M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Hamid Algadrie (PSI), Imron Rosjadi (Ketua Umum GP. Anshor), Dachlan Ibrahim (IPKI), Anwar Harjono (Masyumi), J.R. Koot (Parkindo), Mohamad Roem (Masyumi), Haji J.C. Princen (IPKI), dan Ir. Abdul Kadir (IPKI). Tujuan Liga Demokrasi ialah untuk “Membela Negara, Bangsa, Agama, dan Demokrasi.”

15 November 2014



Kepeloporan, Keteguhan, dan Kesederhanaan Lafran Pane
Oleh: Lukman Hakiem

PENGANTAR: Pada resepsi Hari Ulang Tahun ke-48 Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), 19 September 2014, Ketua Presidium Nasional KAHMI, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD mengungkapkan rencana KAHMI mengusulkan pemerakarsa berdirinya HMI, Prof. Drs. H. Lafran Pane menjadi Pahlawan Nasional. Salah satu rekomendasi Kongres ke-19 HMI, 30 November-9 Desember 1992 di Pekanbaru, Riau, ialah permohonan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar menetapkan Prof. Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional. Artikel berikut ini saya tulis sebagai respons terhadap rekomendasi Kongres ke-19 HMI. Artikel ini mula-mula dimuat di harian Pelita, 15 Desember 1992 dengan judul “Lafran Pane Pahlawan Nasional, Kenapa Tidak?”. Dengan judul yang sama dimuat pula dalam Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul (Editor), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Jakarta, Misaka Galiza, Cetakan Kedua, Agustus 2008, halaman 198-203. Untuk pemuatan di blog, saya menambahkan beberapa catatan kaki. Semoga bermanfaat.[]

SALAH SATU rekomendasi Kongres ke-19 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Pekanbaru, Riau, yang baru saja berakhir, ialah permohonan kepada pemerintah untuk menetapkan almarhum Prof. Drs. H. Lafran Pane (1923-1991)[1] sebagai Pahlawan Nasional.
Rekomendasi Kongres HMI itu tidak syak lagi bakal didukung penuh oleh para aktivis dan mantan aktivis HMI yang jumlahnya kini telah mencapai jutaan, yangf tersebar di berbagai daerah dengan berbagai posisi.
Bagi HMI, posisi Lafran Pane memang unik. Meskipun ada 15 orang yang ikut dalam rapat pembentukan HMI pada 5 Februari 1947[2] di Sekolah Tinggi Islam (STI, kini Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, tetapi pembentukan HMI tetap dianggap prakarsa murni Lafran. Karena itulah Kongres ke-11 HMI di Bogor, 1974, menetapkan Lafran Pane sebagai pemerakarsa (orang yang memelopori) berdirinya HMI.
Pada ulang tahun ke-10 HMI, Drs. Sudjoko Prasodjo menulis di majalah Media, terbitan PB HMI, “Sesungguhnya di tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Drs. Lafran Pane sendiri. Karena dialah pemegang andil terbanyak lahirnya HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh utama pendirinya.”
Jika ditelusuri kembali riwayat awal berdirinya HMI, terlihat betapa gigihnya Lafran memperjuangkan perwujudan prakarsanya itu. Ketika kelahiran HMI dicurigai oleh para aktivis Perserikatan Mahasiswa Jogjakarta (PMJ), dan disalahpahami oleh kalangan Islam, Lafran maju menjelaskan semua gagasannya. Lafran pula yang sangat bersemangat memasarkan HMI ke luar STI sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH-UGM), Mohammad Syafa’at Mintaredja (almarhum, pernah menjabat sebagai Menteri Sosial, Duta Besar RI di Turki, dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan).
Lafran sangat bersukacita mendapati respons positif dari M.S. Mintaredja. Dan dengan ikhlas pada 22 Agustus 1947 dia menyerahkan kepemimpinan HMI kepada Mintaredja. Pada Kongres I HMI di Yogyakarta, 30 November 1947, Mintaredja kembali terpilih menjadi Ketua Umum. Posisi Lafran justru merosot dari Ketua Umum menjadi Penulis I, kelak bahkan merosot lagi menjadi Penulis II. Demi kebesaran HMI, Lafran tidak mempersoalkan jabatan.
Pembaruan Islam
Meskipun ayah Lafran, Sutan Pangurabaan Pane, seorang aktivis Partai Indonesia (Partindo), tidak perlu diragukan sesungguhnya sejak usia dini Lafran telah mengenal Islam. Di usia dini, Lafran yang dilahirkan tanggal 12 April 1923 (suatu hari kepada penulis dia mengaku tanggal, bulan, dan tahun kelahiran itu dikarangnya sendiri),[3] belajar “alif-alifan” kemudian nyantri di Pesantren Muhammadiyah Sipirok, Hollands Inlandse School (HIS) Muhammadiyah, Ibtidaiyah, Wustho, dan kelak Algemeene Middelbare School (AMS) Muhammadiyah di Jakarta. Di antara masa-masa belajar di sekolah-sekolah Islam itu, Lafran sempat pula bersekolah di Perguruan Taman Siswa.
Dalam masa sekolah itu, terutama masa sesudah hijrah dari Sipirok, Tapanuli Selatan, ke Jakarta; Lafran aktif di Gerakan Indonesia (Gerindo). Juga di Indonesia Moeda.
Dalam proses pencarian jati diri seperti itu, ditambah kemudian perkenalannya dengan K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, H.M. Rasjidi, dan lain-lain di dalam atmosfir Islam di STI; dengan mudah kita dapat memahami obsesi Lafran tentang HMI (= Islam) yang inklusif.
Lafran lahir dan dibesarkan di dalam atmosfir Islam. Akan tetapi, pergaulannya dengan kalangan pergerakan “bukan Islam”[4] menyadarkan Lafran tentang betapa kroposnya klaim mayoritasnya kaum Muslimin di negeri ini. Mereka yang bergerak di luar atmosfir Islam itu, dalam pengamatan Lafran sesungguhnya Muslim juga, Tetapi mereka telah kehilangan kebanggaan terhadap Islam. Satu dan lain hal, itu terjadi akibat penindasan dan sistem pendidikan Belanda yang sekularistik.
Dalam sebuah tulisan tahun 1949, berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”, Lafran melihat dua kelompok dominan dalam Islam. Yaitu mereka yang mengidentikkan Islam dengan masyarakat Arab abad ketujuh, dan mereka yang karena pengaruh mistik tidak menghiraukan kehidupan dunia. Karena dominannya dua kelompok ini, timbul kesan seakan-akan Islam adalah ajaran kolot antikemajuan. Menurut Lafran, kecenderungan orang yang belum mantap imannya selalu mengaitkan aspek manfaat dari sesuatu ajaran. Karena itu Lafran menggesa –di luar persoalan akidah—pembaruan terus menerus terhadap penerapan ajaran Islam. Dan potensi yang dilihat Lafran untuk melakukan pembaruan adalah kaum terpelajar, mahasiswa, yang berpikiran maju.
Lafran sangat percaya, dari 90 persen rakyat Indonesia yang mengaku Muslim, hanya sedikit saja yang telah benar-benar melaksanakan ajaran Islam secara paripurna. Karena itu sejak awal dia telah menggariskan sasaran HMI bukanlah mereka yang telah mengerti agama, melainkan mereka yang awam agama. Bagi Lafran, jika orang sudah mau masuk HMI itu berarti yang bersangkutan sudah atau masih memiliki rasa bangga terhadap Islam. Itu saja sudah cukup. Tidak usah lagi dipersoalkan dari golongan mana dia berasal.
Orang boleh setuju atau tidak setuju, tetapi Lafran terus melangkah. Melalui HMI, Lafran telah memelopori pengikisan sektarianisme di kalangan umat Islam. Sejarah panjang HMI mencatat dengan gemilang betapa mereka yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persisi), dan sebagainya; mereka yang hafal Qur’an dengan mereka yang sama sekali buta huruf al-Qur’an; rukun-rukun belaka di dalam bahtera HMI.
Eksodus Besar-besaran
Langkah Lafran tidak berhenti sampai di situ. Dia berusaha keras membongkar dinding yang memisahkan antara “kaum abangan” dengan “kaum santri”, antara kalangan Islam dengan kalangan nasionalis. Dan langkah Lafran acap kali mengejutkan. Ketika terjadi polemik tajam antara mereka yang menerima dengan mereka yang menolak Perjanjian Linggajati (1946), tanpa canggung Lafran menempatkan HMI sejajar dengan sikap Pemerintah (Kabinet) Sutan Sjahrir. Sikap itu tentu saja berbeda dengan sikap organisasi kemasyarakatan dan organisasi Islam yang ketika itu menolak Linggajati.
Untuk hal ini tetaplah mesti dicatat tokoh-tokoh Partai Politik Islam Masyumi seperti H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Jusuf Wibisono, K.H. Fathurrahman, dan K.H. Abdul Wahid Hasjim yang secara pribadi tetap bertahan dalam Kabinet Sjahrir III; berbeda dengan sikap resmi Masyumi yang beroposisi terhadap Kabinet Sjahrir III.
Sikap Lafran sedemikian itu harus dibayar mahal dengan eksodus besar-besaran para pendiri HMI. Mereka yang bereksodus itu kemudian mendirikan Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 4 Mei 1947.
Lafran dan HMI kemudian seakan dikucilkan dari pergaulan umat. Lafran yang datang –walau tanpa undangan-- pada Kongres I PII di Surakarta, Juli 1947, tidak dibolehkan masuk ruangan karena: “HMI dianggap tidak ada, dan status HMI di kalangan umat Islam masih disangsikan.”
Lafran tidak putus asa. Dan keteguhannya membuahkan hasil. Pada Konferensi Besar PII di Ponorogo, November 1947, HMI diakui sebagai bagian dari umat. Bahkan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta, Desember 1949, memutuskan: “Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada Sekolah Tinggi.”
Dengan prestasinya mendirikan dan membesarkan HMI, Lafran tidak lantas menepuk dada. Dia tidak mau menyanggah ketika dalam suatu forum resmi yang juga dihadirinya di Yogyakarta, Mintaredja mengaku sebagai pendiri HMI. Dia juga tidak mau memanfaatkan karismanya sebagai pemerakarsa berdirinya HMI untuk kepentingan pribadi. Ketika sebuah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di luar Jawa menawarkan jabatan rektor kepadanya,[5] dengan halus Lafran menolaknya.
HMI Itu Nasionalis
Sekitar 1974 kampus IKIP Yogyakarta, tempat Lafran mengabdi, bergolak. Karena hampir semua aktivis mahasiswa IKIP Yogyakarta adalah aktivis HMI, Lafran pun dituduh sebagai dalang pergolakan. Lafran dinonaktifkan dari segala tugas di fakultasnya, meskipun sampai dia meminta pensiun gaji dan tunjangan guru besarnya tetap dibayar penuh.
Ketika terjadi pergantian rektor IKIP Yogyakarta dari Prof. Dr. Imam Banadib, M.A. ke Drs. St. Vembriarto, Lafran kembali mendapat perlakuan tidak enak. Tunjangan jabatan yang telah diterimanya selama masa nonaktif, harus dikembalikan! Caranya dengan memotong uang pensiuannya setiap bulan. Saya dan teman-teman yang mendapat kabar kebijakan rektor baru itu, tentu saja panas hati. Sebagai Ketua HMI Koordinator Komisariat (Korkom) IKIP Yogyakarta saya meminta izin Lafran Pane untuk memerotes ketidakadilan itu. “Untuk apa?” ujar Lafran dengan nada menolak, seraya menambahkan: “Dengan keadaan sekarang ini pun saya sudah berbahagia. Lagi pula, nanti HMI yang terkena akibatnya.”
Di tengah memanasnya polemik soal asas tunggal Pancasila pada Kongres ke-15 HMI di Medan, 21-31 Mei 1983, Lafran keluar dengan pendapatnya yang sangat terkenal dan dimuat di semua surat kabar utama: “HMI itu pertama-tama nasionalis, baru sesudah itu Islam.”[6] Pendapat Lafran itu dianggap berat sebelah. Lantaran itu muncul bisik-bisik yang rupanya sampai juga ke telinga Lafran tentang berapa Lafran dibayar pemerintah untuk pendapatnya itu.[7]
Dalam pidato penutupan Kongres, Lafran membantah isu negatif itu sambil menyebut nama saya sebagai saksi yang dianggap banyak mengetahui kehidupan Lafran sehari-hari. Saya jengah juga mendengarnya. Akan tetapi, meskipun saya tidak selalu sependapat dengan pemikiran Lafran Pane, sebagai aktivis HMI yang kebetulan satu fakultas, bertetangga, dan satu jamaah masjid dengannya, saya berani bersaksi bahwa Lafran Pane tidak pernah memanfaatkan posisinya sebagai pemerakarsa berdirinya HMI --yang alumninya sudah amat banyak duduk dalam berbagai posisi strategis di pemerintahan—untuk kepentingan pribadinya.
Saya juga berani menegaskan, segala pikiran, gagasan, dan perbuatan Lafran Pane, entah itu menguntungkan pemerintah atau tidak, murni keluar dari hati nurani dan akal sehatnya.
Sebuah contoh kiranya perlu dikemukakan. Suatu hari seusai shalat Jum’at, di teras Masjid Al-Falah, Mrican, Lafran mengajak saya dan Said Tuhuleley[8] berbicara. Dia meminta pendapat kami tentang kemungkinannya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). “Ada alumni yang menawarkan jabatan itu kepada saya. Menurut kalian, bagaimana?” Kami kaget. Pendiri HMI kok “konsultasi” kepada anak ingusan macam kami. Karena diminta pendapat, saya jawablah pertanyaan itu. Dengan gaya yakin saya berkata:  “Menurut saya, tawaran itu lebih baik ditolak saja Pak. Di fraksi mana pun Pak Lafran didudukkan, mau tidak mau Bapak akan ‘berhadapan’ dengan alumni HMI yang duduk di fraksi lain. Masak Bapak harus ‘berhadapan’ dengan kader Bapak sendiri. Tidak baik untuk HMI, Pak.” Lafran manggut-manggut. “Baiklah, kalau begitu saya akan tolak saja tawaran itu.”
Menyegarkan Pemahaman
Seusai Kongres Medan, polemik asas tunggal Pancasila makin memanas. Di Yogyakarta, segala izin bagi kegiatan HMI dibekukan. Bahkan pernah terjadi, izin yang sudah diberikan dicabut sesaat menjelang acara dimulai.
Kepada Tim Politik dan Keamanan (Polkam) Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA-RI) dipimpin oleh Wakil Ketua DPA, Jenderal TNI (Purn) Widodo yang datang ke Yogyakarta, saya tunjukkan Anggaran Dasar HMI yang pada alinea keempat Mukaddimahnya menyatakan tekad HMI untuk mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.          
Dalam pertemuan di kantor Gubernur DI Yogya itu, kepada Widodo juga saya katakan bahwa pendekatan keamanan tidak selalu dapat menyelesaikan masalah. Jika anak muda dikerasi, salah-salah mereka menjadi nekad. Bukankah segala hal sesungguhnya bisa dimusyawarahkan secara cerdas dan dewasa. Lagi pula, apakah yang dicemaskan dari HMI. Dengan anatomi keanggotaan yang amat majemuk, mustahil HMI menjadi gerakan ekstrim. Akan selalu ada mekanisme internal yang mencegah HMI “lari” dari watak sejarahnya. Widodo mendengarkan dengan saksama pendapat saya, dan berjanji akan menyampaikannya kepada pemerintah.
Dalam suasana panas seperti itu, agar isu asas tunggal Pancasila tidak terperosok menjadi isu dasar negara Pancasila, sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta (1983-1984), saya menganggap perlu menyegarkan ulang pemahaman para aktivis HMI terhadap gagasan awal berdirinya HMI, terutama mengenai hubungan antara Islam, HMI, dan Negara. Yang paling pas menyampaikan kajian itu adalah Lafran Pane. Forum yang paling cocok, hemat saya, adalah pelatihan kepemimpinan tingkat menengah (Intermediate Training). Peserta pelatihan pada forum ini adalah kader-kader menengah yang sudah cukup berwawasan.
Lafran Pane bukan saja bersedia menjadi pengisi tetap kajian tersebut, juga tampak menikmati betul forum Intermediate itu. Betapa pun mendapat “gempuran” keras dari para peserta, dia tetap gigih mempertahankan segala tesisnya dengan wajah tetap tersenyum. Panitia sendiri kadang-kadang “nakal”. Sebelum masuk session Lafran Pane, kepada peserta diberikan masukan tertentu. Akibatnya, forum menjadi “panas”. Akan tetapi, Lafran tetap gigih, sabar, dan telaten melayani diskusi kader-kader muda HMI. Dia tidak pernah kapok, dan tidak pernah mengeluh. Setiap kali diminta mengisi acara di Intermediate, dia selalu datang tepat waktu.
Dialog tajam pemerakarsa berdirinya HMI dengan kader-kader muda HMI setiap kali berlangsung tidak kurang dari empat jam, mulai pukul 08.00 sampai pukul 12.00.
Kepeloporan, Keteguhan, Kesederhanaan
Bahwa akhirnya sejak 1986 HMI pecah, menurut saya antara lain karena PB HMI ketika itu telah kehilangan semangat dialog seperti ditunjukkan oleh Lafran Pane ketika “berhadapan” dengan para aktivis HMI Yogyakarta.
Saya masih ingat betul ketika beberapa ketua cabang dan badan koordinasi (badko) yang dianggap “keras” oleh PB HMI meminta saya untuk menengahi konflik mereka dengan PB HMI. Setelah segala upaya saya lakukan, akhirnya kedua pihak sepakat untuk bertemu di tempat tinggal saya di bilangan Cempaka Putih.[9] Tetapi, pada waktu yang telah disepakati, PB HMI bukan saja tidak datang, dihubungi melalui telepon pun tidak bisa; padahal teman-teman badko dan cabang yang dianggap “keras” itu telah menunggu sejak sebelum magrib. Dialog terhenti. Sejak itu, perpecahan HMI tinggal menunggu waktu.
Sampai sekarang saya masih menyesali gagalnya dialog itu. Saya berpikir, jika saja PB HMI di bawah Ketua Umum H. Harry Azhar Aziz ketika itu mewarisi keteguhan sikap dan kemauan berdialog seperti ditunjukkan Lafran Pane ketika “menghadapi” para aktivis HMI Yogyakarta, jalan sejarah HMI akan lain sama sekali.
Sejak hijrah ke Jakarta pada pertengahan 1985, praktis saya tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Lafran Pane. Satu-satunya kontak ialah ketika Lafran Pane mengirim telegram saat saya menikah. Almarhum mendoakan kebahagiaan saya sambil menyatakan penyesalan tidak dapat hadir. Meskipun demikian, sosok Lafran Pane dengan kepeloporan, keteguhan, dan kesederhanaannya tetap lekat dalam ingatan dan batin saya.
Dengan kepeloporan, keteguhan, dan kesederhanaan itulah Lafran mendirikan, memberi arah, dan membesarkan HMI yang oleh sebuah majalah terkemuka disebut sebagai organisasi pemasok pejabat.
Dan untuk semua jasanya itu, rasanya tidak ada alasan untuk menolak permintaan HMI agar Prof. Drs. H. Lafran Pane ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.[]            



[1] Sampai Lafran Pane wafat pada 1991 umum mencatat tahun kelahiran Lafran Pane ialah pada 1923.
[2]  Bertepatan dengan Rabu Pon, 14 Rabi’ul Awal 1366.
[3] Sesudah wafat baru diketahui sesungguhnya Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan pada 5 Februari 1922. Lihat Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya, Jakarta, Penerbit Lingkar, Cetakan Pertama, November 2010, halaman 40.
[4] Pada masa itu terdapat perbedaan tajam antara kalangan pergerakan Islam dengan kalangan nasionalis sehingga terkesan seakan-akan keduanya berada dalam dunia yang sama sekali berbeda.
[5] “Kalau Pak Lafran bersedia, kami semua akan mengundurkan diri dan mendukung Bapak,” tulis para calon rektor yang semuanya alumni HMI dalam sepucuk surat kepada Lafran Pane.
[6] Statement Lafran itu merujuk kepada tujuan HMI saat pertama kali didirikan, yaitu: “1. Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.”
[7] Kebetulan pada saat Kongres ke-15 itu, Menteri Pemuda dan Olahraga dijabat oleh dr. Abdul Gafur. Dalam kabinet sebelumnya (1978-1983), alumni HMI itu menjabat sebagai Menteri Muda Urusan Pemuda.
[8] Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta (1977-1978). Ketika rezim Orde Baru melalui Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Soedomo membekukan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa di seluruh Indonesia, bersama ratusan aktivis mahasiswa dan kaum cendekiawan, Said dijebloskan ke penjara. Dia dibebaskan enam bulan kemudian, tanpa proses pengadilan.
[9] Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur Pelaksana Majalah Kiblat, saya mendapat fasilitas tinggal di Wisma PHI Cempaka Putih, Jakarta.