Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

16 September 2012

Bung Karno:
“Dan Hendaknya Negara Indonesia Satu Negara yang ber-Tuhan!”
Oleh: Lukman Hakiem
Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi)

Di antara isu penting dalam proses pembentukan Negara Republik Indonesia ialah mengenai hubungan agama dengan negara, yakni apakah urusan agama harus  terpisah dari,  atau menyatu dengan urusan negara.
Ketika meresmikan Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penjelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), pada 1 Maret 1945, Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia (Saikoo Sikikan) melemparkan pertanyaan kepada BPUPKI: “Filsafat apa yang nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?” Menurut Saikoo Sikikan, mendirikan negara merdeka yang baru bukanlah usaha yang mudah, lebih-lebih lagi jika tidak mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan seksama dan teliti segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pembelaan, dan soal-soal yang menjadi dasar negara.
Terlepas dari maksud Jepang membentuk Badan ini, bagi kaum pergerakan, pembentukan BPUPKI membawa rahmat tersembunyi, yakni terbukanya kesempatan untuk mendiskusikan hal-hal mendasar mengenai masa depan negara yang akan dibentuk.
Dilupakan Sejarah
Menggunakan kesempatan emas itu, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954), dalam pidato di BPUPKI, 31 Mei 1945,  menawarkan gagasan Islam sebagai dasar negara. Bagi Ki Bagus, Islam layak menjadi dasar negara karena agama ini membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. 
Dalam apresiasinya yang sangat tinggi terhadap gagasan Ki Bagus, Ir. Soekarno (1901-1970) --yang dalam pidato 1 Juni 1945 sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus-- menawarkan dasar kebangsaan (nationale staat) bagi Negara Indonesia yang akan dibentuk. Namun, Negara Indonesia yang berdasar kebangsaan itu pun, hendaknya bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) itu menekankan: “Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”
Dengan gagasan yang berdekatan antara kedua tokoh tersebut, tidak mengherankan jika Panitia Delapan --yang ditugasi oleh BPUPKI untuk  menginventarisir usul mengenai dasar negara-- mencatat 7 usul mengenai dasar negara, dengan  suara terbanyak menghendaki Ketuhanan (dengan berbagai kombinasinya) sebagai dasar negara.
Maka, juga tidak mengejutkan jika dalam rumusan Preambule Undang-Undang Dasar (UUD) hasil Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan) tertanggal 22 Juni  1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya disepakati –dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—“dengan suara sebulat-bulatnya.”  menjadi sila pertama dari Pancasila.
Penerimaan secara bulat itu, mustahil dilepaskan dari pengaruh dan wibawa Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soekarno. Pembentukan Panitia Sembilan sepenuhnya merupakan prakarsa pribadi Bung Karno, dan dia juga yang sungguh-sungguh “memasang badan” mempertahankan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang disebutnya sebagai kompromi antara golongan Islam dengan golongan Kebangsaan-- dari berbagai kritik dan keberatan anggota BPUPKI, termasuk dari Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H. Masjkur.
Inilah yang dilupakan orang saat berbicara Piagam Jakarta. Muncul kesan seolah-olah Piagam Jakarta identik dengan dan menjadi monopoli golongan Islam. Muncul juga kesan seolah-olah golongan Kebangsaan anti-Piagam Jakarta. Padahal fakta sejarah menunjukkan, dengan seluruh kemampuan dan wibawa yang dimilikinya, Bung Karno meyakinkan semua fihak untuk menerima rumusan hasil Panitia Sembilan.  “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah Saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai,kata Bung Karno.
Peranan di Masa Kritis
Pada sore 17 Agustus 1945, Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengaku menerima opsir Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule UUD. Opsir Angkatan Laut Jepang itu mengatakan, bagi rakyat di Indonesia Timur, pilihan yang tersedia cuma dua: tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta, atau mereka tidak ikut dalam Negara Indonesia yang akan dibentuk.
Meskipun kalangan Indonesia Timur terwakili dan aktif dalam perdebatan rumusan Preambule UUD itu, bagi Hatta, pesan dari Indonesia Timur itu terasa sangat berat. Keesokan harinya, Bung Hatta menyampaikan pesan dari Indonesia Timur itu kepada eksponen Islam yang dalam hal ini diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo. Tidak mudah meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule UUD. Bagi Ki Bagus, hasil rapat BPUPKI hanya dapat dibatalkan oleh rapat BPUPKI. Bukan oleh yang lain.
Dalam situasi kritis itulah, Hatta meminta Mr. KasmanSingodimedjo  --anggota PPKI yang baru diangkat pada pagi hari 18 Agustus 1945-- untuk membujuk Ki Bagus. Kasman pun melobbi Ki Bagus dengan menggunakan bahasa Jawa halus.
Dilobbi oleh Kasman, Ki Bagus luluh. Dia setuju anak kalimat dalam rancangan Preambule UUD, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus dan diganti dengan anak kalimat Yang Maha Esa. Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat “menurut dasar” di dalam Preambule UUD dihapus, sehingga penulisannya dalam Preambule UUD menjadi: “…. Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.”
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tidak otomatis mewujud menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Diperlukan waktu lima tahun, diselingi dengan perang dan perundingan, sebelum akhirnya bangsa Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan fisik bangsa lain.
Pada masa itu, konstitusi negara pun datang silih berganti. Akan tetapi, Ketuhanan Yang Maha Esa tetap dipertahankan sebagai dasar negara, sebagai sila pertama dari Pancasila.  Demikian di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, begitu pula di dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Bung Hatta adalah fundamen moral.  Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Menurut Arnold Mononutu, seorang Nasrani dan tokoh PNI, “Pancasila merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil.    Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kami, pokok dan sumber dari sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu filsafat materialistis belaka.”
Atau seperti dikatakan oleh Perdana Menteri Djuanda dalam jawaban resmi atas  pertanyaan K.H. A. Sjaichu, anggota DPR dari Partai NU, mengenai makna konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959: “….kepada perkataan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya’ sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam.”
Menghilangkan Dikotomi
Untuk menyegarkan kembali pemahaman mengenai proses penemuan,  perdebatan, dan penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pembukaan UUD 1945, penting dilakukan kajian ulang terhadap pemikiran tokoh-tokoh yang terlibat di dalam proses tersebut sebagai ikhtiar memasyarakatkan dan meneguhkan identitas NKRI sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk memberi makna yang lebih signifikan, maka terhadap tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pembentukan negara dan perumusan konstitusi, negara perlu memberi penghargaan yang layak.
Jika kepada yang lain, negara demikian murah hati memberi gelar pahlawan nasional, mengapakah negara tidak mau bersegera memberikan gelar pahlawan kepada para founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Tentu dengan mempertimbangkan, misalnya, anggota BPUPKI dan PPKI yang telah berpindah kewarganegaraan.
  Dengan ikhtiar ini, di masa depan diharapkan tidak akan muncul lagi dikotomi antara Golongan Kebangsaan dan Golongan Islam, atau Kaum Nasionalis Sekuler dan Kaum Nasionalis Islami, karena sejatinya seluruh bangsa Indonesia yang memahami agamanya dan Pancasila secara utuh niscaya tidak pernah memiliki dilema antara dirinya sebagai umat beragama dengan dirinya sebagai warga negara.
Bung Karno, Ki Bagus, dan para pendiri negara --yaitu para pejuang yang merintis berdirinya Republik Indonesia sejak awal abad XX sampai berdirinya Republik Indonesia, yang meneruskan perjuangannya secara aktif untuk mendirikan Negara Proklamasi Republik Indonesia, ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945/Pancasila, ikut menyusun UUD 1945, dan secara terus menerus ikut menjaga tegaknya Republik Indonesia selama Perang Kemerdekaan dari tahun 1945 sampai akhir 1949-- telah memberi teladan mengenai hal ini.