Bung Karno:
“Dan Hendaknya Negara Indonesia Satu Negara yang ber-Tuhan!”
Oleh: Lukman Hakiem
Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi)
Di antara isu penting dalam proses pembentukan Negara Republik Indonesia
ialah mengenai hubungan agama dengan negara, yakni apakah urusan
agama harus terpisah dari, atau menyatu dengan urusan negara.
Ketika meresmikan Dokuritsu Zjunbi
Tjoosakai (Badan Penjelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), pada 1 Maret 1945, Kepala Pemerintahan Militer Jepang
di Indonesia (Saikoo Sikikan)
melemparkan pertanyaan kepada BPUPKI: “Filsafat apa yang
nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?” Menurut Saikoo Sikikan, mendirikan negara merdeka yang baru bukanlah usaha
yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak mempelajari, menyelidiki, dan
merencanakan dengan seksama dan teliti segala usaha untuk meneguhkan kekuatan
pembelaan, dan soal-soal yang menjadi dasar negara.
Terlepas dari maksud Jepang membentuk Badan ini, bagi kaum pergerakan,
pembentukan BPUPKI membawa rahmat tersembunyi, yakni terbukanya kesempatan untuk
mendiskusikan hal-hal mendasar mengenai masa depan negara yang akan dibentuk.
Dilupakan Sejarah
Menggunakan kesempatan emas itu, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki
Bagus Hadikusumo (1890-1954), dalam pidato di BPUPKI, 31 Mei 1945, menawarkan gagasan Islam sebagai
dasar negara. Bagi Ki Bagus, Islam layak menjadi dasar negara karena agama ini
membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan
yang menyala-nyala.
Dalam apresiasinya yang sangat tinggi terhadap gagasan Ki Bagus,
Ir. Soekarno (1901-1970) --yang dalam pidato 1 Juni 1945 sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus-- menawarkan dasar kebangsaan (nationale
staat) bagi Negara Indonesia yang akan dibentuk. Namun, Negara Indonesia yang berdasar kebangsaan itu pun, hendaknya bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendiri Partai Nasional Indonesia
(PNI) itu menekankan: “Dan hendaknya
Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”
Dengan gagasan yang berdekatan antara kedua tokoh tersebut, tidak
mengherankan jika Panitia Delapan --yang ditugasi oleh BPUPKI untuk menginventarisir usul mengenai dasar negara--
mencatat 7 usul mengenai dasar negara, dengan suara terbanyak menghendaki Ketuhanan (dengan
berbagai kombinasinya) sebagai dasar negara.
Maka, juga tidak mengejutkan jika
dalam rumusan Preambule Undang-Undang
Dasar (UUD)
hasil Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan)
tertanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal
sebagai Piagam Jakarta), Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati –dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan
suara sebulat-bulatnya.” menjadi sila
pertama dari Pancasila.
Penerimaan secara bulat itu, mustahil
dilepaskan dari pengaruh dan wibawa Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno. Pembentukan Panitia Sembilan sepenuhnya merupakan prakarsa pribadi Bung Karno, dan dia juga yang sungguh-sungguh “memasang badan” mempertahankan
rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 –yang disebutnya sebagai
kompromi antara golongan Islam dengan golongan Kebangsaan-- dari berbagai kritik dan keberatan anggota BPUPKI, termasuk dari Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H. Masjkur.
Inilah yang dilupakan orang saat
berbicara Piagam Jakarta. Muncul kesan seolah-olah Piagam Jakarta identik
dengan dan menjadi monopoli golongan Islam. Muncul juga kesan seolah-olah
golongan Kebangsaan anti-Piagam Jakarta. Padahal fakta
sejarah menunjukkan, dengan seluruh kemampuan dan wibawa yang dimilikinya, Bung
Karno meyakinkan semua fihak untuk menerima rumusan hasil Panitia Sembilan. “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah
Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,
pengorbanan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka
bisa lekas damai,” kata Bung Karno.
Peranan di Masa Kritis
Pada sore 17 Agustus 1945, Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengaku menerima
opsir Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di Indonesia
Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule
UUD. Opsir Angkatan Laut Jepang itu mengatakan, bagi rakyat di Indonesia
Timur, pilihan yang tersedia cuma dua: tidak ada klausul tujuh
kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta, atau mereka tidak ikut dalam Negara
Indonesia yang akan dibentuk.
Meskipun kalangan Indonesia Timur
terwakili dan aktif dalam perdebatan rumusan Preambule UUD itu, bagi Hatta, pesan dari Indonesia Timur itu
terasa sangat berat.
Keesokan harinya, Bung Hatta menyampaikan pesan dari
Indonesia Timur itu kepada eksponen Islam yang dalam hal ini diwakili oleh Ki
Bagus Hadikusumo. Tidak mudah meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule UUD. Bagi Ki Bagus, hasil rapat BPUPKI hanya dapat dibatalkan
oleh rapat BPUPKI. Bukan oleh yang lain.
Dalam situasi kritis itulah, Hatta
meminta Mr. KasmanSingodimedjo --anggota PPKI yang baru diangkat pada pagi hari 18 Agustus 1945--
untuk membujuk Ki Bagus. Kasman pun melobbi Ki
Bagus dengan
menggunakan bahasa Jawa halus.
Dilobbi oleh Kasman, Ki Bagus luluh.
Dia setuju anak kalimat dalam rancangan Preambule
UUD, “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus dan diganti
dengan anak kalimat “Yang Maha Esa.” Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak
kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule UUD dihapus, sehingga
penulisannya dalam Preambule UUD
menjadi: “…. Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.”
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tidak otomatis mewujud menjadi negara
yang merdeka dan berdaulat. Diperlukan waktu lima tahun, diselingi dengan
perang dan perundingan, sebelum akhirnya bangsa Indonesia benar-benar bebas
dari penjajahan fisik bangsa lain.
Pada masa itu, konstitusi negara pun
datang silih berganti. Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa tetap dipertahankan
sebagai dasar negara,
sebagai sila pertama dari Pancasila. Demikian di dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat, begitu pula di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut
Bung Hatta adalah fundamen moral. Dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita
untuk menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah
kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang
memimpin tadi. Dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat
menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke
jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Menurut Arnold Mononutu, seorang Nasrani dan tokoh PNI, “Pancasila
merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil. Ketuhanan Yang
Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang
Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis belaka.”
Atau seperti dikatakan oleh Perdana
Menteri Djuanda dalam jawaban resmi atas
pertanyaan K.H. A. Sjaichu, anggota DPR dari Partai NU, mengenai makna
konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959: “….kepada
perkataan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk
menjalankan syari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat diciptakan
perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan
syari’at Islam.”
Menghilangkan Dikotomi
Untuk menyegarkan kembali pemahaman
mengenai proses penemuan, perdebatan, dan penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pembukaan UUD 1945, penting dilakukan kajian ulang terhadap pemikiran tokoh-tokoh yang
terlibat di dalam proses tersebut sebagai ikhtiar memasyarakatkan dan
meneguhkan identitas NKRI sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dan untuk memberi makna yang lebih signifikan, maka terhadap tokoh-tokoh yang terlibat dalam
proses pembentukan negara dan perumusan konstitusi, negara perlu memberi penghargaan yang layak.
Jika kepada yang lain, negara
demikian murah hati memberi gelar pahlawan nasional, mengapakah negara tidak mau bersegera memberikan gelar pahlawan kepada para founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Tentu dengan
mempertimbangkan, misalnya, anggota BPUPKI dan PPKI yang telah berpindah
kewarganegaraan.
Dengan ikhtiar ini, di masa depan diharapkan
tidak akan muncul lagi dikotomi antara Golongan
Kebangsaan dan Golongan Islam, atau Kaum Nasionalis Sekuler dan Kaum Nasionalis
Islami, karena sejatinya seluruh bangsa Indonesia yang memahami agamanya dan Pancasila
secara utuh niscaya tidak pernah memiliki dilema antara dirinya sebagai umat
beragama dengan dirinya sebagai warga negara.
Bung Karno, Ki Bagus, dan para
pendiri negara --yaitu para pejuang yang merintis berdirinya Republik Indonesia sejak awal abad
XX sampai berdirinya Republik Indonesia, yang meneruskan perjuangannya secara
aktif untuk mendirikan Negara Proklamasi Republik Indonesia, ikut merumuskan
Pembukaan UUD 1945/Pancasila, ikut menyusun UUD 1945, dan secara terus menerus
ikut menjaga tegaknya Republik Indonesia selama Perang Kemerdekaan dari tahun
1945 sampai akhir 1949--
telah memberi teladan mengenai hal
ini.