Sepatah Kata Dari Saya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya. Blog ini ditujukan sebagai sarana komunikasi antara saya dan ummat. Mudah-mudahan blog ini dapat bermanfaat bagi anda. Saya harap, anda berkenan memberikan kritik dan masukan anda ke email lukman.hakiem@yahoo.co.id . Kritik dan masukan anda sangat berarti bagi saya dalam mengabdi dan melayani ummat, demi melanjutkan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Kegiatan Saya

Lukman_Hakiem's Profile Pictures album on Photobucket

24 September 2008

M. Natsir, PRRI dan Masjumi


Oleh Lukman Hakiem
Sekretaris Umum Panitia Seabad M. Natsir

Perkembangan politik di tanah air sejak Presiden Soekarno mencanangkan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin, berubah pesat. Kalangan politisi dan militer di daerah yang tidak menyetujui konsepsi tersebut lantaran mengikutsertakan kaum komunis anti-Tuhan, bersekutu dalam sebuah gerakan yang kemudian melahirkan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Partai Masjumi sendiri menyatakan, baik pembentukan Kabinet Karya di mana Presiden Soekarno menunjuk Ir. Soekarno sebagai warga Negara menjadi formatur kabinet, maupun PRRI sama-sama tidak konstitusional.
Sikap Masjumi yang sangat tegas itu rupanya tidak cukup memuaskan selera politik rezim Soekarno yang mendesak supaya Masjumi mengutuk anggota-anggotanya yang terlibat di dalam PRRI. Desakan tersebut tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Masjumi yang selalu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang konstitusi. “Tidak menjadi kebiasaan Masjumi untuk kutuk mengutuk”, ujar Anwar Harjono sambil menambahkan, “Sejak itu Masjumi ditempatkan dalam posisi yang sangat sulit.”
Sejak saat-saat genting menjelang proklamasi PRRI, pimpinan partai Masjumi telah menjalankan berbagai usaha, baik sendiri maupun bersama partai-partai lainnya, dengan sepengetahuan pemerintah, guna mencegah proklamasi PRRI.
Pada tanggal 15 Februari 1958, pukul 15.00 dikirimlah kawat kepada Ketua Dewan Perjuangan, Letkol Ahmad Husein di Padang sebagai berikut:
“Sebagai hasil pertemuan partai-partai PNI, Masjumi, NU, Katolik, PSSI, dan PRI pada hari Sabtu tanggal 15 Februari 1958 jam 14.00 maka kami mengharap supaya Saudara jangan bertindak apa-apa lebih dulu. Kami sedang berusaha supaya DPR menjadi perantara untuk mencari jalan penyelesaian.”

Kawat yang dikirim melalui radiogram itu ditandatangani bersama oleh Suwirjo dan Manuaba (PNI), Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo dan Anwar Harjono (Masjumi), Imron Rosjadi, K.H.M. Dachlan, K.H. Masjkur, dan A. A. Tanamas (NU), Anwar Tjokroaminoto dan Harsono Tjokroaminoto (PSSI), serta Sutomo alias Bung Tomo (PRI).
Sebelumnya, melalui statemen No.1102/Sek-PP/1/M.VIII/58 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua I (Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo), dan Sekretaris Umum (M. Yunan Nasution), Pimpinan Partai Masjumi menyatakan sikapnya sebagai berikut:
1. Masjumi merasa berterima kasih dapat kesempatan yang baik untuk bertukar pikiran dengan instansi-instansi di pusat yang bertanggung jawab baik sipil maupun militer dan mengkonstatir bahwa ada terdapat pengertian di dalam menilai keadaan dewasa ini.

2. Masjumi bersyukur mendapatkan kesan-kesan yang kuat, bahwa politik yang dijalankannya selama ini dapat dimengerti oleh daerah-daerah yang sedang bergolak.

3. Dengan menegaskan sekali lagi dasar-dasar politiknya selama ini, yaitu:
a. Mengembalikan kedudukan Undang-Undang Dasar
b. Mengembalikan ketertiban hukum demokrasi.
c. Menjaga jangan sampai daerah-daerah melepaskan dirinya dari Ikatan Keutuhan Negara Republik Indonesia.
d. Meyakinkan bahwa kekerasan senjata tidak akan membawa penyelesaian.

Maka Pimpinan Partai Masjumi terus menerus berusaha untuk menemui satu jalan yang dapat ditempuh bersama oleh pusat dan daerah untuk menyelamatkan Negara, dan dalam taraf sekarang ini, mengajak dengan sungguh-sungguh kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk segera mengambil langkah bersama yang nyata untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi.

Sebagai tindak lanjut dari statemen tertanggal 23 Januari 1958 itu, Masjumi melakukan kontak-kontak intensif dengan Pejabat Presiden, Mr. Sartono; Perdana Menteri, Ir.H. Djuanda; Wakil Perdana Menteri, Mr. Wardi dan K.H. Idham Chalid; KASAD, Jenderal A.H. Nasution; bekas Wakil Presiden, Mohammad Hatta; dan tokoh-tokoh politik seperti Suwirjo (PNI), K.H.M. Dachlan (NU), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Mr. A.M. Tambunan (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain. Kontak-kontak yang sangat luas itu dilakukan oleh Soekiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, K.H. Faqih Usman, Mr. Mohammad Roem, Z. A. Ahmad, dan lain-lain.
Dalam pada itu, kontak ke Sumatera pun dilakukan. Pada tanggal 25 Januari 1958 kontak itu dilakukan oleh Roem. Pada tanggal 1 Februari 1958, Masjumi mengutus Prawoto, Faqih Usman, dan Roem, untuk berbicara dengan tokoh-tokoh pergolakan daerah di Sumatera.
Usaha-usaha Masjumi itu dihargai baik oleh PM Djuanda melalui pidatonya di DPR, maupun oleh Presiden Soekarno yang diucapkannya pada serah terima jabatan dari Pejabat Presiden Mr. Sartono kepada Presiden Soekarno sekembalinya Bung Karno dari Perlawatan ke luar negeri.

Sesudah Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum pada tanggal 10 Februari 1958, Masjumi mengeluarkan statemen No. 1125/Sek.PP/1/M.VIII/1958 tertanggal 13 Februari 1958, ditandatangani Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Dalam statemen tersebut, Masjumi menegaskan sikapnya antara lain:
4. Dengan menginsyafi sesungguhnya bahaya besar yang sedang mengancam Negara, maka dengan sekuat tenaga diusahakan untuk mempertemukan pendirian-pendirian yang ada di pusat dan daerah.

5. Dengan tidak mengecilkan sedikitpun gentingnya keadaan sesudah keluarnya ultimatum Achmad Husein dan dikeluarkannya keputusan Kabinet tentang pemecatan perwira-perwira yang bersangkutan, Pimpinan Partai Masjumi tidak berpendapat ‘telah terjadi sesuatu yang tidak dapat dipulihkan lagi’.

6. Jalan yang harus ditempuh ialah bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat maupun oleh daerah.

7. Pimpinan Partai Masjumi berpendapat bahwa di dalam usaha tersebut di atas, Bung Hatta dapat mengambil peranan yang sangat penting.

8. Untuk mengatasi kegentingan Negara dewasa ini, Masjumi mengharap dengan sebesar-besarnya pengharapan, supaya Presiden menghadapinya dengan pertimbangan menyelamatkan Negara dan bangsa semata-mata.

9. Pimpinan Partai Masjumi mengajak kepada seluruh rakyat supaya mendoakan semoga Presiden mendapatkan PIMPINAN dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala untuk dapat mengambil keputusan yang benar dan dengan demikian menghindarkan Negara dan Bangsa dari malapetaka.


Ketika pada akhirnya PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958, Masjumi kembali mengeluarkan statemen No.1130/Sek.PP/I/M.VIII/1958 tertanggal 17 Februari 1958, ditandatangani oleh Wakil Ketua I, Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo; dan Sekretaris Umum, M. Yunan Nasution.
Bagi Masjumi, “…pembentukan ‘Pemerintah Revolusioner’ itu adalah inkonstitusioneel.” Dalam pada itu, Masjumi pun menegaskan kembali pendiriannya yang sudah dikemukakan di forum DPR, “bahwa pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusioneel.” Selanjutnya, Masjumi menegaskan:
5. Adalah keyakinan Pimpinan Partai Masjumi, bahwa dengan sekuat tenaga harus dirintis setindak demi setindak jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar Sementara, landasan kita hidup bernegara, sebelum Konstituante selesai dengan Undang-Undang Dasar yang tetap.

6. Betapapun sulitnya keadaan, harus menjadi keinsyafan kita bersama, bahwa persoalan sekarang ini adalah persoalan bangsa Indonesia sendiri, dan tiap-tiap campur tangan dari pihak luar harus ditolak.

7. Dalam mencari penyelesaian tanpa kekerasan ini, pulihnya kerja sama Soekarno-Hatta dalam Pemerintahan merupakan syarat mutlak.

8. Pada tempatnya dinyatakan penghargaan atas pidato yang diucapkan Presiden pada upacara penyambutan kedatangan kembali beliau di tanah air, yang memberi harapan baik tentang penyelesaian kesulitan yang dihadapi oleh Negara secara bijaksana.

9. Akhirnya sekali lagi kami mengajak kepada seluruh rakyat untuk berdoa mudah-mudahan Alah subhanahu wa ta’ala memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada Presiden dan Bung Hatta untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang tepat guna keselamatan Negara dan bangsa.

Di tengah keprihatinan bersama menghadapi pergolakan daerah, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1959 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1959. Sehubungan dengan keluarnya Penpres tersebut, pemerintah mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Masjumi:
“Apakah Masjumi terkena atau tidak dengan ketentuan-ketentuan Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959, terutama pasal 9 yang berbunyi:
“Presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan Partai yang:
1. Bertentangan dengan asas dan tujuan Negara.
2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan Negara
3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan jelas menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya.
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini”.

Pada tanggal 28 Juli 1960, Ketua Umum dan Sekretaris Umum Masjumi, Prawoto mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, memenuhi undangan Presiden Soekarno di Istana Merdeka untuk memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menjawab pertanyaan: “Apakah asas dan tujuan Masjumi bertentangan dengan asas dan tujuan Negara?” Prawoto dan Yunan dengan tegas menjawab: “Tidak!” Mereka kemudian membandingkan asas dan tujuan Negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) dengan asas tujuan Masjumi seperti termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 Anggaran dasar Masjumi. “Dengan tidak mengajukan keterangan yang panjang lebar, kami dapat mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa asas ISLAM dan tujuan partai tersebut di atas, tidak bertentangan dengan asas dan tujuan Negara, karena apa yang disebut sebagai asas dan tujuan di dalam Pembukaan, adalah termasuk dalam pelajaran Islam dan menjadi pelajaran yang fundamentil,” jawab kedua tokoh Masjumi itu.

Pertanyaan: “Apakah program Masjumi, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara?”, dijawab tegas: “Tidak!” Bagi Masjumi, tidak mungkin program Masjumi baik berjangka panjang maupun yang berjangka pendek, bermaksud merombak asas dan tujuan Negara. Sebab, dalam pandangan Masjumi, sesuatu program yang bermaksud merombak asas dan tujuan Negara akan bertentangan dengan asas dan tujuan partai sendiri.
Pertanyaan ketiga: “Apakah Masjumi satu partai yang sedang melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan-perbuatan anggotanya?”, juga dijawab tegas: “Tidak!”.
Penpres No.7 Tahun 1959 ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1959, sedangkan Pimpinan Pusat Partai Masjumi yang ditetapkan oleh Muktamar IX, 23-27 April 1959 di Yogyakarta adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosandjojo
Wakil Ketua II : K. H. Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Muhammad Roem
Sekretaris Umum : M. Yunan Nasution
Anggota : Mr. Kasman Singodimedjo
Anggota : Anwar Harjono
Anggota : K. H. Taufiqurrahman
Anggota : A. R. Baswedan
Anggota : Ardiwinangun
Anggota : H. Hasan Basri
Anggota : Osman Raliby
Anggota : Sindian Djajadiningrat, SH
Anggota : Sholeh Iskandar
Anggota : K.H. Achmad Azhary
Anggota : Ny. Sunarjo Mangunpuspito
Anggota : Ny. Sjamsuridjal

“Tidak ada pemimpin yang tersebut dalam daftar itu yang turut dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan,” ujar kedua tokoh Masjumi itu sambil menambahkan bahwa mulai September 1958 Masjumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pemberontakan, yaitu di Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam Muktamar IX tidak ada lagi utusan dari daerah-daerah tersebut di atas, juga dalam kepengurusan sesudah Muktamar IX tidak diadakan perwakilan di daerah-daerah yang bergolak itu. “Dengan demikian, maka pada tanggal 31 Desember 1959 tidak ada pemimpin-pemimpin Masjumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan. Statemen pimpinan Partai Masjumi tertanggal 17 Februari 1958 No. 1130/Sek.PP/I/M.VIII/58 telah mencakup menyalahkan pemberotakan itu itu pada keseluruhannya.”
Sedang pertanyaan keempat: “Apakah Masjumi tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959?” tidak dapat dijawab. “Karena syarat-syarat lain yang dimaksud di dalam Penpres No.7 Tahun 1959 (pasal 9 ayat 1 angka 4) tidak ada, sudah tentu belum bisa mendahului memberikan jawabannya”, ujar Prawoto dan Nasution menjawab pertanyaan tertulis dari pemerintah.
Akan tetapi, meskipun telah begitu gamblang sikap Masjumi terhadap pergolakan daerah, Presiden Soekarno tetap pada pendirian bahwa Masjumi mau merobohkan Negara!
Dalam pidato 17 Agustus 1960, Soekarno antara lain berkata:
“Mengenai retooling kepartaian, Saudara-saudara mengetahui bahwa Penetapan Presiden No. 7/1959 dan Peraturan Presiden No. 13/1960 sudah berjalan. Penetapan Presiden No. 7 dan Peraturan Presiden itu pada pokoknya tegas-tegas memberi hak hidup (dengan tentunya syarat-syarat mengenai organisasi dan sebagainya) kepada partai-partai yang ber-USDEK, dan melarang partai-partai yang kontra-revolusioner. Ini bukan diktatur, ini bukan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang! Ini adalah pelaksanaan daripada satu universal principle, satu prinsip umum di negeri manapun juga, bahwa dari Penguasa yang memegang kekuasaan Negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada kekuatan-kekuatan yang mau merobohkan Negara. Ketambahan lagi, berdasarkan moral revolusioner dan moralnya Revolusi, maka Penguasa wajib membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing ataupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya Revolusi.
“Berdasarkan hal-hak ini, saya beritahukan sekarang kepada rakyat, bahwa saya sebagai Presiden Republik Indonesia, sesudah mendengar pendapat Mahkamah Agung, beberapa hari yang lalu telah memerintahkan bubarnya Masjumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia)! Jikalau satu bulan sesudah perintah ini diberikan, Masjumi dan PSI belum dibubarkan, maka Masjumi dan PSI adalah partai-partai yang terlarang!”
Palu godam pun jatuh. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 tahun 1960, partai Politik Masjumi diperintahkan membubarkan diri atau kalau tidak, Masjumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Ketika Kepres No. 200/1960 itu keluar, pimpinan Partai Masjumi segera merundingkan bagaimana baiknya. “Almarhum Pak Prawoto Mangkusasmito bukan saja memusyawarahkannya dengan kita yang di pucuk pimpinan partai, tetapi juga memanggil teman-teman dari berbagai daerah untuk dimintai pertimbangan bagaimana sebaiknya mengatasi keadaan,” kenang Harjono mengenai saat-saat paling suram dalam kehidupan partai Masjumi.
Menurut Harjono kalau Kepres No.200/1960 itu didiamkan begitu saja, resikonya sangat besar. Masjumi akan menjadi partai terlarang. Para pengurus dan aktivisnya mulai dari ranting sampai pusat, mungkin sekali akan ditangkapi, dan harta kekayaan partai tidak mustahil akan dirampas. “Jangan lupa, “kata Harjono, “Perintah pembubaran Mayumi itu sesungguhnya merupakan antiklimaks dari klimaks dipriklamasikannya PRRI di Sumatera. Jadi, proses perintah pembubaran Masjumi itu berlangsung lama dan sistematis.”
Masjumi akhirnya memang memenuhi perintah Kepres No. 200/1960. Akan tetapi, seraya memenuhi permintaan tersebut, Masjumi pun mengadukan perbuatan pemerintah itu ke pengadilan. “Secara politis kita memang dikalahkan, tetapi hati nurani hukum kita tetap tidak bisa membenarkan,” ujar Harjono. Maka ditunjuklah Mr. Mohamad Roem sebagai kuasa hukum Masjumi untuk menggugat pemerintah di pengadilan.
Pengadilan ternyata tidak mampu memutuskan benar atau tidaknya tindakan pemerintah mengeluarkan Kepres No.200/1960 itu. Pengadilan mengganggap pihaknya tidak berwenang mengadili perkara Masjumi melawan pemerintah, karena perintah pembubaran Masjumi merupakan kebijaksanaan politik. Perkara itupun terkatung-katung nasibnya, sampai hari ini.

Catatan Editor Berdamai Dengan Sejarah

Tahun 2008 ini, meminjam Prof. Taufik Abdullah, adalah tahun seratusan. Ada seratus tahun Kebangkitan Nasional, ada seratus tahun Sutan Takdir Alisyahbana, ada seratus tahun Sutan Sjahrir, ada seratus tahun Mohamad Roem, ada seratus tahun Buya HAMKA, ada seratus tahun M. Natsir. Mungkin masih ada seratus tahun yang lain.
Bukan latah jika setahun lalu sejumlah eksponen yang merasa memiliki keterikatan ideologis dengan Pak Natsir, bersepakat untuk membentuk Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya.
Pemilihan nama resmi kepanitiaan didiskusikan dengan hati-hati, terutama karena para eksponen tidak ingin terjebak dalam bid’ah mengultuskan Pak Natsir. Dari nama kepanitiaan, tersurat dan tersirat, para eksponen ingin menjadikan momentum seabad M. Natsir untuk melakukan refleksi terhadap pemikiran dan perjuangan Almarhum.
Dalam kaitan dengan refleksi itulah, Panitia telah melakukan serangkaian diskusi tentang pemikiran dan perjuangan M. Natsir yang dilaksanakan terutama di kampus-kampus perguruan tinggi yang pembentukannya turut diprakarsai oleh Pak Natsir.
Rangkaian seminar dimulai dengan “Deklarasi Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir” pada 15 November 2007 di gedung Mahkamah Konstitusi. “Membedah Pemikiran Pendidikan M. Natsir” di Universitas Islam Bandung dengan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo sebagai Pembicara Kunci. Seminar berikutnya “Mengkaji Politik Dakwah M. Nasir” di Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Drs. A.M. Fatwa sebagai Pembicara Kunci. Seminar selanjutnya “Membedah Pemikiran Politik M. Natsir” diselenggarakan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Pembicara Kunci. Seminar keempat dengan tema “Mengungkap Fakta di Balik Peristiwa PRRI” diselenggarakan di Universitas Islam Riau di Pekanbaru. Seminar Keempat “Mengkaji Pemikiran dan Gerakan Dakwah M. Natsir” diselenggarakan di Universitas Muslim Indonesia Makasar dengan Menteri Agama Maftuh Basuni sebagai Pembicara Kunci. Seminar kelima “Refleksi 58 Tahun Mosi Integral: Merawat NKRI Menghempang Potensi Disintegrasi Bangsa” diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Rangkaian semminar tersebut berlangsung sejak Februari sampai Juli 2008.
Puncak rangkaian seminar, diselenggarakan pada 15 Juli 2008 di gedung Mahkamah Konstitusi RI berupa Diskusi Ahli bertajuk “Kedudukan M. Natsir dalam Sejarah NKRI” menghadirkan para panelis Prof. Dr. Anhar Gonggong, Prof. Dr. Burhan D. Magenda, Sabam Sirait, Prof. A. Malik Fajar, M.Sc, dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dengan moderator Prof. Dr. Taufik Abdullah. Makalah dan proses Diskusi Ahli ini insya Allah akan diterbitkan dalam buku tersendiri.
Sebagian besar makalah dari rangkaian seminar Februari-Juli 2008 itu kini terkumpul dalam buku ini. Sebagian lain berasal dari seminar bertajuk “M. Natsir Penyelamat NKRI” di Padang, 11 Agustus 2007. Sebagian lain lagi berasal dari tulisan yang khusus dipersiapkan untuk buku ini atas permintaan Panitia, juga dari wawancara yang kemudian diturunkan dalam bentuk tulisan.
Dalam hubungan ini, saya ingin mengenang dan memberi penghormatan ikhlas kepada Almarhum H. Ali Sadikin dan Almarhum Prof. Dr. Deliar Noer. Kedua tokoh ini, ketika diminta partisipasinya untuk penerbitan buku ini, menyahut dengan sangat antusias. Mereka menolak diwawancarai, karena akan menyiapkan sendiri tulisannya. Manusia punya rencana, Allah juga yang menentukan. Keduanya berpulang ke haribaan-Nya sebelum sempat menulis kenangannya terhadap Pak Natsir. Allahummaghfirlahuma warhamhuma....
Sebagai Sekretaris Panitia yang dibebani tanggungjawab atas penerbitan kumpulan tulisan ini dan karena itu pula sekaligus menyuntingnya, saya tidak melakukan penyuntingan yang “signifikan”. Saya sekadar melakukan penataan terhadap puluhan naskah para pakar yang telah terkumpul dalam bentuk sistematika agar kumpulan tulisan lebih tampak sebagai buku dan nyaman dibaca.
Terima kasih kepada semua yang telah berpartisipasi dalam kegiatan Refleksi Seabad M. Natsir, menulis makalah, menyumbang tulisan, dan kesediaan diwawancara. Terima kasih dan penghargaan khusus, saya sampaikan kepada Sdr. Agus Lenon dan Sdr. Yosep yang telah bekerja keras menghubungi untuk meminta tulisan, mewawancarai dan mentranskrip hasil wawancara dengan sejumlah tokoh untuk buku ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Usman Ali, Sdr. Aep Syaepullah, dan Sdri. Nurjannah yang telah turut sibuk mengetik ulang beberapa naskah.
Terima kasih dan penghargaan harus disampaikan kepada harian Republika yang telah membangun suasana Seabad M. Natsir dengan memuat serial tulisan M. Natsir. Last but no least, terima kasih kepada seluruh jajaran penerbit Republika yang telah memungkinkan buku ini terbit.
Banyak hal yang dapat dipetik dari Pak Natsir. Pemikirannya yang tajam dan melintasi zaman, sikapnya yang istiqamah dalam perjuangan, gaya hidupnya yang sederhana, cara berpolitiknya yang santun, dan berbagai hal yang kini makin langka. Di tengah menguatnya arus pragmatisme politik yang serbaboleh, warisan keteladanan itu penting untuk terus direaktualisasi.
Jika sampai hari ini, negara masih terlihat enggan memberi penghargaan yang layak kepada Pak Natsir, pertanyaan harus kita hunjamkan: belum tibakah saatnya untuk berdamai dengan sejarah?

Jakarta, Agustus 2008
Lukman Hakiem

22 September 2008

Bachtiar Imbau PPP Tetapkan Prioritas Caleg


Written by Bachtiar Chamsyah
Thursday, 18 September 2008

JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) harus menentukan kriteria dan skala prioritas mengenai siapa yang berhak duduk di DPR.Menurut Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Bachtiar Hamsyah, penentuan kriteria dan skala prioritas tersebut menanggapi adanya pihak yang tidak puas dan merasakan ketidak adilan di PPP."Skala prioritasnya yakni pengurus DPP yang pertama, lalu orang-orang terkenal, dan seterusnya. Nah, saya lihat, DPP tidak melakukan itu," kata Bachtiar.


Bachtiar juga mengatakan pihaknya telah mengimbau Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tentang hal tersebut, namun tampaknya imbauan tersebut kurang digubris."Saya sudah ingatkan kepada Suryadarma, agar kita harus hati-hati karena DPP kurang berhati-hati dalam beberapa hal. Dalam parpol manapun, soal pencalonan itu kritis," katanya.


Lebih lanjut dia mengatakan, jika kriteria orang yang masuk tersebut diumumkan dan dijelaskan, maka tidak akan terjadi keributan, dan praktek jual beli pun dapat terhindarkan.Namun jika tetap terjadi praktek jual beli kursi legislatif partai, siapapun yang melakukan, tak terbatas ketua, sanksi yang tepat adalah pemecatan."Karena seorang ketua harus jadi contoh, dan menyampaikan yang bukan kepentingan pribadi," ungkapnya. (rgi)

17 September 2008

Komisi X Dukung Bantuan Khusus Pendidikan Untuk Anak PNS dan TNI/Polri


Tanggal : 21 Aug 2008
Sumber : dpr.go.id








Komisi X DPR RI mendukung rencana Pemerintah memberikan bantuan khusus bagi anak Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan I dan II serta anak Tamtama TNI/Polri dengan beberapa persyaratan.
Hal tersebut terungkap saat Komisi X DPR melakukan Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/8).
”Kami sangat mendukung rencana tersebut, namun syaratnya harus tetap berkelanjutan dan berkesinambungan, jadi tidak hanya ada di tahun ini saja,” kata Pimpinan rapat yang juga Ketua Komisi X Irwan Pryitno (F-PKS) .
Lebih lanjut ia menambahkan, pemerintah perlu melakukan pendataan yang jelas bagi penerimanya, ”Jadi tidak hanya nama atau pun bukti saja, perlu ada kriteria yang jelas bagi si penerima,” kata Irwan.
Komisi X juga meminta bantuan tersebut tidak hanya diberikan kepada keluarga PNS dan TNI/Polri saja, tapi juga diberikan untuk seluruh masyarakat kurang mampu. ”Ini agar ada unsur keadilan, karena banyak juga masyarakat kita di luar kelompok itu yang tidak mampu,” tegas Irwan.
Mengenai jumlah penerima untuk tingkatan mahasiswa, Komisi X meminta pemerintah tidak membatasi jumlah penerima bantuan kepada mahasiswa PTN saja. ”Bantuan ini perlu juga diberikan kepada mahasiswa kurang mampu yang ada di PTS,” tegas Irwan.
Menanggapi hal tersebut, Mendiknas menyambut baik usulan anggota Komisi X. Menurutnya, program ini bertujuan untuk tetap mempertahankan mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi dapat tetap belajar di Perguruan Tinggi meski dengan kondisi beban biaya hidup yang meningkat akibat kenaikan harga BBM.
Mendiknas menjelaskan, dasar dari pengalokasian tersebut jika dihitung dengan rata-rata satu semester akan berjalan sekitar 5 bulan, dan untuk keperluan biaya tambahan sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM yang berpengaruh terhadap keperluan sehari-hari sekitar Rp. 100.000 perbulan, maka besaran bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) adalah sebesar Rp. 500.000/orang tiap semester.
Mendiknas mengungkapkan jumlah PNS Gol 1 & II serta Tamtama TNI/Polri yang akan mendapatkan bantuan diperkirakan sebesar 1.392.349 orang. Dengan perkiraan jumlah anak PNS Gol I & II serta Tamtama TNI/Polri usia sekolah adalah 1.670.819 orang.
Dengan demikian, lanjut Menteri, terdapat dua alternatif perkiraan kebutuhan anggaran bantuan pendidikan bagi anak PNS Gol I & II serta Tamtama TNI/Polri, yaitu alternatif I, berdasarkan Biaya Satuan Bantuan = Besiswa Siswa Miskin dengan total sebesar 1,05 Triliyun rupiah. Alternatif II berdasarkan Biaya Satuan Bantuan = BOS/Bantuan Khusus Murid) dengan total kebutuhan anggaran sebesar 788 Milyar rupiah.
Mengomentari penjelasan tersebut Lukman Hakiem (F-PPP) mengkhawatirkan program ini dijadikan sebagai alat untuk menjinakkan mahasiswa menjelang pemilu. “Kalau tidak berkesinambungan lebih baik tidak usah,” tandas Lukman.
Selain itu, kata Lukman, program ini juga menimbulkan urnsur ketidakadilan bila bantuan ini hanya untuk kelompok masyarakat tertentu saja, tanpa melibatkan masyarkat umum yang tidak mampu.
”Ini terjadi ketidakadilan untuk masyarakat umum, anak PNS dan TNI/POLRI selain dapat BOS juga dapat bantuan ini. Kalau ini yang terjadi lebih baik tidak perlu adanya anggaran ini”, tegas Lukman.
Menjawab pernyataan tersebut Mendiknas menjelaskan bahwa program ini dilakukan semata-mata untuk meredam syok masyarakat akibat dampak kenaikan BBM bukan untuk meredam mahasiswa menjelang pemilu.
“Bantuan ini untuk meredam syok ekonomi yang terjadi, karena itu cukup tiga semester saja,” ujar Mendiknas menjawab tidak berkelanjutannya program ini.
Mendiknas menjelaskan sumber pendanaan program bantuan khusus bagi pendidikan ini bukan berasal dari alokasi dana Depdiknas. “Mestinya sumber pendanaannya ada tambahan platfon dari Menteri keuangan, bukan menata ulang proses APBN dan APBNP yang sudah kita selesaikan. Kalau sumbernya dari itu, nanti penyerapan anggaran menjadi sangat sulit.,” jelas Menteri Bambang. (wd)

07 September 2008

AR Baswedan Yang Saya Kenal

Teladan Abdul Rahman Baswedan
(1908-1986)
Oleh Lukman Hakiem
Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Saya mulai kenal dengan Pak Abdul Rahman (AR) Baswedan --yang pada September ini kita kenang 100 tahun kelahirannya-- saat menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta dan makin intens ketika saya menjadi Ketua Umum (1983-1984). Kebetulan kantor HMI Yogya di Jalan Dagen dengan rumah Pak Bas (begitu saya memanggil Pak AR Baswedan) di Taman Yuwono, dekat jaraknya.
Saya mencatat, paling sedikit, tiga teladan Pak Bas yang patut diteladani. Pertama, kecintaannya kepada Republik Indonesia. Di paruh kedua abad XX, Pak Bas mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Menurutnya, sebelum kemerdekaan, tidak ada masyarakat atau bangsa Indonesia. Yang ada ialah masyarakat Hindia Belanda yang terdiri atas golongan Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera. Ketika ditanya pekerjaannya oleh hakim pengadilan di zaman Belanda, Baswedan muda menjawab: “Ketua Partai Arab Indonesia.” Jawaban tegas itu disergah oleh hakim: “Apa itu Indonesia? Tidak ada Indonesia.” Padahal hakim tersebut seorang bumiputera, bukan warga keturunan.
Ketika mendirikan PAI, Baswedan dan kawan-kawan mengakui adanya Indonesia di dalam idea dan di dalam pengakuan adanya nasionalisme Indonesia. Dengan menegaskan Indonesia di dalam nama partainya, Baswedan dan kawan-kawan ingin menghapus kekeliruan yang berkembang atau dikembangkan sejak zaman Belanda, yaitu anggapan kaum nasionalis bahwa kaum Islam itu tidak nasionalis. Dengan menggandengkan kata Arab dan kata Indonesia pada nama partainya, Baswedan hendak menegaskan bahwa orang-orang Arab yang identik dengan Islam itu adalah Indonesia. Bagi Baswedan, warga keturunan Arab secara de facto telah menjadi Indonesia sejak PAI diterima dalam Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).
Belakangan tokoh-tokoh PAI menyebar di berbagai partai. Pak Bas di Masjumi, Hamid Algadri di Partai Sosialis yang dipimpin Sutan Sjahrir. Ketika Baswedan bergabung ke Masjumi, masih saja ada orang bertanya mengapa Baswedan yang nasionalis bergabung ke partai Islam? Padahal menurut Baswedan, sejak semula dan sampai kapan pun dia adalah nasionalis. Hanya saja nasionalismenya berlandaskan ajaran Islam. Sarekat Islam yang di zaman penjajahan Belanda memelopori politik non co, adalah juga nasionalis.
Pak Bas sangat bangga dengan Indonesia. Oleh karena itu Pak Bas sangat marah jika dalam mengurus sesuatu diminta menunjukkan surat keterangan kewarganegaraan Republik Indonesia. Bukan karena di awal kemerdekaan dia pernah menjadi Menteri Muda Penerangan dan berbulan-bulan berjuang di Mesir untuk memperoleh pengakuan atas kedaulatan RI dari negara-negara Timur Tengah, melainkan karena Pak Bas sudah merasa sangat Indonesia. Pak Bas marah jika lantaran hidung yang mancung atau mata yang sipit, seseorang dicurigai keindonesiaannya.
Suatu hari, Pak Bas menyampaikan kegundahannya karena di berbagai buku sejarah selalu ditulis Natipij (organisasi kepanduan Jong Islamieten Bond --JIB) adalah kepanjangan dari Nationale Islamietisch Padvindrej padahal menurutnya yang benar adalah Nationale Indonesia Padvindrej, Kepanduan Nasional Indonesia, bukan Kepanduan Nasional Islam. Bagi Pak Bas, kesalahan ini bukan soal sederhana, karena di dalam kesalahan itu lagi-lagi terkandung pandangan stereotype bahwa segala yang berbau Islam itu tidak nasionalis.
Dalam rangka ini, sangat bisa difahami kegelisahan Pak Bas ketika pernikahan salah seorang cucunya dengan seorang Jawa disebut sebagai bagian dari pembauran. Pak Bas memang bangga dengan pernikahan itu dan menyerahkan foto pernikahan cucunya itu kepada saya untuk dimuat di media tempat saya bekerja paruh waktu, akan tetapi dia menolak jika disebut pernikahan itu sebagai bagian dari pembauran.
Menurut Baswedan, ada kekacauan pikiran pada anggapan perkawinan adalah pembauran total. Dia menolak pikiran semacam itu, sebab Baswedan menganggap Indonesia dan nasionalisme adalah pemikiran politis yang kemudian berkembang menjadi kultural. Soal-soal politis dan kultural tidak ada hubungannya dengan soal fisik seperti perkawinan.
Kedua, kesukaannya (bukan sekadar kebiasaan) bersilaturrahmi dengan mengunjungi siapa saja: tua, muda, Muslim, non-Muslim, jurnalis, seniman, dan lain sebagainya. Setiap pagi, sambil jogging Pak Bas menyambangi kawan-kawannya. Hari ini menyambangi tokoh Muhammadiyah Djarnawi Hadikusumo atau Mohammad Djazman Al-Kindi di Kauman, besok mengunjungi Romo Mangun di lembah kali Code atau Romo Dick Hartoko di Kotabaru. Begitu dilakukannya setiap hari.
Kesempatan bersilaturrahmi itu digunakannya untuk membincangkan masalah-masalah aktual. Menjelang muktamar Muhammadiyah, Desember 1985, Pak Bas getol mengkampanyekan perempuan sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Dia kampanyekan gagasannya itu bukan hanya kepada kalangan Muhammadiyah dan kalangan pers, tetapi kepada siapa saja yang ditemuinya.
Di kesempatan lain, ketika kalangan aktivis HMI sedang hangat-hangatnya memperbincangkan buku Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib terbitan LP3ES Jakarta, Pak Bas datang ke kantor HMI Yogya, mengajak diskusi seraya mengenalkan seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai salah seorang guru spiritual Wahib.
Ketiga, perhatiannya yang sangat besar kepada aktivis muda. Saat saya memimpin HMI Yogya, isu asas tunggal Pancasila sedang panas-panasnya. Beberapa kali dalam wawancara dengan media massa, bahkan di hampir semua kesempatan, saya selalu menegaskan bahwa HMI tidak menolak dasar negara Pancasila. Bagaimana mungkin HMI menolak Pancasila, sedangkan di alinea terakhir Mukaddimah Anggaran Dasarnya, HMI menegaskan tekadnya untuk mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang ditolak HMI, khususnya HMI Cabang Yogyakarta adalah gagasan politik menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berpotensi menjadikan dasar negara itu sebagai alat pemukul penguasa kepada lawan-lawan politiknya dan menghilangkan kebhinekaan bangsa.
Dalam suatu pertemuan dengan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Jenderal TNI Widodo, di Kepatihan (kantor gubernur Yogya) sikap HMI itu saya tegaskan kembali seraya kepadanya saya tunjukkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI. Jenderal Widodo pun spontan berkomentar, “Kalau seperti ini, tidak ada yang perlu dicurigai dari HMI.” Entah karena ada yang mencurigai atau tidak, di masa itu kegiatan-kegiatan HMI tidak pernah lagi mendapat izin. Malah pernah izin kepolisian yang sudah turun, dengan alasan yang tidak jelas, dicabut kembali oleh polisi persis pada saat kegiatan akan dimulai. Akibatnya, kegiatan HMI terpaksa dilaksanakan secara bergerilya. Alhamdulillah, di masa sulit seperti itu masih ada saja hamba Allah yang bersedia memfasilitasi berbagai aktivitas perkaderan HMI. Alhamdulillah juga, di masa sulit itu, minat untuk masuk masuk HMI justru meningkat. Padahal untuk ikut kegiatan HMI, mereka harus membayar.
Pada masa-masa sulit itu pula hampir tiap hari Pak Bas menemui saya untuk memberi semangat. Entah karena panasnya situasi atau karena sebab lain, Pak Bas berulang kali mewanti-wanti agar saya tidak mengidentikkan perjuangan dengan masuk penjara. Dalam kaitan ini, Pak Bas merujuk kepada H. Agus Salim. "Contohlah H. Agus Salim," ujar Pak Bas berulang kali. "Tidak ada yang meragukan kegigihan perjuangannya, tapi baik di zaman penjajahan Belanda maupun di masa pendudukan Jepang, H. Salim tidak pernah masuk penjara."
Pak Bas sering mengundang saya ke rumahnya untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal, misalnya ketidaksetujuannya memberi shaf pertama di dalam shalat jama’ah kepada para pejabat tinggi. Bagi Pak Bas, itu adalah feodalisme dalam shalat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hampir setiap pertemuan selalu diakhiri dengan makan nasi kebuli yang lezat.
Sesudah tidak menjadi Ketum HMI Yogya lagi, intensitas pertemuan saya dengan Pak Bas agak menurun. Maklum jarak antara rumah saya dengan rumah Pak Bas relatif jauh. Suatu hari ada mobil berhenti di depan rumah kos saya, sesuatu yang jarang terjadi dan karena itu saya bergegas menyongsong tamu yang datang. Ternyata sopir Pak Bas yang datang untuk menyampaikan sepucuk surat. Saya masih ingat isi surat itu sebagai berikut: "Sdr. Lukman, kalau Saudara masih mau bersilaturrahmi dengan saya, harap Saudara datang ke rumah sekarang. Saya siapkan mobil dan sopir untuk jemput Saudara. Ibu sdh siapkan nasi kebuli." Itulah cara Pak Bas memelihara silaturrahmi.
Sejak pertengahan 1985 saya hijrah ke Jakarta, bekerja di majalah Kiblat. Komunikasi dengan Pak Bas tetap terjalin walau hanya lewat telepon. Suatu hari pada pertengahan Februari 1986, karena padatnya pekerjaan, saya minta staf untuk menahan semua telepon yang masuk untuk saya, sampai tiba-tiba staf saya masuk ke ruang kerja mengabarkan sudah beberapa kali ada telepon dari Pak AR. Baswedan. Segera saya minta staf untuk mengontak balik nomor Pak Bas. Ketika tersambung, Pak Bas memberitahu bahwa dia sedang di rumah putranya, dr. Zamhari Baswedan di Kalimalang, Jakarta Timur. Dia minta saya datang untuk menemaninya makan siang. Ketika dengan berbagai dalih, saya tidak bisa menolak permintaan tersebut, ditemani Sdr. Nashir Maqsudi, saya pun berangkat ke Kalimalang.
Sambil makan, Pak Bas bercerita, memoar yang ditulisnya sudah selesai. "Nanti saya akan beri saudara satu copy untuk saudara baca dan koreksi." Sejak di Yogya, saya memang selalu mendorong Pak Bas untuk menyelesaikan memoarnya. Pak Bas juga bercerita, menyambut muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyah di Tegal, dia sudah menyiapkan artikel yang ditulis oleh pembantunya sesuai dengan yang dia diktekan. Selesai makan, dia menyerahkan artikel berjudul: “Muhammadiyah dan Al-Irsyad: Persamaan dan Perbedaannya” tersebut untuk dimuat di majalah Kiblat.
Pada artikel itu, Pak Bas mengeritik Al-Irsyad yang masih terus mempertahankan stempel Al-Irsyad untuk berbagai aktivitas sosial yang dikelolanya, padahal organisasi “rival” Al-Irsyad yakni Al-Rabithah Al-Alawiyah telah menanggalkan stempel Al-Rabithah. Di Solo, misalnya, sekolah-sekolah Al-Rabithah sejak SD sampai SLTA telah berganti nama menjadi Diponegoro. Pak Bas berharap, pergantian nama itu menunjukkan fanatisme di kalangan ba’alwi sudah mereda.
Saya kira, itulah tulisan terakhir Pak Bas yang dimuat media massa. Beberapa hari sesudah makan siang bersama itu, saya mendengar kabar Pak Bas dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih.
Ketika saya menjenguknya, dia sedang dalam perawatan intensif di ruang ICU sehingga kami tidak bisa berkomunikasi verbal. Pada 15 Maret 1986, Pak Bas wafat. Saya bersyukur telah memenuhi permintaannya --yang rupanya menjadi permintaan terakhir untuk saya-- menemani makan siang dan memuat tulisannya di majalah Kiblat. Saya juga bersyukur, lebih 20 tahun kemudian saya mendengar kabar dari salah seorang cucunya, Dr. Anies R. Baswedan, bahwa memoar Pak Bas sudah siap diterbitkan. Saya yakin, dari memoar Pak Bas, banyak sekali yang dapat dipetik oleh bangsa ini.

02 September 2008

BOS Jangan Sampai Dipotong

Perlu Keberpihakan kepada Dunia Pendidikan
Senin, 14 April 2008 00:52 WIB

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk berhemat anggaran pendidikan semestinya tidak dilaksanakan lewat jalan pintas dengan sekadar memotong anggaran. Departemen Pendidikan Nasional tetap bisa berhemat dengan efisiensi anggaran.
Alokasi dana untuk membantu pendidikan rakyat miskin harus tetap menjadi prioritas. Dana untuk kegiatan sosialisasi bisa dialihkan untuk kegiatan prioritas.
Anggota Panitia Anggaran Komisi X DPR, Lukman Hakiem, dari Cianjur, Sabtu (12/4), mengaku terkejut, pemerintah terkesan sekadar main potong anggaran bantuan operasional sekolah (BOS) untuk beasiswa bagi siswa miskin dan juga buku pelajaran.
Dia mengatakan, pihak DPR sepakat ada penghematan, tetapi itu bukan dilakukan dengan mengurangi pembiayaan kegiatan prioritas untuk rakyat. Pendanaan untuk beasiswa, buku, pembangunan dan perbaikan sekolah, juga perlengkapan fasilitas laboratorium termasuk hal prioritas sehingga alokasi dananya semestinya tidak dipotong.
”Rakyat akan semakin berat. DPR sudah pasti tidak setuju jika pemerintah main hapus begitu saja,” ujarnya.
Pembicaraan Komisi X dengan Departemen Pendidikan Nasional tentang anggaran pendidikan yang seharusnya dilaksanakan pekan lalu diundur hingga pertengahan Mei karena terbentur Rapat Paripurna DPR dan masa reses. ”Jadi, bulan April-Mei ini (pemotongan dana BOS) jangan dulu dijalankan,” kata Lukman.
Seiring kebijakan penghematan, anggaran Depdiknas tahun 2008 dipotong dari Rp 49 triliun menjadi sekitar Rp 44 triliun. Anggaran yang dipotong antara lain beasiswa bagi siswa miskin dan BOS buku pelajaran. Besar anggaran beasiswa dari Rp 359 miliar tinggal Rp 287,15 miliar.
Anggota Komisi X DPR, Cheppy T Wardono, seusai Seminar Nasional Guru dan Karakter Anak Bangsa, Minggu di Purwokerto, Jawa Tengah, mengatakan, biaya perbaikan sekolah juga dipotong Rp 2 triliun—tinggal Rp 23 triliun. Tunjangan guru dari Rp 5 triliun tinggal Rp 4 triliun. Anggaran peralatan laboratorium sekolah dipotong sampai 80 persen.
”Padahal, kita tahu, uang Rp 2 triliun itu sangat berguna untuk memperbaiki ribuan sekolah. Dalam kondisi seperti ini, Presiden seharusnya berpihak kepada dunia pendidikan. Namun kenyataannya jauh dari itu,” katanya.
Di Semarang, menanggapi permintaan Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz agar pemotongan tidak
dilakukan ke dana BOS dan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, pemotongan hanya dilakukan pada BOS buku. ”Kami akan adakan program buku murah. Tahun 2007 kami beli 49 judul buku yang akan kami pasang di situs untuk diunduh sekolah-sekolah dan nantinya dicetak. Tahun 2008 kami akan beli 250 judul buku,” katanya.
Dana lain yang akan dipotong adalah dana pembangunan jaringan intranet pendidikan (jardiknas).
(DIK/EKI/MDN)

Efielian Bantah Ditangkap di Kamar, PPP Desak KPK Ungkap Fakta Al-Amin


Senin, 21 April 2008 - 11:58 wib
Suwarjono - Okezone


JAKARTA- Kesaksian Efielian Yonata, mahasiswi Universitas Pakuan Bogor yang ikut tertangkap KPK saat penggerebekan anggota DPR Al Amin Nasution semakin menguatkan posisi Al Amin.Penjelasan Efielian yang membantah ditangkap di kamar, namun ditangkap saat keluar dari lift, sama dengan penjelasan Al Amin.
Hal ini membuat para politisi PPP mempertanyakan fakta sebenarnya yang terjadi seputar penangkapan Al Amin."Penjelasan Al Amin dan saksi-saksi lain yang membantah pernyataan dari KPK harus diungkap tuntas. Al Amin jelas-jelas membantah penangkapan di kamar, saksi-saksi juga membantah. Sementara KPK menyebutkan di kamar, seperti diungkap di media massa. Berarti KPK tidak profesional," kata anggota FPPP Lukman Hakiem kepada okezone, Senin (21/4/2008).
Persoalan lain yang diprotes PPP, selain penangkapan adalah soal bukti transaksi. "KPK harus jelaskan, sebenarnya Al Amin tertangkap tangan atau tidak. Uang Rp4 juta itu kan uang Al Amien. Lalu di mobil pribadi ditemukan Rp67 juta, itu kan uang reses yang akan dibawa ke daerah," katanya.Lukman Hakim mengaku aneh bukti-bukti dugaan korupsi seperti dicicil. "awalnya Rp4 juta, kemudian bilang ditemukan lagi uang di mobil Rp67 juta, terus ada lagi 33 ribu dollar singapura. Lha ini bukti kok dicicil," katanya.

Usulan Bentuk Pansus DKP Menguat


OlehInno Jemabut/Cinta Malem Ginting- Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta membentuk Panitia Khusus (Pansus) tentang penyelidikan dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) agar persoalan ini menjadi jelas dan tidak menimbulkan fitnah seperti dituding Presiden Yudhoyono. Di samping itu, proses hukum terhadap kasus ini harus tetap berjalan sehingga rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi.Usul tersebut dikemukakan secara terpisah oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) ketika dihubungi SH, Senin (28/5) pagi.
Masalah ini makin meruncing setelah Presiden Yudhoyono menanggapi langsung soal aliran dana DKP dan juga dana asing dalam kampanye pilpres 2004.Dari Yogyakarta, mantan calon presiden Amien Rais Senin siang menggelar jumpa pers khusus untuk menjelaskan data aliran dana DKP yang dimilikinya dan di situ disebutkan semua pasangan capres 2004 ini menerima dana DKP. Amien sendiri tak mau berkomentar soal ini ketika dihubungi Senin pagi tadi.
Pimpinan Fraksi yang dihubungi adalah Ketua FPKS Mahfud Sidik, Ketua FBPD Jamaluddin Karim, dan pimpinan Fraksi PAN yang juga Ketua DPP PAN Patrialis Akbar. “Pansus, panja atau interpelasi kami setuju. Kalau interpelasi memang nanti hanya untuk pihak yang berkuasa sekarang. Pansus lebih tepat agar clear secara politik dan membantu proses hukum,” tegas Jamaluddin Karim. Mahfud Sidik mengatakan secara prinsip gagasan pembentukan pansus sudah pernah dibahas dalam rapat internal FPKS. Namun, ia mengingatkan dalam kasus seperti ini tak cukup dengan penyelesaian politik. “Penyelesaian hukum jauh lebih diutamakan mengingat sudah ada berbagai macam tuding menuding saat ini. Semua itu harus dibuktikan secara hukum,” kata Mahfud Sidik. Menurut Patrialis Akbar, gagasan pembentukan pansus sangat posistif untuk pembelajaran politik ke depan supaya semua pihak bias lebih terbuka dan jujur. “Saya sangat setuju, biar semuanya terbongkar. Kami di fraksi sudah pernah ngomong-ngomong juga soal itu,” tegas Patrialis Akbar yang juga anggota Komisi III DPR.
Sementara penasihat Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakiem kurang setuju dengan gagasan pembentukan pansus karena persoalan dasar akan dipolitisasi. Ia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU), kejaksaan, kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih banyak mengambil peran. “Saya kurang sependapat dengan pansus. Lebih bagus aparat penegak hukum menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Mestinya, KPK bertindak cepat karena sudah terbuka peluang untuk mengungkap semua aliran dana dan pihak yang terlibat,” ujar Lukman Hakiem.Presiden Harus KalemDi bagian lain, Jamaluddin Karim menyesalkan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membantah tudingan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais di halaman Istana Negara. Seharusnya, Presiden tidak terpancing untuk berwacana tetapi mengungkapkan persoalan di depan aparat penegak hukum. “Kalau memang tidak benar ya nanti bicara saja di pengadilan,” ujarnya.Mahfud Sidik menambahkan jika model konflik seperti ini diteruskan akan sangat merugikan dinamika politik ke depan. Masyarakat akan apatis dengan kehidupan politik karena semua pihak tidak memberi teladan yang posistif. Lukman Hakiem menambahkan reaksi Presiden atas Amien Rais tidak proporsional mengingat Amien sendiri tidak pernah menyebut nama pihak tertentu. “Saya agak heran kepana presiden kita punya kuping yang tipis sekali. Tidak pantaslah Presiden harus menanggapi hal-hal seperti itu,” ujar Lukman Hakiem.Menurut Patrialis, yang berhak mengklarifikasi persoalan adalah institusi penegak hukum. Tanggapan presiden akan membuat saksi dalam kasus dana DKP ini menjadi takut karena sudah timbul tekanan dari awal. “Presiden seharusnya lebih kalem dengan rakyatnya. Tapi di sini malah Presiden mau berperang dengan rakyatnya sendiri. Untuk apa Presiden harus tanggapi langsung hal seperti itu,” kata Patrialis Akbar. Secara terpisah pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) Denny Indrayana mengatakan Amien Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono harus tunduk pada penegakan hukum, dengan menyerahkan bukti-bukti. Sementara dari Denpasar, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla meminta agar polemik seputar masalah sumbangan dana kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2004 tidak perlu diperlebar. Sebab hal itu sudah masuk ke pengadilan, sehingga biar pengadilanlah yang melakukan pengusutan.Hal itu ditegaskan Jusuf Kalla dalam konferensi persnya, Sabtu (26/5) di Bandara Ngurah Rai, Bali.